SURAH AL-MUTHAFFIFIN



بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ

1. Celakalah bagi orang-orang yang mengurangi takaran!

Akar kata muthaffifin adalah tbaffafa, yang berarti 'membuat kurang, memberikan takaran kurang, bakhil'. Artinya, sengaja melakukan ketidakadilan dalam suatu transaksi. Tathfif berarti 'kekikiran, hemat', dan thafif berarti 'kurang, sedikit, kecil, tidak berarti'.

Ini adalah gambaran tentang kecenderungan alamiah manusia dalam jual-beli dan perdagangan untuk mencoba memanipulasi timbangan demi keuntungannya sendiri, sering kali tidak jujur. Para pedagang Mekah dan Madinah tidak berbeda dengan pebisnis lain di sepanjang sejarah.

الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ

2. Yang jika mereka menakar [untuk dirinya] dari orang lain, mereka menakar dengan penuh.

Bentuk akar kata yastawfun adalah istawfa yang berarti 'menerima sepenuhnya, lengkap, sampai nilai penuhnya, memenuhi'. Akar kata asalnya adalah wafa berarti 'sempurna, memenuhi, ketaatan, kesetiaan'. Dalam kisah Nabi Ibrahim yang kadang-kadang disebut Ibrahim wafa' (wafd di sini artinya iman dia), dikatakan bahwa ketika dimasukkan ke dalam api beliau berteriak, 'Hasbi Allah' (cukup Allah bagiku) dan ia tetap tidak teriuka oleh api. Itulah arti wafa’.

وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

3. Tetapi ketika mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya.

Kala artinya 'menakar'. Yukhsirun berasal dari kata kerja khasira, 'membuat rugi, kehilangan, tidak sampai, binasa'. Ketika muthaffifin (orang yang mengurangi takaran) berada dalam keadaan mampu memberi dan menerima secara adil, yang mereka lakukan dalam transaksi malah merugikan pihak lain dan menguntungkan diri mereka sendiri.

Tiga ayat ini bermakna sama: muthaffifin, yastawfun, dan yukhsirun, saling menguatkan satu sama lain dalam hal kecenderungan manusia untuk ingin selalu menang. Ayat-ayat tersebut menggambarkan bagaimana kita berusaha untuk cerdik dalam transaksi. Itulah sifat dasar kita yang ingin menang dan untung dalam segala situasi. Sementara, sifat mukmin, atau muslim, adalah selalu ingin mengetahui kecenderungan ini dan berusaha memperbaikinya ketika dirinya bertransaksi dengan orang lain yang memiliki potensi sama dengan dirinya. Inflasi terjadi bila kita berusaha mengambil lebih banyak dan memberi lebih sedikit. Ini berlaku bagi situasi sekarang, persis seperti terjadi di Madinah selama periode turunnya Alquran. Jika kita berhubungan dengan suatu komunitas atau masyarakat, maka kita memperhatikan kecenderungan manusia untuk mengambil lebih banyak dan memberi lebih sedikit, dan jika seseorang menyadarinya selagi dia mengerjakannya, maka peluang dia untuk tidak terlalu rakus lebih besar, dan ia akan ingat untuk lebih berlaku adil dalam transaksinya. Kesadaran terhadap ketidakseimbangan kemungkinan besar akan menghasilkan keadilan. Jika kita sadar akan ketidakadilan, maka mungkin kita akan menyadari sifat bawaan manusia yang rendah dalam diri kita.

Ayat pertama mengatakan: Wayl, artinya, 'Celakalah' bagi orang-orang yang menipu. Suatu tindakan yang tidak seimbang adalah penipuan. Imam Ghazali mengatakan bahwa kita harus mengakui bahwa jual-beli tidak bisa terjadi kecuali kalau ada ketidakseimbangan, yakni, selalu ada unsur laba. Oleh karena itu, jika kita ingin menjadi pedagang yang jujur, kita harus selalu mengetahui kecenderungan bawaan ini dan memahami bahwa salah satu pihak akan memiliki tangan di atas. Keadaan yang paling baik terjadi bila kedua belah pihak merasa telah mengambil kesepakatan yang memuaskan dan perasaan tersebut tidak berubah begitu salah satu pihak meninggalkan tempat jual-beli. Jual-beli yang jujur harus bertahan terhadap ujian waktu. Jual-beli itu harus mencapai keseimbangan yang paling adil, agar terjadi inflasi yang paling kecil.

Untuk menjelaskan hal ini, mari kita tengok seorang tabiin (generasi muslim kedua, murid para sahabat Nabi) yang mempunyai toko emas. Satu hari ia meninggalkan tokonya untuk pergi salat ke mesjid, dan mempercayakan kepada kemenakan laki-lakinya untuk menjaga toko sampai ia kembali. Ketika si penjaga toko kembali usai salat, ia berpapasan dengan seorang laki-laki, seorang pedagang yang jelas kaya, yang membawa beberapa gelang emas, dan ia tahu gelang tersebut berasal dari tokonya. Ia menghampiri laki-laki tersebut dan bertanya, "Apakah Anda senang dengan yang Anda beli?" Orang itu menjawab, "Ya, saya sangat-sangat senang". Lalu si penjaga toko bertanya dengan harga berapa ia membelinya. Si laki-laki menjawab, "Saya membayar 200 dirham untuk yang ini, dan 400 dirham untuk yang itu. Saya dapat menjualnya di tempat saya seharga dua kali lipatnya, karena itu saya sangat gembira." Tapi si penjaga toko berkata, "Tidak. Saya tidak senang karena bajingan kemenakan ini telah menipu Anda. Saya sudah memberitahu dia tentang harga barang-barang ini. Tolong, saya mohon kepada Anda, kembalilah ke toko bersama saya." Maka si penjaga toko menarik kembali laki-laki itu, memberinya sebagian uang selisihnya, dan mengusir kemenakannya. Si penjaga toko telah memasang harga untuk barang-barangnya dan puas dengan harga itu. Nabi berkata, "Jual, dan ambillah keuntungan, sekalipun keuntungannya sedikit saja." Dengan cara ini ada dinamisme dan perputaran, dan orang tidak terikat pada apa yang dimilikinya.

