Pensyifatan Tuhan dalam Syi’ah

Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan. Pengenalan rasionalitas atas-Nya hanya bersifat universal atau pengenalan melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Quran yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan rekonstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Quran kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an atau “penyerupaan” yang berujung pada kehilangan sebagian makrifat kita dari al-Quran.

Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam (ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas) tentang sifat-sifat Ilahi untuk dijadikan pijakan dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabiyah (ayat-ayat yang tidak memiliki makna yang jelas), seperti menafsirkan ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

 

Bukan tasybih dan ta’thil

Al-Quran pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan bersabda, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”[1] (Qs. Thahaa: 110)

Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkamyang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. As-Syura:11)

Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[2]

Ayat al-Quran di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema “sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan”.

Demikian juga, al-Quran meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Quran menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia bersabda, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”[3](Qs. al- An’am: 100). “Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[4] (Qs. al-Hajj: 84)

Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Quran hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Quran selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya.

Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Quran mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[5]

Oleh karena itu, al-Quran dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metode ta’thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan.

Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta’thil, hal ini muncul mungkin karena para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybihdibandingkan dengan pandangan ta’thil.

Sifat Tuhan dalam Hadis

Dengan merujuk pada literatur-luteratur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin Ali as dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha, beliau bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[6]

Imam Ali as pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali as dalam kelanjutan tema ini menegaskan  bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.

Tentang hal ini terdapat beberapa riwayat, sebagai contoh kita bisa melihat dalam “Khutbah Asybâh“, beliau bersabda, “Sesungguhnya berbohonglah mereka yang meletakkan sesuatu setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya”[7]

Dengan demikian, metode pensucian al-Quran yang bukan tasybih dan ta’thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam Ali as yang bersabda, “Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya.”[8]

Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah saw dan ahluibaitnya dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.

Catatan :

[1]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada “bihi” kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.

[2]. “… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”, Qs. at-Tauhid: 5

[3].  Juga rujuk: surah Anbiya: 22, Mukminun: 91 dan Az-Zuhruf: 82.

[4].  Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An’am: 91, Az-Zumar: 67.

[5].  Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.

[6]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadis 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir “bihi” pada ayat “La yuhithuna bihi ‘ilman” kembali kepada Tuhan.

[7]. Nahjul Balaghah, khutbah 91.

[8] . Nahjul Balaghah, khutbah 49.