SYAFAAT(2)

Syafaat Adalah Doa
Syafaat berarti memohon sesuatu dari pihak tertentu untuk yang disyafaati. Dan syafaat Rasulullah saw. atau yang lain berarti doa beliau kepada Allah swt. untuk selain dirinya dan permohonan beliau kepada-Nya agar mengampuni dosa dan memenuhi kebutuhan orang lain tersebut. Jadi, syafaat adalah salah satu ragam doa. Fakhrur Razi menafsirkan ayat:

مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيْبٌ مِنْهَا ﴿ النساء: 85 ﴾

Artinya: “Barangsiapa memberikan syafaat yang baik niscaya dia akan memperoleh bagian (pahala) darinya.” (QS. an-Nisa’: 85)
Dengan mengutip ucapan Muqatil bahwa “sesungguhnya syafaat kepada Allah swt. terealisasi dengan doa”, kemudian Muqatil mengajukan dalil hadis dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendoakan saudara muslimnya di saat dia tidak hadir, niscaya doanya untuk saudara muslim tersebut akan dikabulkan, dan malaikat berkata kepadanya kamu akan mendapatkan hal yang serupa dengan itu”. [2]
Berarti, ungkapan lain dari permintaan syafaat kepada yang lain adalah permintaan doa kepada dia. Hal ini sudah terbukti bahwa permintaan doa kepada siapa saja orang yang beriman hukumnya adalah boleh sebagaimana Muhammad bin Abdul Wahab sendiri meyakini hukumnya permintaan doa kepada orang hidup adalah halal, bahkan pada dasarnya hukum ini tergolong hal-hal yang pasti dalam agama Islam. Dengan demikian, maka hukumnya permintaan syafaat (baca: doa) dari orang yang beriman adalah halal, apalagi jika yang dimintai syafaat adalah nabi, orang saleh, atau bahkan penghulu para rasul yaitu Rasulullah saw.
Mungkin Anda katakan bahwa pihak yang memberi syafaat harus mempunyai kedudukan di sisi pihak yang dimintai syafaat di sisinya (seperti Allah swt.). Dan di sini kami jawab bahwa Allah swt. telah menetapkan kehormatan tersendiri bagi setiap orang yang beriman, Aslami meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. saat berbicara dengan ka’bah: “Alangkah agungnya dirimu, alangkah agungnya kehormatanmu, dan alangkah agungnya kehormatan orang mukmin di sisi Allah swt. yang lebih agung dari kehormatanmu di sisi-Nya.” [3] Karena kehormatan itulah maka ada harapan syafaatnya diterima dan doanya dikabulkan. Saya tambahkan bahwa syafaat ini tidak hanya dimiliki oleh para nabi, melainkan juga dimiliki oleh setiap orang yang beriman dan malaikat.

Syafaat Malaikat

اَلَّذِيْنَ يَحْمِلُوْنَ الْعَرْشَ وَ مَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَ يُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَ يَسْتَغْفِرُوْنَ لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا وَسِعَتْ كُلَّ شَيْئٍ رَّحْمَةً وَ عِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِيْنَ تَابُوْا وَ اتَّبَعُوْا سَبِيْلَكَ وَ قِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ. رَبَّنَا وَ اَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِيْ وَعَدْتَهُمْ وَ مَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَآئِهِمْ وَ اَزْوَاجِهِمْ وَ ذُرِّيَّاتِهِمْ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. وَ قِهِمُ السَّيِّئَاتِ... ﴿غافر: 7-9﴾


Artinya: “Malaikat-malaikat yang memikul arsy dan siapa-siapa yang berada di sekitarnya, bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya serta memohon ampun untuk orang-orang yang beriman, ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka ampunilah orang-orang yang taubat dan mengikuti jalan-Mu dan hindarkanlah mereka dari siksa neraka jahim. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga-surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan siapa yang saleh di antara bapak-bapak mereka, isteri-isteri mereka dan keturunan mereka, sesungguhnya Engkaulah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan hindarkanlah mereka dari kejahatan… .” (QS. Ghofir: 7-9).
Fakhrur Razi menjelaskan bahwa ayat ini membenarkan adanya syafaat dari malaikat untuk orang-orang yang berdosa. [4]
Syafaat juga bisa datang dari Rasulullah saw. dan nabi-nabi yang lain, bahkan Allah swt. memerintahkan beliau untuk melakukan hal itu:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ ﴿ محمد: 19 ﴾

