Peran Perempuan dalam Membangun Masyarakat Religius (Bagian I)

Rusak dan tidaknya sebuah masyarakat bersumber dari perempuan. Perempuan adalah eksistensi yang mampu menghaturkan pribadi-pribadi yang unggul kepada masyarakat, sehingga masyarakat tersebut menjadi sebuah masyarakat yang kokoh dan masyarakat yang menjunjung norma-norma agama…. (Imam Khomaeni ra, sahifeh nur jil:16 hal:125)[i]

Sebuah hal yang aksioma bahwa eksistensi perempuan merupakan segmen yang urgen dari sebuah masyarakat. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menutup mata dari peran penting yang dimainkan oleh perempuan. Bukan zamannya lagi perempuan hanya dianggap sebagai alat reproduksi untuk keberlangsungan komunitas manusia. Hal ini pun telah dibuktikan sendiri oleh perempuan dengan menunjukkan kredibilitasnya dalam ranah sosial, politik, ekonomi, sains, dan lain-lain.

Munculnya tokoh, ilmuwan, politikus, pakar ekonomi, atau pakar hukum perempuan, merupakan bukti bahwa perempuan pun memiliki kemampuan intelektualitas yang sejajar dengan kaum lelaki. Meskipun demikian, jumlah mereka tidak sebanding dengan kaum lelaki, karena terbatasnya lahan dan keleluasaan yang diberikan kepada kaum perempuan untuk mengekspresikan segenap potensi yang ada pada dirinya, ataupun karena adanya dominasi kaum lelaki dalam segala bidang. Dalam sejarah, perempuan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk dapat mencapai kemajuaannya karena mereka sering dihadang oleh dogma ‘ketidakwajaran’ dan ‘ketidakpantasan’ (misalnya, Elizabeth blakcwill, dokter perempuan pertama di dunia yang lulus tahun 1849, sempat diboikot teman-temannya dengan alasan perempuan tidak sewajarnya mendapatkan pelajaran).

Di banyak kawasan, kebebasan serta hak-hak untuk maju baru bisa didapatkan oleh kaum perempuan setelah melalui perjuangan yang sangat panjang dan heroik. Bahkan, sampai sekarangpun di beberapa kawasan, perempuan masih belum mendapatkan angin kebebasan dan hak-hak yang semestinya.[i] Gerakan perempuan di Barat (Eropa) dimulai dengan munculnya gerakan feminisme, yang kendati mencuatnya pada abad ke-18 masehi, namun benih-benih gerakan ini berakar pada masa renaissance, yaitu abad ke-15 masehi. Will Durant dalam menggambarkan kondisi perempuan era renaissance menulis sbb.

“Para perempuan tertentu di era renaissance, melepaskan dirinya dari segala kungkungan abad pertengahan dan penghinaan para rahib melalui cara menghiasai diri dengan segala perhiasan dan penampilan yang sangat menarik, begitu mengangkat derajatnya sehingga sama dengan laki-laki. Mereka membahas tentang sastra dan filsafat dengan kaum laki-laki, memimpin sebuah negara melalui rasio seperti Isabella, atau melalui kekuatan bagaikan laki-laki seperti Catherina S, dan kadang mereka memakai baju perang lalu pergi ke medan perang untuk mencari suaminya…” [ii]

Gerakan kemajuan perempuan di kawasan Timur diawali dengan datangnya Islam. Islampun mengadakan perombakan besar-besaran atas perilaku yang selama ini ditujukan terhadap perempuan, serta mengangkat harkat dan martabat perempuan. Revolusi ini langsung dilakukan oleh Rasul saww sendiri dan putri beliau, Fathimah Zahra as, yang merupakan simbol manusia sempurna (insan kamil). Berkenaan tentang Fathimah Zahra as, sejarawan bernama Hasan Basri pernah berkata, “Di antara umat ini tidak ada orang yang ibadahnya yang lebih banyak dari putri Rasul saww. Begitu banyaknya beliau beribadah dan bermunajat kepada Allah swt sampai memberikan bekas pada kedua kakinya.”[iii]

