Datang dari gurun menuju Islam (1)

Dalam kegelapan yang meliputi malam penindasan, fajar sedang menanti matahari lain yang akan terbit, dunia sedang dalam ketenangan menjelang badai, dan sejarah merenungkan suatu pemberontakan besar melawan dewa-dewa duniawi serta bayang-bayang dan tanda-tandanya ―dewa-dewa langit: politeisme dan syirik.
Pada kedalaman dari kesadaran-kesadaran yang temaung dalam bayangan “kehendak Ilahi” dan dalam ketersembunyian watak-watak fitriah, yang pada lahimya tampak berhubungan dengan hakikat wujud, perubahan-perubahan yang tidak dapat dilukiskan dan ganjil, mulai muncul, hanya sebagai suatu pengertian berupa penciuman indera rahasia burung-burung liar yang merasakan akan datangnya badai dan secara tergesa-gesa berpindah dari tempatnya, sebagai naluri misterius dari seekor kuda waspada yang bangkit menjelang peristiwa gempa bumi, memutuskan tali kekangnya dan meninggalkan rumah tuanya, tanpa pelana, tanpa penunggang, menuju padang pasir ―rohani-rohani yang kesepian merasakan bahwa ada sesuatu di udara, sesuatu yang besar! Kadang-kadang seorang pribadi adalah suatu dunia, dan kadang-kadang seorang individu adalah suatu masyarakat.
Dan Jundan putra Junadah, seorang Arab badui dari Ghifar, suku yang terlanda kemiskinan di Rabadzah, suatu gurun di antara Makkah dan Madinah, di jalan kafilah perdagangan Quraisy dan kafilah peziarah Ka’bah, bersama orang-orang yang tak tahu malu, tidak mengenal takut akan adat istiadat, tak kenal tata aturan dan hukum, dan karenanya, di mata orang yang tinggal dalam lindungan peraturan-peraturan dan sistem-sistem ini dan menjadi makmur karena keuntungan dan keamanan ―terkenal jahat, tidak peduli, dan berakhlak buruk! karena akhlak atau etika di sini berarti mengikuti adat istiadat, menaati hukum-hukum, yang semuanya melindungi tembok-tembok yang meliputi eksklusintas dan hak-hak istimewa: kebenaran dan hak-hak, tata tertib dan keamanan, dan semua ini demikian adanya, supaya orang ini dapat makan enak dan bersenang-senang sebagai kepala pada pesta-pesta mewah dikitari sekelompok orang-orang lapar.
Ghifar, suku yang tekenal jahat, bandit-bandit! Para perampok barang-barang dan budak-budak kafilah dagang, ugal-ugalan, yang bahkan tidak menghormati keempat bulan suci. Mereka juga menganggu keamanan yang menguasai semenanjung itu. Ketika para kafilah dagang ―yang bergerak antara Roma, Makkah dan Iran, di bawah perlindungan agama sepanjang bulan-bulan ziarah ini― melintasi tempat yang berbahaya Rabadzah, mereka sekali lagi melihat orang Ghifar, dengan pedang di atas kepala, meluncur menyerang mereka dari tempat hadangan. Rakyat Ghifar, orang-orang miskin, pendosa, jahat, alih-alih menadahkan tangan bak mangkuk pengemis kepada kafilah-kafilah dagang, mereka memberikan pedangnya kepada para majikan itu!
Putra Junadah adalah salah seorang dari mereka, dan inilah sebabnya mengapa kemudian ketika ia telah menjadi Abu Dzar, “Ia bingung memikirkan seorang lapar yang tidak mempunyai roti di rumahnya, tetapi tidak bangkit, menghunus pedang dan memberontak.” Jundan putra Junadah, seperti setiap pria dari suku Ghifar, mengetahui bahwa dalam suatu sistem tirani, setiap hukum dan peraturan, adat dan etika, tata tertib dan keamanan, adalah pelindung tirani, dan menaatinya adalah kejahilan. Namun ia mengambil suatu langkah ―maju lebih jauh dari siapa pun lainnya― ia mengetahi bahwa di sini agama yang berkuasa mempunyai peranan yang sama, dan menaatinya adalah kufur.