Artinya: “Dan mohon ampunlah bagi dosamu dan dosa orang-orang mukmin laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19).
Al-Qur’an juga mengisahkan Nabi Nuh as. sebagai berikut:

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ وَ لِمَنْ دَخَلَ‌ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ ﴿ نوح: 28﴾

Artinya: “Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang mukmin laki dan perempuan.” (QS. Nuh 28).
Kesimpulannya adalah syafaat tidak lebih dari sebuah doa dan permohonan ampun.

Syafaat Hajar Aswad
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata: “Jadikanlah batu ini sebagai saksi untukmu dalam kebaikan, karena sesungguhnya di hari kiamat nanti dia akan memberi syafaat dan syafaatnya pun diterima.” [5] Abu Na’im juga meriwayatkan hadis ini dalam Musalsalatnya dan menyatakan bahwa hadis ini sahih serta terbukti dari Ali bin Abi Thalib as.
Azizi menerangkan hadis di atas bahwa yang dimaksud dengan asyhidu hadzal hajar adalah jadikanlah Hajar Aswad ini sebagai saksi yang menguntungkan kalian, ‘ala khoirin taf’alunahu yakni dalam kebaikan yang kalian perbuat padanya seperti mencium, mengusap, atau berdoa dan zikir di sisinya, fa’innahu syafi’un berarti sesungguhnya dia memberi syafaat kepada siapa yang menjadikannya saksi dalam kebaikan, dan musayffa’un berarti syafaatnya diterima. [6]
Dari keterengan Azizi bisa dimengerti bahwa kata isyhad dalam hadis ini berarti permintaan syafaat dari Hajar Aswad, padahal Hajar Aswad hanya benda mati yang tidak berpikir dan juga tidak berbicara, meskipun demikian kita dianjurkan untuk meminta syafaat darinya dan sama sekali tidak tergolong perbuatan syirik. Jika memang perbuatan itu adalah syirik niscaya tidak akan berubah hanya disebabkan adanya anjuran untuk dilakukan, sebab hukum tidak bisa merubah subjek. Oleh karena itu, syafaat dan doa adalah satu kategori, dan perlu diingat bahwa Allah swt. tidak berkeharusan untuk menerima syafaat atau mengabulkan doa, tapi sesungguhnya penerimaan syafaat dan pengabulan doa merupakan kebajikan dan keutaman Dia swt.

Syafaat Mayit
Ibnu Taimiyah berkata: “itu adalah bid’ah”. Menurut Ibnu Abdul Wahab dan San’ani: “itu adalah kafir dan syirik”. Lebih jelasnya Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa sehubungan dengan para Nabi, orang saleh, dan yang lain tidak disyariatkan pada kita mengucapkan “berdoalah untuk kami” atau “mohonlah pada Tuhanmu untuk kami”, dan ucapan-ucapan seperti ini tidak pernah diriwayatkan baik dari sahabat atau pun tabiin, selain itu tak satu pun dari para imam yang menganjurkan dan tidak ada satu hadis pun yang datang menysariatkan.
Kepercayaan bahwa permintaan syafaat pada orang mati adalah haram, tidak lain karena menurut mereka mustahil berkomunikasi dengan orang mati yang sudah tiada!, padahal sebenarnya Rasulullah saw., begitu juga para nabi yang lain, tetap hidup walau setelah nyawa mereka terpisah dari tubuhnya, beliau mendengar percakapan, beliau diberitahu shalawat dan salam orang padanya, dan beliau juga menjawab salam. Rasulullah saw. mengetahui sesuatu setelah wafat seperti beliau mengetahui sesuatu samasa hidupnya, suratan amal-amal ummat senantiasa dilaporkan kepadanya, dan beliau pun beristighfar untuk ummatnya. [7] Inilah keyakinan yang dipertegas oleh para ulama dan teolog islam, dan siapa saja tidak bisa mengingkarinya.