Islam memberikan kepada perempuan beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh laki-laki[iv], dan memberikan peluang kepada para perempuan untuk aktif dalam berbagai bidang. Sumpah setia (Bai’at) para perempuan kepada Rasulullah saww adalah di antara bukti peran mereka dalam politik. Para perempuan muslimah juga aktif di medan perang untuk mengobati para tentara yang terluka, atau bahkan ikut terjun berperang melawan musuh jika keadaan mendesak sebagaimana yang dilakukan oleh Nasibah dalam perang Uhud. Orang pertama yang gugur (syahid) membela Islam adalah seorang perempuan, yaitu Sumayyah ibunda Ammar bin Yasir.[v] Bahkan, sepeninggal Rasulullah saww pun bermunculan para perempuan yang menguasai keilmuan baik ilmu agama maupun lainnya. Dengan munculnya perawi hadis perempuan, para perempuan yang mencapai derajat ijtihad.[vi] Tradisi keilmuan agama di kalangan perempuan masih terus berkembang sampai sekarang, dan bahkan di Iran kini banyak ditemukan perempuan yang sudah mencapai derajat ijtihad (disebut dengan Mujtahidah), atau ahli dalam bidang mistisisme (baca: tasawuf).[vii]

Di Indonesia kita dapat melihat berbagai gerakan dan sepak terjang para perempuan, baik di era pra-kemerdekaan RI dengan munculnya para tokoh perempuan yang ikut gigih melawan kolonialis dan imperialis, seperti Dewi Sartika, Cut Nya Din, R.A Kartini dan sebagainya. R.A Kartini dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Ungkapan R.A Kartini “habis gelap terbitlah terang” mampu memberikan inspirasi kepada para perempuan Indonesia untuk ikut andil dalam membangun negaranya, dengan cara tekun menempuh pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi, dan kemudian terjun langsung dalam pembangunan bangsa. Kaum perempuan Indonesia dewasa ini merupakan penerus kaum perempuan era Kartini yang gigih menghilangkan anggapan dan kultur lama yang menganggap perempuan tidak perlu sekolah setinggi mungkin, karena tugasnya hanyalah di sumur, kasur, dan dapur.

Gerakan perjuangan perempuan juga sangat marak di Indonesia. Banyak lembaga atau LSM perempuan yang aktif melakukan pembahasan dan turun ke lapangan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun, terkadang sebagian dari mereka jatuh ke dalam jurang paranoidisme dan radikalisme. Dengan berdalih emansipasi perempuan, perempuan dijauhkan dari identitas dan kedudukan yang sebenarnya. Semua aktivitas perempuan tersebut, meskipun dengan berbagai perbedaan prespektif dan sudut pandang, jelas berangkat dari kesadaran akan peran penting yang diemban oleh kaum Hawa. Jikalau hak, kewajiban, dan sepak terjang kaum perempuan yang merupakan separoh dari tubuh masyarakat ini tidak diindahkan, mungkinkah target yang akan dituju oleh sebuah negara akan berhasil dengan gemilang? Mungkinkah masyarakat religius dapat terwujud di tanah air kita tanpa mengikutsertakan peran perempuan?

Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan masyarakat religius? Secara umum yang dimaksud dengan masyarakat religius adalah masyarakat yang menjunjung norma-norma agama, berpegang teguh kepada ajaran agama dan dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-sehari dalam berinteraksi sesama anggota masyarakat. Setelah mengetahui secara umum pengertian masyarakat religius dan karakteristiknya, lantas apa peran perempuan, dan apa yang harus dilakukan sehingga dapat diwujudkan masyarakat religius yang ideal?

Peran Perempuan

Bruce J. Cohen dalam karyanya yang berjudul “Introduction To Sociology” mendefinisikan peran sebagai berikut, “Setiap perilaku yang diharapkan (dinantikan) oleh pihak lain terhadap setiap pemilik kedudukan tertentu.”[viii] Berdasarkan definisi di atas, ketika kita berbicara tentang peran perempuan, berarti kita berbicara tentang harapan dan penantian orang lain terhadap perempuan. Dengan kata lain, berbicara tentang apa yang dapat dilakukan perempuan dengan status dan kedudukannya sebagai perempuan. Secara umum, peran perempuan (women’s role) dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok; peran yang dimainkan secara langsung (straight role), dan peran tidak langsung (no straight role). Yang dimaksud dengan peran secara langsung adalah peran yang secara langsung dilakukan oleh perempuan dan pengaruhnya langsung dapat dirasakan. Adapun peran secara tidak langsung adalah peran yang secara tidak langsung dilakukan perempuan, dan pengaruhnya pun dirasakan secara tidak langsung

