Peran dan Fungsi Masjid (bagian2)

Buku ini sudah diperiksa oleh

pengarang: irib indonesia
Sejarah & Biografi

Fungsi dan Peran Masjid


Fungsi dan Peran Masjid (11)

Seperti kita ketahui, masjid adalah tempat ibadah dan mendirikan shalat berjamaah. Shalat berjamaah adalah shalat yang didirikan secara berkelompok dan seluruh gerak-gerik makmum mengikuti imam. Imam shalat berdiri paling depan dan mengarah ke kiblat, sementara makmum mengikutinya.

Kelompok shalat yang bisa didirikan berjamaah adalah shalat lima waktu yaitu, shalat subuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya, demikian juga dengan shalat jenazah, shalat Jumat, serta shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Shalat berjamaah merupakan perkumpulan yang paling besar dan paling khidmat di dunia. Oleh karena itu, ia memiliki banyak keutamaan dan pahala. Setiap langkah kaki untuk shalat berjamaah di masjid, akan dihitung sebagai pahala dan kebaikan, dan jika jumlah pendiri shalat melebihi 10 orang, maka tidak ada yang tahu hitungan pahalanya kecuali Allah Swt. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa yang mencintai shalat berjamaah, Tuhan dan para malaikat juga mencintainya."

Rasulullah Saw bersabda, "Ketahuilah! Barang siapa yang melangkahkan kakinya ke masjid untuk shalat berjamaah, setiap langkah akan diganjar 70 ribu kebaikan dan pahala untuknya, dan 70 ribu dosanya akan dihapus, dan derajatnya akan diangkat dengan kadar yang sama. Jika ia meninggal dalam kondisi ini, Allah akan mengirim 70 ribu malaikat untuk berziarah ke kuburnya, menemaninya dalam kesendirian, memohon ampun untuknya sampai hari kiamat." (Wasail al-Shia, jilid 5)

Setelah pengutusan, Nabi Muhammad Saw selalu mendirikan shalat jamaah di sepanjang hidupnya. Beliau tidak meninggalkan shalat jamaah dalam kondisi apapun bahkan saat sakit. Oleh karena itu, para sahabat juga sangat berkomitmen dengan shalat jamaah. Dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud disebutkan, "Tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat jamaah, kecuali ia munafik yang sudah terkenal dengan kemunafikannya atau karena sakit. Sering terjadi di mana orang sakit tetap mendirikan shalat jamaah meskipun harus bersandar di pundak dua orang lainnya dan berjalan dengan dipapah."

Shalat jamaah bisa dilakukan dengan satu orang bertindak sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum, kecuali dalam shalat Jumat, di mana sekurang-kurangnya harus ada tiga laki-laki tidak termasuk imam. Ketika menjelaskan derajat pahala shalat jamaah, Rasul Saw bersabda, "Malaikat Jibril mendatangiku dan berkata, 'Allah menyampaikan salam untukmu dan memberikan sebuah hadiah kepadamu yang tidak diberikan kepada nabi manapun.'"

Rasul lalu bertanya, "Wahai Jibril, hadiah apakah itu?" Jibril menjawab, "Ia adalah shalat lima waktu yang didirikan berjamaah." Rasul kembali menimpali, "Lalu pahala apa yang akan diperoleh umatku?" Dia berkata, "Setiap kali ada dua orang, masing-masing memperoleh pahala 150 shalat untuk setiap rakaatnya, jika jumlah mereka tiga orang, pahala mereka 700 shalat, jika empat orang, pahala mereka 1200 shalat, jika jumlah mereka lima orang, pahalanya 2100 sampai Allah berfirman, jika jumlah mereka 10 orang, pahalanya 720.800 shalat untuk setiap rakaat, dan jika jumlah mereka melebihi 10 orang, maka jin dan manusia tidak akan mampu menghitung ganjarannya." (Mustadrak al-Wasail, jilid 1)

Sejarah Masjid Sahlah di Kufah

Pada kesempatan ini, kami akan memperkenalkan Masjid al-Sahlah sebagai salah satu masjid paling terkenal di dunia Islam. Masjid Sahlah adalah salah satu masjid terbesar yang dibangun kembali pada abad pertama Hijriyah di kota Kufah, Irak. Masjid ini terletak di barat laut Masjid Kufah dan berjarak sekitar dua kilometer dari situ. Sahlah berarti tanah yang ditutupi oleh pasir kemerahan. Karena masjid itu dibangun di atas tanah kosong yang ditutupi pasir merah, maka ia disebut dengan Masjid Sahlah.

Nama lain Masjid Sahlah adalah Masjid Qura'. Penyebutan ini didasari pada sebuah riwayat dari Imam Ali as yang berkata, "Di kota Kufah, ada empat tempat suci di mana masing-masing memiliki sebuah masjid." Orang-orang kemudian bertanya tentang nama-nama masjid tersebut, Imam Ali menjawab, "… Salah satunya adalah Masjid Sahlah. Ia ini adalah tempat tinggal Nabi Khidr as dan setiap orang sedih yang masuk ke masjid ini, Allah akan menghapus kesedihannya dan kami Ahlul Bait menyebut Masjid Sahlah dengan nama Masjid Qura'."

Masjid Sahlah terdiri dari dua bagian ruangan tertutup dan halaman terbuka. Di berbagai bagian ruangan tertutup masjid ini, terdapat mihrab-mihrab yang dibangun dengan nama para Nabi atau Imam Maksum as, dan dalam istilah mereka disebut Maqam. Salah satu dari mihrab tersebut adalah Maqam Ibrahim as yang berada di antara dinding barat dan utara. Menurut sebuah riwayat, masjid ini adalah rumah Nabi Ibrahim al-Khalil as dan dari tempat ini ia berhijrah ke tengah kaum Amaliqah (saudara kaum 'Aad).

Amaliqah adalah sebuah bangsa besar dengan postur yang sangat tinggi dan kuat, di mana Nabi Ibrahim as bersama Siti Hajar tinggal di tengah mereka sebelum berhijrah ke Mekkah.

Maqam Nabi Idris as adalah tempat mulia lain yang terdapat di Masjid Sahlah. Tempat ini juga dikenal sebagai Bait al-Khidr. Dalam sebuah pesan kepada muridnya, Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Ketika engkau tiba di Kufah, pergilah ke Masjid Sahlah dan dirikanlah shalat di sana, kemudian mintalah kebutuhan material dan spiritualmu kepada Allah, karena Masjid Sahlah adalah bekas rumah Nabi Idris as. Di tempat ini, Nabi Idris melakukan pekerjaannya sebagai penjahit dan tempat untuk mendirikan shalat. Setiap orang yang berdoa kepada Allah di Masjid Sahlah, Dia akan mengabulkan setiap permintaannya, dan pada hari kiamat derajatnya akan diangkat sampai ke posisi Nabi Idris. Allah akan melindunginya dari kesengsaraan dunia dan tipu muslihat musuh."

Maqam Nabi Saleh as adalah salah satu maqam lain di Masjid Sahlah, di mana terletak di sisi timur antara tembok selatan dan timur, yang juga dikenal sebagai Maqam Salehin, Anbiya' dan Mursalin. Maqam Imam Shadiq as juga berada di tengah masjid. Menurut catatan sejarah, Imam Shadiq tinggal di sana untuk sementara waktu dan menyibukkan dirinya dengan ibadah dan doa.

Setelah Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Kufah, Masjid al-Sahlah berada di urutan kelima dari segi keutamaan. Dalam sebuah hadis sahih Imam Shadiq as kepada sahabatnya, Abu Bashir, berkata, "Wahai Abu Bashir! Sepertinya aku melihat suatu hari di mana putra Rasulullah Saw, Imam Mahdi bersama keluarganya singgah di Masjid Sahlah setelah kemunculannya."

Abu Bashir kemudian berkata, "Aku kembali bertanya kepada Imam Shadiq, apakah masjid tersebut akan menjadi rumah bagi Imam Mahdi?" Beliau menjawab, "Ya, masjid ini telah menjadi rumah Nabi Idris dan Nabi Ibrahim as. Dan Allah tidak mengangkat nabi manapun sebagai utusan-Nya kecuali ia telah mendirikan shalat di masjid tersebut. Rumah Nabi Khidr as juga di masjid ini. Siapa pun yang tinggal di masjid ini, maka ia seperti berada di dalam tenda Nabi Muhammad Saw… Barang siapa yang mendirikan shalat di tempat mulia ini dan kemudian berdoa dengan tulus, maka hajatnya akan dikabulkan, dan jika ada orang yang berlindung ke tempat ini karena takut terhadap sesuatu, Allah akan melindunginya dari bahaya itu."

Abu Bashir kemudian berkata kepada Imam Shadiq, "Sungguh tempat ini memiliki banyak keutamaan." Imam menjawab, "Apakah engkau ingin aku sebutkan keutamaan-keutamaan lain?" Aku berkata, "Iya." Imam Shadiq lalu menjelaskan, "Masjid Sahlah adalah salah satu tempat yang dicintai oleh Allah dan dirikanlah shalat di sana. Para malaikat mengunjungi masjid ini di sepanjang siang dan malam, dan di sana mereka beribadah kepada Allah. Jika aku tinggal di dekat masjid ini, aku akan mendirikan seluruh shalatku di sana "


Fungsi dan Peran Masjid (12)

Salah satu fungsi utama masjid adalah untuk mendirikan shalat berjamaah. Shalat jamaah dilakukan secara berkelompok dan dengan gerakan seirama. Orang yang berdiri paling depan dan diikuti oleh jamaah di belakangnya disebut imam.

Dalam pemikiran Islam, orang yang memegang kepemimpinan dan menjadi panutan umat, harus memiliki banyak keutamaan dan kebajikan. Dalam shalat jamaah, imam juga harus lebih menonjol dari orang lain dari segi ilmu, amal, ketakwaan, dan keadilan.

Rasul Saw bersabda, "Imam shalat dari setiap jamaah adalah wakil mereka di sisi Allah, oleh karena itu pilihlah sosok yang terbaik untuk mengimami shalat jamaah."

Salah satu syarat penting imam adalah penerimaan di tengah para makmum. Dengan kata lain, para makmum menerima dia sebagai imam dan mengikutinya dengan baik. Terlebih jika imam tersebut memperoleh kepercayaan makmum karena ilmunya, ketakwaan, keadilan, tawadhu, dan akhlak yang baik. Semakin tinggi derajat ilmu sang imam, maka semakin besar pula kepercayaan masyarakat kepadanya sebagai referensi untuk menanyakan persoalan agama. Masalah ini juga akan membuat ia semakin diterima dan dicintai masyarakat.

Seorang imam yang memiliki ilmu pengetahuan dan keutamaan moral, akan membantu memperkaya makrifat dan wawasan keagamaan para makmum. Jika imam memahami dengan baik makrifat agama melalui al-Quran dan Ahlul Bait Nabi as, dan mampu menyampaikan dengan bagus, maka ia sudah semakin dekat dengan tujuan religiusnya yaitu; meraih keridhaan dan kecintaan Allah.

Salah satu syarat utama imam shalat adalah memiliki sifat adil. Keadilan adalah sebuah kondisi internal yang mencegah manusia dari melakukan dosa besar, serta tidak mengulangi atau bersikeras pada dosa kecil. Meski keadilan dan kemampuan untuk meninggalkan dosa adalah bagian dari perkara internal individu, tapi karena ia tampak dalam kehidupan dan perilaku pemiliknya, jadi kita bisa menangkap ada dan tidaknya sifat tersebut dalam diri seseorang.

