Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

ABU YAZID AL-BUSTHAMI

1 Pendapat 05.0 / 5

Abu Yazid Thaifur bin ’Isa bin Surusyan aI-Busthami Iahir di Bustham yang terletak di bagian Timur Laut Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster. Di Bustham ini pula Abu Yazid meninggal dunia tahun 261 H/874 M atau 264 H/877 M, sedang makamnya masih ada hingga saat ini. Di samping keharuman namanya sebagai pendiri perguruan sufisme, beliau dikenal karena
keberaniannya menyatakan peleburan yang sempurna seorang mistikus ke dalam tuhan.

Secara khusus penjelasan-penjelasannya mengenai perjalanannya ke surga (yang mirip dengan Mi”raj Nabi Muhammad), sangat sering dipelajari oleh para penulis dan sangat mempengaruhi imajinasi manusia-manusia sesudahnya.

ABU YAZID AL-BUSTHAMI: LAHIR DAN MASA REMAJANYA
Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah seorang di antara orang-orang terkemuka Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia berada di dalam kandungan ibunya.
“Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata kepada Abu Yazid, “Engkau yang masih berada di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”.
Pernyataan si ibu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.

Kepada Abu Yazid pernah ditanyakan, “Apakah yang terbaik bagi seorang manusia di atas jalan ini”.
“Kebahagiaan yang merupakan bakat sejak lahir”, jawab Abu Yazid.
”Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?”
“Sebuah tubuh yang sehat dan kuat”.
“Jika tidak memilki tubuh yang sehat dan kuat?”
“Pendengaran yang tajam”.
“Jika tidak memiliki pendengaran yang tajam?”
“Hati yang mcngetahui”.
“Jika tidak memiliki hati yang mengetahui?”
“Mata yang melihat”.
“Jika tidak memiliki mata yang melihat?”
“Kematian yang segera”. ‘
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surah Lukman yang berbunyi: “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu”. Ayat ini sangat menggentarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu-tulisnya dan berkata kepada gurunya: “IzinkanIah aku pulang, ada sesuatu yang hendak kukatakan kepada ibuku”.
Si guru memberi izin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata:
”Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang istimewa?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua buah rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata”.
”Anakku”, jawab ibunya. ”Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau dan jadilah seorang hamba Allah”.
Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut:

Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong. Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur‘”.
“Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian
memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku.
“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?’, ibu bertanya.
’Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena’, jawabku.

Kemudian ibu berkata kepadaku: ’Biarkan saja pintu itu setengah terbuka’ “.
“Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”.

Setelah sang ibu memasrahkan anaknya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus-menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan.
Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq ra.. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata
kepadanya,
“Abu Yazid, ambilkan buku yang dijendela itu”.
“Jendela? Jendela mana?”, tanya Abu Yazid.
“Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “Apakah perduliku dengan jendela.
Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini”.
“Jika demikian”, kata si guru, “Kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai”.