Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Seputar Imam Mahdi as.

4 Pendapat 04.3 / 5

Keniscayaan Terealisasinya Penegakkan Keadilan di Muka

Bumi

Pembahasan mengenai juru selamat merupakan pembahasan

yang sangat urgen dewasa ini. Hal tersebut berhubungan

erat dengan keyakinan dalam lingkup agama atau pun

mazhab. Sebagian umat kristiani meyakini bahwa di akhir

zaman, al-Masih akan muncul dan akan menyelamatkan umat

manusia serta mengisi dunia dengan kedamaian. Dalam Islam

pun demikian. Sebagian besar kaum muslimin meyakini bahwa

di akhir zaman nanti akan muncul putra dari keturunan

Nabi Muhammad saw, Muhammad Al-Mahdi yang akan menegakkan

keadilan di muka bumi.

Al-Quran menjelaskan Allah swt tidak mengutus seluruh

para nabi dan rasul kecuali untuk satu tujuan utama yaitu

menegakkan keadilan di muka bumi. Allah swt berfirman

dalam Al-Quran:

لَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلَنا بِالْبَيِّناتِ وَ أَنْزَلْنا مَعَهُمُ الْكِتابَ وَ الْميزانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ[1]

“Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan

membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan

bersama mereka kitab langit dan neraca (pemisah yang hak

dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia

bertindak adil.”

Jadi, salah satu tujuan penting diutusnya para rasul

ialah menegakkan keadilan di muka bumi. Kita mengetahui

bahwa keadilan merupakan perkara yang fitriah atau

manusiawi, artinya seluruh umat manusia mendambakan

keadilan. Al-Quran pun menegaskan kembali bahwa keadilan

di muka bumi suatu saat pasti akan terealisasi. Berikut

ini ayat Al-Quran yang menerangkan tentang akan

terealisasinya keadilan di muka bumi. Allah swt

berfirman;

وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى‏ لَهُمْ وَ

لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني‏ لا يُشْرِكُونَ بي‏ شَيْئاً وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ[2]

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman

di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa

Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di

bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang

sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan

bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka,

dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,

sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman

sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak

mempersekutukan suatu apa pun dengan Aku. Dan barang

siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka

itulah orang-orang yang fasik.”

Dalam ayat ini para mufassir berbeda pendapat mengenai “

استخلاف الارض” (kepemimpinan/kekhalifahan dimuka bumi).

Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

kekhalifahan disitu ialah Nabi Adam as, Nabi Daud as dan

Nabi Sulaiman as. Allah swt berfirman:

وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَة[3]

“Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para

malaikat, Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang

khalifah di muka bumi.”

يا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناكَ خَليفَةً فِي الْأَرْضِ[4]

“Hai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah

(penguasa) di muka bumi.”

Sebagian mufassir tidak sependapat dengan pendapat

tersebut, seperti Allamah Thabathaba’i dalam tafsir Mizan

mengatakan bahwa kata “الذین من قبلکم” (orang-orang sebelum

mereka) tidak sesuai dengan kedudukan para nabi, karena

tidak ditemukan dalam Al-Quran ibarat tersebut

dikhususkan untuk para nabi. Itu hanya menunujukkan

kepada umat-umat terdahulu yang mencapai keimanan dan

amal yang shaleh dimana Allah swt memberikan kekuasaan

pada mereka di muka bumi.

Sebagian mufassir juga berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan kekhalifahan di ayat tersebut ialah Khulafa

Arrasyidin, yaitu empat khalifah setelah Rasulullah saw.

Tapi kita mengetahui bahwa kekhalifahan mereka belum

meliputi seluruh bumi, juga keadilan dan kedamaian di

zaman khlaifah tersebut belum terealisasi. Sedangkan Al-

Quran menggambarkan bahwa keadilan akan terwujud seperti

keteguhan agama, menukar keadaan dari ketakutan menjadi

aman, tidak ada satupun yang menyekutukan Allah swt dll.

Dan mufassir lain mengatakan bahwa kekhalifahan dalam

ayat tersebut ialah Imam Mahdi as. dan para sahabatnya.

Mereka yang akan mewarisi bumi dan memenuhinya dengan

keadilan. Sebagaimana riwayat mengatakan.

لو لم یبق من الدنیا الا یوم لطول الله ذلک الیوم حتی یلی رجل من عترتی اسمه اسمی یملا الاض عدلا و قسطا کما ملئت ظلما و جورا[5]

“Jika umur dunia ini hanya tinggal satu hari, maka Allah

swt akan memanjangkan hari itu sampai muncul seorang

laki-laki dari keturunanku, bernama seperti namaku, dan

ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana

telah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.”

Berikut ayat-ayat lain yang berkaitan dengan pembahasan

tersebut.

وَ نُريدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوارِثينَ[6]

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang

tertindas di muka bumi itu, hendak menjadikan mereka

pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi

(bumi).”

