Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam Hasan as terpaksa berdamai dengan Mu’awiyah

1 Pendapat 05.0 / 5

Perdamaian Imam Hasan as merupakan salah satu fenomena sejarah awal Islam yang sering menjadi pokok pembahasan para peneliti dan banyak sekali kitab serta tesis yang menjelaskan kenyataan-kenyataan di dalamnya. Mereka semua telah sampai kepada kesimpulan bahwa sejak hari pertama beliau siap bangkit mernbela kehormatan khilafah dan tidak punya rencana sebelumnya untuk damai. Karena itu, ketika berita tentang gerakan Muawiyah dari Syam ke Kufah sampai kepada beliau maka seketika itu pula beliau memerintahkan agar masyarakat berkumpul di masjid, kemudian beliau berpidato di hadapan mereka seraya memberitahu mereka gerak-gerik pasukan Muawiyah tersebut, setelah itu beliau mengajak mereka untuk berjihad di jalan Allah S wt dan bertahan mela wan para pengikut kebatilan serta menekankan pentingnya kesabaran dan pengorbanan di jalan ini. Berdasarkan pengetahuan tentang mentalitas masyarakat pada waktu itu, beliau mengkhawatirkan penolakan mereka terhadap seruan jihad tersebut. Dan ternyata itu yang kemudian terjadi. Sehabis pidato beliau yang menggebu-gebu, semua orang diam dan tidak ada satu pun dari mereka yang mendukung seruan beliau!

Begitu memilukannya tanggapan mereka sampai-sampai salah satu sahabat Amirul Mukminin Ali as yang pemberani dan hadir di majelis itu mencela sikap lesu mereka dan menyebut mereka sebagai pahlawan palsu dan pengecut, lalu dia berusaha membangkitkan kembali semangat dan keberanian mereka seraya menyerukan jihad di barisan Imam Hasan as melawan pasukan Syam.

Dokumen sejarah ini membuktikan betapa lesunya masyarakat Irak pada waktu itu, semangat perjuangan telah mati dalam diri mereka dan sama sekali tidak bersedia untuk berperang melawan kebatilan.

Pada akhirnya, setelah berbagai aktifitas dan pidato yang dilakukan oleh para sahabat terkemuka Imam Hasan Mujtaba as dalam rangka memobilisasi massa untuk jihad, beliau bergerak meninggalkan kota Kufah bersama sedikit orang dan menetapkan sebuah daerah dekat sana yang bemama Nukhailah sebagai pangkalan. Setelah sepuluh hari tinggal di sana seraya menanti kekuatan baru yang bergabung, akhirnya total hanya empat ribu orang yang berada di barisan beliau! Itulah sebabnya beliau terpaksa kembali ke kota Kufah dan mengambil langkah-langkah baru yang lebih serius dari sebelumnya untuk mengum-pulkan pasukan.[1] Dari satu sisi, masyarakat Irak keletihan pasca tiga peperangan yang berturut-turut, yaitu Perang Jamal, Perang Shiffin dan Perang Nahrawan. Dari sisi lain, ada unsur-unsur yang bertentangan di dalam tubuh pasukan Imam Hasan as, ditambah lagi dengan pengkhianatan panglima-panglima perang beliau, semua itu membuat beliau terpaksa untuk menerima perdamaian dengan Muawiyah.

Kenyataan ini beliau jelaskan dalam salah satu pidatonya. Beliau mengatakan, ‘Aku terpaksa menyerahkan kendali pemerintahan kepada Muawiyah karena tidak punya pendukung yang cukup untuk berperang melawannya. Andai saja aku punya pendukung yang cukup, niscaya aku akan memerangi dan meluluhlantakkan mereka siang dan malam. Aku kenal sekali orang-orang Kufah dan telah berulang kali aku menguji mereka. Mereka adalah orang-orang fasid yang tidak bisa diperbaiki, orang-orang yang tidak setia, mereka tidak menepati janji-janji mereka bahkan di antara dua orang dari mereka tidak ada kesepakatan pendapat. Tampaknya mereka mengutarakan ketaatan dan kesetiaan, tapi pada praktiknya mereka sejalan dengan musuh.’[2]

Imam suci kedua yang betul-betul terpukul oleh kelesuan dan sikap acuh tak acuh para sahabatnya itu suatu hari berpidato seraya mengatakan, ‘Aku heran pada masyarakat yang tidak beragama sekaligus tidak punya malu. Celakalah kalian! Muawiyah tidak akan pernah menepati janji-janjinya pada kalian untuk membunuhku. Kalau saja aku berbaiat kepada Muawiyah maka aku bisa menjalankan kewajiban-kewajiban personalku lebih baik dari hari ini, tapi apabila kekuasaan tdah jatuh ke tangan Muawiyah niscaya dia tidak akan pernah mengizinkanku untuk menerapkan agama kakekku Nabi Muhammad Saw.

Demi Allah! karena kelesuan dan ketidaksetiaan kalian terpaksa pemerintahan Muslimin kubiarkan jatuh ke tangan Muawiyah, yakinlah bahwa di bawah bendera pemerintahan Bani Umayyah kalian tidak akan mempunyai wajah cereah dan gembira, bahkan kalian pasti akan mengalami berbagai gangguan dan siksaan.

Sekarang ini, seolah-olah aku sedang melihat dengan mata kepalaku sendiri besok anak-anak kalian akan berada di hadapan anak-anak mereka seraya mengemis air dan makanan, padahal sebelumnya air dan makanan itu milik anak-anak kalian yang Allah Swt telah memberikannya kepada kalian, tapi Bani Umayyah akan mengusir mereka dari rumah-rumah mereka dan menghalangi mereka dari hak-haknya.’

Setelah itu beliau bekata, ‘Seandainya aku punya para sahabat yang mau bekerjasama denganku melawan musuh-musuh Allah niscaya aku tidak akan membiarkan kekhilafahan jatuh ke tangan Muawiyah, karena haram hukumnya kekhalifahan bagi Bani Umayyah.’

Keterangan beliau ini menyibak hakikat yang sebenarnya dari fenomena historis ini dan membuktikan minimalnya dua hal berikut:

    Imam Hasan as tidak menginginkan perdamaian dengan Muawiyah, tapi beliau terpaksa menerima perdamaian tersebut karena tidak ada pendukung dan kelesuan masyarakat serta faktor-faktor lain yang disebut di atas.
    Perdamaian Imam Hasan as tidak bisa dijadikan bukti atas hubungan harmonis beliau dengan Muawiyah dan para pengikutnya.

Catatan Kaki :

[1] Shulh Al-Hasan, Syaikh Radhi Alu Yasin, cetakan kedua, Mansyurat Dar Al-Kutub Al-Iraqiyah fi Al-Kadzimiyah, hal. 102.

[2] Bihar Al-Anwar, Majlisi, Teheran, Al-Maktabah Al-Islamiyah, 1392 H, jld. 44, hal. 147; Al-lhtijaj, Thabarsi, Najaf, Al-Mathba’ah Al-Murtadhawiyah, hal. 157.