Sudahkah Kita Membayar Upah Rasulullah?

Demi mengenang wafatnya lima orang saleh, sekelompok masyarakat membangun patung-patung mereka untuk dijadikan sebagai monumen peringatan dan penghormatan. Setelah beberapa generasi berlalu, muncullah dongeng dan khurafat yang menjadikan patung-patung itu sebagai berhala. Nuh a.s. hadir dan membuat revolusi pemikiran untuk membersihkan akal manusia dari penyembahan selain kepada Tuhan yang Mahaesa.

Rentang waktu selama 950 tahun yang dilalui Nuh a.s. membuktikan bahwa tauhid tidak bisa dipaksakan. Ibnu Abbas mengatakan bahwa hanya delapan puluh orang yang beriman pada masa itu. Padahal Nuh sudah mengatakan: Sekali-kali aku tidak minta upah kepada kalian atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Generasi masyarakat berikutnya kembali membuat patung orang-orang yang selamat dari hempasan topan dan badai, kali ini untuk memberi peringatan atas kesalahan nenek moyang mereka. Namun generasi bernama Ad tersebut kembali gagal menyadari kemanusiaan mereka dan sombong akan kekuatan yang diberikan Tuhan. Mereka membanggakan kekuatan tapi melupakan bahwa Allah Swt. yang menciptakan mereka lebih kuat lagi.

Kaum Ad menolak hari akhirat dan penjelasan Nabi Hud tentang hikmah penciptaan manusia. Janji Allah datang ketika masa kekeringan dan angin kencang menghancurkan mereka. Padahal Hud sudah mengatakan: Sekali-kali aku tidak minta upah kepada kalian atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Datanglah kaum Tsamud yang hanya bertaklid atas apa-apa yang disembah oleh moyang mereka. Nabi Saleh yang oleh orang kafir dikenal karena keluasan ilmu, kematangan akal, kejujuran, dan kebaikan berbalik dimusuhi ketika tahu bahwa dia mengajak seruan kepada Tuhan yang esa. Setelah diminta mendatangkan bukti, Saleh mendatangkan mukjizat dalam bentuk unta betina. Kebenaran yang dibawa oleh Nabi Saleh memang tidak berhubungan dengan unta, namun berhubungan dengan dakwah dan ajaran karena unta hanyalah wujud dari mukjizat.

Ketika unta tersebut dibunuh, orang-orang kafir justru menantang untuk didatangkan siksaan. Lalu binasalah seluruh yang ada di muka bumi tempat kaum Tsamud tinggal. Padahal Saleh sudah mengatakan: Sekali-kali aku tidak minta upah kepada kalian atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Generasi berlalu hingga muncul kaum yang melakukan kejahatan yang tidak biasa dilakukan oleh penjahat manapun. Mereka berhubungan seks dengan sesama jenis. Orang-orang yang sakit tersebut menolak obat yang ditawarkan oleh manusia yang paling tulus pada masa itu, Luth. Luth yang hanya mengajak mereka untuk berpikir sehat dan menggunakan fitrahnya, mengajukan pertanyaan kepada mereka, “Tidak adakah di antara kalian seseorang yang berakal?”

Terus-menerus menghadapi gangguan, bumi tempat mereka hidup dihancurkan padahal Luth pernah mengatakan: Sekali-kali aku tidak minta upah kepada kalian atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Kaum Nabi Luth sudah menjadi contoh bahwa agama tidak sekedar tauhid tapi juga perilaku dalam kehidupan dan pergaulan. Namun kaum Nabi Syuaib tidak belajar dari kesalahan tersebut dan mereka semakin memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Hal yang terkenal dari penduduk Madian adalah mengurangi timbangan dan merebut hak-hak manusia yang semua itu mereka anggap sebagai bentuk kepandaian dalam berdagang. Syuaib hanya menginginkan perbaikan pada saudara-saudaranya, namun mereka menyambutnya dengan ejekan.

Ancaman yang diterima Syuaib dibalas dengan satu suara guntur yang mengguncangkan sehingga mereka semua tewas. Padahal Syuaib sudah mengatakan: Sekali-kali aku tidak minta upah kepada kalian atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Sama seperti para nabi sebelumnya, Rasulullah saw. juga tidak menginginkan upah untuk dirinya sendiri, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah ayat: Upah apa pun yang aku minta kepada kalian, maka itu untuk kalian sendiri. Tetapi Allah Swt. memerintahkan rasul untuk mengingatkan kepada umatnya sebuah upah dalam bentuk kecintaan kepada al-qurba. Meski ayat dalam surah Asy-Syura ayat 23 tersebut biasa diterjemahkan sebagai kekeluargaan, namun al-qurba bermakna kedekatan pada nasab seseorang yang meminta dalam ayat tersebut.

Upah yang sudah sepantasnya dibayarkan kepada Rasulullah saw. ini bukanlah permintaan pribadi sang nabi, karena nabi bertugas sebagai pemberi peringatan dan seorang utusan Tuhan tidaklah mungkin memiliki egois untuk membungkus keinginan pribadi dalam balutan ajaran agama. Karenanya, upah mencintai keluarga nabi saw. adalah perintah Allah Swt. sendiri.

Lalu umat Nabi Muhammad saw. juga diharuskan bertanya, apakah sekedar mawaddah (cinta berlebih) adalah cukup tapi tidak mengikuti dan meneladani segala aspek kehidupannya? Apakah mungkin mereka diperintah untuk mencintai manusia-manusia biasa yang melakukan dosa namun dapat memberikan manfaat di dunia dan akhirat? Dalam At-Tafsîr Al-Kabîr, Imam Thabarani menukil sebuah riwaat terkait dengan ayat 23 dalam surah Asy-Syura tersebut:


    وعن ابنِ عبَّاس قالَ: لَمَّا نَزَلَتْ { قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ ٱلْمَوَدَّةَ فِي ٱلْقُرْبَىٰ } قَالُواْ: يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يَأْمُرُنَا اللهُ بمَودَّتِهِمْ؟ قَالَ: عَلِيٌّ وَفَاطِمَةُ وَوَلَدَهُمَا

Ibnu Abbas berkata, ketika ayat tersebut turun, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka yang diperintahkan kepada kami untuk mencintainya?” Beliau menjawab: “Ali, Fatimah, dan kedua putranya.”


Malam 12 Rabiulawal 1435

Referensi:

    Bahjat, Ahmad (Juni 2006) [Terbitan Pertama 1995]. Anbiyâ Allâh [Sejarah Nabi-Nabi Allah]. Jakarta: Penerbit Lentera. ISBN 979-24-3316-3
    “Mengapa Redaksi Al-Qurba Disimpulkan sebagai Ahlulbait?” IslamQuest.net.
    “Tafsîr At-Tafsîr Al-Kabîr”. Altafsir.com.