Muthaffifin menunjuk kepada kita semua, karena potensi untuk melakukan penipuan ada pada kita semua. Jika potensi untuk menjadi penjahat tidak ada pada diri kita, maka kita tidak akan mampu memahami kriminalitas. Jika potensi kekasaran, atau potensi rasa takut, tidak ada dalam diri kita, maka kita tidak akan memahami maknanya. Jika ketuhanan tidak ada dalam diri kita, bagaimana kita dapat berbicara tentang Samudera Ilahi? Semua itu ada dalam diri kita, dan karena itu kita tidak akan mengatakan bahwa kemenakan si tukang emas suka mementingkan diri sendiri. Jika kisah ini bersifat historis belaka dan ditujukan hanya kepada penduduk Madinah, maka kita tidak perlu mengindahkannya. Namun, yang benar adalah bahwa kita selalu memiliki potensi ini, karena memang begitulah kisah umat manusia.

أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ

4. Tidakkah mereka mengira bahwa mereka akan dibangkitkan?

Ayat ini menunjukkan jalan keluar dari penjara dan rantai kecenderungan kita pada kesukaan untuk mementingkan diri sendiri dan ketamakan.

Ba’atsa berarti 'bangkit, bangun, mengirimkan, menyebabkan'. Di sini maksudnya bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban kepada siapa? Kita semua akan dimintai pertanggungjawaban kita sendiri. Ini tentu saja menunjuk kepada alam akhirat, dan tentunya juga berkenaan dengan kehidupan ini. Dengan jalan apa pun, perhitungan ini akan terjadi baik kita suka atau tidak. Jika kita membuka sebuah keran, apa pun yang ada dalam pipa akan memancar; dan semakin lebar kita membukanya, semakin banyak mengalir. Jadi, kita hanya akan membangun lebih banyak ketamakan, kebencian, atau apa pun yang ada dalam diri kita, karena sistem penciptaan terletak dalam pertambahan. Itulah sebabnya mengapa Allah mengatakan, "Kasih-sayangku meliputi segala sesuatu" (Q.S.7:156).

لِيَوْمٍ عَظِيمٍ

5. Pada Hari yang Besar.

Secara eksplisit, ayat ini merupakan penjelasan tentang hari ketika yang tertinggal adalah roh kita, di mana niat dan amal kita telah distempel. Hari Besar ini bisa juga merupakan hari di mana kita siap untuk memperhitungkan diri kita secara utuh, hari kepasrahan total kita, hari islam kita (ketundukkan kepada Realitas). Jika kita ingin terbebas dari rantai-rantai yang membelenggu diri kita, kita harus mampu menyelesaikan semua perhitungan kapan saja. Bahkan, sebenarnya kita harus siap menyelesaikan perhitungan kita sebelum kita membuat perhitungan. Kita dapat melakukan hal ini dengan mempertanyakan niat. Dengan mengetahui niat kita sebelum melaksanakan suatu perbuatan, perhitungan kita akan selalu tetap bersih.

يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

6. Pada hari tatkala manusia berdiri di hadapan Tuhan sementa alam.

Yawm yaqumu adalah Hari di mana kita akan berdiri di hadapan Tuhan semesta alam dan menghadapi catatan-catatan amal kita. Jika kita sungguh-sungguh dalam Islam sepanjang waktu, maka kita selalu menghadapi Rabb al-Alamin (Tuhan semesta alam). Qama berarti, di antaranya, 'berdiri, bangkit dari kematian', dan menunjukkan bahwa si pelaku dipersiapkan untuk berinteraksi dengan apa yang menjadi tujuan dibangkitkannya dia.

Ayat ini berkenaan dengan akhir zaman untuk menyentak kita dari kelesuan kita saat ini. Ia mengingatkan kita bahwa ada suatu akhir, dan bahwa pada akhimya kita akan dibiarkan tanpa dibekali apa pun selain buah dari niat-niat kita.

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ

7. Tidak! Sesungguhnya buku (catatan) orang-orang jahat itu berada dalam Sijjin.

Buku catatan kaum fujjar (orang-orang yang jahat, berakhlak rendah, sesat jalan) berada dalam sijjin. Fujjar berasal dari fajara, yang berarti 'membelah, mengakhiri, bertindak secara tak bermoral, turut dalam penyimpangan moral'. Subuh disebut fajr, karena ia mengakhiri malam. Seseorang disebut fajir jika ia sesat jalan. Ini berarti bahwa ia menyeleweng, merosot, keluar jalur. Kita semua adalah mutiara dalam untaian yang sama, dan sebutir mutiara hanya akan berarti jika ia dirangkai dalam sebuah untaian.

Akar kata sijjin, daftar setiap perbuatan yang tidak bermoral, adalah sajana, yang berarti 'memenjarakan'. Sijjin adalah suatu pemenjaraan yang berlebih-lebihan, lebih permanen dan kekal. Dalam beberapa tafsir Alquran, kata ini dijelaskan sebagai nama lain dari jahannam (neraka). 'Kitab' adalah apa yang sedang ditulis oleh orang yang telah melakukan kejahatan tentang kehidupannya. Ia adalah penulis biografinya sendiri, tentang segala perbuatannya, yang dihasut oleh niat-niatnya. Si pesakitan sendirilah yang menentukan berapa banyak lagi rantai dan belenggu yang akan dimilikinya.

