SURAH AL-GHASYIYAH



بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah ini dibagi ke dalam dua bagian. Pertama tentang Hari Kebangkitan, dunia berikutnya, surga dan neraka. Kedua, tentang pesan tauhid yang dalam dan meliputi semua yang diberikan kepada kita agar kita merenungkan apa yang terdekat kepada kita dalam penciptaan sehingga kita bisa melihat kesempurnaan dan keesaannya.

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

1. Belum datangkah kepadamu kabar tentang peristiwa yang melingkupi?

Hadits (hadis), yang berasal dari akar kata hadatsa (menjadi baru, terjadi, muncul) adalah suatu peristiwa. Haddatsa, bentuk akar kata kerja kedua, juga berarti 'menceritakan, memberitahukan'. Dengan demikian, hadis juga merupakan narasi tentang suatu peristiwa atau tradisi.

Ghâsyiyah berasal dari ghasyiya (menutup, seperti dengan kulit atau seperai, melingkupi). Hari Kebangkitan juga disebut al-ghasyiyah karena ia menutupi segala sesuatu di bawah kekuasaannya. Pada hari itu segala sesuatu dalam penciptaan akan disentakkan dan diguncangkan, dan manusia akan jatuh pingsan karena dahsyatnya bencana alam. Sebenarnya, dalam bahasa Arab kata untuk 'jatuh pingsan' adalah ghusyiya 'alayhi yakni bentuk pasif dari kata kerja yang sama. Ghasyiya bitashah berarti 'ia memukul dengan tongkat', yang berarti bahwa ketika seseorang dipukul maka ia dikuasai oleh rasa sakit. Sama halnya, permulaan Hari Kebangkitan dan kesadaran baru yang menyeitai keadaan itu akan menutupi dan menguasai keadaan lainnya.

Di sini kita ditanya, seakan-akan dengan cara mengingatkan, apakah kita telah menerima kabar tentang peristiwa yang melingkupi semua, menutupi semua yang meliputi, dan mengenai segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya. Ketika ghasyiyah itu terjadi, hal-hal yang kita ketahui sebagai kehidupan semuanya akan berakhir.

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ

2. Pada hari itu wajah-wajah akan menunduk.

Kata 'wajah-wajah' di sini menunjuk kepada wajah mereka yang tidak siap menghadapi peristiwa. Khasyyah berarti 'sedih, bersahaja, rendah', menunjuk kepada wajah-wajah mereka yang perbuatan dan niatnya tidak sejalan.

Wajah merupakan titik persentuhan dan kontak pertama antara kita dengan dunia lahiriah. la mengandung organ pendengaran, penglihatan dan perasa, dan aspek lahiriahnya merupakan refleksi dari keadaan batin. Sehingga, permukaan luar, kulit, akan mengungkapkan dan memperlihatkan hal yang terkandung di sebelah dalamnya. Kita telah melihat manusia muncul di tengah para pecinta Allah dengan wajah-wajah yang muram, tapi setelah sejenak dalam rombongan yang diterangi cahaya itu, wajah mereka berubah menjadi gembira, yang merefleksikan gejala lahir dari keadaan batin mereka. Mereka menemukan bahwa apa yang menggema dalam hati mereka tentang Realitas adalah nyata; mereka tak lagi merasa terisolir dan mereka mendapat konfirmasi. Oleh karena itu, mereka santai dan wajah mereka menunjukkan hal itu.

عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ

3. Bekerja keras, membanting tulang,

'Amilah berarti 'berkeja keras, membanting tulang, mengerjakan'. Nâshibah berasal dari akar kata nashaba, yang berarti 'menempatkan, menetapkan, menegakkan, menimpai'. Ia juga berarti 'menyulitkan, menjemukan, meletihkan'. Nâshibah digunakan di sini karena pada Hari itu orang-orang yang digelandang ke neraka oleh segala perbuatan masa lalunya akan sia-sialah usaha mereka membersihkan diri, karena mereka tidak akan lagi berada di tempat untuk beramal. Nushb, dari akar yang sama, adalah 'berhala'. Penyembahan berhala itu meletihkan karena tidak membawa kepada kepuasan. Nashshab berarti 'penipuan, orang yang membohongi, orang yang menyimpang dari kebenaran' karena penyembahan berhala merupakan penipuan tentang Tuhan. Orang-orang yang rugi pada Yawm al-Qiyamah (Hari Pengadilan) akan berada dalam kekacauan dan pergolakan karena mereka mulai merasakan ganjaran terakhir atas pelanggaran mereka.

تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

4. Masuk ke dalam neraka yang panas.

Mereka akan disiksa, dibakar (shala, memanggang, membakar) dalam kekacauan dan pergolakan yang tiada henti. Gambaran tentang neraka merupakan analogi atau kiasan untuk manusia, yang hanya dapat memahami neraka menurut imajinasi dunia fisik. Gambaran-gambaran ini berasal dari kesadaran yang berada di luar pengalaman sehari-hari kita, tapi pengungkapannya menggunakan bahasa kita sehari-hari agar kita dapat memahaminya. Bagaimana kita dapat menggambarkan dunia luar kepada orang yang selama hidupnya tinggal di dalam gua? Kita berada dalam gua, mendengarkan gambaran tentang eksistensi lain, kesadaran lain, yang paling banter hanya merupakan bayangan dari realitas.

تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ

5. Diberi minum dari sumber air yang mendidih.

Sekali lagi kita harus membayangkan kultur bangsa Arab gurun pasir dan kelangkaan air yang terus-menerus. Sepanjang beberapa ratus mil mungkin hanya ada satu oasis kecil, satu sumber air. Makanan jarang tersedia, dan sumber utamanya adalah mata air.

Minuman yang mendidih tidak dapat memuaskan rasa haus seseorang dan hanya menambah pergolakan. Dalam setiap hal manusia adalah pencari ketenangan, makanan dan stabilitas, tapi pada hari itu sebagian orang akan disingkirkan dari semua kesenangan ini.

لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِن ضَرِيعٍ

6. Mereka tidak akan mendapat makanan selain duri,

Dhar’ (tanaman berduri) berasal dari akar kata dhara'a, yang berarti 'bersikap rendah hati, berkhidmat, terhina, rendah diri'. Dhar’ juga merupakan nama tanaman yang tumbuh di neraka. Ketika Nabi saw. ditanya, 'Apa itu dhari’?, beliau menjawab, 'Ia adalah tanaman berduri yang rasanya paling pahit, bau tengik dan tak berguna.' Saking berdurinya sebagian tanaman gurun pasir sampai unta-unta pun tidak memakannya. Dhari mendatangkan kekacauan dan kesulitan yang tidak perlu, dan tidak bisa dimakan. Inilah makna dari pergolakan; tanaman tersebut tidak cocok untuk negeri akhirat karena tidak lolos uji loyalitas kepada Sang Pencipta, yang menjadi tujuan diciptakannya manusia dalam kehidupan ini.

لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِي مِن جُوعٍ

7. Yang tak akan menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.

Tumbuhan seperti itu bagaimana pun tidak dapat mengenyangkan atau memberi seseorang makanan yang dibutuhkan. Maka seseorang tetap berada dalam pergolakan yang membakar. Orang yang merugi dalam kehidupan ini telah menghabiskan modalnya tanpa mengisinya lagi. Karena ia tidak melakukan investasi yang nyata dalam kehidupan ini, ia akan berada dalam neraka yang bergolak di kehidupan mendatang. Orang kafir tiba pada hari itu tanpa memiliki sumberdaya karena ia tidak menghabiskan waktunya untuk mencari pengetahuan Allah. Ia telah menghambur-hamburkan semua yang dimilikinya, dan dalam kehidupan selanjutnya ia akan mengalami kebangkrutan yang disebabkannya sendiri dalam kehidupan ini.