Dalam mewujudkan masyarakat religius, kita harus menilik kembali peran perempuan baik yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Peran yang secara langsung dapat langsung mempengaruhi dalam proses pembangunan sebuah tatanan masyarakat religius. Walau mungkin peran secara langsung kurang membantu dalam pembangunan sebuah masyarakat religius, akan tetapi lambat laun dan dengan berlalunya waktu, pengaruh tersebut akan dapat dirasakan. Adapun peran secara tidak langsung (no straight role) secara global dapat dibagi ke dalam dua kelompok sebagai berikut:

1. Sebagai Ibu (Pendidik Pertama)

1.1- Tujuan Pendidikan

Manusia merupakan wujud dua dimensi, dimensi materi dan non materi. Sisi materi maupun non materi manusia sama-sama memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika pemenuhan kebutuhan itu hanya dilakukan sebagian saja, atau tidak sama sekali, akan terjadi kepincangan. Kita dapat lihat pada masa sekarang ini -terkhusus pada dunia Barat ataupun pada masyarakat kita sendiri- manusia hanya dianggap sebagai robot hidup. Manusia hanya dianggap memiliki tubuh materi, semuanya hanya cenderung ke arah kehidupan materialistis. Krisis spiritual, kehampaan, dan kehilangan jati diri adalah merupakan efek dari kehidupan materialistis.[ix] Menjamurnya pusat-pusat kajian keagamaan di kota-kota besar merupakan bukti bahwa pemenuhan kebutuhan satu sisi saja tidak akan memberikan ketenangan kepada manusia dan hal ini menjadi pertanda babak baru terbukanya kesadaran religius pada masyarakat kita.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa dalam berbagai sistem pendidikan -baik formal maupun informal- pemenuhan kebutuhan materi dan non materi manusia haruslah dipenuhi secara seimbang. Namun sayangnya, fenomena yang sering kita saksikan adalah pembatasan arti pendidikan pada pendidikan formal saja, sehingga manusia dianggap terpelajar jika dia telah belajar secara formal. Manusia dianggap sukses bila telah meraih ijazah formalitas dan jarang sekali orang yang meraih pencerahan religiulitas dan spiritualitas disebut sebagai orang sukses.

Sementara itu, dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan adalah mencapai nilai-nilai dan norma-norma yang ada. Secara umum nilai-nilai yang ingin dicapai melalui pendidikan dapat dibagi kepada dua bagian:

1.Nilai-nilai sementara (berupa materi). Ini adalah nilai-nilai yang harus dicapai dalam rangka memenuhi kebahagiaan dan kebutuhan materi manusia.
2.Nilai-nilai absolut (berupa nilai-nilai maknawiyah dan spiritualitas). Kesempurnaan dan kebahagiaan ini dapat dicapai oleh manusia melalui perilaku baik, pembersihan jiwa dan hal-hal lain yang bersifat religius.