Kitab adalah apa yang ditulis, dan tulisan itu diwujudkan oleh setiap orang di antara kita melalui amal-amalnya. Jika biografl kita penuh dengan ketamakan dan kekikiran, sebagaimana disebutkan dalam ayat kedua dan ketiga, dan kita beramal tapi demi keuntungan pribadi dan untuk menguasai orang lain, maka kita akan dipenjarakan oleh amal-amal kita. Seseorang bisa saja berkeinginan untuk memimpin selumh kerajaan, karena mengira itu akan mem-bawakan kebahagiaan. Tapi, begitu keinginannya terpenuhi dia pun ingin merangsak kerajaan tetangganya juga. Apakah keinginan ini bukan belenggu? Karena terbelenggu maka kita tidak mau berurusan dengan objek itu sendiri, melainkan dengan perasaan kita terhadap objek tersebut. Sijjin, hukuman penjara, menunjuk kepada keadaan mental kita dan berkenaan dengan kebahagiaan kita, kebebasan batin kita, dan pemenuhan kita, yang merupakan hasil sampingan dari keluasan dan ketulusan islam (penyerahan) dan keterbebasan kita.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ

8. Dan apakah yang membuat engkau tahu apakah sijjin itu?

Kata kerja adraka berarti 'mencapai, mendekati, merenggut, merasakan, menyadari, matang'. Ia menunjukkan suatu pengetahuan yang lebih dalam dan lebih halus dibanding ketajaman buatan. Melalui perenungan yang dalam, maka realisasi dan pemahaman akan datang. Kita semua tahu apa itu belenggu, dan tahu akan seperti apa berada di bawah beratnya pengharapan dan kekecewaan. Kita harus bertanya kepada hati kita sendiri. Bagairnana sijjin, atau penjara kita, muncul, dan mengapa penjara seseorang berbeda dengan penjara orang lainnya? Itu karena kita menentukan situasi-situasi tertentu untuk kita sendiri.

كِتَابٌ مَّرْقُومٌ

9. Sebuah kitab yang ditulis.

Akar kata marqum (tertulis) adalah raqama, yang berarti 'menulisi, menandai dengan hal-hal yang bersifat pengenal, membubuhi cap, menomori'. Ia juga bermakna ditetapkan dan dituliskan. Raqam berarti 'nomor'. Maka kitab, atau apa yang dibicarakan, dapat diukur, ditulis dengan persis, dan tidak hanya dapat diukur.

وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِينَ

10. Celakalah pada hari itu orang-orang yang menyangkal!

Pengertiannya di sini adalah bahwa jika seseorang menyangkal realitas eksistensi dan penciptaan, maka ia adalah seorang mukadzdzib (pendusta). Mukadzdzib berarti perbuatan seseorang yang bertentangan dengan ucapannya, ada pemisahan antara ucapan dan perbuatan. Kidzb adalah dusta, penipuan, kebohongan atau ketidakjujuran. Kecelakaan akan menimpanya pada hari ketika ia tak bisa lagi mengubah did dan menyaksikan realitas terakhir, yak-ni hari kematiannya. Barangsiapa menyangkal haqq (kebenaran), yang menjelma sebagai keadilan, berarti telah menyangkal bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan haqq, dengan keadilan dan keseimbangan. Jika seseorang berbuat tidak seimbang, maka ia sedang berbohong. Seseorang yang mengaku bahwa dirinya tidak menyangkal kebenaran tapi menegakkannya namun berbuat dengan cara yang berlawanan, maka ia berada dalam keadaan kufr (menutup, menyangkal realitas). Pengakuannya sebagai orang yang mengesakan Tuhan (muwahhid) ternyata palsu karena ia berbuat sebagai penipu (muthaffif) dan tidak memperhatikan keadilan dari perbuatannya sendiri.

الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ

11. Orang-orang yang menyangkal Hari Pengadilan.

Hari Pengadilan, hari din, adalah hari ketika kita membayar penuh utang-utang kita. Itulah Hari Perhitungan, hari ketika bentuk kita yang sesungguhnya, yakni roh, membentang terbuka. Bentuk ini tidak dapat dilihat sekarang, karena ia merupakan energi halus yang mempertahankan kita hidup. Pemahaman kita tentang roh hanya bisa sejauh ini saja dan tak lebih, karena kemampuan untuk memahaminya muncul dari apa yang disebut 'Aku', yang akan terputus sudah sampai di situ.

وَمَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ

12. Dan tidak ada yang menyangkalnya kecuali orang yang melanggar (melampaui batas) dan berdosa.

I’tadâ, akar dari mu’tadîn artinya 'menyeberang, melebihi, bertindak sangat keterlaluan'. Sekaitan dengan kata ini adalah kata 'aduw, yang berarti 'musuh, lawan', dan 'ada, yang berarti 'permusuhan, kebencian, antagonisme, agresi'. Pelanggaran terjadi karena kita tidak merasakan adanya tauhid di dalam diri kita.

