Anak di Mata Nabi SAW (1)

Untuk apa kita berbicara nasib anak-anak? Dalam semua bentuknya, perang telah menghancurkan ekonomi kita, meruntuhkan industri, mendominasi penelitian dan pengembangan, dan menyimpangkan pikiran-pikiran ilmiah terbaik dari dua generasi.

Seluruh derita perang ini paling berat dipikul oleh anak-anak kita. Kesejahteraan mereka dikorbankan, kesehatan mereka dihancurkan, dan masa depan mereka dirusakkan.

Di negara-negara yang mengutamakan senjata daripada kesejahteraan anak, kita menemukan anak-anak yang dipukuli, dianiaya, ditelantarkan orang tuanya, dan memanfaatkan tenaganya dengan upah yang murah. Atau paling tidak mereka tumbuh besar dengan tubuh yang rentan penyakit, otak yang terhambat, dan hidup yang tidak ceria. Atas dasar apa, kita memenangkan peperangan kita hari ini sehingga menghancurkan kehidupan anak-anak kita esok hari?

Berapa banyak anak-anak yang wajahnya yang kurus, matanya yang cekung, mucul lagi di layar TV. Sementara itu, di belakangnya, peluru-peluru senjata modern melesat dan para pemimpin dunia tertawa.

 

HAK-HAK ANAK DI DALAM ISLAM

“Seorang perempuan miskin datang menemuiku,” kata Aisyah Ra, “Ia membawa dua orang anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada kedua orang anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda:

“Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)

“Barang siapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu ia melindungi mereka, mengasihi mereka, memelihara mereka dengan baik, ia pasti masuk surga,” kata Nabi Muhammad dalam riwayat yang lain.  (Al-Targhib wa Al-Tarhib,3:68)

Nabi menegaskan anak perempuan, karena pada zaman itu, anak perempuan tidak mempunyai hak sama sekali. Mereka dianggap beban ekonomi, sehingga sering dibunuh beberapa saat setelah mereka lahir. Al-Quran mengabadikan peristiwa pembunuhan anak perempuan itu, ketika Allah berfirman: Ingatlah ketika anak-anak perempuan yang dibunuh itu ditanya, karena dosa apa mereka harus dibunuh.” (QS.81:8)  

Nabi memberikan contoh penghargaan kepada anak (khususnya anak perempuan), ketika memperlakukan Fathimah. Nabi memanggil putrinya :”Ummu Abiha” (ibu dari bapaknya), sebagai penghormatan atas kebaktian Fathimah dalam berkhidmat kepada ayahnya.

Bila Nabi tengah berada dalam majelis dan melihat Fathimah datang, dia segera bangkit. Tidak jarang dia mencium tangan Fathimah dihadapan sahabat-sahabatnya –cium penghormatan dan kasih sayang sekaligus. Kadang-kadang dia mencium dahi Fathimah seraya berkata “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah.”

Seorang pemuka kabilah, Al-Aqra’ bin Habis, melihat Nabi mencium anaknya. Dia keheranan dan bertanya, “Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tak seorang pun aku cium.” “Aku tidaklah seperti kamu,” jawab Nabi yang mulia,“ Karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu.”

Ketika Rasulullah khawatir jika ada orang yang menyakiti hati Fathimah, maka dia mengumumkan kecintaannya kepada putrinya dengan berkata, “Fathimah belahan nyawaku, siapa yang menyakiti Fathimah dia menyakitiku. Siapa yang membuat Fathimah murka, dia membuatku murka juga.” (HR.Al-Bukhari)

Begitu eratnya hubungan kasih sayang antara Rasulullah dengan putrinya, sehingga kepergian Rasulullah ke alam baka’ sangat menggoncangkan Fathimah. Hampir setiap hari dia menjenguk makam ayahnya. Dia merintih di depan pusara ayah yang dikasihinya. Dia mengambil segenggam tanah kuburan dan mengusapkannya ke wajahnya seraya bersyair, “Apakah orang yang telah mencium tanah pusara Ahmad, akan dapat menghirup lagi semerbak wewangian. Telah menimpa daku musibah. Seandainya musibah itu jatuh siang hari, siang akan berubah menjadi malam gulita.”