Sebetulnya, dalam makalah ini saya tidak bermaksud memfokuskan pembahasan pada Islam saja, tetapi ada berbagai faktor yang membuat kajian ini, mau tidak mau, harus terfokus kepada Islam. Pertama, dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka dalam rangka mencari solusi dan penyembuhan masyarakat harus dengan merujuk kembali kepada tataran ajaran Islam. Tentu saja, hak-hak pemeluk agama lain di Indonesia tetap harus diperhatikan karena bukankah Islam mengajarkan toleransi sosial keagamaan dan memerintahkan kepada pemeluknya untuk menghormati pemeluk agama lain? Kedua, kalau dilihat secara cermat apa yang tertuang dalam butir-butir Pancasila, akan kita dapati adanya keselarasan dengan ajaran Islam. Untuk menguatkan hal ini, marilah kita kembali menelaah isi Pancasila dan membandingkannya dengan Islam:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam adalah ajaran yang sangat menekankan monoteisme, semua ajaran Islam teringkas dalam tauhid atau keyakinan atas keesaan Tuhan.[x]
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan, bahkan salah satu sebab utama pengutusan para nabi adalah menegakkan keadilan dan melawan kezaliman.       Secara umum keadilan dimaknai sebagai “menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau memberikan sesuatu kepada yang berhak”. Islam juga sangat menekankan masalah adab dan akhlak. Banyak sekali hadis yang menerangkan tentang adab, antara lain, Imam Ali as berkata, “Adab menunjukkan kesempurnaan seseorang”.[xi]
3. Persatuan Indonesia. Islampun sangat menekankan masalah persatuan dan mencela perpecahan. Sebagai warga negara, seseorang harus menjaga persatuan tanah airnya serta menghindari perpecahan dan keonaran. Sikap seperti ini merupakan salah satu bentuk kecintaan kepada tanah air. Sedangkan cinta tanah air dan membela tanah air hal-hal yang dianjurkan oleh Islam. Karena, jika umat tidak bersatu, dengan mudah mereka akan diporakporandakan oleh musuh-musuhnya. Imam Ali as berkata, “Cinta tanah air sebagian dari iman”.[xii]. Dalam hadis lain berkenaan dengan anjuran membela tanah air, Imam Ali as berkata, “Jika kamu sekalian menyerah, maka akan hina kalian sehingga para penjarah menyerbu kepadamu dan negerimu pun akan mereka kuasai.”[xiii]
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Musyawarah merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam sebuah komunitas karena di sana pasti ada berbagai karakter, latarbelakang, sudut pandang, dan pengalaman. Islam menekankan cara musyawarah dalam menyelesaikan urusan kita, sebagaimana yang dapat kita simak dari kedua ayat berikut:“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan”. (Al-Imron 159).“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah”.(Asy-Syuaraa 38)
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Agama Islam memerintahkan manusia untuk memberantas kesenjangan sosial. Islam sangat membenci monopoli kekayaan oleh segelintir orang, serta melarang adanya jarak antara si kaya dan si miskin. Kekayaan merupakan anugrah Allah dan amanat yang akan diminta pertanggungjawabannya. Allah sangat mencintai orang menggunakan hartanya untuk membantu orang yang memerlukan, baik sebagai sesama manusia maupun sesama muslim. Zakat dan sedekah adalah merupakan salah satu perwujudan dari sila ini, dan cara untuk mewujudkan keadilan sosial.

Dari poin-poin di atas, dapat kita simpulkan bahwa tujuan pendidikan -baik menurut Islam maupun Pancasila- adalah untuk mencetak generasi yang sehat jasmani maupun ruhani. Seorang ibu yang merupakan pendidik pertama dan utama, seharusnya memahami hal ini karena masa kanak-kanak merupakan masa pembentukan kepribadian manusia. Seorang ibu berperan dalam langkah awal untuk menghasilkan generasi yang berkembang dari sisi tubuh, intektualitas, kecerdasan sosial, maupun religiusitasnya, sehingga tidak lahir ‘generasi kartun’. Dalam film kartun kita menyaksikan tampilan tokoh-tokoh berkepala besar dan berbadan kecil, atau sebaliknya, berbadan besar namun berkepala sangat kecil.

‘Generasi kartun’ merupakan simbol dari tidak adanya keseimbangan dalam perkembangan manusia. Adalah tugas ibu untuk mendidik anak sebaik mungkin agar kelak si anak tidak tumbuh menjadi seorang berintelektual tinggi, namun berakhlak seperti anak kecil yang tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Manusia yang tidak seimbang inilah yang melakukan korupsi dan penipuan di sana-sini. Bila kita perhatikan, mulai dari koruptor kelas kakap sampai kelas teri di Indonesia kebanyakan adalah orang-orang yang sehat jasmani dan berpendidikan tinggi. Namun, karena sisi moralitas, spiritualitas, dan religiulitas mereka tidak berkembang dengan baik, manusia-manusia seperti itu bisa disebut sebagai manusia yang cacat.

1.2- Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Pendidikan

Pondasi sebuah masyarakat adalah individu-individu, yaitu individu yang dididik dan dibesarkan dalam sebuah keluarga. Untuk menjadikan sebuah masyarakat yang sehat dan religius, maka yang pertama kali harus dibenahi adalah individu-individu sebuah keluarga. Dengan kata lain, sebuah keluarga harus memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya dengan memperhatikan dua sisi kebutuhan manusia, sisi materi dan non materi. Perempuanlah yang pertama kali memainkan peran penting ini ketika ia berperan sebagai seorang ibu. Ibu merupakan pendidik dan sekolah pertama bagi seorang anak. Ibu merupakan pembentuk pertama kepribadian seorang anak. Berkenaan dengan ini J. Russo berkata:

“Anak dapat terdidik sesuai dengan keinginan ibunya, jika engkau ingin dia mengetahui makna keutamaan dan kemuliaan, maka didiklah ibunya”[xiv]

