Pernahkah Tuhan Dinafikan?

Selama ini sejarah filsafat dan teologi tidak penah menyaksikan ateis membawakan argumentasi ketiadaan Tuhan, puncak usaha mereka berhenti pada sesungguhnya tidak ada satu alasanun yang mampu membuktikan keberadaan-Nya. Namun ateis kontemporer semakin cerdik dan mulai berani secara ilmiah melecehkan orang-orang beragama keTuhanan.

Secara logis keyakinan adanya Tuhan adalah kebodohan berganda. Karena Tuhan adalah Yang maha mampu, tahu dan cinta kebaikan, dan sebagai konsekwensi logis maka keberadaan Tuhan semacam ini melarang adanya keburukan atau kejelekan di alam semesta. Oleh karena kejelekan itu ada maka Tuhan tersebut tidak ada.

Sebagaimana juga diyakini oleh Plato, kejelakan adalah tiada, karena ada dari sisi keadaannya dan dalam kapasitas dirinya sama dengan kebaikan (atau keindahan). Oleh karena itulah secara implisit dapat dimengerti kesalahan aliran penduaan (meyakini adanya dua Tuhan baik dan buruk), Majusi dan semisalnya, karena tiada tidak menuntut sumber (pencipta). Dengan demikian jelas bahwa silogisme di atas tidak benar mengingat salah satu dari premisnya [kejelekan itu ada] tidak benar.

Kendatipun demikian, masih ada tanda tanya besar, berkenaan dengan kejelekan relatif yang acapkali kita rasakan di dunia ini. Memang benar kejelekan esensial sama dengan ketiadaan, akan tetapi bukan kejelekan relatif. Seringkali kita saksikan eksistensi tertentu menyebabkan ketiadaan bagi orang lain, artinya mencegah keberadaan atau kesempurnaan yang semestinya bisa dia dapatkan. Kenapa Tuhan tidak menciptakan alam kebaikan murni dan murni keindahan sehingga tidak terjadi benturan dalam mencapai kesempurnaan? Bukankah Dia maha tahu, mampu dan cinta kebaikan?

Murid tersohor Plato pernah menyinggung solusi pertanyaan diatas yang mungkin bisa kita katakan sebagai lanjutan penyempurna jawaban gurunya mengenai kejelekan. Aristoteles menjelaskan bahwa dalam perspektif rasional setiap fenomena tidak keluar dari lima kemungkinan; baik murni, kebaikan mendominasi kejelekannya, kebaikannya sejajar dengan kejelekannya, kejelekan mendominasi kebaikannya, dan yang terakhir adalah keburukan murni.

Gabungan premis ini dengan premis diatas membentuk silogisme du pourquoi (burhan limmy) sebagai berikut. Apabila Tuhan maha tahu, mampu dan bijak niscaya tidak akan menciptakan fenomena yang jelek murni ataupun yang kejelekannya mendominasi kebaikannya. Karena adalah buruk mendahulukan sesuatu dari sesuatu lain yang semestinya di dahulukan, dan Yang bijak tidak bertindak buruk. Begitupula tidak akan mengadakan fenomena yang kebaikannya sama dengan kejelekannya. Karena adalah buruk mendahulukan sesuatu tanpa alasan. Oleh karenanya segala eksistensi di alam ada -perspektif filosofis ontologis- tidak keluar dari dua kemungkinan, baik murni dan yang kebaikannya dominan daripada kejelekannya, dan mengadakan kedua hal itu adalah bijak.

Kebijakan Tuhan mengharuskan-Nya untuk mengadakan dua hal tersebut, dan sudah Dia lakukan. Alam baik murni adalah alam non materi metafisik, disanalah kesempurnaan murni berada sehingga tidak terjadi benturan seperti tersebut diatas. Sedangkan alam materi tidak terlepas dari kejelekan, di sana kebaikan dan keburukan bercampur dan berbenturan. Alam materi minus kejelekan adalah imposible terjadi, maka menuntut Tuhan untuk mengadakan alam materi minus kejelekan adalah menuntut sesuatu yang mustahil. Tidak tercipta bukan berarti Dia tidak mampu, melainkan tuntutan tersebut bukanlah sesutu -yang potensial untuk diadakan- sehingga apabila tidak diciptakan maka berarti kekuasaa-Nya terbatas. Sebagaimana anda menanyakan apakah Tuhan mampu menciptakan sekutu-Nya. Lebih lanjut bahwa tidak mencipta bukan berarti tidak mampu, sebagaimana tidak berbohong bukan berarti tidak kuasa, karena kawasan kuasa lebih luas dari kawasan pengadaan.