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ

8. Pada bari itu wajah-wajah (lain) akan berseri-seri,

Sekarang digambarkan wajah-wajah mereka yang telah menyatukan aspek lahir dan aspek batinnya di jalan keselamatan. Na'imah berasal dari akar nctima, yang berarti 'menikmati kesenangan dan kenyamanan hidup, bersenang-senang', dan menunjukkan kemudahan dan ketenteraman. Wajah-wajah mereka mencerminkan tiadanya kerisauan.

لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ

9. Merasa puas karena perjuangan mereka,

Mereka akan kembali kepada Tuhan mereka dengan senang dan puas. Semasa hidup di dunia mereka berkeyakinan bahwa kehidupan mendatang benar-benar ada dan bahwa untuk setiap perbuatan ada ganjaran yang setimpal. Ketika mati mereka akan menjalaninya dengan ikhlas berkat upaya dan kerja keras mereka di dunia ini. Keikhlasan mereka, keridhaan mereka, akan terungkap sendiri pada wajah-wajah mereka.

فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ

10. Dalam sebuah taman yang tinggi.

'Aliyah berasal dari kata 'ala, yang berarti 'menjadi tinggi, naik, mulia atau agung'. Keadaan surga dilukiskan dalam Alquran memiliki ketinggian yang berbeda-beda, sebagaimana neraka yang memiliki derajat berbeda-beda.

Kita ambil contoh orang yang bertakwa, yang selalu hidup dengan benar menurut syariat, yang bekerja sebaik-baiknya dalam kehidupan ini, namun mati dengan berbagai keinginan yang tak terpenuhi. Itu memang keinginan-keinginan yang sah, dan dapat diterima secara syariat, namun walau demikian, ia mati dalam keadaan tidak puas. Bagaimana ia akan mencapai kesucian? Yang dilakukan Tuhan adalah menciptakan suatu tahapan surga yang dapat memuaskan dan menetralisir segala keinginannya yang tidak terpenuhi sehingga ia bisa bergerak melampaui ke-adaannya. Dalam alam kesadaran mendatang segala ke-inginannya akan tercapai, dan ia akan terus bergerak menuju ketiadaan keinginan, menuju keadaan mutlak, 'surga yang tinggi', keadaan yang melampaui keinginan.

لَّا تَسْمَعُ فِيهَا لَاغِيَةً

11. Di sana engkau tidak akan mendengar pembicaraan yang sia-sia.

Laghiyah, diterjemahkan di sini sebagai 'pembicaraan yang sia-sia', berasal dari kata lagha, yang berarti 'berbicara tanpa isi, bercakap omong kosong'. Laghw dari lagha berarti 'omong kosong'. Jika kita menyadari ketidak-berperasaan kita, berarti kita mengetahui perasaan kita. Lughah berarti 'bahasa', yang tentu saja merupakan alat untuk mengkomunikasikan maksud dan perasaan. Akhirnya, tidak ada yang akan dikatakan. Jika pun ada maka itulah kalimat "La ilaha illallah, Muhammad rasul Allah" (Tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad adalah Rasul Allah). Algha syay’a berarti 'meniadakan atau membatalkan sesuatu'. Segala hasrat dapat dibatalkan. Jika seseorang menginginkan sesuatu yang diberikan kepadanya, kemudian hasrat itu dibatalkan oleh pemenuhannya dan hasrat baru muncul. Hasrat baru ini biasanya selalu dipegang lebih kuat sampai sifat dari hasrat dan nafs-nya dipahami.

Taman yang tinggi menunjukkan pemenuhan yang permanen. Dalam Taman itu tidak ada sesuatu yang tidak dapat kita percaya; hasrat tidak dapal kita percaya karena selalu berubah sepanjang waktu. Dengan demikian di dalam taman-taman yang paling tinggi itu tidak akan ada hasrat karena semuanya telah dinetralisir.

فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ

12. Di dalamnya terdapat mata air yang memancar.

Di surga yang tinggi itu ada mata air yang memancar, yang menunjukkan bahwa ia berada dekat Sumber mata air yang memancarkan pengetahuan.

فِيهَا سُرُرٌ مَّرْفُوعَةٌ

13. Di dalamnya ada singgasana yang ditinggikan,

وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوعَةٌ

14. Dan gelas minuman yang siap di tempat,

Setiap kesenangan dan perlengkapan tersedia, dan setiap hasrat terpenuhi. Semua kebutuhan lahiriah telah diurus, kerinduan terhadap kesadaran lahiriah dan apa pun hasrat yang kita miliki telah terpuaskan—cangkir kepuasan telah mengenyangkan kita. Dalam kesenangan mutlak ini tidak ada hasrat yang muncul.

وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ

15. Dan bantal-batal yang berderet,

Mashfufah berasal dari kata shaffa (mengatur, menyusun secara berderet). Di sini ia menunjukkan keteraturan; segala sesuatu mengikuti urutannya yang berimbang.

وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ

16. Dan permadani dibentangkan.

Mabtsutsah berasal dari kata batstsa, artinya 'mengedarkan, menggelar, membentangkan'. Beraneka ragam karpet dan permadani digelar di sekeliling taman di mana kelompok-kelompok orang dalam berbagai kesentosaan dan kesenangan yang indah dapat berbaring.

Ayat-ayat sebelumnya menggambarkan apa yang terjadi pada orang-orang yang rugi dan para muqarrabun (orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Bagian kedua dari surah ini merupakan pesan kepada orang-orang Quraisy gurun pasir, kaum Nabi Muhammad saw. Pesan ini dimaksudkan untuk mempertajam kapasitas perenungan mereka. Tafakur mereka tentang wahyu dan tanda-tanda di sekeliling mereka yang diciptakan oleh Tuhan akan membawa mereka kepada pengetahuan tentang Pencipta yang Mahaagung.

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ

17. Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana mereka diciptakan?

Pesan ini akan jelas dipahami oleh mereka yang memperhatikan penciptaan dan merenungkannya. Pesan tersebut diberikan kepada orang-orang yang jalur hidupnya, eksistensinya, bergantung pada unta. Ibil (unta-unta) adalah kata benda kolektif. Kehidupan pada saat itu berkutat di sekitar unta, dan kenyataannya banyak kata dalam bahasa Arab, khususnya bahasa yang lazim pada saat itu, diasosiasikan dengan kehidupan dan kebiasaan unta.

Umpamanya, salah satu arti faqib (orang yang ahli dalam ilmu syariat), yang berasal dari kata faqiha (memahami, menguasai), adalah orang yang menguasai benar tentang unta. Faqih dapat mengamati seekor unta betina dan menaksir berapa lama lagi usia kandungannya, dengan melihat apa yang tidak terlihat orang lain di bagian dalamnya, lalu menghubungkannya dengan bagian luar. Faqih dibayar sebagai konsultan sebelum unta dibeli. Zaman sekarang faqih adalah orang yang menerjemahkan persoalan batin menjadi lahir, ahli syariat yang memberitahu orang lain tentang bagaimana berperilaku benar.

'Aql adalah contoh lain dari kata yang mencerminkan pengaruh unta pada bahasa Arab. Akar kata kerja ‘aqala berarti 'mengurung, menahan, mengikat kaki unta' dengan liqal, yakni tali yang digunakan untiik mengunci kaki unta agar tidak bisa melarikan diri tapi akan tetap jinak. Zaman sekarang tiqal digunakan untuk mengikat kufiyyah (kain penutup kepala orang Arab). ‘Aqala tidak hanya berarti 'mengurung' tapi juga 'rasional, cerdas, memiliki kemampuan untuk membedakan'. Melalui penahanan diri, akal kita dapat berfungsi lebih baik.