Melalui pendidikan di rumah, seorang ibu mampu membantu anak dalam perkembangan kepribadiannya sehingga ia nanti akan menjadi seorang pribadi yang sehat jasmani maupun ruhani. Tentu saja, seorang anak memiliki ikhtiar untuk menentukan sendiri jalan yang akan ditempuhnya. Namun, sebelum mendapatkan pengaruh dari lingkungan, karakteristik dan kepribadian anak dipengaruhi oleh keluarga, terutama oleh ibunya. Hal ini dikarenakan ibu lebih banyak memiliki waktu bersama anaknya, dan sisi psikologis, kebanyakan anak lebih dekat kepada ibunya, mulai dari masa kehamilan, masa menyusui bahkan masa sesudahnya.

Dalam hal ini terdapat dua teori dari para psikolog yang saling bertentangan, tentang faktor-faktor yang memberikan pengaruh pada perkembangan anak. Satu teori mengatakan bahwa hanya faktor genetik yang mempengaruhi perkembangan anak, termasuk perkembangan kepribadian maupun karakteristik. Teori ini dikenal dengan teori Developmentalists yang diwakili oleh Arnodl Gessel (1880-1961), kendati pada tahun 1940 ia mengadakan perubahan dalam teorinya dengan menganggap bahwa lingkunganpun mempengaruhi terhadap perkembangan anak, namun dengan tetap menitik beratkan pada faktor genetik.

Teori lainnya menganggap bahwa faktor lingkungan saja yang mempengaruhi perkembangan anak, teori ini dikenal dengan teori Environmentalists yang diwakili oleh Jhon B. Watson (1878-1958). Ungkapannya yang terkenal dalam buku Child Psychology:

“Serahkan kepadaku beberapa anak yang sehat dengan fasilitas yang memadai, maka aku dapat menjadikan satu dari mereka menjadi seorang pakar, seperti dokter, menjadi seorang seniman, menjadi seorang pengusaha, bahkan menjadi seorang pengemis dan menjadi seorang pencuri…” [xv]

Namun sebagian ilmuwan lainnya menganggap bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian anak, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan kehendak pribadi si anak. Dalam kondisi seperti ini, perbedaan kapasitas ketiga faktor tersebut yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak.

1.3- Fase-Fase Pendidikan

Pendidikan anak dimulai sejak masa pra-kelahiran sekalipun. Dalam sebuah hadisnya, Imam Ali as berkata, “Karena jiwa anak-anak seperti tanah kosong, apapun yang ditanam padanya akan tumbuh. Aku memulai pendidikan kalian sejak kecil, sejak sebelum hati (jiwa) menjadi keras dan pikiran menjadi penat…”.[xvi]

Menarik sekali bila kita perhatikan istilah yang digunakan Imam Ali as, yaitu ‘tanah kosong’, bukan ‘lembaran putih bersih’. Tidak semua tanah dapat ditanami, karena ada tanah subur dan tanah gersang. Tanah subur yang memiliki potensi untuk ditanami, ungkapan tanah menunjukkan akan pengaruh genetik terhadap pendidikan anak. Hadis inipun menunjukkan akan urgennya memulai pendidikan sejak kecil. Bahkan dalam Islam fase-fase pendidikan diterangkan secara detail dan dimulai sejak sebelum pernikahan. Dalam makalah ini, fase-fase tersebut hanya akan kami sebutkan secara ringkas, yaitu sbb.

1. Fase pra-kelahiran (sebagai lahan atau mukadimah untuk mempermudah pendidikan anak pada fase selanjutnya) yang mencakup; memilih pasangan hidup, adab hubungan suami istri, dan sikap selama masa kehamilan. Pada masa kehamilan, segala prilaku seorang ibu akan memberikan pengaruh terhadap janin.

