Bada’ dalam Pandangan Syiah(1)

Dalam ideologi Syiah, bada’ menempati posisi yang urgen sehingga hampir semua buku teologi atau filsafat islam terdahulu memuat pembahasan ini secara terperinci atau global. Para ulama mencoba untuk meneruskan jejak al-Quran dan Sunnah dalam sosialisasi persoalan tersebut. Allamah Tehrani meriwayatkan sekitar dua puluh lima karangan khusus tentang bada’ yang ditulis oleh ulama Syiah terdahulu[1].

 

Namun demikian, esensi bada’ dalam perspektif Syiah masih tersembunyi bagi tokoh-tokoh ahlussunnah seperti Balkhi, Imam Asy’ari, Fakhrurrazi dan yang lain. Lebih tragis lagi bahwa keyakinan terhadap bada’ menjadi salah satu dalih bagi orang-orang fanatik yang membenci Syiah untuk menghujamnya secara tuntas.

 

Di saat Syiah meyakini bahwa kepercayaan terhadap bada’ merupakan salah satu asas ideologi islam yang menentang keyakinan Yahudi dan Nasrani berkaitan dengan tindakan Allah, begitu pula Qadariah yang menuhankan takdir sehingga Allah tidak lagi mampu untuk mengubah apa yang telah Dia taqdirkan dan mengganti apa yang sudah Dia tetapkan. Di saat yang sama pula tokoh-tokoh ahlussunnah menganggapnya sebagai penghancur agama.

 

Tentunya bagi pemula akan merasa kebingungan melihat realitas ini, bagaimana mungkin satu persoalan menjadi bukti keesan Tuhan dan kesempurnaan-Nya dalam penciptaan, dan di saat yang sama merupakan pengingkaran terhadap Ilmu Tuhan.

 

Perselisihan ini disebabkan oleh fanatisme mazhab yang membuat keruh permasalahan dan mencegah seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Andaikan setiap kelompok siap mendengarkan penjelasan dari kelompok lain tanpa diiringi hawa nafsu dan fanatisme niscaya mereka akan mengetahui bahwa perselisihan yang terjadi berkenaan dengan bada’ tidak lain adalah perbedaan kata, bukan perbedaan yang sesungguhnya. Sebagaimana sebagian orang menyebut televisi dengan layar kaca, begitupula dengan hakekat bada’, Syiah mempercayainya dengan nama bada’ dan ahlussunnah meyakininya dengan nama yang berbeda; mahw wa itsbat (penghapusan dan penetapan).

 

Syekh Mufid (338-418 H) menjelaskan kenapa Syiah menggunakan istilah bada’? Penggunaan kata bada’ disebabkan oleh riwayat tentang perantara antara hamba dan Allah swt, dan seandainya tidak ada riwayat yang sahih tentang hal itu niscaya penggunaan kata bada’ untuk Allah swt tidaklah benar, sebagaimana jika tidak ada dalil tektual yang menggunakan kata marah, rela, cinta untuk Allah swt niscaya saya tidak akan menggunakan kata-kata itu untuk-Nya. Akan tetapi oleh karena dalil tektual menggunakan kata tersebut dalam arti yang tidak bertentangan dengan akal maka saya pun menggunakannya[2]. Jelas bahwa dalam hal ini kami tidak berbeda dengan muslimin yang lain, perbedaan kita hanya terletak pada penggunaan kata saja, dan inilah maksud daripada bada’ dalam perspektif Syiah imamiah. Oleh karena itu semua perselisihan yang terjadi di sini tidak lebih dari sebuah nama, bukan pada arti dan maksud.

 

Arti dan Argumentasi Bada’

 

Arti leterlek bada’ adalah kejelasan setelah ketersembunyian. Hal ini sering terjadi pada diri manusia ketika hendak mengambil keputusan tertentu, terkadang dia menggagalkan programnya karena kejelasan beberapa hal. Begitupula sebaliknya, (merubah tekadnya untuk pergi dikarenakan berita terbaru akan cuaca buruk), perubahan itu terjadi pada diri manusia karena keterbatasan ilmu manusia dalam memperhitungan untung dan ruginya tindakan yang akan dia laksanakan. Al-Quran juga pernah menggunakan kata ini dalam arti bahasanya, namun sama sekali tidak pernah menisbatkannya kepada Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Dia berfirman: “wa badaa lahum sayyiaatu maa kasabuu…” (al-Zumar 48) yang artinya: “dan telah jelas bagi mereka balasan daripada dosa-dosa yang telah mereka lakukan…”.