Dan berhala? Apakah itu? Pada suatu malam, ketika suku itu pergi berziarah ke Manat ―berhala suku Ghifar― dan dengan hasrat, bahagia, gairah dan semangat, berdoa, memuja, bersumpah dan memohon, menghasratkan hujan untuk menyelamatkan mereka dari kelaparan dan kekeringan yang mengancamkan maut kepada suku Ghifar, ia, dalam kedalaman keyakinannya, merasakan api suci keraguan.
Api kearifan ini dinyalakan selanjutnya dalam angin sepoi renungan dan pertimbangan yang mendalam dan menerus ketika suku itu jatuh tidur; ketenangan yang misterius menguasai lingkungan Manat, di padang gurun, malam dan langit; ia bangkit dengan diam-diam, memungut sebongkah batu, dengan ketidakpastian dan terombang ambing antara keraguan dan keyakinan, ia maju; untuk sejenak ia terpaku memandang kedua mata dewa zamannya. Ia tidak mendapatkan sesuatu, kecuali dua biji mata yang tidak melihat; dengan segala kemarahan dan kebenciannya, ia melempar berhala itu, yang diukir oleh kejahilan dan tirani, dengan batin itu.
Bunyi batu yang menghantam batu, dan... kemudian tidak ada apa-apa.
Kembali dalam keselamatan kepada Yang Mutlak, setelah terbebas dan rantai, ikatan dan belenggu yang seakan-akan telah melilit jiwanya selama berabad-abad, ia tiba-tiba merasakan bahwa ia, sendirian dan tak dikenal telah meninggalkan suatu lobang yang dalam dan gua yang sempit lagi gelap, di mana ia telah dipenjarakan sejak awal penciptaan. Ia melihat ke padang gurun, suatu rentangan luas yang tidak bertepian; sampai ke batas cakrawala, jauh, luas, dan angin! penuh kemuliaan, indah, dalam dan misterius... seakan-akan ia melihat, dan baru dapat melihatnya, untuk pertama kalinya.
Melalui keyakinan dan kepastian, ia telah mencapai kebebasan dan kelegaan. Sedikit demi sedikit, kuncup-kuncup baru iman dan kepastian, tetapi jelas, luas, dalam, sadar, apa yang dipilihnya sendiri telah merekah!
Di bawah hujan pikiran yang tidak putus-putusnya bertambah deras, ia merasakan bahwa sumber-sumber air terbuka baginya dalam gurun batin yang gelap, kering dahaga, dan sekarang, suara ‘derap air!’ dan setiap saat makin lama makin cepat, meninggi dan terus semakin tinggi dan menempati seluruh batinnya; ia dipenuhinya. Dalam pembakaran yang perih dan kecemasan yang pedih dan suatu kelahiran, sendirian di dunia, hanya suatu bayangan di padang pasir, di tengah malam, di bawah langit gurun yang menyaksikan, seluruh wujudnya dialamatkan kepada ‘Dia!’, ia tiba-tiba tersungkur ke pasir, kepalanya sujud di atas bumi. Dan Suara kegelisahan, sentimen-sentimen lama terlepas ―menangis.
Inilah sembahyang Abu Dzar yang pertama.
“Tiga tahun sebelum saya bertemu dengan Nabi Allah, saya menyembah Allah.”
“Ke arah mana engkau menghadap?”
“Ke arah di mana Dia menyadarkan saya akan Diri-Nya.” Tiga tahun kemudian ia mendengar bahwa seorang laki-laki telah muncul di Makkah, yang mencela agama penduduk, yang menamakan barang-barang suci dari penduduk itu “palsu”; yang menamakan segala berhala besar di Ka’bah “batu-batu bisu dan bebal”; yang telah menempatkan Allah Yang Esa mengatasi segala yang dipertaruhkan.
Para musafir dan pelancong suku Ghifar menerima kabar ini seakan-akan suatu tragedi bagi agama dan etika Arab. Mereka berbicara tentang dia dengan kata-kata yang dipenuhi ejekan dan rasa tidak senang. Tetapi, Jundab, di tengah-tengah mereka, mendapatkan kembali dirinya yang telah hilang. Ia tahu bahwa apa pun yang dikutuk, dikanrkan oleh para pemuja fosil ―yang telah menempelkan kecemaran syirik dan takhayul-takhayul jahil kepada Ibrahim, si penghancur berhala― yang ditafsirkan sebagai penyebab perpecahan dalam masyarakat, kelesuan kepercayaan, penyelewengan pikiran para pemuda, kelancangan rakyat jelata, goncangan terhadap basis moralitas dan keimanan, penyebab dari pesimisme dan keterpisahan antara seorang remaja putra dan putri dengan ibu dan ayahnya, sebab dari ejekan terhadap bangsawan, para muliawan dan tokoh-tokoh keagamaan, lenyapnya penghormatan terhadap para leluhur, keotentikan mitos-mitos dan adat istiadat lama dari nenek moyang dan datuk kakek dan... semuanya adalah isyarat-isyarat yang jelas akan suatu revolusi penyelamatan dan tanda-tanda yang kukuh akan kebenaran Ilahi.