2. Fase pasca-kelahiran.  Islam mengajurkan banyak beberapa hal yang sebaiknya dilakukan pada masa tujuh hari pertama usia anak, yang dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan jasmani dan ruhani anak, yaitu: membacakan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri, memakankan padanya sedikit kurma dan air, memakaikan pakaian warna putih, dan tidak memakaikan pakaian berwarna kuning (dalam ilmu psikologi pun diakui adanya pengaruh warna terhadap kejiwaan), mendoakan anak yang baru lahir, memberikan nama yang baik, mengakikahkan, mengkhitankan, serta mencukur rambut bayi dan mengeluarkan sedekah berupa emas atau perak seharga berat rambut bayi tersebut.[xvii]

Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat sensitif dan merupakan masa pertumbuhan. Pertumbuhan badan, tulang, otak harus diupayakan sedemikian rupa agar tumbuh dengan baik. Anak harus dihindarkan dari kekurangan gizi karena akan berakibat buruk terhadap perkembangan selanjutnya. Sebagaimana jasmani anak harus diperhatikan, maka kebutuhan ruhaninyapun harus diperhatikan. Kasih sayang, perhatian, dan spiritualitas adalah kebutuhan ruhani anak yang harus dipenuhi orang tua. Betapa banyak kita saksikan anak yang mencari pelarian dengan menjadi pecandu narkoba dan terjerumus kepada perbuatan buruk lainnya, akibat kurangnya kasih sayang dari orang tua?

Mungkin terdapat sebuah pertanyaan, bukankah anak kecil suci dari dosa, lantas untuk apa kita menanamkan religiulitas pada anak? Perlu diketahui, memang benar anak kecil itu suci dari dosa, namun masa kecil merupakan masa perekaman. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dialami anak di masa kecil akan terekam terus dalam jiwanya. Oleh karena itu, hendaknya orang tua menanamkan kepada diri anak semenjak usia dini tentang makna kejujuran, pengorbanan, menolong sesama, dan nilai-niali religiulitas lainnya seperti ketaatan beribadah kepada Allah. Jika semua nilai-nilai ini ditanamkan sejak kecil, nilai-nilai tersebut akan mengakar dalam jiwa anak dan dapat menjadi pencegah dirinya dalam melakukan hal-hal yang buruk.

Metode Menanamkan Nilai-Nilai Religius

Dalam melakukan segala sesuatu, jika kita tidak mengetahui cara dan taktiknya, bukan kesuksesan yang akan kita dapatkan, melainkan justru kegagalan. Seorang ibu yang cerdas akan berusaha mencari tahu bagaimana cara agar anaknya mencintai ibadah, suka menolong sesama, tidak egois, dan sikap-sikap mulia lainnya. Jika seorang ibu melakukan kesalahan dalam mendidik anak, bukannya kecintaan yang akan tumbuh, melainkan kebencian. Dengan kata lain, walaupun bertujuannya baik, namun bila cara yang ditempuh adalah cara yang salah, tujuan benar itu tidak akan tercapai.

Kini, marilah kita meninjau ajaran Islam berkenaan dengan metode pengajaran akhlak kepada anak. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis, hingga usia tujuh tahun adalah masa bermain anak. Bagi anak, bermain merupakan kebutuhan dan dia akan tumbuh berkembang dengan bermain. Hal ini pula yang disampaikan oleh surat al-Hadid ayat 20 yang berbunyi:

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangaan tentang banyaknya harta dan anak”

Sebagian ulama menafsirkan ayat ini sebagai jenjang kehidupan kebanyakan manusia. Permainan (la’ibun), mengisyaratkan pada masa kanak-kanak yang merupakan dunia bermain. Melalaikan (lahwun), mengisyaratkan pada masa remaja sebagai masa penuh kelalaian dan hura-hura. Perhiasan (Zinatun), mengisyaratkan kaum muda yang senantiasa berhias dan memperhatikan penampilan. Bermegah-megahan (tafakhur), mengisyaratkan pada masa dewasa, yaitu manusia umumnya ketika telah berkeluarga cenderung untuk berbangga-bangga kepada orang lain atau keluarganya dengan memamerkan harta yang telah dimilikinya. Memperbanyak harta dan anak dan keturunan (cucu dan buyut), mengisyaratkan pada masa tua, dimana kecenderungan manusia yang semakin tua, menjadi semakin rakus. Oleh karena itu, jika kita ingin sukses dalam menanamkan nilai-nilai religius terhadap anak, kita harus mendidik dengan sesuai tingkat perkembangan anak.

Selain itu, seorang ibu harus menjadi contoh bagi anak. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anak berlaku jujur sementara ia sendiri suka berbohong. Dengan cara bermain dan penuh kasih sayang, seorang ibu harus menanamkan kebaikan kepada anak. Sebaliknya, cara yang kasar justru akan menimbulkan kebencian di hati anak. Misalnya, jika anak dipaksa dengan perlakuan keras untuk melakukan sholat, anak akan merasa benci kepada sholat.