 

Perubahan ini hanya mungkin terjadi pada setiap keberadaan yang terbatas. Maha suci Allah dari perubahan seperti ini. Karena Dia adalah Keberadaan Yang tidak terbatas, memiliki kekuasaan dan pengetahuan yang tidak ada batasannya, bagaimana mungkin Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui merubah keputusannya dikarenakan kebodohan dia terhadap maslahat tertentu? Menurut saya seorang muslim yang mengenal Quran dan Sunnah tidak akan pernah mengizinkan dirinya atau orang lain untuk menisbatkan arti bada’ semacam ini kepada Allah swt. Kalaupun sebagian ulama seperti Balkhi, Rozi dan lainnya menisbatkan pendapat ini kepada Syiah, ketahuilah hal itu mungkin akibat dari ketidaktahuan mereka tentang akidah Syiah yang sesungguhnya. Karena mereka tidak merujuk pada referensi otentik yang ditulis oleh Ulama syiah terdahulu ataupun riwayat dari para Penghulu Syiah; Ahlul Bait as.

 

Sungguh Syiah jauh dari tuduhan itu, bahkan Syiah mempercayai bahwa penisbatan arti bada’ di atas kepada Allah adalah kekafiran. Bagaimana mungkin bisa dibenarkan tuduhan itu di saat sejak semula Syiah beriman pada ilmu dan kekuasaan Allah swt yang tidak terbatas sesuai dengan Quran, sunnah Nabi saww dan para Imam as, serta akal sehat. Sebagai contoh; logiskah mereka menuduh Syiah demikian di saat Imam Ja’far Shadiq as menafsirkan ayat yang berbunyi: “yamhul loohu maa yasyaa’u wa yutsbitu wa ‘indahu ummul kitabi”, yang artinya: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkanya, dan di sisinya Ummul Kitab (al-Ra’du 39) dengan berikut ini: “maka seluruh apa yang Allah kehendaki, Dia mengetahuinya sebelum Dia laksanakan, tidak ada sesuatu apapun yang tampak bagiNya kecuali sudah Dia ketahui sebelumnya, sungguh tidak tampak bagi-Nya sesuatu yang tidak Dia ketuahui”.[3]

 

Lebih dari itu bahwa para penghulu Syiah (ahlul bait) as bersabda kepada kita sesungguhnya: “maa ‘ubidal loohu bi syai-in mitslil badaa’I” yang artinya: Allah tidak pernah disembah dengan sesuatu seperti bada’, dan “maa ‘uzdimal loohu ‘azza wa jalla bi mitslil bada’I” yang artinya: Allah tidak pernah diagungkan dengan sesuatu seperti bada’. Hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya keyakinan terhadap bada’ yang terhitung sebagai penyembahan dan pengagungan terbesar, sehingga diriwayatkan pula bahwa: “law ya’lamun naasu maa fiil qowli bil bada’I minal ajri maa fataruu ‘anil kalami fiihi” yang artinya: “Andaikan semua orang mengetahui pahala di balik pembincangan tentang bada’ niscaya mereka tidak akan pernah bosan membicarakannya”.[4]

 

Mengingat keyakinan Syiah tersebut, setiap orang akan dengan mudah mengerti bahwa bada’ yang diyakini oleh Syiah bukan berarti leterlek kejelasan sesuatu setelah ketersembunyiannya, dan tuduhan sebagian ulama seperti Balkhi dan Rozi bahwa Syiah memperbolehkan kejelasan sesuatu bagi Allah swt setelah kebodohan-Nya akan hal itu, adalah tidak benar. Mungkin karena mereka tidak mengetahui pendapat Syiah yang sesungguhnya, atau tidak mau tahu ataupun tahu tapi tidak mau memberitahu.

 

Bada’ dalam terminologi Syiah memiliki dua arti: pertama adalah arti leterlek yang hanya mungkin disandarkan kepada keberadaan yang terbatas. Adapun arti kedua merupakan sebuah terminologi yang berbeda dengan arti leterlek di atas dan sesuai dengan keyakinan mayoritas muslim termasuk ahlussunnah, mereka menyebutnya dengan mahw wa itsbat (penghapusan dan penetapan) dan Syiah menyebutnya dengan bada’.