Dalam sebuah hadis, seseorang bertanya kepada Imam Jakfar Shadi as tentang cara untuk mengetahui keadilan orang lain. Imam menjawab, "Jika seseorang punya rasa malu dan menjaga kesucian, tidak menodai dirinya dengan dosa dalam hal makanan, ucapan, dan syahwat, meninggalkan dosa besar seperti, zina, riba, minuman keras, dan melarikan diri dari perang – perkara yang diancam oleh al-Quran – kecuali ada uzur tertentu, dan tidak menghindari dari berkumpul dengan orang-orang Muslim, maka orang seperti ini adalah adil dan diharamkan untuk mencari-cari aibnya atau berbuat ghibah kepadanya."

Rasul Saw dalam sebuah hadis juga menjelaskan tentang sosok orang yang adil dan bertakwa, dan bersabda, "Barang siapa yang tidak berlaku zalim dengan masyarakat dalam jual-beli, tidak berbohong dalam berbicara, dan tidak mengingkari janjinya, maka ia termasuk orang yang tampak jelas keadilan dan ketakwaannya."

Salah satu urusan terpenting di masjid adalah mendirikan shalat jamaah di awal waktu dan tanpa ada waktu yang terbuang, sementara acara-acara lain seperti ceramah agama dan zikir-zikir yang panjang bisa dilakukan setelah selesai shalat. Mengingat makmum shalat terdiri dari berbagai kelompok masyarakat, dan semangat dan kemampuan fisik mereka juga berbeda-beda, maka seorang imam wajib memperhatikan kondisi para makmum.

Dalam sebuah hadis disebutkan, "Jika salah satu dari kamu menjadi imam shalat, maka engkau harus mempercepat shalat dan memilih yang paling singkat, sebab di antara makmum ada banyak orang yang lemah, orang tua, orang sakit, remaja, dan orang-orang yang terlilit masalah pribadi dan pekerjaan. Namun, ketika engkau mendirikan shalat sendiri, maka perpanjanglah shalatmu sejauh yang engkau mau."

Pada satu hari, Rasul Saw sedang mendirikan shalat dzuhur dan asar, dan dua rakaat terakhir beliau lakukan dengan lebih cepat dari biasanya. Setelah selesai shalat, para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah! Apakah telah terjadi sesuatu di antara shalatmu? Mengapa dua rakaat terakhir engkau lakukan dengan cepat?" Rasul menjawab, "Tidakkah kalian mendengar suara tangisan anak itu?" Perilaku Nabi Saw ini mencerminkan perhatian khusus beliau kepada realitas di sekitar dan tanggung jawab seorang imam shalat.

Sejarah Masjid al-Khaif di Mina

Salah satu masjid yang sangat penting di daerah Mina (70 km dari Masjidil Haram) adalah Masjid al-Khaif. Menurut bahasa, Khaif mengacu pada lereng gunung atau tanah yang lebih tinggi dari daerah di sekitarnya. Masjid ini berdiri megah di kaki bukit sebelah selatan kota Mina, Mekkah dan terletak di kaki Gunung Shabih. Masjid al-Khaif dibangun pada masa Nabi Muhammad Saw dan terus dilakukan pemugaran seiring perkembangan Islam.

Shalat di Masjid al-Khaif memiliki banyak keutamaan dan ada banyak anjuran untuk mendirikan shalat di sana. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Sebanyak 75 nabi yang datang ke Baitullah mendirkan shalat di masjid Mina (al-Khaif). Oleh karena itu, jika engkau mampu mendirikan shalat di Masjid al-Khaif, maka jangan lupakan itu."

Masjid al-Khaif merupakan pengingat akan kemenangan masyarakat Muslim atas kaum Musyrik Mekkah. Menurut catatan sejarah, pada tahun kelima Hijriyah, kaum Musyrik Mekkah atas provokasi orang-orang Yahudi, menandatangani sebuah aliansi dengan beberapa suku Arab untuk menyerang Madinah dan mencerabut akar Islam.

Lokasi yang mereka pilih untuk menandatangani perjanjian tersebut, adalah tempat yang kemudian dibangun Masjid al-Khaif di sana. Sebenarnya, masjid ini dibangun untuk mengenang kekalahan persatuan Quraisy dengan suku-suku Arab. Beberapa sejarawan berpendapat, Nabi Muhammad Saw pada tahun terakhir hidupnya, pernah berpidato di Masjid al-Khaif ketika beliau kembali dari Mekkah.

Dalam khutbahnya, Rasul Saw menyeru orang-orang pada persatuan dan mengumumkan kesetaraan semua umat Islam di hadapan hukum Allah Swt. Kemudian beliau mempersiapkan masyarakat untuk masalah kekhalifahan setelahnya. Rasul bersabda, "Semoga Allah merahmati kehidupan orang yang mendengarkan ucapanku dan mencamkannya di dalam hati, serta menyampaikannya kepada mereka yang tidak hadir. Wahai masyarakat! Orang yang hadir harus menyampaikan kepada mereka yang absen. Berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu, tapi mereka sendiri tidak tahu maknanya, dan berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih pandai dari dirinya. Wahai masyarakat! Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka berharga."

Para sahabat lalu bertanya, "Wahai Rasulullah! Apakah gerangan dua pusaka berharga itu? Rasul Saw bersabda, "Kitab Allah dan Ahlul Baitku. Allah Yang Maha Mengetahui telah mengabarkanku bahwa keduanya tidak akan terpisah satu sama lain sampai mereka datang menemuiku di telaga Kautsar pada hari kiamat kelak."

Pada era Ottoman, mereka membangun sebuah kubah besar di tempat bekas shalat Nabi Saw dan sebuah mihrab sebagai tanda lokasi berdirinya kemah dan tempat shalat Nabi Saw di al-Khaif. Menurut catatan sejarah, banjir yang terjadi pada tahun 240 Hijriyah telah merusak Masjid al-Khaif. Tapi kemudian dibangun kembali dan dilengkapi dengan tembok pelindung untuk menjaga masjid dari terjangan banjir.

Pada masa itu, Masjid al-Khaif memiliki panjang 120 meter dan lebar 55 meter, dan seluruh wilayahnya mencapai lebih dari 6.380 meter persegi, di mana menjadikannya sebagai masjid terbesar di Semenanjung Hijaz dan bahkan lebih besar dari Masjidil Haram pada saat itu. Setelah kerusakan parah, Masjid al-Khaif dibangun kembali oleh Sultan Qaytabay, salah satu raja Mamluk Mesir. Masjid ini direkonstruksi pada tahun 874 Hijriyah dan dindingnya terbuat dari batu dan plaster.

Pada tahun 1407 Hijriyah, proyek pemugaran Masjid al-Khaif dimulai dan wilayahnya mencapai sekitar 25 ribu meter persegi. Saat ini, empat menara yang berdiri kokoh telah menghadirkan pemandangan indah bagi para jamaah haji yang menuju tempat melempar jumrah.


Fungsi dan Peran Masjid (13)

Pada seri sebelumnya, kita telah berbicara mengenai salah satu fungsi utama masjid yaitu sebagai tempat menunaikan shalat berjamaah. Hari ini, kami akan menjelaskan tentang shalat Jumat, yang biasanya dilakukan di masjid-masjid maji' di kota-kota. Shalat Jumat adalah sebuah shalat yang didirikan secara berjamaah sebagai pengganti shalat dzuhur pada hari Jumat.

Mengenai keutamaan shalat Jumat, al-Quran secara jelas menyeru orang-orang Muslim untuk menghadiri shalat Jumat dan ayat tersebut berbunyi; "Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." Dalam hadis juga disebutkan bahwa pahala shalat Jumat bagi orang yang tidak mampu pergi haji, setara dengan menunaikan ibadah haji.

Shalat Jumat adalah sebuah ibadah yang sama seperti shalat-shalat lain yang dilakukan di masjid-masjid jami'. Dalam shalat Jumat, dua khutbah dianggap sebagai pengganti dua raka'at shalat. Ia terdiri dari dua khutbah dan dua raka'at shalat, yang menggantikan posisi shalat dzuhur yang berjumlah empat raka'at. Oleh karena itu, selama mendengarkan khutbah, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang dalam shalat.

Jamaah shalat wajib mendengarkan khutbah dengan khusyu'; sebuah khutbah yang mewasiatkan semua orang pada ketakwaan, menyadarkan mereka tentang kondisi umat Islam, dan memobilisasi kekuatan mereka untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat Muslim. Imam Khomeini ra dalam kitab Tahrir al-Wasilah menulis, "Alangkah lebih utama jika imam shalat Jumat dalam khutbahnya mengingatkan tentang perkara yang berhubungan dengan kepentingan duniawi dan ukhrawi kaum Muslim, peristiwa baik dan buruk serta kondisi baik dan buruk masyarakat Muslim, dan isu-isu politik, sosial, dan ekonomi yang berpengaruh pada independensi dan kemandirian kaum Muslim, dan hal apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat Muslim dalam urusan dunia dan akhirat mereka."

Imam Ali Ridha as menukil dari Rasulullah Sawt berkata, "Alasan penyampaian khutbah pada hari Jumat adalah karena Jumat tempat pertemuan khalayak dan tempat berkumpulnya masyarakat. Khutbah adalah sarana bagi pemimpin umat untuk menasehati mereka, mengajak mereka pada ketaatan kepada Allah, memperingatkan mereka akan dosa, memberitahukan mereka tentang perkara-perkara yang berhubungan dengan agama dan dunianya, dan mengabarkan mereka tentang kejadian dan bahaya dunia, yang memiliki keuntungan dan kerugian bagi mereka."

Shalat Jumat

Shalat Jumat merupakan salah satu jenis ibadah yang efek utamanya adalah melembutkan jiwa dan membersihkan hati dari noda dosa serta menghilangkan dampak-dampak dosa dari lubuk hati.

Dalam Islam, shalat Jumat dianggap ibadah yang sangat penting sehingga Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan shalat Jumat dan barang siapa – selama masa hidupku atau setelah kematianku – meninggalkannya atas dasar ketidakpedulian atau ingkar, Allah akan membuatnya tidak tenang, tidak akan menyatukannya setelah tercerai-berai, dan tidak akan memberkati perbuatannya. Ketahuilah bahwa shalat, zakat, haji, puasa, dan kebaikan tidak akan diterima oleh Allah sampai pelakunya bertaubat."

Shalat Jumat adalah sebuah ibadah kolektif dan tidak bisa dikerjakan secara individual. Untuk alasan ini pula, shalat Jumat dianggap sebagai sebuah perkumpulan besar sosial-politik mingguan. Dalam pertemuan mingguan ini, khatib Jumat berkewajiban untuk menginformasikan jamaah shalat tentang apa yang sedang terjadi di dunia Islam. Oleh karena itu, khatib Jumat harus punya wawasan tentang kondisi umat Islam, mengetahui kepentingan masyarakat Muslim, serta berani dan tegas dalam menyampaikan kebenaran.

Tentu saja, ketakwaan dan keadilan yang diharapkan dari seorang khatib Jumat, harus benar-benar tampak jelas dalam dirinya. Khatib dan imam harus mengenakan pakaian yang paling bersih, memakai wewangian, dan melangkah dengan tenang untuk shalat Jumat. Khatib ketika sudah di atas mimbar, harus bersabar sampai adzan selesai dan kemudian baru menyampaikan khutbahnya.

Menurut sejumlah riwayat, khatib Jumat memulai khutbah dengan memuji Allah Swt dan bershalawat kepada Rasulullah Saw, mewasiatkan takwa kepada jamaah shalat, dan membaca salah satu surah pendek dalam al-Quran. Dalam khutbah kedua, setelah bershalawat kepada Nabi Saw, khatib harus mendoakan kaum Muslim dan Muslimat dan memohon ampunan untuk mereka.