Kata 'aduw (musuh) tentu saja tidak berarti permusuhan di antara dua pihak tapi mengindikasikan bahwa mereka asing atau berbeda satu sama lain: tidak ada kesatuan di antara mereka. Itu tidak berarti bahwa mereka saling membenci, tetapi yang pasti mereka tidak saling mengenal. Maka kebodohan (ketidaktahuan) adalah juga musuh; kita menentang apa yang tidak kita ketahui. Dari kata i’tada, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pelanggaran dan penyangkalan kita adalah akibat kebodohan kita, maka kita bisa melihat betapa kita bisa menjadi musuh diri kita sendiri. Ketika kita telah melanggar (melampaui batas) jatidiri kita sendiri, maka kita atsim (berdosa). Atsima berarti 'melakukan dosa atau kejahatan', dan ini dilakukan karena kebodohan dan kebencian kita yang menyebabkan kita terputus dan berdusta. Atsima termasuk melakukan apa yang tidak boleh kita lakukan. Itsm artinya 'berjudi'; perjudian dianggap pelanggaran karena dengan terlibat di dalamnya kita melakukan ketidakadilan. Kita menyebutkan suatu sistem selain dari apa yang ditetapkan oleh realitas—yakni kasih sayang dan keadilan—dan, karena itu, kita melakukan kejahatan. Dengan kembali ke sistem yang tidak adil maka kita menjadikan diri kita bagian dari itu.

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ

13. Tatkala ayat-ayat kami dibacakan kepadanya, ia berkata: "Dongengan orang-orang kuno".

Ini berkenaan dengan situasi yang berulangkali terjadi bahkan hingga sekarang, dimana orang mengatakan bahwa karena Alquran diturunkan beberapa ratus tahun lampau maka ia tidak bisa berlaku pada kondisi sekarang; ia hanyalah dongengan masa lampau.

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ

14. Tidak! Apa yang mereka usahakan menjadi karat pada hati mereka.

Rana berarti 'mengambil hati', dan juga 'menangkap, mengatasi, merendahkan diri, berlaku'. Yang mereka usahakan akan dimudahkan bagi hati mereka. Seperti dikatakan sebelumnya, jalan mana pun yang kita pilih akan dijadikan mudah bagi kita. Jika kita seorang penjahat, jalan ini akan dimudahkan bagi kita karena bagaimana pun juga kita akan selalu berusaha membenarkan perbuatan kita. Apa pun amal-amal seseorang, semuanya akan dibuat kelihatan nampak-wajar baginya. Dia akan terus membenarkannya kalau dia tidak senantiasa mengembalikan kepada standar perilaku kenabian. Maka dari itu dikatakan bahwa kalau kita terus bersama orang-orang tertentu selama empat puluh hari, kita akan menjadi seperti mereka. Bagi orang yang mudah dipengaruhi mungkin hanya perlu dua jam saja untuk menjadi seperti orang-orang yang mereka gauli.

كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ

15. Tidak! Sesungguhnya pada bari itu mereka tertutup dari Tuhan mereka!

Ayat ini memberitahukan kepada kita bahwa dalam kehidupan mendatang para pelanggar tertutup oleh suatu hijab dari pengenalan terhadap ketuhanan secara total dan final. Ini berarti bahwa mereka belum memperoleh cukup pengetahuan untuk mempersiapkan diri sebagaimana mestinya di kehidupan ini guna menjalani proses pengungkapan dan penyucian tambahan lainnya yang akan berlangsung di kehidupan selanjutnya. Mereka belum mempersiapkan jalan bagi dirinya untuk berpindah ke alam kehidupan selanjutnya. Alquran mengatakan bahwa kehidupan kita selanjutnya akan sesuai dengan ilmu dan amal kita dalam kehidupan ini. Maka orang-orang yang telah mengingkari, yang terus-menerus berbuat tidak adil dan tidak seimbang di sini, mereka akan berada dalam keadaan terpisah di kehidupan selanjutnya karena mereka sudah berada dalam keadaan seperti itu di sini. Pengingkaran yang mereka jalani dan mereka hidupkan di sini akan mencegah mereka untuk lebur kembali ke dalam sumbernya (tauhid).

ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيمِ

16. Lalu sesunggubnya mereka akan memasuki api (neraka) yang menghanguskan.

Shala berarti 'memanggang, membakar' atau 'dihadapkan pada lautan api'. Akar kata jahim adalah jahama, yang berarti 'menyalakan api' dan ia digunakan karena api yang akan mereka masuki adalah api yang telah mereka nyalakan dalam kehidupan ini. Jahim di sini rnenunjuk kepada neraka yang diancamkan kepada kita pada hari kiamat, dan juga neraka yang kita pahami sebagai manusia biasa. Ketika hati kita berkecamuk, ketika darah kita mendidih oleh kemarahan atau kegusaran, atau ketika kita terbakar oleh hasrat, maka kita mengalami berbagai aspek neraka dunia. Tapi maksudnya di sini adalah bahwa orang-orang tersebut pasti akan mencapai api abadi karena perbuatannya sendiri.

ثُمَّ يُقَالُ هَذَا الَّذِي كُنتُم بِهِ تُكَذِّبُونَ

17. Lalu akan dikatakan: Inilah yang dulu kau dustakan.

Kemudian mereka akan menyadari bahwa inilah kebenaran yang mereka dustakan, karena jika kebenaran tidak disadari pada saat sekarang, maka ia akan disadari pada saat kematian. Ini berarti bahwa kebenaran itu sudah ada tapi didustakan. Api agitasi, kemarahan, kebencian sudah ada di sini, tapi mereka menyangkalnya. Kebenaran hidup sepanjang masa, ia tidak tunduk pada waktu. Yang berubah karena waktu hanyalah ketamakan, rasa lapar, atau hasrat-hasrat pribadi dan individu. Umpamanya, yang kita inginkan di masa kanak-kanak dulu bukanlah yang kita inginkan sekarang. Semua hasrat duniawi bersifat rela-tif, berlalu sepintas, mengikuti peredaran dan tidak menentu. Yang benar dari hasrat adalah ketidakmenentuannya itu, sifatnya yang sementara. Yang benar dari manusia adalah bahwa dalam hati manusia senantiasa hidup potensi untuk ragu. Turunnya Surah al-'Ashr (‘Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi’ Q.S.103:1-2) tidak untuk merendahkan manusia. Memang begitulah faktanya. Kita harus menyadari kebenaran tersebut agar dapat memasuki Kebenaran Tunggal yang mencakup kebenaran tersebut.