Pada saat anak perempuan dipandang rendah, Nabi mengangkat Fathimah. Ketika kehadiran anak wanita dianggap bencana, Nabi menyebut Fathimah sebagai “Al-kautsar” (anugerah yang banyak). Dalam masyarakat Jahiliyyah yang bangga menguburkan anak perempuan hidup-hidup, Nabi menegakkan hak-hak anak secara terbuka. Belum pernah pemimpin dunia memerlakukan anaknya seperti perlakuan Nabi kepada Fathimah.

Hubungan batin diantara keduanya dicatat sejarah sebagai pelajaran abadi untuk umat manusia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita melihat seorang pemimpin agung memperjuangkan hak-hak seorang anak.

 

DIBERI NAMA YANG BAIK

Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya ialah memberikan nama yang baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Ya Rasulallah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya; kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” (Syarh Risalah Al-Huquq,1:597) .

Apakah arti sebuah nama?

Nabi menegaskan banyak sekali hal penting dalam nama seseorang ketika seorang sahabat menyebutkan namanya “Hazn” (duka cita), Nabi menggantinya dengan “Farh” (suka cita). “Al-Mudhtaji” (yang terbaring) diganti oleh Nabi menjadi “Al-Munbaits” (yang bangkit). Orang yang namanya “Harb” (perang) diubah nabi menjadi “Silm” (damai), dan banyak lagi yang lain. (Al-Targhib, 3:71).

Anak berhak mendapat nama yang baik, karena seringkali nama yang diberikan oleh orang tuanya menentukan kehormatannya. Ahli hikmah berkata: “Jika kami belum melihat kalian, maka yang paling kami cintai ialah yang paling bagus namanya. Bila kami sudah melihat, maka yang paling bagus wajahnya. Bila kami sudah mendengar kalian, maka yang paling bagus pembicaraannya. Bila kami sudah memeriksa kalian, maka yang paling kami cintai adalah yang paling bagus akhlaknya. Adapun batin kalian, biarlah itu urusan kalian dengan Tuhan kalian.”

Nama itu penting, karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan akidah. Jang Odeng sudah pasti orang Sunda, Harahab jelas berasal dari keluarga Batak, Tukijo tentu orang Jawa, dan Al Atos terang menunjukkan keluarga Arab.

Islam menganjurkan agar orang tua memberikan nama anak yang menampakkan identitas Islam, suatu identitas yang melintas batas-batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan (kinship).

Karena itu, Muhammad Ali boleh jadi orang Pakistan, Iran, Indonesia, atau Amerika Serikat. Tetapi hampir dapat dipastikan ia orang Islam.

Para psikolog modern belakangan menyadari pentingnya nama dalam pembentukan konsep diri. Secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra  (image, gambaran) yang terkandung dalam namanya.

Teori labelling (penamaan) menjelaskan kemungkinan seorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat. Berilah gelar “JOROK” kepada anak anda, dan seumur hidup anak itu akan menjadi orang yang jorok. Gelarilah ia “Si Pemurah” dan ia besar kemungkinan akan berusaha selalu pemurah.

Memang boleh jadi orang akan berperilaku yang bertentangan dengan namanya. Taufiq mungkin menjadi penjahat, tetapi nama itu akan meresahkan batinnya. Ia boleh jadi mengubah namanya, atau mengubah perilakunya.

Walhasil, anak anda akan menggugat anda pada hari akherat (dan boleh jadi di dunia ini juga) bila nama yang anda berikan membawa petaka dalam kehidupannya. “Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR.Abu Dawud dan Ibnu Hiban)


BERKELANJUTAN !!!!.......