Kehidupan Rasulullah Saw. Setelah Wafat
Kehidupan Rasullah saw. setelah mati bukan hal asing yang masih perlu diperdebatkan, keyakinan ini disepakati baik oleh pakar teologi muslim ataupun yang lain. Samhudi [8] mengatakan tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw. tetap hidup walaupun ajal telah menjemputnya, begitu pula dengan para nabi yang lain as., semuanya hidup di dalam kubur mereka dan bukan sekedar hidup melainkan sebuah kehidupan yang lebih sempurna dari kehidupan para syahid yang difirmankan Allah swt. dalam kitab suci-Nya al-Qur’an, sedangkan Rasulullah saw. adalah penghulu para syahid, bahkan amal para syahid harus melewati timbangan beliau, beliau bersabda: “Pengetahuanku setelah wafat seperti pengetahuanku semasa hidupku”, riwayat dari Hafidz al-Mundziri.
Ibnu Adi meriwayatkan hadis dalam Kamilnya dari Tsabit, dan Tsabit dari Anas berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Nabi-nabi hidup dalam kuburan mereka dan mengerjakan shalat”, Abu Ya’la juga meriwayatkan hadis ini melalui perawi-perawi yang jujur, dan Baihaqi juga meriwayatkan hadis tersebut seraya menyatakan kesahihannya. [9]
Baihaqi sendiri menegaskan ada banyak bukti-bukti hadis shahih yang menunjukkan kehidupan para nabi as. setelah mereka wafat kemudian dia menyebutkan beberapa hadis pengalaman Rasulullah saw. bertemu dengan para nabi seraya mengucapkan salam kepada mereka, di antaranya beliau bersabda “-suatu saat- aku melewati Musa di saat dia berdiri menunaikan shalat di dalam kuburnya”.
Ibnu Majjah dengan sanad yang baik –seperti yang diakui oleh Mundziri- meriwayatkan hadis dari Ibnu Darda’ berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perbanyaklah shalawat kepadaku di hari jumat, karena itu pasti disaksikan dan malaikat pun akan memberi kesaksian. Sesungguhnya siapa saja yang mengirimkan shalawat kepadaku pasti shalawatnya akan disampaikan kepadaku”, kutanyakan pada beliau walaupun setelah mati? Lanjut Ibnu Darda’, Rasulullah saw. menjawab: “-iya- walaupun setelah mati, karena sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan tubuh para nabi as. maka sungguh nabi Allah senantiasa hidup dan diberi rezeki”.
Bazzaz melalui perawi-perawi yang shahih meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat pengembara yang menyampaikan –berbagai hal- dari ummatku”, beliau juga bersabda: “Kehidupanku baik untuk kalian, karena kalian dapat berbicara langsung denganku dan aku pun demikian, sementara wafatku juga baik untuk kalian karena perbuatan-perbuatan kalian dilaporkan kepadaku, jika aku menemukan hal yang baik maka aku memuja Allah untuk itu, dan jika kutemukan hal yang buruk maka kumohon ampun dari Allah untuk kalian”.
Abu Mansur Baghdadi menyebutkan bahwa para pembesar teolog islam dari sahabat kami mengatakan sesungguhnya Rasulullah Muhammad saw. tetap hidup setelah wafat, beliau senang dengan ketaatan ummatnya, dan sesungguhnya para nabi as. tidak pernah luluh.
Baihaqi dalam kitab al-I’tiqad menyebutkan bahwa setelah nyawa para nabi dicabut maka nyawa itu dikembalikan lagi kepada mereka sehingga mereka tetap hidup[10] di sisi Allah swt. sebagaimana para syahid. Rasulullah saw. juga melihat sebagian nabi-nabi as. di malam isra’-mi’raj. Baihaqi mengatakan kalau dirinya menyusun kitab khusus untuk membuktikan kehidupan nabi-nabi as.
Samhudi menambahkan pembuktian ini diperkuat dengan hadis yang berbunyi: “Sesungguhnya Isa putera Maryam berjalan di Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, dan jika dia mengucapkan salam kepadaku maka aku pun menjawab salamnya”. Selain itu, kehidupan tubuh para nabi –di dalam kubur- seperti
saat-saat masih di dunia mendukung bukti-bukti kehidupan mereka setelah wafat, hanya saja tubuh mereka sekarang tidak lagi membutuhkan konsumsi, tapi sebaliknya mempunyai pengaruh yang kuat pada alam. Hal ini kami urai panjang lebar dalam kitab yang berjudul al-Wafa’u Lima Yajibu Lihadhroh al-Musthofa. [11]
Menurut Qasthalani, kehidupan para nabi as bukan hal yang diragukan lagi, melainkan sejak dahulu sampai sekarang merupakan masalah yang sudah diketahui, tetap dan terbukti, dan Rasulullah saw. adalah nabi paling utama di antara mereka, maka sudah barang tentu kehidupan beliau lebih sempurna dan lengkap daripada kehidupan nabi-nabi yang lain. [12]
Setelah mengamati pernyataan para ulama dan peneliti serta menyimak hadis-hadis shahih yang tercatat dalam kitab-kitab sunnah, apa masih ada tempat untuk pendapat Ibnu Taimiyah dan pengikutnya? Masih mungkinkah dibenarkan pendapat bahwa syafaat dan permohonan doa dari nabi atau orang saleh tergolong bid’ah, kafir dan syirik? Hanya satu ungkapan yang tersisa bahwa tidak ada pilihan lagi buat mereka kecuali menarik kembali apa yang mereka katakan sebelumnya, sepantasnya mereka mengkaji lagi hadis-hadis dan pernyataan para ahli agar dapat memahami betapa pendapat mereka jauh dari kajian ilmiah yang sesungguhnya. Jika ingin dipaksakan, sebenarnya pendapat mereka tidak menunjukkan apa-apa kecuali minimnya maklumat mereka tentang dasar-dasar pemikiran mereka sendiri.