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ

18. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya buku (catatan) orang-orang yang benar ada di 'Illiyyin.

Kalla berarti 'Pasti!' Dalam setiap kasus di mana kata ini muncul, kata ini menyelang di antara dua gagasan yang biasanya berlawanan. Meskipun kalla diterjemahkan di sini sebagai 'sekali-kali tidak', ia tidak sama dengan la yang berarti 'tidak'.

Abrar berarti 'benar, adil, baik' dan berasal dari akar kata yang sama dengan barr, yang berarti 'gurun pasir, permukaan tanah yang luas'. Dengan demikian abrar menunjuk kepada 'orang-orang yang berada dalam keadaan luas, orang-orang yang benar'. Ia juga menunjukkan loyalitas. Tidak setiap barr adalah gurun pasir, tapi setiap gurun pasir adalah barr, suatu tanah datar. Barr bisa berupa suatu permukaan terbuka yang tidak diolah, tempat di mana tidak ada halangan dan tak ada yang tersembunyi.

'Illiyyin berasal dari kata kerja 'ala, di antaranya berarti 'meninggikan, menaikkan, menjulangtinggikan, mengangkat, mengatasi'. Ini berarti bahwa hal yang benar itu begitu terang dan diangkat dari kerendahan nilai sehingga di-naikkan ke tempat yang mulia. Allah adalah al-'Ali (Yang Mahatinggi); itulah salah satu Nama Ketuhanan-Nya. Barri adalah orang yang selalu berkata jujur tentang warisannya, dan karena warisannya adalah Allah, maka ia bersama Allah. Apa yang telah ditulis untuknya, atau apa yang telah ditulisnya untuk dirinya sendiri, adalah mulia.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّونَ

19. Dan apakah yang membuat engkau tahu apakah 'Illiyun itu?

Ayat ini menyuruh kita untuk berpikir dan merenungkannya. Kita harus menyadari sumber yang sangat halus dari mana kita berasal dan jangan membicarakan soal roh secara membabi-buta. Apakah itu hakikat halus yang berkata: Kun fa-yakun (Jadi! maka jadilah)?

'Illiyun adalah orang-orang yang telah menyaksikan kesatuan di balik dualitas eksistensi, dan kesatuan di balik berbagai atribut. Selubung jarak antara Pencipta dengan yang dicipta telah disingkapkan bagi mereka: mereka berada dalam stasiun penghampiran.

كِتَابٌ مَّرْقُومٌ

20. Sebuah kitab yang ditulis.

Lagi-lagi ini berkenaan dengan suatu catatan tertulis, yakni, suatu Realitas yang dikenal, jelas dan gamblang.

يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُونَ

21. Orang-orang yang didekatkan [kepada Allah] akan menyaksikan itu.

Ini berkenaan dengan orang-orang yang dekat kepada Realitas. Realitas, atau Allah, tidak terdapat di satu tempat tertentu tapi kita harus pergi untuk mendekat. Firman Allah dalam Al-Qur'an: "Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu" (Q.S.50:16). Yang menghalangi kita dari mengenal Allah adalah tabir diri. Kita merasa jauh dari Allah karena diri atau ego, sang 'Aku', terus-menerus menonjolkan sifat rendahnya. Kita harus 'membunuh' diri kita seraya tetap hidup, melalui penyerahan diri, dengan kesiapan untuk pasrah total dari hati kita, sekalipun sesaat. Semua praktik hamba Allah merupakan tehnik yang memungkinkan kita untuk mencapai keadaan itu, untuk tems duduk tanpa berpikir dan menjadi energi murni.

Kita menjauhkan diri dari Pencipta sebab kita telah menempatkan berbagai hal di antara diri kita dan sang Pencipta. Kondisi ini sangat sederhana dan mudah dimengerti. Ia berhubungan dengan amal yang bersih, dan merupakan lompatan yang harus kita lakukan. Sebab itulah maka ketika pertama kali orang masuk Islam, mereka dengan cepat menjadi sangat dekat kepada Nabi. Islam harus dihidupkan, bukan dipelajari. Sebab itulah maka Islam tak akan pemah dipahami kecuali oleh mereka yang secara total dan utuh berada di dalamnya.

Ketika sahabat, Salman al-Farisi, pertama kali mendengar tentang Nabi, ia merasa apa yang sedang dicarinya akan tercapai melalui ajaran Nabi. Namun, dalam perjalanan untuk menemui Nabi ia ditangkap, dijadikan budak lalu dibeli oleh Abu Bakar. Ia menjadi seorang muslim dan nyaris tak lama kemudian Nabi konon berkata tentang dia, "Salman adalah bagian dari keluargaku." Ada banyak lainnya yang memiliki pengalaman serupa yang muncul sebagai akibat dari kondisi hati. Jika hati berada dalam kondisi di mana ia siap menyerahkan apa yang bukan miliknya, hadiah yang paling dicari dan paling berharga, kehidupan itu sendiri, maka hati berada dalam keadaannya yang paling bersih. Ucapan Nabi itu, dari sudut pandang para wali Allah, menunjukkan suatu maqam (stasiun), bukan keadaan jiwa. Maqam berarti benar-benar mapan dalam suatu keadaan tertentu. Keadaan jiwa adalah suatu fase yang melintas, sesuatu yang kadang-kadang kita rasakan. Jika hati diserahkan dalam ketundukkan, maka hati dapat melihat Kitab, karena Kitab itu tertulis di atasnya.

