Keharusan Adanya Imam

 1. Dalil Hikmah

Sesungguhnya manusia bertolak dari fitrahnya yang lurus senantiasa mencari kesempurnaan yang merupakan tujuan akhir penciptaan.

Akan tetapi, jalan kesempurnaan yang berusaha dilalui oleh manusia ini sering kali dihalangi oleh berbagai rintangan dan bahaya. Sehingga, untuk menemukan jalan kesempurnaan itu tanpa bimbingan orang lain adalah suatu perkara yang mustahil diraih.

Dari sini, wajib ada jalan yang menjarnin terrealisasinya tujuan ini agar tujuan akhir penciptaan manusia dapat tercapai.

Masalah ini gampang dipecahkan pada masa Nabi saw, hanya saja tantangan terus berlangsung sepeninggal Nabi saw. Sebab, masalah ini tidak hanya terbatas pada zaman tertentu.

Oleh karena itu, adanya seorang yang sempurna yang menjadi petunjuk dalam perjalanan manusia adalah suatu keharusan.

Manusia yang sempurna ini adalah “imam”, yakni seorang yang maksum yang menegakkan bendera tauhid, yang memenuhi semua karakter seorang imam sebagai manusia yang sempurna.

Dia (imam) laksana matahari yang menyinari manusia dan memberi petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan mencari jalan sehingga menemukanjalannya.

Dia adalah manusia yang merefleksikan sinar dari langit dan perantara antara alam gaib dan alam nyata. Dia adalah seorang manusia yang menclapat perlindungan dari langit dan penjagaan dari kesalahan, dosa, dan kekurangan.

Sangatlah mustahil bahwasanya Allah Swt menentukan tujuan akhir penciptaan berupa kesempumaan ideal, tetapi kemudian Dia tidak menjadikan hal itu terpancar dalam diri seseorang yang menjadi petunjuk dan penerang untuk memungkinkan tercapainya tujuan yang ideal itu.

   2. Dalil Luthf (Kelembutan) Allah

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya dan telah melimpahkan rahmat-Nya kepacla mereka. Seandainya saja manusia mau merenungkan apa yang telah dianugerah Allah Swt berupa nikmat-nikmat-Nya yang telah dicurahkan kepadanya, niscaya dia akan mengetahui hakikat terbesar. Yaitu, bahwasanya Allah adalah Rahmat dan Kelembutan Yang Mutlak.

Mata, misalnya, adalah anggota tubuh yang dengannya kita dapat melihat apa yang ada di sekitar kita, seperti keindahan. Allah telah menjaga mata kita ini dari kemasukan debu dengan memberi bulu mata, dan melindungi dari keringat dengan memberi alis.

lni hanya sedikit contoh nikmat-nikmat Allah Swt yang berlimpah, yang semuanya menyuarakan hakikat ini.

Di antara kelembutan Allah Swt, Dia menjadikan untuk kita seorang pemberi petunjuk dan pemimpin yang mengarahkan kita pada jalan kebahagiaan dan menuntun kita menuju kesempumaan. Sebab, pemimpin termasuk kebutuhan manusia yang urgen yang tersimpan dalam fitrah kemanusiaan. Dan mustahil Allah akan membiarkan hamba-hamba-Nya itu dalam keadaan kehausan atau mencegah mereka dari nikmat-Nya ini.

Sesungguhnya Allah Swt meletakkan dalam diri kita rasa haus, dan Dia pula yang menciptakan air agar kita dapat meminumnya sampai puas. Dia meletakkan dalam diri kita keinginan untuk mencari kesempumaan, maka Dia mengangkat bagi kita seseorang yang dapat membantu kita dalam merealisasikan tujuan yang agung ini.

    3. Dalil Naqli

Di samping dalil akal tentang imamah yang telah kita sebutkan di atas, terdapat juga dalil-dalil naqli, yang bersumber dari al-Quran al-Karim dan riwayat hadis Nabi saw dan para imam Ahlul Bait. Di antaranya aclalah berikut ini.

    1. Ayat Imamah

Allah Swt berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. “Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman, “janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 124.)

Pertama, informasi ayat di atas adalah jelas, yakni bahwasanya kedudukan imamah berbeda dengan kedudukan kenabian.

Kedua, kedudukan imamah lebih tinggi daripada kenabian.

