Ferdowsi, Pelita Yang Tak Pernah Redup

Berabad-abad telah berlalu sejak Shahnameh ditulis. Namun sampai saat ini, di desa-desa Iran warga yang kebanyakan petani dan pengembala masih senang dibuai oleh kisah-kisah heroik yang diceritakan Ferdowsi, dan terkadang dongeng-dongeng itu diungkap kembali dengan bahasa dan dialek lokal. Kisah tentang Rostam selalu bisa menyulut harapan di dada sementara kisah duka Siyavash, Esfandiyar dan Sohrab selalu membakar kesedihan di hati.

 

Shahnameh adalah kumpulan kisah-kisah legenda bangsa Iran, legenda bangsa yang sudah berumur ribuan tahun. Kisah ini dimulai dari penciptaan manusia, kelahiran, penyempurnaan peradaban manusia, dongeng pergumulan yang tak pernah usai dan perang sengit, kisah tentang peristiwa sejarah dari terbentuknya hingga hancurnya pemerintahan di zaman purbakala. Shahnameh adalah khazanah budaya ribuan tahun negeri dan bangsa Iran. Tak salah jika mahakarya Ferdowsi ini disetarakan dengan ensiklopedia logika dan pemikiran Iran yang mesti dijaga.

 

Shahnameh sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa-bahasa Eropa, dan tentunya hasil terjemah tak pernah mampu mentransfer detail pemikiran dan seni yang ada dalam kitab ini. Meski ditulis berdasarkan budaya dan tradisi satu bangsa yang sudah pasti berbeda dengan tradisi dan budaya bangsa-bangsa lain, keagungan dan pengaruh Shahnameh bagi bangsa-bangsa lain tak bisa dipungkiri. Para pakar sastera dan budaya Eropa menyadari bahwa pesan kemanusiaan dan pemikiran Ferdowsi yang lembut adalah khazanah dan kekayaan umat manusia. Sebagian meyakini karya Ferdowsi ini sebagai mahakarya sastera paling hebat di dunia sepanjang sejarah.

 

Seiring dengan melemahnya kekuasaan dinasti Samani dan wafatnya Roudaki, bapak syair Persia, di Samarkand, di sebuah desa di negeri Iran lahir seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi pujangga besar. Dia adalah Abul Qasim Ferdowsi. Berdasarkan catatan yang dikumpulkan dari berbagai sumber diantaranya Shahnameh, Ferdowsi diperkirakan lahir antara tahun 329 dan 330 hijriyah atau 940-941 Masehi. Tempat kelahirannya adalah desa Paj yang berada di dekat kota Tus. Menurut catatan sejarah, kota Tus dan kota Bukhara di zaman itu merupakan pusat kebudayaan Iran. Bukhara dikenal dengan pusat keilmuan resmi yang diayomi oleh pemerintahan Abbasi, sementara Tus adalah pusat kebudayaan Iran.

 

Banyak sejarawan yang meyakini bahwa cinta tanah air serta kecenderungan kepada masalah budaya dan kisah-kisah legendaris di kota Tus adalah faktor utama yang membuat Abu Mansur memilih kota ini sebagai tempat untuk menulis Shahnamehnya dalam bentuk prosa.  Dari kota ini pula, Daqiqi, Ferdowsi, dan Asadi Thusi, para pujangga kisah-kisah heroik berasal. Tidak ada riwayat yang jelas tentang masa kecil Ferdowsi. Nezami Arudi, penulis besar yang hidup sekitar satu setengah abad setelah Ferdowsi, menyebut pujangga besar ini berasal dari keluarga terpandang karena status kebangsawanan dan kekayaannya. Ferdowsi sendiri mengakui kehidupannya yang berkecukupan di masa muda.

 

Berbekal kondisi kehidupannya yang mapan, anak-anak dari keluarga selevel Ferdowsi berkesempatan memperoleh pendidikan yang baik untuk memperkaya diri dengan ilmu dan akhlak. Mereka juga dikenalkan dengan sejarah, budaya dan tradisi yang ada. Jiwa bebas, keunggulan, keutamaan akhlak dan kesucian lisan Ferdowsi didapatkan berkat pendidikan ini. Jika dibandingkan dengan syair-syair para pujangga di zamannya nampak keunggulan syair-syair Ferdowsi.

 

Ferdowsi hidup di tengah keluarga bangsawan yang terhormat. Karena itu, dia tak pernah tunduk kepada penguasa manapun. Dia juga dikenal berbudi luhur seperti ksatria-ksatria besar yang kisahnya diceritakan dalam Shahnameh. Sejak kanak-kanak, penyair besar ini telah menunjukkan minatnya yang besar kepada ilmu dan pendidikan. Kecenderungan ini biasa ditemukan di lingkungan keluarga bangsawan. Dia mempelajari semua ilmu yang ada di zamannya. Selain bahasa Persia dan bahasa Arab, dia menguasai bahasa Pahlavi yang merupakan bahasa nenek moyang bangsa Iran dan bahasa naskah-naskah sastera, budaya dan sejarah masa lalu. Sang pujangga juga menguasai filsafat Yunani. Pengetahuannya akan filsafat dapat ditemukan di sela-sela Shahnameh.

 

Sebagian peneliti menyatakan bahwa Shahnameh ditulis Ferdowsi selama 30 tahun. Sebagian meyakini bahwa Ferdowsi mulai bersyair ketika ia berusia 58 tahun. Pendapat lain menyebutkan bahwa tokoh besar sepanjang sejarah ini sudah mulai bersyair sejak masa muda. Menurut pendapat ini, kisah Bijan dan Manijeh ditulis di masa mudanya. Sebab, kisah Bijan dan Manijeh menunjukkan adanya pancaran gelora muda dari penulisnya. Menelaah Shahnameh akan membawa kita pada kesimpulan akan kematangan dan keserasian tiada tara dalam seluruh bagian Shahnameh. Hal ini menunjukkan bahwa penulisnya memiliki pengalaman yang panjang dalam bersyair.  

 

Bangsa Iran sudah terbiasa menceritakan kisah-kisah legendaris dari mulut ke mulut. Kisah-kisah itu  dicatat oleh Ferdowsi dalam bentuk syair. Mungkin dari situlah, naskah kisah-kisah tersebut berpindah dari tangan ke tangan. Di pembukaan Shahnameh, Baysonghori menceritakan bahwa ketika Ferdowsi sibuk menulis Shahnameh, kisah-kisah legenda berbentuk syair hasil karya Ferdowsi mulai dikenal luas oleh masyarakat. Naskah dari kisah-kisah itupun berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Suatu ketika seseorang membawa naskah kisah peperangan Rostam dan Esfandiyar dan menyerahkannya kepada Rostam bin Fakhrud Daulah al-Dailami yang lantas memberinya 500 dinar dan mengirimkan seribu dinar kepada Ferdowsi.