Ayat ini menyuruh kita untuk merenungkan hewan yang menakjubkan ini di mana kehidupan gurun pasir tergantung padanya, untuk mengamati kemampuan beradaptasinya, untuk mengetahui bagaimana ia mengagungkan Penciptanya dan benar-benar berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana ia menyimpan air, bagaimana ia berjalan berminggu-minggu tanpa makan dan minum, untuk melihat kesabarannya, adaptasi kakinya dengan perjalanan gumn pasir, dan untuk melihat bagaimana ia memikul ponoknya tinggi-tinggi tempat ia menyimpan persediaan tenaganya. Setiap aspek dari unta adalah berguna dan selaras dengan lingkungannya; Sesungguhnya ia berada dalam keadaan beribadah dan menerima alamnya.

Jika kita tidak merenungkan hal yang terdekat kepada kita dan melihatnya sebagai bagian dari kesempurnaan total alam semesta, lantas bagaimana kita dapat berbicara tentang kesempurnaan secara teoritis?

وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ

18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?

Tidakkah mereka melihat langit dan menyaksikan kemanunggalan langit dan bumi dalam keterpisahannya? Tidakkah mereka melihat langit bagian dalam dan mengerti bahwa batin manusia tetap merindukan kemuliaan, merindukan nilai-nilai luhur, merindukan kehidupan yang lebih baik? Tidakkah mereka melihat bagaimana segala sesuatu membelok ke arah Yang Mahatinggi, Yang Senantiasa Agung?

وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ

19. Dan gunung-gunung, bagaimana mereka ditegakkan?

Tidakkah mereka menyaksikan bagaimana gunung-gunung berlabuh di atas bumi? Tidakkah mereka melihat pada hati mereka sendiri? Hati adalah gunungnya orang yang bertakwa kepada Allah, dan tentu berpengetahuan; ia tak tergoyahkan, tak terbelokkan arahnya.

وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

20. Dan bumi, bagaimana ia dibentangkan?

Suthihat dari kata sathaha, yang berarti 'membentangkan, membuka gulungan, menjadikan rata'. Tidakkah mereka melihat bagaimana bumi dimudahkan dan disediakan bagi mereka? Tidakkah mereka berpikir? Berpikir dan merenung adalah langkah awal menuju pengetahuan tentang bumi. Manusia zaman dulu mulai dengan memikirkan tentang hubungan kausal. la melihat dedaunan yang bergemerisik dan disusul dengan turunnya hujan; ia mengira gemerisiknya suara dedaunan menyebabkan turunnya hujan. Lalu ia menemukan ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Alasan para ilmuwan saat ini mencari perlindungan dalam ilmunya adalah karena mereka sedang mencari sebagian kecil dari tauhid atau kesalingterkaitan ini. Maka kita mulai dengan apa yang terdekat dengan kita dalam penciptaan, dan kita melihat keseimbangannya yang indah sekali, bersifat ekologis, dan tak dapat dijelaskan. Segala sesuatu yang diciptakan telah dibuat untuk memenuhi tujuannya. Daratan cenderung datar, gunung-gunung cenderung tidak datar, dan awan menjadi bagian dari siklus air. Setiap aspek penciptaan itu sendiri memang sempurna dan sekalipun begitu potongan-potongan yang banyak sekali jumlahnya tersebut cocok satu sama lain dalam alam semesta yang menyeluruh.

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ

21. Maka, berilah peringatan, karena engkau hanyalah pemberi peringatan.

Berilah peringatan! Kembalikan ingatannya! Dzakkir berasal dari kata dzakkara, artinya 'mengingatkan, menegur'. Ingatkan mereka bahwa mereka berasal dari Allah. Ingatkan mereka dari mana mereka sebelumnya. Mereka disembunyikan oleh Allah di alam gaib. Sekarang kita masing-masing berada di alam nyata, tapi akan dikembalikan ke alam gaib, dan pada saat itu kita akan melihat.