Perlu dicatat bahwa khatib Jumat dalam khutbahnya, harus menyampaikan perkara-perkara penting yang berkaitan dengan agama dan dunia masyarakat Muslim, dan membahas apa yang dibutuhkan oleh umat Islam baik di dalam maupun di luar negara-negara Muslim, dan menjelaskan masalah politik, sosial, dan ekonomi dengan memperhatikan skala prioritas.

Keutamaan Masjid Syajarah di kota Mekkah

Pada segmen ini, kami akan memperkenalkan Masjid Syajarah sebagai salah satu masjid yang terkenal di antara Makkah dan Madinah. Masjid ini berada pada jarak 8 kilometer dari arah barat daya Masjid Nabawi dalam rute jalan ke atau dari Mekkah. Masjid Syajarah merupakan salah satu tempat miqat jamaah yang ingin melaksanakan umrah atau haji.

Penamaan dengan Syajarah (pohon) karena Nabi Muhammad Saw melakukan shalat di bawah sebuah pohon pada waktu melakukan perjalanan ke Mekkah pada tahun ke-6 Hijrah. Pada dasarnya, Nabi Saw sudah pernah tiga kali mengenakan pakaian ihram di tempat tersebut. Pertama pada tahun ke-6 Hijriyah yang berbuah pada penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah, kemudian pada tahun ke-7 H untuk melakukan umrah dan juga pada tahun ke-10 untuk melakukan Haji Wada'. Oleh karena itu, Masjid Syajarah memiliki kedudukan yang tinggi di mata kaum Muslim dan para pecinta Ahlul Bait Nabi.

Nabi Muhammad Saw setelah melakukan salat dua rakaat di Masjid Syajarah, memakai baju ihram, dan mengucapkan talbiah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pada awal kalinya, ketika melakukan haji berada di bawah sebuah pohon sehingga pada masa-masa berikutnya dibangun sebuah masjid di tempat itu.

Nama-nama lain Masjid Syajarah adalah; Masjid Miqat, karena tempat ini merupakan salah satu miqat bagi orang-orang yang melaksanakan ihram atau haji. Masjid Dzul Hulaifah, karena ia lokasinya berada di daerah Dzul Hulaifah. Dan Masjid Bir Ali, karena Imam Ali as banyak menggali sumur di daerah tersebut untuk mengairi kebun-kebun kurmanya. Majduddin Firouz Abadi, sejarawan dan pakar bahasa dari Iran dalam menggambarkan Masjid Syajarah menulis, "Masjid ini tidak dikenal kecuali dengan sebutan Bir Ali."

Pada masa sekarang ini, tiga nama yaitu Bir Ali, Dzul Hulaifah, dan Masjid Syajarah digunakan untuk penyebutan masjid bersejarah itu.

Meskipun Masjid Syajarah mengalami kerusakan pada abad ke-8 Hijriyah, namun ia tetap digunakan. Sepertinya bangunan dasar masjid ini memiliki halaman terbuka dan ruangan tertutup, namun pada abad ke-8 dan 9 Hijriyah hanya dinding di sekitarnya saja yang tersisa. Pada tahun 1058 H, Masjid Syajarah direnovasi oleh salah seorang Muslim India pada masa Utsmani. Ia juga membangun menara-menara di masjid tersebut.

Pemugaran terakhir masjid ini dilakukan pada masa kekuasaan Raja Fahd. Masjid dipercantik dengan halaman yang luas dengan berbagai fasilitas tambahan seperti tempat parkir, dan luas keseluruhan mencapai 90.000 meter persegi.

Luas masjid sendiri sekitar 26.000 meter persegi, dengan kapasitas lima ribu jamaah shalat. Masjid Syajarah – seperti banyak masjid yang direnovasi pada masa Al Saud – telah berubah dari bentuknya yang sederhana dan kesan megah, dan salah satu masjid dengan arsitektur terindah di antara masjid-masjid yang dibangun kembali adalah Masjid Nabawi di Madinah.


Fungsi dan Peran Masjid (14)

Dalam Islam, masjid adalah rumah Allah Swt dan pusat untuk kegiatan ibadah dan penghambaan diri. Oleh karena itu, Allah Swt dengan rahmat-Nya, memperkenalkan masjid sebagai Baitullah yaitu; menjadikannya sebagai tempat untuk ibadah, berdoa, dan berkomunikasi dengan-Nya.

Dalam komunikasi ini, kitab suci al-Quran memiliki kedudukan yang istimewa. Al-Quran mengandung makrifat tinggi Ilahi di bidang tauhid, sifat-sifat para nabi, rahasia dunia ghaib, sunnah-sunnah Ilahi, pengenalan manusia dan nasib mereka, serta berita yang berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.

Al-Quran menawarkan cara untuk membebaskan manusia dari kebodohan, takhayul, dan hawa nafsu, dan menempatkan manusia di jalan menuju kesempurnaan. Hubungan antara al-Quran dan masjid sudah terjalin sejak awal kemunculan Islam. Sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi Saw disebutkan bahwa "Para pecinta al-Quran adalah para pencinta masjid juga."

Pada dasarnya, al-Quran dan masjid adalah dua pilar yang saling melengkapi dan tidak terpisahkan serta berperan sangat signifikan dan efektif sebagai dua faktor penting dalam keimanan masyarakat dan penyebarannya di tengah umat. Di masjid, ayat-ayat al-Quran – karena selaras dengan nuansa spiritual masjid – lebih mudah tertanam dalam jiwa manusia dan menyediakan ruang yang lebih besar untuk berpikir dan bertadabbur.

Nabi Muhammad Saw telah menyebutkan sebuah contoh yang sederhana untuk menarik perhatian lebih kaum Muslim terhadap dua pilar penting ini. Beliau bersabda, "Siapa dari kalian yang suka pergi pada pagi hari ke lembah Aqiq atau Buthan di Mekkah, dan membawa pulang dua unta berpunggung besar kepada keluarga kalian tanpa harus berdosa atau memutus hubungan kekerabatan?"

Para sahabat menjawab, "Kami semua suka wahai Rasulullah!" Rasul lalu bersabda, "Jika salah satu dari kalian datang ke masjid dan mempelajari satu ayat Allah, maka yang itu jauh lebih baik daripada satu unta, dan jika mempelajari dua ayat, maka itu jauh lebih baik daripada dua unta, dan tiga ayat lebih baik daripada tiga unta."

Di Arab Saudi, unta berpunggung besar memiliki nilai yang sangat berharga, sehingga pada waktu itu setiap orang siap menempuh perjalanan sulit ke lembah Aqiq atau Buthan demi memperoleh kekayaan seperti ini. Oleh karena itu, Rasul Saw bersabda, "Sebagaimana kalian rela bekerja keras demi memperoleh nikmat materi yang cepat hilang dan susah menjaganya, maka kalian harus bekerja jauh lebih keras demi mendapatkan kenikmatan spiritual yang abadi, di mana kalian akan selalu membutuhkannya."

Masjid adalah rumah Allah dan membaca al-Quran merupakan salah satu ibadah tertinggi yang dapat dilakukan di rumah Allah ini. Kitab suci ini memperkenalkan masjid sebagai tempat dengan banyak keutamaan sehingga orang-orang yang memusuhi masjid dan berniat merusaknya, mereka dianggap sebagai orang-orang yang paling zalim di muka bumi.

"Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah di masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat." (Surat al-Baqarah ayat 114)

Sejarah Pembangunan Masjid Sab'ah di Madinah

Pada segmen ini, kami akan memperkenalkan Masjid Sab'ah (Masjid Tujuh) di Madinah. Ada tujuh masjid di wilayah Perang Khandak di mana enam di antaranya terletak bersebelahan dan satunya lagi berjarak terpisah. Masjid tersebut antara lain; Masjid Salman, Masjid Abu Bakar, Masjid Umar, Masjid Ali, Masjid Fatimah, dan Masjid Fath, dan sebuah masjid yang jaraknya lebih jauh dengan nama Masjid Qiblatain.

Masjid yang paling penting dari kelompok masjid tersebut adalah Masjid Fath, yang terletak di sebuah gunung, di mana di balik gunung itu, para sahabat menggali parit dalam Perang Ahzab. Sebenarnya, gunung tersebut adalah tempat Rasulullah Saw bersiaga selama perang. Diriwayatkan, masjid ini dinamakan dengan al-Fath karena di tempat ini Rasul Saw mendirikan shalat sebagai rasa syukur atas kemenangan untuk kaum Muslim.

Perang Ahzab adalah perang ketiga terbesar melawan kaum musyrik setelah Perang Badr dan Perang Uhud. Perang ini diikuti langsung oleh Rasulullah Saw. Perang Ahzab meletus pada bulan Syawal tahun ke-5 Hijriyah yang bertempat di sekitar kota Madinah. Dalam perang ini, semua suku-suku di Mekkah bekerja sama dengan kaum Yahudi untuk mencerabut akar agama Islam. Tapi, kaum musyrik kalah total berkat kehendak Allah Swt, penggalian parit atas usulan Salman al-Farisi, keberanian Imam Ali as, dan ketahanan para sahabat Nabi Saw.

Salah satu masjid lain dalam kelompok Masjid Sab'ah adalah Masjid Salman al-Farisi. Salman adalah salah satu sahabat Nabi Saw yang terkenal. Menurut beberapa riwayat, Salman memeluk agama Majusi pada usia anak-anak dan kemudian pindah ke agama Kristen pada usia remaja. Ia pergi ke tanah Syam dan berguru kepada pendeta Kristen.

Salman kemudian berkelana ke tanah Hijaz setelah mendengar berita tentang munculnya seorang nabi di tanah bangsa Arab. Namun, dalam perjalanan ini dia ditawan oleh beberapa suku Arab, yang akhirnya dijual kepada seorang Yahudi dari suku Bani Quraizah, dan kemudian bersama tuannya pergi ke Madinah. Mimpi Salman akhirnya terwujud di Madinah, ia bertemu Rasulullah Saw dan beriman kepadanya.

Dalam Perang Ahzab, Salman mengusulkan agar daerah di sekeliling Madinah digali parit untuk mencegah musuh menyeberang dan menyerang kota. Masjid Salman dibangun untuk menghormati kontribusinya dalam perang tersebut dan ide cemerlangnya untuk menggali parit.

Di barat daya Masjid Salman, terletak Masjid Imam Ali bin Abi Thalib as. Diriwayatkan bahwa di tempat inilah Imam Ali ikut serta dalam Perang Khandaq. Masjid Imam Ali mencerminkan perannya yang tak tertandingi dalam mengalahkan jagoan Arab, Amr bin Abdi Wud.

Masjid Sab'ah lainnya adalah Masjid Fatimah as. Tidak ada catatan sejarah mengenai Masjid Fatimah dan masjid ini disebut juga dengan Masjid Sa'ad bin Muadz. Sa'ad bin Muadz adalah pemimpin kabilah Aus dan dalam Perang Ahzab, ia terluka dan gugur syahid. Rasulullah Saw bersabda, "Ribuan malaikat hadir mengiring jenazah Sa'ad bin Muadz." Dalam literatur Ahlu Sunnah, kematian Sa'ad bin Muadz telah mengguncang Arsy Ilahi.

Masjid Abu Bakar terletak di sebelah tenggara Masjid Salman. Masjid ini juga terletak di tempat yang tinggi yang bisa ditempuh dengan melewati beberapa anak tangga. Bangunan masjid ini, sama seperti Masjid Fath, telah mengalami beberapa kali renovasi.

Adapun Masjid Umar bin Khattab terletak 10 meter ke arah selatan Masjid Abu Bakar. Menurut para peneliti, sumber-sumber sejarah sama sekali tidak menyinggung keberadaan masjid ini hingga abad ke-9 Hijriyah. Pada dasarnya, di antara masjid-masjid tersebut, hanya Masjid Fath, Masjid Salman, dan Masjid Ali ibn Abi Thalib yang disebut dalam teks-teks abad pertama Hijriyah.