Dalilnya adalah bahwasanya Allah ‘Azza wa jalla memberikan kabar gembira kepada Ibrahim as dengan imamah padahal sebelumnya beliau adalah seorang nabi.

Ketiga, sesungguhnya imamah adalah janji Tuhan (yang dianugerahkan kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya) yang tidak ada campur tangan manusia. Jadi, imamah adalah pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia.

Empat, sesungguhnya imam itu maksum sepanjang hidupnya.

Sebab, kesalahan itu suatu kezaliman, sedangkan imamah tidak akan mengenai orang yang zalim, sebagaimana juga imam tersucikan dari kemusyrikan karena syirik kepada Allah itu adalah kezaliman yang besar.

Kelima, sesungguhnya ayat imamah tersebut menetapkan imamah bagi Ibrahim dan sebagian keturunannya. Oleh karena itu, Sayyidina Muhammad saw adalah imam semenjak pemulaan risalah beliau.

Keenam, sesungguhnya diadakannya imam itu demi kepentingan manusia, yakni bahwasanya umat ini membutuhkan seorang imam.

   1. Ayat Ulil Amri

AI-Quran AI-Karim mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa’ [4]: 59)

Ayat tersebut menginformasikan kepada kita hal-hal berikut ini:

Pertama, sesungguhnya ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menaati tiga kelompok, yaitu: Allah ‘Azza wa Jalla, Rasulullah saw, dan ulul amri.

Kedua, sesungguhnya ketaatan kepada Allah -ketaatan yang wajib secara rasional- berbeda dengan ketaatan kepada Nabi saw dan ulul amri.

Berdasarkan hal ini, di samping adanya perintah-perintah Allah yang disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat, maka ketaatan kepada Nabi saw dan ulil amri-dalam pengaturan masyarakat-adalah wajib. Sebab, menaati Rasulullah saw termasuk bentuk ketaatan kepada Allah Swt.

AI-Quran AI-Karim mengatakan, “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. an-Nisa’ [4]: 80)

Ketiga, Nabi saw dan ulul amri haruslah maksum. Jika tidak demikian, maka akan terjadi pertentangan antara perintah Allah dan perintah mereka (Nabi saw dan ulil amri).

Hal ini terlihat jelas pada seorang penguasa (ulil amri) yang fasik, yang terkadang dia meminum khamar dan menyuruh orang lain untuk meminumnya. Maka, bagaimana sikap seorang Muslim terhadap perintah semacam ini? Bagaimana sikapnya antara wajib taat (kepada penguasa) dan haramnya perbuatan itu?

Keempat, sesungguhnya semua perintah ulil amri hams sejalan dengan perintah Nabi saw, inilah yang digambarkan oleh ayat tersebut dalam kesederajatan ketaatan kepada mereka. Ayat itu mengatakan “Taatilah”, termasuk ketaatan kepada Rasulullah saw dan ulil amri secara bersamaan.

Kelima, penggunaan kata amr disebutkan dalam al-Quran dengan tiga pengertian: dengan arti amr (perintah) dan bentuk pluralnya awamir. Kedua, dengan pengertian perbuatan (‘amal) dan terkadang dimaksudkan untuk hal abstrak sebagai lawan dari kata inderawi. Namun yang jelas, bahwa yang dimaksud adalah pengertian yang pertama dan yang kedua. Dengan demikian, maka pengertian ulil amri adalah para penguasa dan administratur masyarakat.

Keenam, siapakah ulil amri itu? Nyatanya ayat tersebut secara jelas menyebutkan tentang kewajiban menaati ulir amri dan mereka itu adalah orang-orang yang maksum.

Di sisi lain, kita melihat bahwa orang-orang yang menjadi penguasa kaum Muslim, dengan ijmak kaum Muslim -dengan pengecualian Ali as- bukanlah orang-orang yang maksum.

Sejarah telah mencatat bahwa banyak hukum yang dikeluarkan oleh mereka (para penguasa) yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah. Dan Ali bin Abi Thalib as seringkali mengingatkan kesalahan-kesalahan tersebut sehingga Umar pernah mengatakan, “Sekiranya tidak ada Ali, binasalah Umar.”[1]

Berdasarkan hal tersebut, maka sesungguhnya individu-individu yang tidak maksum (terpelihara dari kesalahan dan dosa) tidak mungkin untuk menjadi ulul amri. Selain itu, banyak pula riwayat yang menyebutkan nama-nama ulul amri yang sebenamya.