Mengingatkan berarti meminta perhatian terhadap apa yang telah kita ketahui. Pengetahuan sudah ada dalam fitrah (sifat bawaan), dalam hati. Nabi saw. hanyalah pemberi peringatan, beliau di sini hanya untuk merefleksikan dan menggemakan kebenaran setiap orang.

لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ

22. Engkau bukanlah penjaga atas mereka.

Nabi tidak berkuasa atas siapa pun. Beliau tidak dapat menanamkan iman (keyakinan, kepercayaan) ke dalam hati mereka. Bahkan nabi Luth mempunyai seorang istri yang tidak bisa ditolongnya. Kita akan mengetahui—kita yang mempunyai orangtua, teman dan istri—bahwa ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa bagi mereka. Nabi tidak bertanggung jawab atas hasilnya. Beliau adalah seorang pemberi peringatan tentang kebenaran yang ada pada diri manusia.

إِلَّا مَن تَوَلَّى وَكَفَرَ

23. Tetapi barangsiapa berpaling dan kafir

Bagaimana dengan orang yang berpaling? Luth berkata, "Aku memperingatkan mereka pada malam hari, aku memperingatkan mereka sepanjang siang hari, aku memperingatkan mereka secara diam-diam, aku memperingatkan mereka secara terbuka, tapi semuanya sia-sia." Luth memikirkan setiap keadaan dan situasi yang mungkin; ia mencoba memberikan setiap tanda bahasa yang mungkin, dan ternyata tidak berhasil. Maka akhirnya ia berkata, "Tidak apalah; orang yang telah mengambil keimanan sebagai jalannya maka ia selamat, dan keselamatannya sesuai dengan kedalaman imannya, dan itu sesuai dengan kepastiannya. Adapun yang lain, mereka mondar-mandir dalam kerugian."

فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ

24. Allah akan menghukum mereka dengan azab yang terbesar.

Orang yang berpaling dan mengingkari kebenaran maka ia sudah berada dalam penderitaan dan siksaan yang pedih, dalam azab yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri, dan akhirnya ia akan mencapai 'adzab al-akbar (azab yang terbesar).

إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ

25. Sesungguhnya, kepada Kami kembalinya mereka.

Tempat istirahat terakhir adalah bersama dengan Tuhan mereka dan mereka akan kembali ke sana.

ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ

26. Lalu tentu saja pada Kamilah perhitungan mereka.

Perhitungan terakhir akan terdiri dari apa yang telah terakumulasi di sini dalam kehidupan ini. Mereka tidak ingin melihat neraca rugi-laba sekarang, sehingga mereka akan menikmati akibatnya di kehidupan mendatang.

Dalam surah ini ada deskripsi tentang permulaan jalan kesadaran ini. Ketika kita melihat pada apa yang terdekat dengan kita maka kita menemukan bahwa dalam segala sesuatu ada sebuah tanda (âyah), ada suatu komunikasi. Kita dapat memahami hal yang paling penting bagi kita sebagai sebuah tanda, apakah itu kesulitan kita, kekacauan kita, atau kesenangan kita. Kita harus mulai dengan yang terdekat kepada kita, mempertanyakannya, dan merenungkannya.

Setelah kita melihat apa yang terdekat kepada kita, maka hendaknya kita melihat pada yang agak lebih jauh—angkasa, langit—dan kemudian melihat apa yang di luar angkasa dan langit bagian dalam. Kemudian hendaknya kita melihat pada gunung-gunung, pada apa yang memegang teguh mereka, pada apa mengokohkan kokoh, dan kemudian kembali ke bumi. Maka sanggupkah kita mengingat kembali bahwa kita berasal dari Tuhan, bahwa kita tidak berkuasa atas apa pun? Keadaan tertinggi yang dapat kita capai pada permulaan kesadaran adalah syahadah (penyaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Mu-hammad adalah Rasul-Nya). Syahadah tidak bisa datang kalau kita tidak berpikir, dan kemudian kita akan tahu bahwa ada hisab (perhitungan), ada hasil, dan kita masing-masing mempunyai catatan sendiri.[]