Sementara Masjid Qiblatain adalah sebuah masalah yang berbeda. Masjid ini untuk mengenang perintah perubahan arah kiblat kaum Muslim dari Masjid al-Aqsa ke Masjidil Haram pada 15 Sya'ban tahun kedua Hijriyah. Dan mengingat Rasulullah Saw mendirikan shalat ke dua arah yang berbeda, maka ia dikenal dengan Masjid Qiblatain.

Saat ini, Masjid Qiblatain berdiri tegak dengan dua kubah, dua menara, dan dua mihrab, di mana yang satu mengarah ke Masjidil Haram dan satunya lagi menghadap ke Baitul Maqdis di bagian barat Madinah.


Fungsi dan Peran Masjid (15)

Seperti yang kami katakan pada sesi sebelumnya, masjid adalah rumah Allah Swt dan Dia akan menjamu setiap tamunya dengan belaian kasih sayang dan rahmat. Kaum Muslim dengan khusyu' bersimpuh di hadapan Allah Swt dan mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya. Doa tidak lain hanyalah ketertarikan ke arah Sang Pencipta dan ia ibarat seutas tali yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhan.

Rasulullah Saw sendiri selalu memperbanyak doa dan munajat serta mengajak orang lain untuk berdoa dan meminta hajatnya kepada Allah. Dalam doa, seorang Muslim akan menyampaikan hajatnya dan memohon kebutuhannya kepada Allah. Doa seorang hamba tidak terbatas pada kebutuhan materialnya, tapi dia juga memohon kebutuhan spiritualnya kepada Allah, dan derajat tertinggi dari doa adalah memohon rahmat dan ridha Allah.

Manusia yang telah mencapai derajat spiritual yang tinggi dan kedekatan dengan Allah Swt, maka kasih sayang Tuhan telah menyelimuti seluruh wujudnya dan menyingkirkan setiap pemikiran selain berpikir tentang Tuhan, dan tidak mencari apapun kecuali keridhaan-Nya. Rasulullah Saw dalam sebuah doa berseru, "Ya Allah, aku memohon kasih sayang-Mu dan kasih sayang kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan aku meminta kepada-Mu agar aku berada dalam kasih sayang-Mu dalam setiap pekerjaan yang aku lakukan." (Kanzul Ummal)

Masjid adalah tempat terbaik untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah. Doa – permohonan dengan khusyu' dan kerendahan hati – adalah media terbaik untuk berkomunikasi dengan pencipta alam semesta. Masjid juga merupakan tempat yang istimewa bagi Allah dan tempat turunnya rahmat. Oleh karena itu, kaum Muslim dalam setiap kesempatan khususnya pada kondisi tertentu, mendatangi masjid dan menyibukkan dirinya dengan doa.

Keyakinan kaum Muslim ini tergambar jelas dalam kisah Abu Lubabah bin Abdul Mundzir, yang mencari tempat perlindungan ke Masjid Nabawi. Abu Lubabah adalah orang yang berbuat kesalahan dalam perang dengan Bani Quraizhah di sekitar Madinah, dan ia dengan ceroboh membocorkan rencana Rasulullah Saw terkait orang-orang Yahudi Bani Quraizhah. Setelah menyadari kesalahannya, ia langsung lari ke masjid dan mengikatkan tubuhnya pada salah satu tiang hingga Allah menerima taubatnya.

Pada permulaan Islam, orang-orang yang melakukan kesalahan dan membutuhkan pengampunan Allah, mereka langsung bersimpuh di masjid. Sebab, masjid adalah tempat turunnya rahmat Allah dan keyakinan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah Saw. Beliau mengabarkan Ummu Salamah bahwa Allah sudah mengampuni Abu Lubabah. Ketika berita ini sampai ke masjid, orang-orang datang untuk membuka ikatan tali di tubuh Abu Lubabah.

Namun, Abu Lubabah menolaknya dan berkata, "Tidak. Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah datang membukanya." Tak lama setelah itu, Rasulullah pun datang membukanya.

Pada dasarnya, tidak ada waktu dan tempat khusus untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah. Di setiap saat dan di mana saja, kita bisa membangun hubungan dengan Sang Pencipta. Tapi, sebagian waktu dan tempat memiliki keistimewaan dari waktu dan tempat-tempat lain. Pada suatu hari, Rasulullah Saw bertanya kepada Malaikat Jibril, "Tempat manakah yang lebih dicintai di sisi Allah?" Jibril menjawab, "Masjid." Jadi, berdoa di tempat yang dicintai Allah akan memiliki keutamaan yang lebih besar.

Diriwayatkan, pada suatu hari Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as menyaksikan seseorang duduk mengiba di depan pintu rumah orang lain. Imam lalu bertanya kepadanya, "Apa yang membuatmu duduk di pintu rumah orang zalim ini? Ia menjawab, "Aku sedang ada masalah." Imam berkata, "Bangkitlah, sekarang aku akan menunjukkan sebuah pintu yang lebih baik dari pintu rumah ini, dan membimbingmu kepada Allah yang akan bersikap lebih baik kepadamu daripada orang tersebut."

Imam Sajjad membawa orang miskin itu ke Masjid Nabawi dan berkata, "Menghadaplah ke kiblat dan dirikanlah shalat dua rakaat. Kemudian berdoalah kepada Allah Yang Maha Perkasa, pujilah Dia dan sampaikanlah shawalat kepada utusan-Nya. Berdoalah kepada Allah dengan membaca ayat-ayat terakhir surat al-Hashr, enam ayat permulaan surat al-Hadid, dan dua ayat surat Ali 'Imran, mintalah kepada Allah hajatmu dan Dia akan mengabulkan apa yang kamu minta."

Imam Jakfar Shadiq as juga mengimbau para pengikutnya untuk mendatangi masjid kala menghadapi kesulitan dan kesusahan. Pertama mendirikan shalat dan kemudian berdoa untuk mengatasi kesulitannya. Imam Shadiq berkata, "Ayahku, Imam Muhammad Baqir meminta hajatnya kepada Allah ketika dzuhur. Setiap kali ia punya hajat, pertama-tama ia akan memberi sedekah di jalan Allah dan kemudian bergegas ke masjid dan meminta hajatnya kepada Allah di sana."

Sejarah Masjid Buratsa di Baghdad

Masjid Buratsa adalah salah satu masjid terpenting di kota Baghdad. Menurut beberapa sumber sejarah, Imam Ali as ketika pulang dari perang melawan Khawarij, berniat singgah sejenak di daerah Buratsa. Di situ, seorang pendeta datang menghampirinya sambil berkata, "Engkau dan pasukanmu tidak boleh singgah di tempat ini." Imam Ali lalu bertanya tentang alasannya.

Pendeta tersebut mengatakan, "Karena tidak ada yang singgah di daerah ini dengan pasukannya, kecuali dia adalah seorang nabi atau seorang pengganti nabi yang berjuang di jalan Allah. Hal ini tertulis dalam kitab kami." Imam Ali lalu menjawab, "Aku adalah pengganti dan khalifah dari pemimpin para nabi." Sang pendeta berkata, 'Aku mendengar sifatmu dalam Injil dan engkau akan turun di kawasan Buratsa, di mana merupakan rumah Sayidah Maryam as dan tempat Isa al-Masih as."

Kemudian Amirul Mukminin turun di kawasan tersebut dan beliau menghentakkan kakinya di atas tanah, kemudian muncullah mata air. Imam berkata ini adalah mata air Maryam yang muncul untuknya. Kemudian beliau melanjutkan, galilah di sini seukuran tujuh lengan. Kemudian para sahabat beliau menggali tempat tersebut dan muncullah batu putih. Imam mengatakan, di atas batu inilah Maryam melahirkan putranya Isa as, dan beliau melaksanakan shalat di tempat ini. Imam Ali lalu berkata, kawasan Buratsa adalah rumah Maryam dan hanya Allah Swt-lah yang mengetahui hakikat sesuatu.

Imam Ali as dan pasukannya menetap di Buratsa selama empat hari. Karena nilai sejarah, para pecinta dan pengikut Imam Ali as membangun sebuah masjid di tempat tersebut dan menganggap tempat itu suci. Selama era kekuasaan Bani Umayyah dan Abbasiyah, Masjid Buratsa menjadi salah satu tempat berkumpul yang paling penting bagi para pecinta Ahlu Bait as.

Selama kekuasaan Al-Muqtadir Billah, khalifah Abbasiyah, keramaian di masjid ini mencapai puncaknya, dan hal ini mengundang kedengkian dan permusuhan dari beberapa orang picik. Mereka kemudian datang menghadap penguasa dan mengatakan bahwa Imam Ali as tidak pernah singgah di tempat tersebut.

Mereka menghasut Al-Muqtadir untuk menghancurkan masjid dan berkata, kaum Rafidhi telah berkumpul di masjid itu dan ingin melakukan pemberontakan terhadap khalifah. Al-Muqtadir kemudian memerintahkan penghancuran Masjid Buratsa. Masjid ini dibangun kembali pada masa kekhalifahan Ar-Razi Billah pada tahun 329 Hijriyah. Masjid Buratsa sudah mengalami renovasi beberapa kali. Pada tahun 2006, masjid ini diserang oleh kelompok teroris yang menggugurkan 69 jemaah shalat dan menciderai 130 lainnya.

Di sepanjang sejarah, Masjid Buratsa selalu menyita perhatian kaum Muslim terutama para pecinta Ahlul Bait, dan banyak ulama lahir di daerah Buratsa atau dikuburkan di sekitar masjid tersebut, sesuai dengan surat wasiat mereka. Para ulama besar seperti Sheikh Mufid senantiasa menjadikan masjid tersebut sebagai tempat ibadah dan kelas mengajar.


Fungsi dan Peran Masjid (16)

Seperti yang kita katakan pada sesi sebelumnya, tujuan utama bangunan masjid adalah menyediakan tempat khusus untuk beribadah kepada Allah Swt, dan alasan penamaannya dengan masjid adalah karena ia tempat sujud dan merendahkan diri di hadapan Allah. Tapi, kita juga tidak boleh mengabaikan fungsi-fungsi lain masjid

Pada permulaan Islam, masjid adalah pusat penting untuk menjalankan misi risalah Nabi Saw, menyampaikan pesan-pesan langit, dan menyebarkan Islam.

Salah satu kegiatan dakwah Rasulullah Saw adalah mengadakan acara keagamaan dan menyampaikan nasehat kepada masyarakat. Nasehat adalah mengingatkan dan menganjurkan kepada kebaikan sehingga hati menjadi lunak. Rasul Saw menggunakan cara ini untuk membimbing masyarakat dan juga mendorong mereka untuk menggelar majlis zikir dan acara pengajian. Seperti disebutkan dalam hadis, Rasul berkata kepada kaum Muslim, "Bergegaslah kalian menuju taman surga." Mereka lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apa maksudmu dari taman surga itu?" Beliau bersabda, "Majlis zikir dan mengingat Allah."

Kegiatan dakwa Nabi Saw di masjid dipenuhi dengan pembekalan spiritual dan maknawi. Ajaran Ilahi ini membuat orang-orang yang berpotensi untuk diberi hidayah, terkesima dengan agama Islam. Nasehat-nasehat Rasulullah tidak hanya terbatas pada ceramah, tapi juga tampak dalam perilaku beliau dan menjadikan masjid sebagai pusat bimbingan masyarakat.

