Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sayidah Fathimah dalam Ucapan Amirul Mukmini

0 Pendapat 00.0 / 5

Hari ini Kamis 3 Jumadi Tsani 1435 HQ, bertepatan dengan 3 April 2014 M dan di Iran tepat tanggal 14 Farvardin 1393 HS, merupakan hari peringatan syahadah Sayidah Fatimah az-Zahra as, putri Nabi Muhammad Saw. Pada tanggal 3 Jumadi Tasni tahun 11 Hijriyah Sayidah Fatimah az-Zahra as mencapai syahadah menyusul ayahnya (kurang dari tiga bulan setelah wafat Rasulullah Saw)

 

Kemarin-kemarin pikiran ini sibuk bertanya-tanya dan mencari jalan bagaimana caranya mengisi hari haul syahadah putri Rasulullah dengan penuh spiritual.

 

Adalah karunia Allah dan perhatian Ibu para imam maksum, di pagi hari Kamis terdorong untuk membuka kembali gambar-gambar seorang talabeh muda syahid amar makruf dan nahi mungkar Ali Khalili, setelah menyaksikan di atas meja dan kaca cermin terpampang poster syahid ini. Syahid Ali Khalili mengantarkan pikiran ini untuk kembali merenungi kondisi putri Rasulullah yang hari ini adalah haul syahadahnya.

 

Pikiran dan hati ini menyambung-nyambung bahwa syahid ini meneguk cawan syahadahnya setelah selama dua tahunan menahan rasa sakit luka yang dideritanya di bagian pembuluh darah lehernya yang juga mengena pita suaranya. Akibat bacokan para berandalan yang ditegurnya ketika memaksa dua wanita untuk masuk di mobil mereka. Putri Rasulullah, istri Imam Ali, ibu para imam maksum as juga hari ini mencapai syahadahnya dengan menahan luka dibagian pinggangnya ditambah pula gugurnya janin yang dikandungnya yang diberinya nama Mohsen.

 

Dada siapa yang tidak sesak? Hati siapa yang tidak sakit? Mata siapa yang tidak meneteskan air mata? Tenggorokan siapa yang tidak tersendat? Ketika merenungi keteraniayaan Sayidah Fatimah az-Zahra as penghulu wanita seluruh alam.  Sementara Ayah beliau adalah Nabinya, Rasulnya, pembimbingnya dalam mencapai tauhid dan makrifatullah dan mengatakan, "Man Ahabba Faatimata Ibnatii Fahuwa Filjannati Ma'ii Wa Man Abghadhaha fahuwa Finnaar... Barang siapa yang mencintai Fatimah putriku, maka ia akan berada di surga bersamaku dan barang siapa yang membuatnya marah, maka ia berada di neraka. (Biharul Anwar, jilid 27, hal 116)

 

 "Fa Faatimatu Hauraa'un Insiyyatun Wa Kullam Istaqtu Illa Raaihatil Jannati Syamamtu Raaihata Ibnatii Faatimata Alaihassalaam... Fatimah adalah haura berupa manusia dan ketika aku merindukan aroma surga, maka aku mencium bau putriku Fatimah as." (at-Tauhid, Syeikh Shaduq, hal 117)

 

Haul syahadah Putri Rasulullah Saw bisa menjadi ajang untuk mengenalnya lebih jauh bagaimana beliau memiliki kepribadian terutama sebagai istri dan ibu rumah tangga dan ini bisa kita jadikan pegangan dalam hidup kita.

 

Jalan terbaik untuk mengenal seorang istri adalah melalui suaminya. Karena suami lebih tahu dan kenal siapa istrinya. Kali ini mari kita mengenal kepribadian Sayidah Fatimah as terkait posisinya sebagai istri dan ibu rumah tangga melalui suaminya, Imam Ali as.

 

Sayidah Fatimah az-Zahra adalah penghulu para wanita seluruh alam, dari awal sampai akhir. (Kafi, jilid 1, hal 195) Bila setiap wanita mau mengenal gaya hidup Sayidah Fatimah as dan menjadikannya sebagai teladan dalam kehidupannya sehari-hari, maka kehidupan mereka akan menjadi indah. Bila sebagian wanita mengklaim dirinya memiliki kepribadian dan kedudukan yang tinggi sehingga enggan melakukan pekerjaan rumah dan menganggapnya sebagai perkara yang hina, itu karena menganggap pekerjaan itu hal yang hina dan berkhayal memiliki kepribadian semu dalam dirinya.