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ

22. Sesungguhnya, orang-orang yang tulus ada di dalam kenikmatan.

Berada dalam kebenaran berarti berada dalam na'im (kebahagiaan, kesenangan, kenyamanan, kedamaian). Ni’mah (kenikmatan, kebaikan hati) yang dihubungkan dengan na'im, memiliki makna yang sangat halus. Kita semua mengatakan na'am, yang berarti 'ya' terhadap ni’mah. Itulah sebabnya Nabi berkata, "Jika aku sudah mengetahui apa yang baik untukku, maka aku akan memilih hanya situasi yang menguntungkan bagiku," dengan demikian mengungkapkan dua atribut utamanya, yakni beliau adalah manusia yang memiliki sifat kemanusiaan dan kesucian tuhan. Dua aspek ini menjadikan kita barzakh (ruangan antara yang nyata dan yang gaib).

عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ

23. Di atas sofa yang empuk mereka memandang.

Keadaan berbaring di atas sofa berarti berada dalam situasi yang netral, yang menyiratkan tidak adanya gangguan maupun rasa ketidaknyamanan lahiriah.

Yanzburun berarti 'mereka melihat' atau 'mereka menyaksikan'. Dalam Alquran hal pertama yang dikatakan adalah tentang misi kemanusiaan yang paling tinggi, yakni tentu saja misi semua nabi: " Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi' (Q.S. 33:45). Bunyi ayat itu selanjutnya: "dan sebagai pembawa berita baik dan sebagai pemberi peringatan". Dalam hal ini ayat tersebut mencakup tiga misi pokok seorang nabi.

Saksi bersifat netral. Dengan melihat, menyaksikan, berarti ia memiliki pengetahuan. Dalam ayat ini tersirat bahwa mereka memiliki pengetahuan, karena mereka dekat. Mereka menjadi mata yang menjadi saksi sendiri. Mereka melihat dengan pengetahuan yang dalam atau tanpa gangguan dari manisfestasi fisik. Ketika Amir al-Mu'minin (Pemimpin Orang Beriman) Ali ditanya, "Pernahkah Anda melihat Allah?" ia menjawab, "Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak aku lihat? Maksudnya adalah beliau telah melihat-Nya dengan hatinya, dengan haqq al-yaqin (kebenaran yang pasti), tidak dengan mata lahiriahnya.

تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ

24. Engkau melibat dalam wajah mereka ada sinar kenikmatan.

Kita akan melihat kegembiraan yang memancar dari wajah mereka. Mereka akan bersinar dengan kenikmatan tauhid karena mereka telah dihubungkan selamanya.

يُسْقَوْنَ مِن رَّحِيقٍ مَّخْتُومٍ

25. Mereka diberi minum dari minuman sangat lezat yang disegel (ditutup).

Saqa adalah 'mengairi, memberi minum'. Rahib berarti 'minuman sangat lezat'. Minuman sangat lezat yang diminum oleh mereka yang telah mencapai tujuan adalah sudah lengkap komposisinya. Artinya, tidak ada lagi yang dapat ditambahkan atau dikurangi. Memang itu sudah usai dan lengkap.

Makhtum berarti 'disegel (ditutup)'. Kita hanya dapat menyegel sesuatu yang lengkap. Nabi Muhammad adalah 'Segel (penutup) para nabi', artinya bahwa dengan kelahirannya segala sesuatu yang telah datang sebelumnya telah dilengkapi dan disegel.

خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

26. Segelnya adalah kesturi, dan untuk itu hendaknya bercita-citalah mereka yang mau bercita-cita.

Misk artinya 'kesturi', dan kesturi, selain sebagai parfum yang harum, berfungsi sebagai pembangkit perasaan yang dalam. Kesturi berasal dari kelenjar kijang kesturi. Kita belum mengetahui secara pasti bagaimana kesturi bereaksi menentukan wewangian, tapi tanpa kesturi bau parfum akan benar-benar hilang. Ketika ayat ini mengatakan bahwa minuman sangat lezat itu disegel dengan kesturi, ini menunjukkan bahwa kelezatan tersebut tetap. Karena itu kesturi menimbulkan suatu keadaan ni’mah yang permanen.

Begitu seseorang mengalami penyingkapan batin yang penuh kebahagiaan, maka keadaan itu akan terus-menerus mendorongnya, laksana bau kesturi. Saking harumnya bau kesturi, sampai-sampai kijang kesturi memforsir dirinya berlari mengejar ke arah bau itu, padahal sebenarnya bau kesturi itu berasal dari dirinya. Kita dapat memenangkan perlombaan di dunia ini hanya dengan memforsir nafs (jiwa rendah) kita. Ketika kita mencapai tingkat pengetahuan yang paling tinggi, maka kita mencapai Allah, Yang Awal. Kita dilihat oleh diri kita sendiri sebagai entitas biologis aktif yang lambat laun habis dan teroksidasi. Namun, semakin kita mengalahkan nafs kita dan berserah diri, maka kita semakin mengetahui bahwa ternyata penyerahan diri ini membawa kita kepada ketakterbatasan yang nyata dan ketiadaapa-apaan, yang muncul pada saat penciptaan. Kosong dan ketakterbatasan, tiada apa-apa dan terbatas: kita hanya dapat berjalan selangkah demi selangkah menuju suatu titik tertentu yang lebih dari itu tidak bisa kita gapai. Karena, pada titik itu ketakterbatasan tidak bisa lagi didekati dengan langkah atau tahapan. Pada mulanya kita mendekati Allah selangkah demi selangkah melalui upaya dan kesadaran kita sendiri, tapi kita mencapai suatu titik di mana kita memerlukan suatu loncatan kuantum.