Akhlak Rasul Saw begitu menyentuh hati masyarakat sehingga terkadang orang-orang yang datang ke masjid untuk membunuh beliau, terpesona oleh sosok manusia suci ini, dan dengan seluruh wujudnya, mereka bersaksi atas keesaan Tuhan dan kenabian Muhammad Saw dan memilih masuk Islam. Umair bin Wahab, termasuk mereka yang datang dari Mekkah ke Masjid Nabawi untuk membunuh Nabi Muhammad Saw dengan pedang beracun.

Menurut catatan sejarah, Umair bin Wahab dan Safwan bin Umayyah bertemu di samping Ka'bah setelah Perang Badr. Umair adalah salah satu dari mereka yang selalu menyakiti Rasulullah dan para sahabatnya di Mekkah. Putranya ditawan dalam Perang Badr. Umair berbicara tentang orang-orang yang terbunuh dalam perang itu dengan Safwan. Safwan lalu berkata, "Demi Tuhan! Tidak ada enaknya hidup setelah mereka."

Umair berkata, "Engkau benar! Aku bersumpah kepada Tuhan bahwa jika aku mampu membayar utangku dan yakin anak-anakku tidak akan terlantar setelahku, pasti aku akan mendatangi Muhammad dan membunuhnya." Safwan memanfaatkan kesempatan ini dan berujar, "Aku akan melunasi utangmu, dan anak-anakmu tidak ada bedanya dengan anak-anakku." Umair lalu berkata, "Jika demikian, rahasiakan perkara ini."

Umair kemudian melumuri pedangnya dengan racun dan bergegas pergi ke Madinah. Ketika sampai di Madinah, dia mendatangi Nabi Muhammad dengan pedang beracun. Beberapa sahabat nabi ingin menghentikannya. Tapi nabi berkata, "Lepaskan dia." Umair maju ke depan dan berkata, "Selamat pagi." Ini adalah ucapan yang biasa dipakai di masa Jahiliyah. Rasulullah kemudian berkata, "Allah menganugerahkan kepada kita ucapan yang lebih baik dan itu adalah Assalamu'alaikum."

Rasul lalu bertanya kepadanya, "Apa maksud kedatanganmu?" Umair menjawab, "Aku datang untuk putraku yang engkau tawan." Rasul berkata, "Engkau datang untuk tujuan lain, karena engkau dan Safwan duduk di samping Ka'bah dan berbicara tentang orang-orang yang terbunuh di Badr. Engkau berujar, jika aku tidak terlilit utang dan anak-anakku tidak terlantar, aku pasti akan mendatangi Muhammad dan membunuhnya. Kemudian Safwan berkata, aku akan mengasuh anak-anakmu dan melunasi utangmu, dan sekarang Allah menjadi penghalang antara aku (Rasul) dan tugas yang engkau pikul."

Setelah mendengar itu, Umair mulai sadar dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah, sungguh engkau membawa berita dari langit, tapi kami selama ini mendustakanmu, karena tidak ada yang tahu tentang perkara ini kecuali aku dan Safwan, dan aku yakin Tuhan pasti sudah memberitahumu. Segala puji atas Tuhan yang telah memberiku hidayah dan menyeruku ke jalan yang benar."

Lalu Umair mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian Rasul Saw memandang para sahabatnya dan berkata, "Ajarilah saudaramu perkara-perkara agama dan al-Quran, dan juga bebaskanlah putranya."

Sejarah Masjid Jami' Umawi di Suriah

Pada segmen ini, kami akan mengenalkan Masjid Jami' Umawi, salah satu masjid paling populer di Suriah. Masjid Umawi adalah masjid terpenting di Suriah dan masjid ini terletak di bagian tua kota Damaskus, dan salah satu masjid terindah di dunia Islam. Masjid Jami' Umawi dibangun oleh al-Walid bin Abdul Malik, khalifah keenam dari Dinasti Umayyah pada tahun 87 Hijriah (706 M). Menurut para sejarawan, al-Walid menghabiskan tujuh tahun pendapatan pajak negara untuk membangun masjid tersebut.

Sejarah Masjid Jami' Umawi kembali ke masa sebelum Masehi. Menurut beberapa arkeolog, tempat ini telah menjadi pusat peribadatan kaum Majusi. Setelah tentara Romawi merebut Syam, kuil tersebut diperluas dan dijadikan tempat pemujaan tuhan mereka. Setelah munculnya Nabi Isa as dan menyebarnya ajaran Kristen, kuil itu berubah menjadi gereja. Situasi ini berlanjut sampai kaum Muslim menaklukkan Syam dan menggunakan tempat tersebut untuk shalat. Kaum Muslim juga menyisakan satu bagian dari tempat itu sebagai gereja untuk orang-orang Kristen.

Fenomena ini berlangsung selama sekitar 70 tahun, kaum Muslim dan orang-orang Kristen melaksanakan ritual ibadah bersebelahan. Pada tahun 705 M, ketika kekhalifahan Umayyah dipegang ke al-Walid bin Abdul Malik, dia mengambil alih gereja tersebut. Khalifah Umayyah mengubah menara-menara kuno Romawi sebagai menara tempat adzan. Pembangunan menara tidak lazim sebelum era Umayyah, dan model menara Masjid Umawi meniru menara yang dibangun untuk kuil-kuil di Suriah.

Al-Walid mengundang arsitek dan insinyur dari Iran, India, Maroko, dan Romawi untuk membangun sebuah masjid di Damaskus. Ia mempercantik masjid dengan batu marmer terbaik dan batu hias lainnya. Di atas shabestan masjid, al-Walid membangun sebuah kubah yang disebut Nasr, dan mendirikan 20 tiang di sisi timur, 20 tiang di sebelah barat, dan empat tiang utama di tengah masjid. Keempat tiang utama itu dipakai untuk menopang kubah yang disebut Kubah al-Nasr.

Al-Walid melapisi tiang-tiang masjid dengan emas, perak, dan sutra. Dia juga menghiasi mihrab masjid dengan permata, dan lampu gantung dengan lapisan emas dan perak.

Selama beberapa abad, perbaikan dan pemugaran dilakukan terhadap Masjid Jami' Umawi. Ada tiga kubah kecil yang dibangun di halaman masjid yaitu; Kubah al-Mal. Kubah ini dibangun oleh Emir Damaskus, Fadl bin Salih al-Abbasi, sepupu al-Mansur al-Abbasi pada tahun 172 Hijriah untuk menyimpan harta benda masjid dan dengan begitu ia dikenal sebgai Kubah al-Mal.

Kubah al-Wudu'. Kubah ini terletak di tengah halaman dan dibangun pada tahun 369 Hijriah. Kubah kecil ini ditopang oleh enam tiang batu marmer. Dan terakhir Kubah al-Sa'at. Kubah ini terletak di sebelah timur halaman, di samping Bab al-Sa'at yang dibangun pada abad ke-5 Hijriah dan merupakan tempat untuk jam masjid.

Seperti yang dikatakan, pembangunan pertama menara dimulai pada era Dinasti Umayyah. Masjid Jami' Umawi memiliki tiga menara besar yang dipakai untuk mengumandangkan adzan, yang dibangun dari batu dan terletak di bagian utara, barat daya, dan tenggara masjid. Menara Timur. Menara ini dikenal sebagai Menara al-Bayda dan Menara Isa. Sebagian percaya bahwa Nabi Isa as akan turun di menara ini pada akhir zaman.

Menara Utara. Ia dikenal sebagai Menara al-'Arus, karena di masa lalu, pada saat mengadakan upacara pernikahan, masyarakat memasang lampu dan menggantung kain warna-warni dan mereka percaya bahwa ritual ini akan mendatangkan berkah. Dan Menara Barat, ia dikenal sebagai Menara Aqbai.


Fungsi dan Peran Masjid (17)

Pada acara sebelumnya, kami telah menjelaskan tentang kegiatan dakwah Nabi Muhammad Saw yang dipusatkan di masjid, dan kami katakan bahwa pada permulaan Islam, masjid menjadi basis untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahi dan menjelaskan tafsir ayat-ayat al-Quran.

Di masjid, Rasul Saw mengajarkan ilmu fikih, menyampaikan ceramah agama, dan memberikan nasehat kepada umat. Nasehat beliau umumnya tentang takwa, zuhud, bahaya dunia, perkara hawa nafsu, dan ibrah dari umat terdahulu.

Isi khutbah Nabi Saw sangat menarik dan menyita perhatian orang-orang yang hadir di masjid. Ceramah beliau pada umumnya singkat dan berbobot. Catatan tentang khutbah beliau menunjukkan bahwa ceramah Nabi Saw hanya memakan waktu beberapa menit dan singkat. Beliau selalu memperhatikan kondisi jemaah dan hanya memaparkan poin-poin penting, bahkan dalam khutbah Jumat.

Masalah ini menjadi perhatian khusus Rasulullah Saw, di mana ketika seseorang mengadukan kepada beliau, "Aku karena kondisi fisik yang lemah tidak menghadiri shalat jamaah bersama si fulan, sebab ia memperpanjang shalatnya." Dengan nada marah, Rasul naik ke mimbar dan menyampaikan khutbah kepada masyarakat tentang masalah ini.

Menurut para hadirin, belum ada orang yang menyaksikan Rasul Saw marah seperti itu saat berkhutbah. Dalam ucapannya, Rasul berkata kepada hadirin, "Beberapa dari kalian membuat masyarakat menjauh, jika ada yang menjadi imam shalat untuk sebuah kelompok, ia harus mempersingkat shalatnya. Sebab dalam shalat berjamaah, ada orang-orang yang lemah, manula, dan orang-orang yang memiliki urusan."

Kegiatan ceramah dan pengajian Rasulullah Saw di masjid, tidak membuat masyarakat jenuh, tapi mereka justru sangat antusias untuk mengikutinya. Tentu saja, kegiatan ini tidak diadakan setiap hari, karena ceramah yang terus-menerus juga akan membuat para jemaah bosan dan kelelahan. Abdullah bin Mas'ud, salah satu tokoh intelektual pada zaman Nabi Saw mengatakan, "Rasul tidak menyampaikan nasehat setiap hari, untuk menjaga agar kami sebagai pendengar tidak bosan dan lelah."

Jadwal ceramah Nabi Saw terkadang sudah diumumkan kepada masyarakat, sehingga mereka semua bisa hadir di masjid. Dalam kondisi seperti ini, para sahabat akan datang lebih awal dan bersiap untuk mencatat isi khutbah Nabi Saw sehingga mereka tidak akan kehilangan sepatah kata pun dari sabda Nabi Muhammad Saw.

Sebab, para sahabat menyadari bahwa apa yang disampaikan oleh Rasul Saw adalah wahyu dan firman Allah Swt. "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS; An-Najm, ayat 3-4)

Sejak permulaan Islam, kaum perempuan sudah aktif menghadiri kegiatan-kegiatan di masjid. Mereka datang ke masjid untuk shalat dan mendengarkan ceramah Nabi Saw. Jika barisan perempuan tidak bisa menangkap dengan jelas ucapan Nabi karena alasan tertentu, beliau akan mengulangi ucapannya.

Terkadang, atas permintaan kaum perempuan, Rasul Saw menggelar pengajian terpisah untuk menyampaikan nasehat dan perkara agama. Ceramah beliau disertai dengan sesi tanya-jawab, penjelasakan berbagai persoalan dan solusinya, serta penyampaian poin-poin penting tentang perilaku dan masalah etika.

Sejarah Masjid Jami' Umawi di Suriah

Masjid adalah tempat untuk menyembah Allah Swt, menyampaikan dakwah, dan membimbing masyarakat. Pada permulaan Islam, bangunan masjid cukup sederhana dan jauh dari kesan megah. Tapi seiring berjalannya waktu, terutama pada masa Dinasti Umayyah, nuansa spiritualitas di banyak masjid telah terkikis, bangunan masjid semakin megah bak istana, sementara kegiatan pengajian, dakwah, dan bimbingan masyarakat mulai memudar.