Di antara riwayat tersebut adalah hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari bahwasanya dia pemah bertanya kepada Rasulullah saw tentang ulil amri setelah turunnya ayat ulul amri tersebut. Jabir bertanya, “Siapakah mereka itu (wahai Rasulullah)?”

Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah khalifah-khalifahku, wahai Jabir, dan imam-imam orang-orang Islam serpeninggalku. yang pertama di antara mereka adalah Ali bin Thalib, kemudian Al-Hasan dan Al-Husain, kemudian Ali bin Al-Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang terkenal dalam Taurat dengan Al-Baqir dan engkau akan menjumpainya wahai Jabir; maka jika engkau telah menemuinya, sampaikanlah salam dariku, kemudian Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Al-Hasan bin Ali, kemudian (anaknya) yang bernama sama denganku, Muhammad, dan gelarnya Hujjatullahi fi ardhihi wa baqiyyatuhu fi ‘ibadih (Hujah Allah di bumi-Nya dan pilihan-Nya di antara hamba-hamba-Nya), dia adalah putra Al-Hasan bin Ali yang Allah akan menaklukkan untuknya Timur dan Baral. Dia/ah yang gaib dari Syi’ahnya dan para pengikutnya suatu kegaiban sehingga tidak akan ada yang tetap teguh dengan keimamannya kecuali orang yang hatinya telah diuji oleh Allah.”[2]

Imam Muhammad Al-Baqir as berkata, “Imam-imam itu berasal dari keturunan Ali dan Fathimah sampai tibanya hari kiamat.”[3]

  1.  Ayat Al-Wilayah

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul- Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka rukuk.” (QS. al-Ma’idah [5]: 55)

Dalam ayat yang mulia ini, kita mendapatkan pembatasan makna melalui kata “imama” (sesungguhnya) al-wilayah (kepemimpinan) bagi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman (yakni Ali bin Abi Thalib as yang memberikan sedekah berupa cincin kepada seorang peminta-minta di dalam masjid, sedangkan dia saat itu dalam keadaan rukuk- penerj.) sebagaimana yang disebutkan oleh ayat tersebut. Ayat ini juga meniadakan kepemimpinan bagi selain yang tiga ini (yakni Allah, Rasul- Nya, dan orang-orang-orang yang beriman).

 1.   Ayat Tabligh

Allah Swt berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS. al-Ma’idah [5]: 67)

Para perawi hadis dari kalangan Syi’ah dan segolongan besar dari kalangan mufasir Ahlus Sunnah bersepakat bahwa ayat yang mulia ini diturunkan di Ghadir khum dalam Haji Wada’ dan dalam masa-masa terakhir kehidupan Nabi saw.

Atmosfir ayat ini penuh dengan suasana yang tiada bandingannya; di dalamnya terdapat ancaman dengan menggunakan kata-kata yang keras dan memuat suatu perintah yang sangat penting. Yakni, ketika risalah yang telah diemban oleh Rasulullah saw dan beliau telah menyampaikannya kepada umat manusia selama dua puluh tiga tahun, tiba-tiba bergantung pada sebuah perintah yang harus beliau sampaikan kepada umatnya.

Ayat ini diturunkan pada hari-hari terakhir kehidupan yang mulia Rasulullah saw, atau kurang lebih sebelum tujuh puluh hari dari kewafatan beliau.

Perjalanan hidup Rasulullah saw dengan segala liku-likunya yang tajam dan berbahaya benar-benar mengungkapkan keberanian beliau yang luar biasa. Beliau sedikit pun tidak pernah merasakan gentar atau takut dalam menghadapi setiap kekuatan yang memusuhi beliau.

Beliau maju bergerak menyampaikan kalimat Allah sehingga berhasil membersihkan semenanjung Arab dari penyembahan berhala dan mulai dengan kejayaan Islam yang gemilang. Dalam kondisi seperti ini, dan pada saat orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam, ternyata bahaya masih tetap mengancam masa depan dan persatuan kaum Muslim.

Oleh karena itu, kita mendapatkan bahwa Rasulullah saw tampak, dalam batasan tertentu, masih ragu-ragu mengumumkan perintah Tuhan yang terakhir.

Yang pasti, Nabi saw sama sekali tidak khawatir terhadap bahaya yang mengancam keselamatan pribadinya. Rasulullah saw, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ali as, adalah apabila peperangan berkecamuk hebat atau sedang sengit-sengitnya, maka orang-orang Islam mencari perlindungan kepada beliau.