وَمِزَاجُهُ مِن تَسْنِيمٍ

27. Dan campurannya adalah dari air yang datang dari atas.

Tasnim diterjemahkan sebagai 'air yang datang dari atas' karena ia merupakan nama dari sebuah sungai yang berasal dari bagian surga yang paling tinggi. Akar kata tasnim adalah sanima, 'menjadi tinggi (dari seekor unta), naik, gunung'. Sanam, dari akar kata yang sama, adalah ponok unta—bagian paling tinggi dari tubuh seekor unta.

Taman (surga) sering kali digambarkan sebagai memiliki sungai-sungai yang dialiri dari bawah tanah. Yang di maksud di sini adalah sungai lainnya, atau aliran energi, yang berasal dari atas, dari tempat yang tinggi. Maka, ketika menjelaskan lebih jauh mengenai kualitas minuman yang ditinggikan ini, ayat ini mendorong si pencari sejati untuk berusaha keras mencapai kedekatan yang ditinggikan kepada Allah.

عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ

28. Mata air yang diminum oleh orang-orang yang dekat (kepada Allah).

Minuman yang keluar dari mata air ini tidak memancar hanya sekali-sekali, tapi terus-menems. Karena itu mata air menunjukkan suatu sumber yang permanen. Ketika seseorang dekat kepada sumber dari mana segala sesuatu berasal, maka ia dekat kepada Allah, kepada sumber pengetahuan, dan kepada Hakikat yang merupakan asal dari segala Atribut ini.

'Ayn (mata air, sumber) juga berarti 'mata, pengintai, orang penting, pemimpin, harta, modal'. Bila hujan lebih dari lima hari, orang Arab menyebut tenggang waktu ini sebagai 'ayn, karena ia bagaikan mata air yang memancar dari langit. 'Ayn juga digunakan sehubungan dengan sumber daya seseorang, dana atau kekayaan. Ketika Ali ibn Abi Thalib sedang menasihati gubernurnya di Mesir, beliau berkata, "Engkau harus mengangkat 'uyun (jamak dari 'ayn)', maksudnya, "Engkau harus yakin bahwa orang yang telah engkau angkat, yang seharusnya menjamin keadilan, ada yang memeriksa dan mengawasinya." Ini tidak berarti memata-matai, karena memata-matai dilakukan secara diam-diam, sedangkan pernyataan ini menganjurkan pengawasan. Ketika seseorang tahu bahwa pengawas akan meninjaunya, ia akan berkelakuan baik dan berhenti melakukan perbuatan salah. Nasihat Ali ibn Abi Thalib kepada gubernurnya agar menunjuk 'uyun adalah untuk memperluas bidang pandangannya.

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُواْ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ

29. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa biasa menertawakan orang-orang yang beriman.

Ajramu berasal dari kata kerja ajrama, 'melakukan kejahatan, menyakiti'. Bangkitnya ego adalah kejahatan. Penegasan bahwa kita terpisah adalah kejahatan. Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang telah melakukan kejahatan tertutama terhadap dirinya sendiri. Mereka yang melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri lebih dari mampu melakukan kejahatan terhadap orang lain.

Orang kafir (yang menutupi kebenaran, baik lahir maupun batin), menertawakan orang yang beriman. Mereka yang memiliki kepercayaan tahu bahwa kehidupan tidaklah tanpa makna, bahwa ada keadilan dan kebenaran. Gelak-tawa adalah bentuk ucapan selamat kepada diri sendiri. Ketika kita tertawa maka kita dalam keadaan damai dengan diri kita sendiri. Berarti, kesalahan yang menyebabkan sakit hati, yakni dengan menertawakan orang beriman, adalah dalam rangka menenteramkan hatinya sendiri dan tenggelam kembali ke dalam kepuasan diri di bawah bayang-bayang ejekan mereka sendiri.

وَإِذَا مَرُّواْ بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ

30. Dan bila mereka melewati mereka (orang beriman), mereka saling mengerlingkan mata.

Lagi-lagi, mereka berbuat demikian untuk saling menenteramkan hati. Manusia terus-menerus mencari ketenteraman diri. Ketika orang-orang mengedipkan mata berarti mereka berkomunikasi satu sama lain dengan bersekongkol: mereka tahu sesuatu tentang seseorang lain yang mereka anggap menggelikan, dan dengan demikian saling menunjukkan superioritas mereka. Dalam kasus ini kedipan mata itu berkenaan dengan seseorang yang telah menjadi seorang muslim. Mengedipkan mata merupakan penenteraman diri yang lebih halus dibanding tertawa, karena gelak-tawa dapat dihadapi dengan lebih mudah.

وَإِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمُ انقَلَبُواْ فَكِهِينَ

31. Dan jika mereka kembali kepada golongan mereka, mereka kembali dengan gembira ria.

Ahl (keluarga, kaum, pengikut) melambangkan keamanan dan kesenangan sebagai buah keakraban, sebagaimana pada contoh sebelumnya ketika Nabi berkata bahwa Salman al-Farisi adalah bagian dari keluarganya. Salman tidak ada hubungan darah dengan keluarga Nabi, tapi, seperti kita tahu, dalam kehidupan kita pun sebagian di antara kita lebih dekat kepada teman kita dibanding kepada saudara kita sendiri. Bila orang Arab menyambut seseorang, mereka berkata, Ahlan wa sahlan, 'Selamat datang, Anda telah datang kepada keluarga Anda', atau, dengan kata lain, 'Bersenang-senanglah, santai saja, jadilah bagian dari kami!'