Kemewahan seperti ini sudah diprediksi oleh Rasulullah Saw sejak dulu. Beliau bersabda, "Jika iman telah berkurang, masjid akan megah dan indah, tapi tidak terdengar lagi hidayah dan bimbingan di dalamnya."

Masjid Jami' Umawi di Damaskus adalah contoh nyata dari pergeseran ini, di mana ia dijuluki sebagai salah satu dari keajaiban dunia. Masjid ini adalah masjid pertama di dunia yang memiliki bangunan menara secara permanen dan menjadikannya sebagai bagian dari arsitektur masjid. Masjid Umawi juga memiliki empat mihrab yang disebut Mihrab Maliki, Mihrab Hanbali, Mihrab Syafi'i, dan Mihrab Hanafi. Di masjid ini juga terdapat makam kepala Nabi Yahya as, yang dipenggal oleh orang-orang Yahudi.

Buku sejarah, Muntakhab al-Tawarikh menukil dari Zaid bin Waqid, yang mengatakan, "Aku melihat kepala Nabi Yahya bin Zakariya ketika mereka hendak membangun Masjid Dimasyq di Suriah, ketika dikeluarkan dari bawah tiang dari tiang-tiang yang mengarah ke kiblat, yang dekat dengan mihrab di arah Timur. Kulit dan rambutnya masih seperti sedia kala, tidak berubah, seakan-akan baru terbunuh sejam yang lalu."

Selain makam suci kepala Nabi Yahya as, makam-makam nabi lain juga terdapat di Masjid Jami' Umawi, seperti yang disebutkan dalam kitab Muntakhab al-Tawarikh. Makam Nabi Hud as ada di dinding selatan Masjid Umawi dan lokasinya berada di sisi kiri makam kepala Nabi Yahya as, tapi tidak ada petunjuk yang jelas.

Masjid Umawi juga menyaksikan sebuah peristiwa penting yang membuatnya berbeda dengan masjid-masjid lain yaitu; kehadiran Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as dan Sayidah Zainab. Setelah kesyahidan Imam Husein as pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, Imam Sajjad dan Sayidah Zainab serta para anggota keluarganya ditangkap oleh tentara Umayyah. Mereka menggiring tawanan Karbala ke Kufah dan kemudian mengirimnya ke Syam.

Di masjid tersebut, Yazid bin Mu'awiyah menggelar sebuah pesta untuk menyambut tawanan dan salah satu khatib istana diperintahkan naik ke mimbar untuk menyampaikan penghinaan terhadap Imam Ali as dan Imam Husein, serta pujian kepada Muawiyah dan Yazid. Sang khatib juga melaksanakan perintah tuannya.

Imam Sajjad yang duduk di depan mimbar, memprotes isi khutbah tersebut dan berkata, "Celakalah engkau wahai khatib! Engkau telah memilih kepuasan makhluk atas murka Allah! Engkau akan ditempatkan di neraka." Imam Sajjad kemudian berkata kepada Yazid, "Wahai Yazid! Izinkan aku untuk naik ke mimbar dan menyampaikan sesuatu untuk keridhaan Tuhan dan mendatangkan pahala bagi para pendengarnya." Yazid awalnya menolak permintaan Imam. Namun, desakan masyarakat memaksa Yazid untuk mengabulkannya.

Kemudian Imam Sajjad as naik ke mimbar dan setelah memuji Allah Swt, ia menyampaikan sebuah khutbah yang mengguncang pilar-pilar pemerintahan Yazid. Mimbar tersebut masih berada di Masjid Umawi yang dikenal sebagai mimbar Imam Sajjad. Tempat Imam Sajjad yang bisa dipakai untuk shalat juga berada di sebelah timur laut Masjid Umawi dan memiliki mihrab indah yang terbuat dari batu.

Di bagian timur masjid, terdapat sebuah tempat yang dikenal sebagai Ra's al-Husein, di mana telah menjadi tempat ziarah bagi para pengikut Ahlul Bait as. Husein bin Ali dipenggal oleh pasukan Yazid, kepalanya dibawa ke Damaskus dan kemudian dipamerkan dalam peti kaca di Masjid Jami' Umawi oleh Yazid. Kepala tersebut kemudian disatukan kembali dengan jasad Imam Husein di Karbala.

Tentu saja, Masjid Jami' Umawi dengan semua monumen bersejarahnya, tidak luput dari serangan teroris yang menyebabkan kehancuran luas di sana.


Fungsi dan Peran Masjid (18)

Sebelum ini, kami telah menjelaskan tentang kegiatan dakwah Nabi Muhammad Saw yang dipusatkan di masjid. Salah satu dari kegiatan beliau di masjid adalah menyampaikan nasehat dan memberi pencerahan kepada masyarakat. Islam dan al-Quran menyeru manusia kepada iman, yang berlandaskan pada pengetahuan dan makrifat. Jadi, setiap Muslim perlu meningkatkan pengetahuan dan makrifatnya jika ingin mempertebal imannya.

Dalam al-Quran, manusia diajak untuk berpikir tentang tatanan alam semesta dan keajaiban-keajaibannya seperti, sistem tata surya, bintang-bintang, siang dan malam, tumbuhan, hewan, manusia, dan benda-benda lain. Penekanan yang berulang ini mendorong kaum Muslim untuk secara serius mendalami ilmu pengetahuan sehingga bisa meningkatkan kadar keimanannya.

Selain ayat-ayat al-Quran, sirah Rasulullah juga merupakan faktor lain dalam pendekatan ilmiah umat Islam. Beliau mengawali risalahnya dengan perintah membaca dan itu pun di sebuah lingkungan, yang tidak mengenal baca-tulis dan tidak tersentuh oleh pendidikan. Menurut catatan sejarah, jumlah orang terpelajar di Mekkah dan kota-kota di sekitarnya kurang dari 20 orang pada saat kemunculan Islam.

Persoalan ini di samping sabda Nabi Saw tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu seperti, “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang mukmin. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah,” atau "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina," semua ini telah membakar rasa ingin tahu dan semangat kaum Muslim untuk menuntut ilmu. Mereka akhirnya dengan penuh antusias mendatangi tempat-tempat belajar untuk menimba ilmu pengetahuan.

Dorongan untuk menuntut ilmu seperti ini tidak terjadi di pusat-pusat pendidikan besar Yunani atau Persia, tapi di sebuah lingkungan yang tidak pernah menyaksikan aktivitas pusat ilmiah dan pendidikan. Di sisi lain, ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Islam bertujuan untuk mencapai keimanan serta mengejar tujuan-tujuan luhur agama dan masyarakat Muslim.

Dalam situasi seperti ini, masjid adalah tempat terbaik dan paling tepat untuk kegiatan ilmiah dan pendidikan. Sebagaimana sabda Nabi Saw, "Barang siapa yang mendatangi masjidku dan tidak ada niat lain selain menimba ilmu atau mempelajari sesuatu yang lain, maka ia sama seperti seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah."

Kegiatan ilmiah dan budaya ini tentu saja tidak terbatas di masjid Nabi, tapi kegiatan serupa juga dilakukan di masjid-masjid lain seperti, Masjid Quba. Namun, masjid Nabi di kota Madinah dianggap sebagai pusat pendidikan al-Quran dan yurisprudensi yang paling penting pada masa itu. Karena di masjid ini, guru besar umat manusia, Nabi Muhammad Saw, secara pribadi terlibat dalam kegiatan pengajaran dan bimbingan umat Islam.

Di masjid Nabi, kegiatan pendidikan al-Quran dan ilmu fikih dilakukan pada siang dan bahkan malam hari. Selain Rasulullah Saw, pribadi-pribadi lain dari kalangan sahabat – yang memperoleh pendidikan khusus dari nabi – juga terlibat aktif mengajarkan ilmu al-Quran dan fikih kepada kaum Muslim.

Kegiatan ini tentu saja tidak terbatas pada pembacaan al-Quran dan ilmu fikih. Namun, karena semua orang sangat gemar membaca al-Quran dan ingin mempraktekkan hukum-hukum agama dalam keseharian mereka, maka wajar jika perhatian untuk mempelajari al-Quran dan fikih lebih besar daripada ilmu-ilmu lain. Kegiatan ilmiah ini berlangsung selama lebih dari dua abad di semua masjid di dunia Islam, dan tradisi ini mulai memudar setelah munculnya sekolah-sekolah tinggi dan universitas di dunia Islam.

Sejarah Masjid al-Nuqtah dan Masjid al-Aqsab di Suriah

Pada kesempatan ini, kami akan memperkenalkan Masjid al-Nuqtah dan Masjid al-Aqsab, yang masuk dalam barisan masjid-masjid paling populer di Suriah. Masjid al-Nuqtah adalah sebuah masjid yang terletak di Gunung Jawshan di Aleppo, Suriah. Para tawanan Karbala sempat bermalam di tempat ini ketika mereka digiring dari Karbala ke Syam.

Pasukan Yazid meletakkan kepala Imam Husein as di atas sebuah bongkahan batu di Gunung Jawshan. Keesokan harinya, ketika mereka mengangkat kepala suci Imam untuk melanjutkan perjalanan, beberapa tetes darah membasahi batu tersebut. Ketika masyarakat Aleppo mengetahui hal ini, mereka berkumpul di sekitar batu tersebut dan menggelar acara ratapan duka untuk menangisi para syuhada Karbala.

Setelah peristiwa itu, masyarakat Aleppo setiap tahun mendatangi tempat tersebut pada hari Asyura. Mereka menggelar majlis duka dan berdoa bersama untuk mengenang Imam Husein as, cucu baginda Rasulullah Saw. Kegiatan ini terus berlanjut sampai pada masa Walid bin Abdul Malik bin Marwan, dan ia memindahkan batu tersebut ke lokasi yang tidak diketahui, dan sejak itu, keberadaanya tidak diketahui.

Versi lain menyebutkan bahwa Masjid al-Nuqtah adalah bekas rumah Pendeta Qinnasrin. Ia menyaksikan cahaya yang terpancar dari kepala Imam Husein as ke langit. Pendeta Qinnasrin kemudian bertanya kepada pasukan Yazid apakah dia bisa membawa kepala Imam ke rumahnya untuk satu malam dengan imbalan 10.000 dirham. Setelah diizinkan, ia membawa kepala Imam bersamanya dan meletakkannya di atas batu. Keesokan harinya, Pendeta Qinnasrin mengembalikan kepala Imam dan memeluk Islam.

Menurut catatan sejarah, bangunan awal Masjid al-Nuqtah hanya berupa sebuah kubah yang dibangun pada era kekuasaan Umar bin Abdulaziz (awal abad kedua Hijriyah). Kemudian selama periode Saif al-Dawlah Hamdani, penguasa pertama Dinasti Hamdanian, masjid diperluas pada ke-4 Hijriyah dan terus dilakukan pemugaran pada periode-periode berikutnya.

Tempat ziarah ini dipakai sebagai gudang senjata oleh tentara Utsmani selama Perang Dunia I. Di akhir perang, karena serbuan orang-orang ke tempat tersebut, amunisi perang meledak dan menghancurkan bangunan Masjid al-Nuqtah secara total. Setelah kejadian ini, tempat ziarah ini ditinggalkan selama beberapa dekade, sampai direkonstruksi kembali pada tahun 1961-1967.

Masjid al-Nuqtah juga dikenal sebagai Mashadul Hussein, sebuah bangunan besar bersejarah yang seluruhnya terbuat dari batu dan dianggap sebagai arsitektur Islami yang paling penting di kota Aleppo.