Dalam riwayat kita mengetahui bahwa Rasulpun ketika shalat membiarkan anak-anak bebas menunggangi punggungnya, sehingga sujudnya menjadi lama.[xviii] Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa pendidikan pada masa kanak-kanak hendaknya dilakukan dengan kasih sayang dan lemah lembut, sehingga anak-anak dengan keinginannya sendiri melakukan suatu perbuatan baik. Cara lain adalah dengan memberikan motivasi kepada anak untuk melakukan perbuatan baik, mungkin berupa pujian ataupun hadiah sehingga ia merasakan nikmatnya melakukan kebaikan. Melalui penyampaian cerita-cerita orang-orang bijak, kisah akibat orang yang melakukan kebaikan atau keburukan, serta membawa anak ke majlis-majlis keagamaan dan do’a adalah merupakan contoh trik-trik yang dapat dilakukan dalam menerapkan nilai- nilai keagamaan pada anak-anak.

Selain itu, seorang ibu harus mampu memberikan jawaban atas pertanyaan anak yang berkenaan dengan siapa dirinya, siapa Tuhan, dan pertanyaan-pertanyaan lain tentang ajaran agama, seperti, mengapa kita harus sholat, untuk apa berdo’a, apakah dosa itu? Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini merupakan pertanyaan alami yang umumnya muncul di benak anak dan seorang ibu yang bijak dan cerdas, hendaknya tidak melarang anaknya untuk bertanya tentang hal itu semua. Bila ibu memilih menjawab seadanya atau malah memarahi anak untuk bertanya, artinya dia telah membunuh rasa ingin tahu anak, yang merupakan fitrahnya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa seorang ibu haruslah berpendidikan dan berpengetahuan. Artinya, membangun masyarakat religius harus diawali dengan mendidik para ibu dan memberikan kesempatan belajar bagi kaum perempuan.

Kendala-Kendala Pendidikan di Indonesia

Zaman teknologi selain memberikan kemudahan bagi manusia, juga memberikan efek negatif yang tidak dapat dihindari. Jika manusia tidak membekali dirinya dengan keimanan yang kuat, dia akan terjerumus ke dalam jurang krisis moral dan spiritual. Fenomena seperti ini dapat kita saksikan di tanah air, yang mengakibatkan bertambahnya beban berat para pendidik untuk mencetak generasi yang sehat jasmani dan ruhani. Beberapa kendala dalam pendidikan anak adalah sbb.

1. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang nilai luhur pendidikan, terkhusus pendidikan agama.
2. Kurang meratanya sarana-sarana penunjang dalam peningkatan kualitas pendidikan.
3. Maraknya acara-acara televisi dan media massa yang kebanyakan memberikan efek negatif bagi kepribadian anak. Sebagai contoh, penayangan gambar maupun film-film yang belum waktunya dilihat anak-anak, seperti film kekerasan atau pornografi. Acara-acara seperti ini berpotensi besar dalam menyebabkan dekadensi moral dan spiritual bangsa.
4. Banyaknya acara-acara mistik dan khurafat yang akan merusak mental masyarakat.
5. Semakin gencarnya impor kultur asing, yang mayoritas tidak sesuai dengan kultur bangsa dan agama. Dewasa ini kita melihat bahwa kultur asing sedikit demi sedikit telah berhasil menggeser nilai-nilai moralitas bangsa, terutama kaum muda. Melalui tiga “F” yaitu fashion, food, dan fun, para penjajah modern telah sukses dalam menciptakan krisis identitas bangsa Indonesia.
6. Krisis figur spiritual yang benar-benar dapat mewakili amanat agama untuk menjadi teladan dalam hidup beragama, berbangsa, dan bernegara.

Cara menanggulangan semua kendala di atas tidak dapat dilakukan dengan secara individual, melainkan harus dilakukan dengan cara melibatkan semua pihak, baik itu pemerintahan, ulama, maupun masyarakat itu sendiri. Di bawah ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kendala pendidikan, yaitu sbb.

1. Mengingatkan kembali fungsionalitas agama bagi kehidupan dan kebahagian hakiki manusia.
2. Mengadakan training keluarga dan pendidikan anak, yang diadakan pada masa pra-nikah untuk generasi muda, sebagai bekal untuk kehidupan berkeluarga.
3. Pemerintah hendaknya membatasi acara-acara televisi dan media massa lain yang berpotensi merusak mental dan spiritual bangsa. Pemerintah harus mewajibkan pemilik media massa untuk melibatkan psikolog dan ruhaniwan dalam memproduksi sebuah program, terutama program untuk anak-anak dan remaja, agar program acara tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka.