 

Dalam urusan pekerjaan rumah Imam Ali as mengisyaratkan bahwa ada bekas tali di lehernya dan tangannya ngapal karena mengangkat air dan  karena menyalakan api untuk memasak,  warna bajunya pudar karena terkena panasnya api. (Shahih Ibnu Daud, jilid 2, hal 29)

 

Bila Imam Ali as berkata, "Jihad seorang wanita adalah melayani suami dengan baik." (al-Khishal, jilid 2, hal 620)  Pada saat yang sama Sayidah Fatimah adalah istri yang baik dan taat. Beliau melayani suaminya dengan sebaik-baiknya sehingga Imam Ali as merasakan semua kesedihannya hilang saat melihat Sayidah Fatimah as.

 

Imam Ali as berkata, "Demi Allah dia tidak pernah membuatku marah dan tidak pernah menolak perintahku sama sekali. Kapan saja aku melihat Fatimah, maka hilanglah semua kesedihanku. " (Biharul Anwar, jilid 43, hal 134)

 

Pada permulaan malam setelah pernikahan Imam Ali dan Sayidah Fatimah, Rasulullah Saw membagi pekerjaan untuk mereka berdua, pekerjaan dalam rumah adalah urusan Sayidah Fatimah sedangkan pekerjaan di luar rumah adalah urusan Imam Ali as.

 

Setelah pembagian itu Sayidah Fatimah as berkata, "Hanya Allah yang tahu betapa gembiranya aku akan pembagian kerja ini. Karena Rasulullah Saw telah menghalangi aku dari  melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan lelaki." (Biharul Anwar, jilid 43, hal 81)

 

Sayidah Fatimah as bukan saja pendamping hidup bagi suaminya dalam urusan duniawi, tapi beliau juga kawan dalam urusan spiritual. Ketika Imam Ali as ditanya Rasulullah Saw, bagaimana engkau menilai Fatimah? Imam Ali as menjawab, "Ni'mal ‘Auni ‘Alaa Thaa'atillah... Ia adalah sebaik-baiknya penolong dalam ketaatan kepada Allah." (Biharul Anwar, jilid 43, hal 117)

 

Sayidah Fatimah adalah istri yang tidak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan suaminya. Dalam hal ini beliau berkata kepada Imam Ali as, "Aku malu kepada Tuhanku bila aku meminta sesuatu kepadamu sementara engkau tidak mampu memenuhinya." (Amali Syeikh Thusi, jilid 2, hal 228)

 

Imam Ali dan Sayidah Fatimah as adalah pasangan yang tiada duanya. Rasulullah Saw terkait masalah ini bersabda, "Bila Allah tidak menciptakan Ali maka Fatimah tidak memiliki pasangan yang sekufu baginya." (Yanabi'ul Mawaddah, hal 177 dan 237)

 

Syahadah Sayidah Fatimah az-Zahra bagi Imam Ali as adalah sebuah pukulan yang berat. Seorang lelaki yang terkenal keberanian dan kesabarannya. Sehingga dalam ziarahnya disebut sebagai "Ashbarus Shaabirin" paling sabarnya orang yang sabar. Satu-satunya orang yang mendapat gelar ini adalah Imam Ali. Mengapa? Dalam khutbah ketiga beliu dalam Nahjul Balaghah mengatakan, "Aku bersabar pada saat di mataku seakan-akan ada duri dan di tenggorokanku ada tulang." Namun di hadapan musibah syahadah Sayidah Fatimah beliau menyatakan telah habis kesabarannya dan mengadu kepada Rasulullah Saw seraya berkata, "Qalla Ya Rasulallah, ‘An Shafiyyatika Shabrii Wa Raqqa ‘Anhaa Tajalludi... Wahai Rasulullah! Kesabaranku telah habis menghadapi kematian putrimu Fatimah...(Nahjul Balaghah, khutbah 202)