Masjid lain yang terkenal di Suriah adalah Masjid al-Aqsab. Masjid ini terletak di Damaskus dan merupakan salah satu tempat bersejarah di Suriah. Di masjid ini, kepala para syuhada Marj Azra yaitu Hujr bin 'Adi dan para sahabatnya dimakamkan. Pada masa remaja, Hujr bin 'Adi bersama saudaranya, Hani bin 'Adi bertemu Rasulullah Saw dan masuk Islam. Dalam penaklukan Syam, dia adalah salah satu penakluk dan dia juga yang menaklukkan Marj Azra.

Hujr bin 'Adi adalah sosok yang saleh dan bertakwa, dan oleh sebab itu ia dipanggil dengan sebutan Hujr al-Khair. Setelah kesyahidan Imam Ali as, para penguasa Bani Umayyah mulai menyiksa dan menyakiti para sahabat Ali atas perintah Muawiyah. Mereka membunuh beberapa tokoh terkemuka dengan alasan yang tidak berdasar dan salah satu dari korbannya adalah Hujr bin 'Adi.

Ketika Muawiyah memerintahkan pemenggalan Hujr bin 'Adi, sahabat Rasulullah Saw ini menyampaikan wasiat agar rantai di kakinya tidak dibuka dan darah dari tubuhnya tidak dibersihkan, karena dengan kondisi itu, ia ingin menuntut Muawiyah di akhirat kelak. Para algojo memenggal kepala Hujr bin 'Adi bersama putranya dan lima orang lainnya. Mereka kemudian dikuburkan di satu liang.

Kepala para syuhada ini kemudian dikuburkan di Masjid al-Aqsab di dekat makam Sayidah Ruqaiyah, putri Imam Husein as. Di koridor Masjid al-Aqsab terdapat sebuah tulisan, "Inilah makam suci tujuh sahabat Nabi Saw." Dan di atasnya terukir ayat 23 surat al-Ahzab, "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)." Nama ketujuh syuhada tersebut juga terpahat pada sebuah batu termasuk nama Hujr bin 'Adi.

Masjid al-Aqsab juga disebut Masjid Manjak setelah Amir Nasr al-Din bin Manjak, membangunnya kembali pada tahun 721 Hijriyah setelah kehancuran total oleh serangan tentara Mongol di Damaskus. Selama krisis Suriah, para teroris Takfiri dilaporkan membongkar makam Hujr bin 'Adi di Damaskus dan mencuri jasadnya. Padahal, setelah kesyahidan Hujr bin 'Adi dan para sahabatnya, jasad mereka dikuburkan di daerah Marj Azra, sementara kepala mereka dibawa ke Masjid al-Aqsab dan dikuburkan di situ.


Fungsi dan Peran Masjid (19)

Sebelumnya, kami telah menjelaskan secara singkat mengenai kegiatan dakwah dan ilmiah Nabi Muhammad Saw di masjid. Dalam berbagai kesempatan, beliau menyampaikan khutbah dan nasehat di tempat suci ini. Khutbah Nabi Saw umumnya tentang prinsip-prinsip pendidikan agama.

Ceramah-ceramah ini tentu saja sesuai dengan taraf pendidikan masyarakat, dan bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan pengetahuan mereka.

Rasulullah Saw sangat memperhatikan masalah pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan dan perjuangan memberantas buta huruf. Begitu tiba di Madinah, beliau meminta orang-orang melek huruf untuk aktif di bidang pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, Abdullah bin Sa'id dan Ubadah bin Samit – dua juru tulis yang hebat – mendirikan sebuah pusat yang mirip dengan pusat literasi pada masa sekarang. Selanjutnya, kaum Muslim mulai belajar membaca dan menulis.

Menarik untuk diketahui bahwa setelah Perang Badr, sesuai dengan peraturan perang, para tawanan dapat membebaskan dirinya dengan menyerahkan 4.000 dinar sebagai fidyah (tebusan untuk membebaskan seorang tahanan atau tawanan perang). Nabi Saw memerintahkan para tawanan yang tidak mampu membayar fidyah, untuk mengajari baca-tulis kepada 10 orang penduduk Madinah dan mereka akan dibebaskan.

Nabi Saw menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan kaum Muslim demi menyebarluaskan kalimat tauhid dan agama Islam. Beliau sendiri duduk di masjid di Madinah untuk mengajari para sahabat. Ubay bin Ka'ab berkisah, "Aku pergi ke masjid Nabi dan menyaksikan seorang pria sedang membaca al-Quran. Aku bertanya siapa yang mengajarimu membaca? Dia menjawab, Rasulullah." Safwan bin Ghassan juga berkata, "Aku datang menemui Rasulullah di masjid dan aku berkata, Wahai Rasulullah, aku datang untuk belajar. Beliau menjawab, "Terpujilah orang yang mencari ilmu."

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kegiatan belajar-mengajar terus berlanjut terutama pengajaran al-Quran dan tafsirnya. Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, dan beberapa sahabat lainnya mengajari tafsir al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya di masjid-masjid di kota Madinah. Mereka adalah ahli tafsir generasi pertama, di mana menafsirkan makna-makna ayat al-Quran dengan menggunakan riwayat dan sunnah Nabi Saw kepada kaum Muslim.

Seiring berjalannya waktu dan penaklukan daerah-daerah lain, kota-kota besar mulai dibangun seperti Kufah dan Basrah di Irak dan Fustat di Mesir. Bangunan yang paling penting di kota-kota baru tersebut adalah masjid jami'. Masjid Jami' adalah masjid yang didirikan di setiap kota untuk kegiatan keagamaan masyarakat dan tempat untuk mendirikan shalat berjamaah, shalat Jumat, dan Idul Fitri dan semisalnya. Itu sebabnya dibangun lebih besar dari masjid-masjid lain. Masjid Kufah, misalnya, pada awal berdirinya, mampu menampung 40.000 orang.

Ilmu agama diajarkan di masjid selama abad pertama dan juga dekade-dekade pertama abad kedua Hijriyah. Sang guru duduk di sebuah sudut masjid dan para siswa mengelilingi dia, dan kemudian memunculkan istilah hauzah ilmiah. Banyak dan sedikitnya jumlah siswa tergantung pada tingkat keilmuan, metode pengajaran, dan akhlak seorang guru.

Jalaluddin as-Suyuthi, seorang ilmuwan besar Muslim asal Mesir, dalam bukunya Al Itqan fi Ulumul Quran menulis, "Abdullah bin Abbas duduk di Masjidil Haram, sementara orang-orang duduk mengitarinya dan ia menafsirkan al-Quran dan mengajari ilmu-ilmu agama." Setiap hari Jumat, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as juga mengajarkan hadis, tafsir al-Quran, dan pelajaran akhlak kepada masyarakat di Masjid Nabawi. Beliau menggunakan masjid sebagai pusat kegiatan ilmiah dan kelas mengajar.

Imam Muhammad al-Baqir as juga mengajar di Masjid Nabawi, sementara para muridnya bertanya kepadanya tentang berbagai persoalan ilmiah. Imam Jakfar Shadiq as juga mengajarkan berbagai disiplin ilmu seperti, yurisprudensi, tafsir al-Quran, dan juga pelajaran-pelajaran lain yang dibutuhkan oleh kaum Muslim. Hauzah ilmiah Imam Shadiq adalah pusat pendidikan yang paling besar dan bergengsi pada zaman itu, di mana memiliki hampir 4.000 murid.

Sejarah Masjid Amru Ash dan Masjid Ibn Tulun di Mesir

Pada kesempatan ini, kami akan memperkenalkan masjid tertua di benua Afrika yaitu Masjid Amru Ash, dan kemudian Masjid Ibn Tulun. Masjid Amru Ash adalah nama sebuah masjid yang dibangun oleh Amru bin Ash tahun 21 Hijriyah di kota Fustat, Mesir. Ia adalah masjid tertua di benua Afrika dan disebut sebagai Taj al-Jawami. Masjid ini merupakan masjid ke-14 yang dibangun dalam Islam. Di antara para ulama yang mengajar dan menyampaikan khutbah di masjid ini adalah Imam Syafi'i, Layth Ibn Sa'd al-Fahmi, Abu Tahir Salafi dan Ibnu Hisyam.

Amru bin Ash menaklukkan Mesir atas perintah khalifah kedua. Sebelum menyerang kota Alexandria, di barat laut Sungai Nil, ia membangun tenda-tenda di pantai timur sungai tersebut. Menurut legenda, kesempatan itu digunakan oleh seekor burung merpati untuk bertelur di atas tenda Amru bin Ash, dan selama ia bertempur, tenda tersebut tidak tersentuh oleh musuh. Setelah kembali dari perang, ia menetapkan lokasi sarang merpati tadi sebagai pusat kota baru dan ibukota Mesir, dan menamakannya dengan Fustat atau kota tenda. Belakangan, Masjid Amru Ash dibangun di tempat bekas sarang merpati tersebut.

Bangunan utama masjid adalah sebuah persegi panjang yang sederhana. Pilar-pilarnya terbuat dari batang pohon kurma, sementara dindingnya dibangun dari batu dan tanah liat, dan atap masjid menggunakan daun kurma. Masjid ini begitu besar sehingga semua tentara Islam di Mesir mendirikan shalat di sana. Tentu saja, Masjid Amru Ash, seperti semua masjid yang dibangun sebelumnya, tidak memiliki menara. Tapi selama era Mu'awiyah, empat menara ditambahkan ke bangunan masjid ini dan diperluas hingga dua kali lipat.

Masjid Amru Ash untuk pertama kalinya pada tahun 853 M, rusak dan dibakar setelah serangan Byzantium. Tapi masyarakat Muslim membangunnya kembali dan memperluas bangunannya. Pemugaran selanjutnya kembali ke Dinasti Ayyubi. Salahudin al-Ayyubi membangun kembali masjid tersebut dari awal. Namun selama Perang Salib, masjid ini dijadikan sebagai gereja dan kembali difungsikan sebagai masjid setelah penaklukkan oleh umat Islam.

Masjid Amru Ash begitu banyak mendapat perhatian dari kalangan pemerintah, dari masa pemerintahan Khulafaul Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Ayubiyyah, Dinasti Mamalik, sampai Dinasti Usmaniyah. Masjid Amru Ash bukan hanya tempat untuk shalat, tetapi juga menjadi pusat pendidikan Islam pertama di benua Afrika.

Masjid lain yang kami perkenalkan pada sesi ini adalah Masjid Ibn Tulun di Kairo. Masjid ini setelah Masjid Amru Ash di Fustat, adalah masjid tertua di Mesir yang masih utuh dalam bentuk aslinya. Sejarawan al-Maqrizi mencantumkan tanggal mulai konstruksi masjid pada tahun 876 M, dan prasasti di masjid tersebut mencatat tanggal penyelesaiannya pada tahun 878 M.

Masjid Ahmad Ibn Tulun, yang populer sebagai Masjid Jami' Ahmad Ibn Tulun, adalah salah satu masjid tertua Mesir yang masih menyimpan tekstur kunonya. Masjid ini dianggap sebagai masjid ke-3 yang dibangun untuk seluruh masyarakat atau untuk kepentingan shalat Jumat. Ia adalah contoh langka dari seni dan arsitektur periode klasik Islam.

Menara masjid ini tersebut adalah satu-satunya menara tua di Mesir, yang berbentuk seperti siput, menyerupai menara besar di masjid Samarra, Irak. Abu al-Abbas Ahmad Ibn Tulun adalah penduduk Samarra. Dia menjadi gubernur Mesir pada masa pemerintahan Mu'taz Billah Abbasi, dan memerintahkan pembangunan masjid jami' di Mesir.