Dan Jundab ―yang berasal dan kalangan jiwa-jiwa revolusioner yang bergelora, yang tidak menjadi kaku membatu dalam adonan sempit tradisi-tradisi sosial dan keturunan, tidak ketinggalan dari gerakan, kreatifitas, kemampuan untuk berubah, transformasi dan kemampuan untuk memilih― merasakan bahwa ada sesuatu di udara; inilah tepatnya apa yang dicari-cari oleh rohaninya yang tidak terpelajar dan oleh pikirannya yang telah bebas dalam kesunyian gurun pasir, dalam kesepian batinnya.
Ia tidak diam mendengar ‘berita’ ini. Tanggung jawab mewajibkan dia mulai mencari, dan bukan untuk mendasarkan keyakinan dan penilaiannya atas desas-desus, propaganda, kebohongan, fitnah-fitnah dan pemalsuan yang beruntun, yang dibangun oleh kaum elite yang hanya mementingkan diri sendiri dan disiarkan oleh penduduk yang telah merosot; ia sendiri harus bangkit dan menyelidik, karena penilaian seseorang adalah tanda yang paling dapat dimengerti dari kepribadiannya. Barangsiapa memberi penilaian terhadap seseorang, sesuatu pikiran, sesuatu tindakan, sesuatu gerakan dan terhadap setiap realitas, mendasarkannya pada apa yang telah dikatakan orang ― dan sumber dari semua pemikiran dan penilaian mereka ialah ‘Si Anu dan Fulan mengatakan...’ ― sebelum mereka secara jahil dan tidak adil mengutuk sesuatu kebenaran, mereka adalah orang-orang tertindas yang telah mengutuk dirinya sendiri ke dalam jeratan perbudakan intelektual dari kekuatan-kekuatan zamannya, para majikan pembuat takhayul dan sarana propaganda mereka yang nyata dan tersembunyi ― mereka telah menunjukkan dirinya sebagai para pembuat desas-desus, fitnah dan kebohongan-kebohongan, yang impoten, yang telah diberikan tugas khusus oleh musuh, struktur-struktur munafik; si penghasut menyebarkan dan rakyat menerima!
Namun, putra Junadah mengutus saudara lelakinya, Anis, ke Makkah, untuk melihat dari dekat si pria ― yang dikutuk sebagai pembohong, gila, penyihir, penyair dan kafir, yang kata mereka telah datang untuk mencemarkan kehormatan rumah Tuhan, mengubah kesatuan masyarakat menjadi pembentrokan dan perpecahan, serta solidaritas keluarga menjadi perselisihan dan permusuhan ― memperhatikan kata-katanya, menangkap pesannya dan memberikan laporan kepadanya.
Anis datang ke Makkah. Ia tidak menemukan laki-laki itu. Tiada seorang pun menunjukkan kepadanya, orang asing yang tidak bernama, dan tidak bertempat ini. Dengan putus asa ia mencari di seluruh kota. Ia tidak mendengar sesuatu selain caci maki, ejekan, sikap tidak suka dan kebencian, terhadap laki-laki ini. Setiap tempat ― masjid, pasar ― dan orang, terutama “orang-orang yang terhormat”, “tokoh-tokoh ternama”, “gembong-gembong keagamaan dan dunia”, dan juga, pada khususnya “para pemuja yang beriman dan orang-orang yang berprasangka religius”, “orang-orang yang percaya akan tradisi-tradisi Ibrahim dan rumah Ibrahim!” mengulangi kata-kata dan degas desus yang senada tentang dia, yang mencapai tingkat jalinan yang beruntun:
“Ia gila, ia ahli sihir. Godaan kata-katanya bukanlah gaya tarik dari wahyu; itu sihir, itu bukan keindahan dari kebenaran, itu syair; ia tidak menerima kata-katanya dari Jibril; kata-katanya bukan pula kata-katanya sendiri; seorang ulama asing mengatakan apa yang harus dikatakannya, ia mendapatkannya dari seorang rahib Kristen, seorang cendekiawan Iran; ia adalah malapetaka yang menimpa umat Ibrahim; ia memorakporandakan kehormatan masjid, kesucian Rumah Tuhan, tradisi ziarah ke Ka’bah, pemuja dewa-etika, penghormatan atas keluarga, serta semua kehormatan dan nilai-nilai dari nenek moyang kita.”