Jadi, sesungguhnya pengumuman dari langit ini adalah berkenaan dengan penunjukan khalifah sepeninggal Rasulullah saw. lnilah yang akan dapat mengguncangkan keimanan sebagian orang yang ruh kesukuan dan pandangan jahiliah masih bercokol dalam dana mereka. Bisa jadi mereka akan mengatakan bahwa Rasulullah saw berusaha untuk mendirikan kerajaan yang besar bagi keluarganya dan sukunya (Bani Hasyim).

Oleh karena itu, turunlah ayat yang menenangkan hati beliau, yaitu bahwasanya “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”.

Walhasil, tidak ada jalan lain bagi Rasulullah saw kecuali beliau memerintahkan orang-orang Islam (para sahabat beliau) untuk berhenti di sebuah lembah yang dikenal dengan “Ghadir Khum”. Kemudian beliau mengumumkan di hadapan jamaah haji yang sangat besar bahwasanya Ali adalah pemimpin kaum Muslim sepeninggal beliau.

Nabi saw memulai pengumumannya yang bersejarah itu dengan terlebih dahulu mengagungkan Allah dan memuji kepada-Nya.

Nabi saw bersabda, “Wahai sekalian manusia, hampir tiba saatnya aku dipanggil (menghadap Allah), maka aku pun akan memenuhi panggilan itu. Sesungguhnya aku akan dimintai pertanggungan jawab, dan kalian pun akan dimintai pertang-gungan jawab. Maka, apakah yang hendak kalian katakan?”

Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau telah menyampaikan (risalah Allah), berjihad, dan memberikan nasihat. Maka, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Nabi saw bersabda, “Bukankah kalian menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya; surga-Nya adalah hak (benar), neraka-Nya adalah hak, kematian adalah hak, kebangkitan sesudah kematian adalah hak, han kiamat pasti akan datang, tiada keraguan di dalamnya, dan bahwasanya Allah akan membangkitkan yang di dalam kubur?”

Mereka menjawab, “Tentu, kami menyaksikan semua itu.” Nabi saw bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku akan menanyakan kepada kalian ketika kalian didatangkan kepadaku tentang Tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), bagaimana kalian memperlakukan keduanya. Peninggalan yang terbesar adalah Kitabullah ‘Azza wa Jalla, ujung talinya yang satu ada di tangan Allah Ta’ala, sedangkan ujung tali yang satunya lagi berada di tangan kalian. Maka, berpegang eratlah dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat dan jangan pula kalian menggantikannya dengan yang lain. Dan (peninggalan yang satunya lagi adalah) keturunanku Ahli Baitku. Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui telah memberitahukan kepadaku bahwasanya keduanya (Al-Qur’an dan Ahli Bait beliau) tidak akan berpisah sehingga menemuiku di Haudh.”

Kemudian Nabi saw memanggil Ali as, lalu beliau memegang tangannya seraya mengangkatnya agar beliau dapat memperke-nalkannya kepada orang banyak Lalu beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, siapakah yang lebih utama bagi diri kalian daripada diri kalian sendiri?”

Mereka menjawab, ” Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau bersabda, “Barang siapa menganggap aku sebagai maulanya (pemimpinnya), maka ini Ali adalah maulanya juga. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya, bantulah orang yang membantunya, telantarkanlah orang yang menelantarkannya, dan jadikanlah kebenaran itu selalu bersamanya di mana saja dia berada.” [4]

Kemudian belum sempat para kafilah haji berpencar dalam perjalanan pulang ke negerinya masing-masing, turunlah firman Allah ta’ala:

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Ma’idah [5]: 3)

Lalu datanglah para pembesar sahabat Rasulullah saw seraya memberikan ucapan selamat kepada Ali dan Penyair Rasulullah saw pun (Hassan bin Tsabit) tak ketinggalan secara spontan melantunkan syairnya yang terkenal untuk mengabadikan peristiwa agung yang bersejarah ini.

CATATAN :

[1] Yanabi’ul Mawaddah, hal 211, Al-Ghadir, 6/110, dan Thabaqat lbn Sa’d, 2/103.

[2] ltsbatul Huda, 3/123.

[3] Itsbatul Huda, 3/131.

[4] Shahih Ath-Thirmidzi, 2/297, Mustadrak Al-Hakim: 1092, dan Asbabun Nuzul: 150.