 
Catatan :

[i] Misalnya, kita sempat kaget dan heran ketika mendengar berita dari televisi, kalau kaum perempuan negara Kuwait baru tahun ini mendapatkan hak suara. Inipun masih harus berhadapan dengan beberapa penentang yang tidak menyetujui akan pemberian hak suara kepada perempuan

[ii]   Lebih detailnya berkenaan dengan kondisi perempuan zaman renaissance, dapat merujuk ke karyanya William J. Durant dalam bukunya yang berjudul: Of the story of civilization, tetapi khusus pembahasan zaman renaisans, edisi terjemahan, 1381 Sy, Tehran, Syerkat-e intisyarat-e ilmi wa farhanggi., cetakan ke-8, jil ke-5 hal: 116.

[iii] Qazwini, Muhamad Kazim, Fatimah Zahra az wiladat ta syahadat, edisi terjemahan, 1372, Qom, Nasyre murteza, cetakan ke-4, hal:301.

[iv] Seperti hadis-hadis tentang keutamaan ibu seperti hadis surga dibawah telapak kaki ibu atau yang berkenaan dengan anak perempuan.

[v] Lihat buku, Zanon mardane ofarine tarikh karya: Muhamad Mahdi Isytihardi, hal:75-115, 1379, Qom. Begitupula dapat merujuk ke dalam kitab Zanon-e nami dar tarikh, farhang dan tamadhun-e islami, yang mencatat tentang 1500 pakar perempuan dalam meriwayatkan hadis, mistisme (irfan), sastra, sains dan pemikiran, penulisan kitab dan penelitian, pakar penulisan kaligrafi dan seniman, politik dan sosial, ijtihad dalam hukum Islam, kedokteran, revolusi dan lain sebagainya.

[vi] Derajat tertinggi dalam bidang ilmu agama.

[vii]Munculnya para arifah,yang sebagian menjadi rujukan para ulama tasawuf, seperti Rabiah Adawiyah dimana Sofyan ats-Tsauri banyak memujinya. Dalam kitab Nafahatul al-uns karya Abdurahman Jaami disebutkan para perempuan arifah baik dari kalangan sunni maupun syi’ah, yang selain mereka menjadi rujukan para ulama tasawuf juga memiliki karya-karya yang sangat menarik. Seorang arifah besar dari kalangan syi’ah yang beberapa tahun yang lalu baru meninggal dan mempunyai karya yang sangat menarik dalam bidang mistis, beliau di kenal dengan Banu-ye Isfahan.

[viii] Cohen, Bruce J, Introduction To Sociology (Parsi Edition), hal: 57.

[ix] Bahkan menurut imam khomaeni politik yang hanya memperhatikan kesejahteraan materi saja dianggap sebagai politik hewani, karena imam khomaeni membagi politik kepada tiga bagian yaitu: Politik syetan, yaitu politik hanya sebagai alat untuk mencapai kekuatan dan kekuasaan walaupun melalui cara apapun seperti pendapatnya mickvelie, politik hewani sebagaimana yang telah di jelaskan diatas dan politik ilahi yaitu politik yang memperhatiakan kesejahteraan jasmani dan ruhani masyarakatnya.

[x] Dapat dilihat dalam ayat-ayat maupun hadis yang menerangkan tentang tauhid.

[xi] Rei Syahri, Muhamad, Muntahab Mizanul al-hikmah, 1422 sy, Qom, Daar al-Hadis. hal: 17, hadis ke-115.

[xii] Ibid, hal:574 hadis ke-6563.

[xiii] Ibid, hal: 574, hadis ke-6565.

[xiv] Baqiri biidahandi, Nasir, Banu Nemuneh, 1377, Qom, cetakan ke-2, hal:66.

[xv] Howzah-University Co-operation Center, Developmental Psychology-With a View to Islamic Sources- (Parsi Edition), 1374, Tehran, hal: 228.

[xvi] Husaini Zadeh, Ali, Tarbiyat-e Farzan, 1382, Qom, cetakan ke-2, jil:1. hal 32.

[xvii] Ibid, hal: 37-76.

[xviii] Ibid, hal:122.