Tiba-tiba, serentak, di salah satu dari lorong-lorong sempit Makkah, ia melihat sekumpulan besar orang sedang berkerumun di suatu sudut. Ia ke sana: seorang pria sendirian, berwajah cerah, dengan pandangan yang membangunkan kedalaman jiwanya, alis yang terbuka dan tenang, sosok tubuh yang berukuran sedang, bentuk agresif, dan dalam pada itu, keramahan dan kasih sayang yang memberi inspirasi; dengan suara jantan, tegas dan pasti, dan, pada saat yang sama, manis dan penuh kehalusan; dengan kata-kata yang mendalam, nada yang menyedapkan dan lebih indah dari seni syair, penuh takwa dan harapan. Anis berdiri di hadapannya. Ia tidak tahu: apakah akan mendengarkan kata-katanya, memberikan hatinya kepada karismanya, atau sekadar memperhatikan segala keindahan dan keramahan postumya, pandangannya, perilakunya atau kata-katanya?
Ia masih dalam kebingungan melihat pria ini, ketika sekelompok laki-laki membuat huru-hara. Tanpa memperhatikan kata-katanya dan mendengarkan jawabannya, mereka menciptakan banjir caci maki dan fitnah yang diulang-ulang, yang telah dipersiapkan sebelumnya, ke arah kepala dan wajahnya; dan, kejahilan dari orang-orang tidak berprasangka yang tidak mempunyai apa-apa sehingga tidak akan kehilangan apa-apa dalam “penerangan risalah” itu; dan “revolusi dari misi itu”, yang mereka sendiri terkutuk oleh sistem kekuasaan dan pengorbanan-pengorbanan dari status quo itu, telah membuat mereka menjadi boneka-boneka dari tirani dan terperangkap oleh penjara-penjara mereka sendiri, massa rakyat, dengan kegairahan yang jelek dan pembiusan, memekikkan apa yang telah dimasukkan oleh orang-orang yang berperasangka ke dalam mulut mereka.
Mereka mendorong “rasul yang sendirian” itu dengan kemarahan atau keberangan, atau mereka menarik diri darinya dengan caci maki dan ejekan, dan meninggalkannya sendirian. Karena ia memiliki ketabahan dan ketenangan surgawi serta neraca kesabaran, dan kekukuhan bak gunung ― karena ia telah turun dari Hira’ dan telah membawa risalah ilahi ― maka pukulan kemarahan dan gelapnya kejahilan tidak mempengaruhi, tidak meninggalkan garis kemarahan pada wajahnya yang berlimpah-limpah dengan keramahan dan kasih sayang. Ia bergegas ke suatu tempat lain dan, di tengah suatu kelompok lain, kata-katanya mulai lagi, sekali lagi, setelah orang menutup kuping dan otak, caci maki dan tuduhan fitnahan dan ejekan, lagi ia ke tempat-tempat lain, dan sekali lagi, memulai kata-katanya!
Ia berkelana di sepanjang wilayah kota itu, di jalan dan pasar, tempat berkumpul dan masjid; ia pergi ke mana-mana mencari manusia. Ia berdiri di sepanjang jalan orang, dan tanpa memikirkan jawaban-jawaban memberi ketakutan kepada mereka, memberikan kabar gembira kepada mereka, memperingatkan mereka akan suatu bahaya, menunjukkan kepada mereka jalan keselamatan, karena ia mengemban suatu pesan, karena ia mengemban suatu misi, bahwa Allah ‘Sahabat orang-orang terhormat’ dan ‘Musuh orang-orang yang sombong’, telah berseru kepadanya, “Hai orang yang berselimut! Bangunlah, dan berilah peringatan!”.