Catatan kaki :

1. Tulisan ini disadur dari dua tulisan berjudul syafaat yang termuat dalam dua kitab: Rawafaid al-Iman ila Aqa’id al-Islam, Najmuddin Tabasi, hal. 13-35. Wahabiyat, Ali Asghar Ridhwani, hal. 447-470.
2. At-Tafsir al-Kabir: jilid 10, hal 207.
3. Sunan Tirmidzi: jilid 4, hal 378, bab 85, hadis 2032.
4. At-Tafsir al-Kabir: jilid 27, hal 32.
5. Kanz al-Ummal : jilid 12, hal 217, hadis 34739. Jami’ as-Shoghir: 255
6. Faidh al-Qodir: jilid 1, hal 527.
7. Muhasabah an-Nafs: bab 3:18. Kasyf al-Irtiyab: 217.
8. Nama lengkapnya adalah Nur Din Ali bin Ahmad, lebih dikenal dengan sebutan Samhudi, dia tinggal di kota Madinah Munawarah dan dikenal sebagai ulama, mufti, guru sekaligus sejarahwan, dia pengikut mazhab Syafi’I, dilahirkan pada bulan Safar tahun 844 H., memiliki banyak murid di haramain dan juga meninggalkan banyak karya tulis.
Sakhawi berkata: Jarang sekali ahli Madinah yang tidak belajar padanya, dia adalah imam yang menguasai ilmu, istimewa di bidang usul dan fiqih, senantiasa bergelut dengan ilmu dan berkarya, konsisten dengan ibadah, diskusi dan dialog, kuat, fasih dalam bercakap dan penuh keyakinan, intinya dia adalah paling istimewa dari pada yang lain. Tahun kematiannya tercatat 911 H.
Bisa Anda rujuk pada kita Syadzarotudz Dzahab: 8/15 karya Ibnu ‘Imad al-Hanbali, dan kitab ad-Dhou’ul Lami’: 5/245 karya Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi.
9. Wafa’ al-Wafa’: 4/1349.
10. Rasulullah saw. bersabda: “-suatu saat- aku melewati Musa dan dia dalam kaadaan shalat di dalam kuburnya”. Kuburan Nabi Musa as. terletak di kota Madyan antara Madinah dan Baitul Maqdis. (Siaru A’lamin Nubala’: 16/99. Shahih Muslim: 2/2375. Sunan an-Nasa’i: 3/216. Musnad Ahmad bin Hanbal: 3/148. Ibn Habban.
11. Wafa’ al-Wafa’: 4/1349.
12. Al-Mawahib al-Laduniyah: 3/413.