 

Bada’ dalam terminologi Syiah dan yang boleh atau harus disandarkan kepada Allah swt adalah pengubahan takdir karena amal shaleh atau tindakan jahat. Allah swt mampu untuk merubah akibat buruk yang telah Dia takdirkan atau tentukan untuk seseorang dikarenakan amal shaleh yang dia lakukan sehingga dia masuk surga. Begitupula sebaliknya Allah swt mampu merubah akibat baik yang Dia tentukan bagi seseorang dikarenakan perbuatan jahat yang dia lakukan sehingga dia terjerumus ke neraka. Di dalam Al-Quran disebutkan: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkannya, dan ummul kitab berada di sisinya” ), maka dari itu Dia mendahulukan apapun yang dikehendaki-Nya dan mengakhirkan apapun yang dikehendaki-Nya pula. Dia juga berfirman: “innal looha laa yughoyyiru maa bi qoumin hatta yughoyyiruu maa bi anfusihim”; yang artinya: sesungguhnya Allah tidak merubah apa yang ada pada sebuah kaum sehingga mereka sendiri merubah apa yang ada pada diri mereka (al-Ra’d 11).

 

Kedua ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa takdir Allah tidak mendominasi kekuasaannya seperti yang diyakini oleh Yahudi, melainkan kehendak dan kemampuan-Nya mendominasi takdir itu. Dia mampu merubah takdir yang Dia tentukan; “kullu yaumin huwa fii sya’nin”; yang artinya: setiap hari Dia berada pada posisi dan tindakan (al-Rahman 29). Kedua ayat itu menjelaskan pula bahwa takdir bukan berarti keterpaksaan manusia dan menghapuskan hak pilihnya (ikhtiyar), melainkan dia bisa berdo’a, berharap dan beramal shaleh sehingga Allah merubah akibat buruknya menjadi akibat yang baik dan mengeluarkannya dari golongan orang-orang yang celaka serta memasukkannya ke surga bersama orang-orang yang bahagia.

 

Betapa banyak ayat dan riwayat yang mencerminkan realitas bada’, Allah berfirman: “dzalika bi annal looha lam yaku mughoyyiron ni’matan an’amaha ‘ala qoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim” (al-Anfaal 53), yang artinya: “Hal itu dikarenakan Allah swt tidak akan merubah nikmat yang telah Dia berikan kepada satu kaum sehingga mereka sendiri merubah apa yang ada pada diri mereka”. Itu berarti jika mereka mengambil tindakan-tindakan perubahan tertentu maka Allah swt akan merubah takdir pertamanya dan merubah nikmat yang telah Dia tentukan dan takdirkan sebelumnya.

 

Di tempat lain Dia berfirman: “wa man yattaqil laha yaj’al lahu makhrojan wa yarzuqhu min haytsu laa yahtasibu” (al-Thalaq 2-3), yang artinya: “Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rizqi dari tempat yang tidak dia perhitungkan”. Itu berarti orang yang berada dalam kesulitan dan kemiskinan bisa merubah nasib dan takdirnya dengan cara bertaqwa kepada Allah, dan karena ketaqwaannya maka Allah akan mencarikan jalan keluar baginya dari segala kesulitan dunia dan akhirat serta memberinya rizki dari tempat yang tidak dia sangka.

 

Allah juga berfirman: “la’in syakartum la aziidannakum wa la’in kafartum inna ‘adzaabii lasyadiid” (Ibrahim 7), yang artinya: “Jika kalian berterima kasih sungguh aku akan tambahkan rizqi kepada kalian dan jika kalian kafir ketahulilah sesungguhnya siksaku sangatlah dahsyat”. Ayat ini dengan jelas mencerminkan realitas bada’ dengan terminologi di atas. Di satu sisi tindakan syukur dan terima kasih dapat menambah rizqi yang telah ditakdirkan untuknya, di sisi lain pengingkaran terhadap nikmat Tuhan dapat mengurangi rizqi yang telah ditakdirkan, karena apa artinya kekayaan yang berakhir pada siksa yang dahsyat?!

 

Itulah sebagian contoh dari ayat-ayat yang mencerminkan realitas bada’, di samping itu ada banyak sekali riwayat yang mendukungnya. Ibn Mas’ud ra berkata dalam do’anya: …jika Kamu (Allah) mencatatku di dalam Ummul Kitab di sisimu sebagai orang yang sengsara maka hapuslah nama kesengsaraan dariku dan tetapkan diriku sebagai orang yang berbahagia di sisi-Mu, dan jika Kamu mencatat diriku di dalam Ummul Kitab sebagai orang yang miskin dan kesulitan maka hapuslah kesulitan itu dariku dan mudahkanlah rizkiku serta tetapkanlah diriku sebagai orang yang bahagia di sisi-Mu dan sukses dalam kebaikan, maka sesungguhnya Kamu telah berfirman di dalam Quran: “yamhul loohu maa yasyaa’u wa yutsbitu wa ‘indahu ummul kitabi” yang artinya: “Allah menghapuskan apapun yang dikehendakiNya dan menetapkannya, dan ummul kitab di sisi-Nya”.[5]