Jika secara eksistensial kita tidak bisa menjadi bagian, maka bagaimana kita bisa secara total dan abstrak menjadi bagian dari Tuhan kita? Jika kita merasa senang berada di mesjid, maka kita akan merasa senang ketika lebih dekat kepada Allah.

Fakihin berarti 'bersendagurau, bersukaria, bergembira'. Lagi-lagi ini mempakan implikasi bahwa di sepanjang waktu dan dalam segala keadaan kita mencari ketenteraman hati. Kita adalah makhluk ekologis. Kita semua ingin berada di lingkungan yang benar. Jika kita semua pembohong, seperti digambarkan dalam ayat ini, kita akan kembali ke golongan kita untuk mencari ketenteraman dan keamanan hati.

وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ

32. Dan jika mereka melihat mereka (orang beriman), mereka berkata: Sesungguhnya mereka dalam kesesatan.

Karena penenteraman hati yang sifatnya berlindung dengan berada di tengah golongannya sendiri, orang-orang yang bersalah ini terang-terangan mencela orang yang benar sebagai orang yang salah karena orang yang benar, sudah barang tentu, tidak menegakkan sistem yang sama dengan yang ditegakkan si pendosa itu. Kita sedang bergerak ke arah pemfosilan ego-ego kita, atau, kalau tidak, kita sedang membebaskan diri dari mereka. Kita tidak bisa bersikap netral dan statis karena dalam kenyataannya tidak ada netralitas. Kita kalau tidak maju tentu mundur. Dari sejak lahir, kita sedang terus mundur karena pada setiap saat secara biologis kita semakin dekat ke kuburan. Secara batiniah, secara spiritual, memang terserah kita apakah mau maju atau mundur. Kemajuan dibuat tidak hanya melalui perjuangan tapi akhimya melalui pembebasan diri yang sebenarnya. Oleh karena itu, perjuangan adalah melawan sifat rendah. Namun esensi dari realitas sudah ada dalam diri kita.

وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ

33. Dan mereka tidak disuruh sebagai penjaga atas mereka (orang beriman).

Siapakah orang-orang yang dalam keadaan menyangkal ini? Ayat ini secara khusus merujuk kepada orang-orang yang tersesat, yang menyangkal kebenaran—muthaffifin. Mereka hanya memperhatikan situasi eksistensial yang segera, dengan mengingkari akhirat (dunia akan datang), pengadilan dan keadilan. Namun mereka tidak bisa terus menyembunyikan kebenaran. Meskipun mereka dalam kegelapan, namun tidak berarti bahwa mereka dapat menguasai kebenaran atau orang-orang yang beriman.

فَالْيَوْمَ الَّذِينَ آمَنُواْ مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ

34. Maka pada hari ini orang-orang yang beriman akan menertawakan orang-orang yang kafir.

Ini berkenaan dengan Hari Pengadilan, ketika segala sesuatu akan terbuka dan tersingkap. Pada hari ini kaum beriman akan bergembira, mereka akan melihat keesaan (tauhid) dan akan bersatu kembali dengan yang mereka kenal sebelumnya. Sekarang giliran mereka menertawakan kaum kufur. Pada saat kita mengetahui iman kita seutuhnya maka saat itu akan menjadi hari kebangkitan kecil bagi kita. Kita akan tertawa sedemikian rupa sampai-sampai tawa itu pun tidak nampak pada wajah. Gelak-tawa kita akan begitu dalam sehingga akan lebih dari sekadar gelak-tawa. Peristiwa ini mengekspresikan saat ketika kita berhubungan kembali secara sekilas pandang dengan keesaan nyata (tauhid) yang kita alami saat di dunia ini.

عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ

35. Di atas sofa yang empuk, mereka memandang.

Ketika tidak ada lagi gangguan luar, ketika tidak ada yang dapat menghalangi pandangan yang dalam dan menyeluruh, mereka akan melihat kebenaran yang mereka imani. Penglihatan ini akan memperkuat keyakinan mereka dan mendatangkan kesantaian yang sebenarnya, yakni keadaan batin yang tertawa-tawa. Tertawa mendatangkan kepuasan hati dan pada gilirannya ungkapan kepuasan hati ini timbul karena pengenalan terhadap Tuhan.

هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

36. Sesungguhnya orang-orang kafir akan diberi ganjaran atas apa yang mereka lakukan.

Tsawwaba adalah 'memberi ganjaran'. Bentuk akar dari tsawwaba adalah tsaba (kembali) yang, bagi telinga pembicara bahasa Arab, kedengarannya sangat mirip dengan taba (menyesali, meninggalkan, berbalik dari) dan juga mengandung arti kembali dari kebodohan dan jalan sesat ke jalan yang baik dan pengetahuan yang luas. Tsawab adalah 'ganjaran' atas ketaatan dan untuk memperolehnya adalah dengan tawwab (bertobat).

Ayat ini meminta kita untuk benar-benar merenungkan segala niat kita, meneliti mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, sehingga mendapati kita diganjar seratus persen sesuai dengan niat-niat kita. Jika niat kita bersih, maka ganjarannya tidak akan menyakitkan kita. 'Apakah ganjaran kebaikan mesti selain kebaikan? (Q.S. 55:60). Lantas bagaimana kita dapat menyembunyikan niat kita? Segala sesuatu dalam kehidupan adalah sempurna karena kesempurnaan ada pada diri kita.[]