Masjid Ahmad Ibn Tulun dibangun di pinggiran Fustat di atas Jabal Yashkur. Menurut beberapa catatan, dia meminta para arsitek untuk membangun sebuah masjid yang tidak akan hancur oleh kobaran api atau banjir. Dan jika Mesir terbakar atau banjir, masjid itu akan tetap aman. Oleh karena itu, para arsitek menggunakan batu bata merah untuk membangun masjid ini. Mereka menggunakan tiang-tiang batu bata untuk menopang atap dan menaranya.

Di tengah halaman masjid, dibangun sebuah kubah dengan jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, dan kubah ini ditopang oleh 10 tiang marmer. Di atas kubah ini dipasang sebuah jam matahari, sementara di sekitar kubah terdapat ventilasi udara kecil yang terbuat dari kayu. Masjid Ibn Tulun dianggap sebagai salah satu masjid terbesar di Mesir yang seluruh luas permukaannya melebihi 26.318 meter persegi, dan terbuat dari batu bata merah.


Fungsi dan Peran Masjid (20)

Dalam beberapa seri sebelumnya, kita telah mengenal masjid sebagai basis untuk pendidikan agama selama era permulaan Islam. Pada awal-awal pengutusan Nabi Muhammad Saw dan meskipun kondisi sulit di Mekkah, beliau kadang mengumpulkan para sahabatnya di Masjidil Haram dan membacakan al-Quran untuk mereka serta mengajarkan perkara halal-haram dalam agama.

Diskusi ilmiah kadang juga dilakukan dengan para tokoh Quraisy untuk membahas persoalan tauhid dan keesaan Tuhan.

Pusat kegiatan pendidikan dipindahkan ke Masjid Nabawi setelah Nabi Saw hijrah dari Mekkah ke Madinah. Beliau biasanya memberikan ceramah dan diskusi ilmiah setelah shalat subuh atau setelah shalat Isya. Sebagian besar pertemuan itu diisi dengan menafsirkan aya-ayat al-Quran dan menjelaskan tentang maknanya. Selain pertemuan rutin, kelas-kelas pendidikan juga dibuka di Masjid Nabawi.

Mengenai peran penting kegiatan pendidikan ini, Rasulullah Saw bersabda, "Berdiam diri di masjid akan menjadi sia-sia kecuali untuk tiga urusan; membaca al-Quran setelah mengerjakan shalat, menyibukkan diri dengan mengingat Allah Swt, dan mendiskusikan perkara-perkara ilmiah." (Wasail al-Shia, jilid 3)

Masjid adalah tempat di mana kaum Muslim datang untuk menunaikan ajaran-ajaran Ilahi dan mengikuti ritual keagamaan, dan ia tempat terbaik untuk penyebaran makrifat dan hukum-hukum agama. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan dan pengajaran agama dipusatkan di masjid sejak awal permulaan Islam. Terlepas dari sejarah pembangunan masjid, banyak sejarawan percaya bahwa masjid merupakan satu-satunya pusat pendidikan dan budaya di dunia Islam sebelum munculnya madrasah.

Kamar-kamar kemudian dibangun di masjid untuk menampung pelajar dan santri, di mana model dari masjid-masjid seperti ini masih banyak ditemukan di Iran dan negara-negara Muslim lainnya. Karena itu, madrasah dan masjid seringkali identik meskipun ada perbedaan makna leksikalnya. Bahkan setelah madrasah dan sekolah berkembang pesat, masjid masih mempertahankan fungsinya sebagai tempat kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal abad kedelapan, menceritakan tradisi pengajaran hadis di masjid Baghdad dan kehadirannya di kelas tersebut. Pada masa itu, terdapat beberapa madrasah besar di kota Baghdad. Oleh sebab itu, madrasah tersebut kadang disebut masjid atau sebaliknya dan persamaan penyebutan ini biasa terjadi di sepanjang sejarah Islam. Hari ini, masjid juga masih digunakan sebagai madrasah dan pusat pendidikan agama, dan banyak guru dan ustadz menggelar kelas-kelas mereka di masjid.

Sejarah Masjid Al Azhar di Kairo

Masjid yang paling terkenal dan tertua di Kairo adalah Masjid Al Azhar; sebuah masjid dengan kampus di dalamnya. Pembangunan masjid ini kembali ke era Daulah Fatimiyah, salah satu dinasti terbesar di Afrika Utara. Para khalifah Fatimiyah adalah keturunan dari Sayidah Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Saw. Masjid tersebut dinamakan Al Azhar sebagai isyarat kepada az-Zahra, julukan Sayidah Fatimah as.

Di sisi lain, beberapa orang percaya bahwa nama Al Azhar tidak diambil dari gelar putri Rasulullah Saw, namun arti kata Al Azhar sendiri berarti bersinar, bercaya, dan berkilauan, yang menggambarkan sebuah tempat istimewa di antara daerah-daerah lain di Mesir.

Masjid Al Azhar dibangun oleh Panglima Jauhar Assiqilli di Kairo antara tahun 359-361 Hijriyah atau 970-972 Masehi atas perintah Muiz Lidinillah, khalifah keempat dari Dinasti Fathimiyah. Setelah menaklukkan Mesir atas perintah Khalifah Muiz Lidinillah, Panglima Jauhar Assiqilli membangun Masjid al Azhar yang mengarah ke Istana Khalifah. Pada 7 Ramadhan 361 Hijriyah dilangsungkan shalat Jumat untuk pertama kali di mesjid tersebut.

Pada Ramadhan 365 H, Masjid Al Azhar menjadi pusat pendidikan di dunia Islam, dan ketua Mahkamah Agung Ali ibn Nu'man mulai mengajar dari buku "al-Ikhtisar" sebuah buku yang ditulis oleh ayahnya, Abu Hanifah al-Nu'man sebagai referensi hukum Syiah di Al Azhar. Ini adalah kuliah pertama yang diadakan di Al Azhar yang diikuti oleh banyak orang. Pada tahun itu, Ali ibn Nu'man, sesuai dengan perintah Muiz Lidinillah, mulai membentuk kelas-kelas untuk mengajarkan ajaran Syiah.

Masjid Al Azhar awalnya terdiri dari dua bagian; satu teras (halaman) dan satunya lagi bangunan utama. Bangunan masjid juga memiliki dua bagian; bagian pertama disebut Jauhar Assiqilli dengan 76 tiang marmer. Bagian ini digunakan sebagai ruang utama untuk shalat, dan empat barisan pilar telah membagi ruang shalat menjadi lima koridor paralel dengan kiblat. Bagian kedua dari bangunan Masjid Al Azhar adalah sebuah area yang kemudian dibangun oleh Amir Abd al-Rahman Katkhuda dan memiliki 50 tiang marmer dan terletak di belakang mihrab masjid tua.

Pada tahun 400 H, Al-Hakim bi-Amrillah memugar Masjid Al Azhar dan mengalokasikan anggaran yang besar untuk memajukan urusan masjid dan biaya bagi para pelajar. Khalifah ini juga memindahkan buku-buku di perpustakaan Dar al-Hikmah ke perpustakaan Al Azhar.

Masjid Al Azhar yang dikenal hari ini sangat berbeda dengan masjid aslinya. Karena bangunan ini selalu menjadi perhatian para penguasa dan mengalami banyak perubahan dari masa ke masa dan telah jauh dari bentuk aslinya yang sederhana. Para penguasa dan amir, masing-masing dengan selera dan kebutuhan zaman, menghancurkan bagian tertentu dan menambahkan sudut-sudut lain, dan kadang-kadang membangun kembali sebuah ruang baru. Oleh karena itu, Masjid Al Azhar adalah perpaduan dengan mosaik berbagai arsitektur Islam dan Arab.

Selama periode Dinasti Mamalik dan Utsmaniyah, struktur baru seperti menara, makam, tempat wudhu' dan madrasah dibangun menempel dengan dinding luar masjid. Pada tahun 740 H, sebuah sekolah khusus, Madrasa al-Aqbaghawiyya dibangun di sepanjang dinding Masjid Al Azhar di bagian barat laut. Masjid Al Azhar telah menyaksikan berbagai perubahan dan peristiwa dalam berbagai fase usianya. Misalnya, selama periode al-Ayyubiyah, shalat Jumat tidak pernah dilakukan di tempat tersebut selama sekitar 100 tahun.

Pada tahun 702 H, Masjid Al Azhar kembali menjalani perbaikan karena gempa yang mengguncang kota Kairo, dan ini dilakukan oleh pemerintah Mesir waktu itu. Setelah serangan Mongol, Masjid Al Azhar menjadi satu-satunya tempat favorit para peneliti Muslim, dan para ilmuwan mendatangi tempat itu dari berbagai penjuru dunia.

Pada abad ke-8 dan 9 Hijriyah, Al Azhar menikmati puncak kemuliaan dan kejayaannya, dan di samping ilmu-ilmu agama, disiplin ilmu lain seperti kedokteran, matematika, sejarah, geografi, dan astronomi juga diajarkan di sana. Al Azhar telah menampung banyak tokoh hebat yang telah lama belajar dan lulus dari tempat ini. Di antara ilmuwan dan pemikir lulusan Al Azhar adalah Ibn Khaldun, Al-Maqrizi, Asqalani, Al-Suyuthi, dan Abdul Latif Al-Bagdadi, dan di era modern, Al Azhar juga telah melahirkan para tokoh besar seperti, Saad Zaghloul, Muhammad Abduh, dan Taha Hussein.

Al Azhar dibangun oleh para khalifah Fatimiyah yang bermazhab Syiah dan diharapkan menciptakan sebuah sistem ideologis yang kuat dari pemimpin, petani, dan lapisan bawah masyarakat untuk mengkonsolidasikan basis sosial pemerintah Fatimiyah. Pergeseran terjadi setelah Salahudin al-Ayyubi berkuasa di Mesir dan berlanjutnya Dinasti Ayyubiyah yang bermazhab Sunni, dan mazhab resminya berubah dari Syiah Ismailiyah menjadi Sunni Syafi'i.

Saat ini, Universitas Al Azhar adalah satu-satunya hauzah ilmiah di Mesir yang aktif mendidik para pelajar agama dan mahasiswa. Para ulama mengeluarkan maklumat untuk menjawab berbagai permasalahan yang ditanyakan kepada mereka dari seluruh dunia Islam Sunni. Pusat pendidikan ini juga terlibat dalam beberapa spesialisasi seni seperti, Qira'at al-Qur'an, kaligrafi, syair, dan lain-lain.


Daftar Isi :

Fungsi dan Peran Masjid 1

Fungsi dan Peran Masjid (11) 2

Sejarah Masjid Sahlah di Kufah 4

Fungsi dan Peran Masjid (12) 7

Sejarah Masjid al-Khaif di Mina 9

Fungsi dan Peran Masjid (13) 13

Shalat Jumat 14

Keutamaan Masjid Syajarah di kota Mekkah 16

Fungsi dan Peran Masjid (14) 19

Sejarah Pembangunan Masjid Sab'ah di Madinah 21

Fungsi dan Peran Masjid (15) 24

Sejarah Masjid Buratsa di Baghdad 27

Fungsi dan Peran Masjid (16) 29

Sejarah Masjid Jami' Umawi di Suriah 31

Fungsi dan Peran Masjid (17) 35

Sejarah Masjid Jami' Umawi di Suriah 37

Fungsi dan Peran Masjid (18) 40

Sejarah Masjid al-Nuqtah dan Masjid al-Aqsab di Suriah 42

Fungsi dan Peran Masjid (19) 46

Sejarah Masjid Amru Ash dan Masjid Ibn Tulun di Mesir 48

Fungsi dan Peran Masjid (20) 52

Sejarah Masjid Al Azhar di Kairo 53