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saww bersabda: “laa yaruddul qodlo’a illad du’aa’u wa laa yaziidu fiil ‘umri illal birru” yang artinya: “tidak ada yang dapat menolak ketentuan Allah kecuali do’a, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali perbuatan baik”.[6] Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hakim dalam mustadrak-nya jld 1 hal 493 dengan sanad yang berbeda. Imam Ali Ridlo as bersabda: “yakuunur rojulu yashilu rahimahu fayakuunu qod baqiya min ‘umrihi tsalaatsu siniina fayushoyyirohaal loohu tsalaatsiina sanatan wa yaf’alul loohu maa yasyaa’u” yang artinya: “ada seorang lelaki bersilaturahmi (menyambung hubungan famili), sedangkan tersisa dari umurnya tiga tahun, maka Allah merubah tiga tahun menjadi tiga puluh tahun dan Dia melakukan apapun yang Dia kehendaki”.[7]

 

Kurang lebih bada’ seperti halnya naskh dalam syari’at Islam. Bukankah kalian saksikan bagaimana Allah swt merubah arah qiblah dari Masjidil Aqso ke Ka’bah? Hal itu bukan berarti kebodohan Allah terhadap sebagaian maslahat sehingga Dia menyesal akan hukum-Nya yang pertama yaitu shalat ke arah Masjidil Aqsa, melainkan sejak semula Dia menetapkan Ka’bah sebagai qiblah setelah Masjidil Aqsa, akan tetapi Dia tidak mengumumkannya karena beberapa maslahat seperti ujian untuk orang-orang beriman.

 

Begitupula halnya bada’ dalam penciptaan, Allah swt dapat merubah ketentuan dan takdir-Nya yang pertama, memanjangkan umur seseorang karena menyambung hubungan familinya, dan mengurangi umur seseorang karena memutus hubungan familinya, manambah dan mengurangi rezeqi, menghidupkan dan mematikan, menyakitkan dan menyehatkan dan lain sebagainya.

 

Ahlusunnah menyebut kepercayaan ini dengan mahw wa itsbat yakni penghapusan dan penetapan, kentdatipun demikian tidak semestinya mereka tabu atau takut dengan penggunaan kata bada’ untuk keyakinan tersebut, karena kata ini juga pernah digunakan Rasulullah saww dan para sahabatnya. Sahih Bukhari, kitab pertama dan paling benar setelah Quran –menurut Ahlusunnah- menukil riwayat di mana Rasulullah saww bersabda:

 

“inna tsalaatsatan fii banii isroo’ila abrosho wa ‘a’maa wa aqro’a badaal loohu ‘azza wa jalla an yabtaliyahum faba’atsa ilaihim malakan fa atal abroso wa……”

 

yang artinya: “Ada tiga orang dari Bani Israel yang terserang penyakit kusta, buta dan botak, ketika itu terjadilah bada’ bagi Allah swt untuk menguji mereka, maka Dia mengutus malaikat kepada mereka, lalu malaikat itu mendatangi yang sakit kusta dan menanyakan apa yang dia inginkan? Dia menjawab warna dan keindahan kulit, karena dengan wajah ini saya dibenci masyarakat, maka malaikat itu mengusap tubuhnya sehingga warna dan kulitnya menjadi indah. Begitupula dengan dua orang yang lain”.[8]

 

Sama seperti penggunaan kata marah, rela, cinta, benci, wajah, tangan dan lain sebagainya untuk Allah swt, sepintas kata-kata ini memiliki arti yang identik dengan keterbatasan seperti emosi beserta tahapan-tahapannya dan juga materialistis, sehingga tidak mengizinkan kita untuk menyandangkan kata-kata ini kepada Allah swt. Namun apabila kita selidiki lebih dalam, pada hakekatnya keterbatasan itu tidaklah identik dengan arti kata-kata di atas yang sesungguhnya. Terlebih lagi bahwa penggunaan kata dalam setiap bahasa terkadang pada artinya yang hakiki dan terkadang pula secara kiasan dan majaz, bahkan tidak sedikit bahwa penggunaan kata secara majaz dan kiasan lebih mampu untuk menyampaikan sesuatu dan lebih tepat. Disamping itu pula, adalah satu hal yang wajar perbedaan antara arti leterlek sebuah kata dengan arti terminologis kata tersebut. Oleh karena itu kebencian sebagian Ulama Ahlussunnah terhadap penggunaan kata bada’ untuk Allah swt tidak pada tempatnya, kendatipun kita juga tidak pernah melarang mereka untuk menggunakan kata mahw wa itsbat dalam maksud yang sama.

Berkelanjutan!!....