وَ لَقَدْ كَتَبْنا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصَّالِحُونَ[7]

”Dan sungguh Kami telah tulis di dalam Zabur sesudah

(Kami tulis dalam) azd-Dzikr (Taurat) bahwasanya hamba-

hamba-Ku yang saleh mewarisi bumi ini.”

Syarat Terealisasinya Tegaknya Keadilan di Muka Bumi

Sebelumnya kita telah membahas tentang keniscayaan

penegakkan keadilan di muka bumi, dan kita telah

mengetahui bahwa Allah swt tidak mengutus para nabi dan

rasul kecuali untuk menegakkan keadilan di muka bumi.

Lalu, muncul pertanyaan bagaimana keadilan itu akan

terwujud? Apa syarat-syarat untuk terealisasinya keadilan

di muka bumi?.

Untuk terwujudnya keadilan di muka bumi, ada tiga syarat

yang harus terpenuhi.

Pertama, adanya agama yang sempurna, dan universal yang

mampu menjawab seluruh masalah kehidupan manusia, atau

adanya aturan maupun syariat yang mampu memenuhi segala

kebutuhan manusia baik itu yang berhubungan antara

dirinya dengan Allah swt, atau dirinya dengan Alam,

Masyarakat, atau pribadinya sendiri. Kita meyakini bahwa

agama yang sempurna untuk sekarang ini ialah agama Islam.

Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Al-Quran:

الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذينَ كَفَرُوا مِنْ دينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَ اخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً[8]

“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk

(mengalahkan) agamamu. Sebab itu, janganlah kamu takut

kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah

Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan

kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi

agama bagimu.”

Kedua, adanya Pemimpin/Imam/Pembimbing/Khalifah yang

mumpuni dalam memenuhi kebutuhan umat secara keilmuan

baik dalam bidang Ushul, Akidah, Fikh, Akhlak atau

Syariat. Pemimpin yang mampu mengamalkan agama dalam

kehidupan manusia, dan ia juga harus Makshum (suci) baik

secara ilmu maupun amal. Kita akan dapati bahwa Al-Quran

mensyaratkan Makshum untuk seorang Imam. Allah swt

berfirman:

وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيْمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ[9]

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan

beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia

menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman,

“Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh

manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?”

Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-

orang yang zalim.”

Ayat ini menunjukan tentang syarat penting untuk

seseorang yang telah mencapai maqom Imam yaitu

kemakshuman. Dan hal ini juga yang menjadi sebuah

keyakinan dalam mazhab Alhlul Bait bahwa seorang Imam

harus Makshum.

Ketiga, adanya umat yang mampu menanggung semua tanggung

jawab insaniah secara keseluruhan dan sempurna. Karena

Al-Quran tidak menginginkan terwujudnya penegakkan

keadilan di muka bumi secara Mukjizat, tapi Al-Quran

menginginkan keadilan yang lahir atas peran utama

manusia. Sebagaimana telah di paparkan dalam Al-Quran

surat al-Hadid ayat 25 sebelumnya, pada kalimat akhir

disebutkan لیقوم الناس بالقسط (supaya manusia bertindak adil). Jadi

manusialah yang mempunyai peran asas dan penting dalam

terealisasinya penegakkan keadilan di muka bumi.

Jika ketiga syarat-syarat ini terpenuhi maka penegakkan

keadilan di muka bumi akan terwujud dan terealisasi.

Dalam pandangan Mazhab Ahlul Bait, sampai saat ini syarat

pertama dan kedua telah terpenuhi, yaitu adanya Agama

yang sempurna dan Universal juga adanya Imam yang Makshum

serta mempuni dalam mengamalkan agama secara sempurna

yaitu Imam Mahdi as, yang Allah swt gaibkan dan akan

muncul nanti sebagaimana yang telah Rasulullah saw

katakan. Adapun dalam pandangan Mazhab Ahlus Sunnah bahwa

baru syarat pertama yang terpenuhi, adapun syarat kedua

mereka meyakini bahwa Imam Mahdi as belum lahir. Mereka

meyakini bahwa Imam Mahdi as akan lahir diakhir zaman dan

tidak ada yang mengetahui kelahirannya kecuali Allah swt.

Kita tidak akan membahas lebih dalam mengenai perbedaan

ini, tapi kita akan menyuguhkan satu hadis masyhur dan

mutawattir sebagai bahan perenungan yang menunjukan bahwa

Imam Mahdi as telah lahir. Hadis ini dikenal dengan nama

hadis Tsaqolain.

حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ثقلین ما

إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah

menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah  

dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW

bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian Tsaqolain yang

apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian

tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan

ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah

hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh

Al Fasawi 1/536]

Hadis Tsaqolain merupakan hadis yang mencapai derajat

mutawattir dan tercantum baik dalam kitab-kitab Ahlus

Sunnah maupun Ahlul Bait. Banyak perawi yang meriwayatkan

hadis ini dalam bentuk teks yang berbeda-beda tapi muatan

isinya tetap sama yaitu Rasulullah saw meningggalkan dua

perkara penting yang jika berpegang pada keduanya tidak

akan tersesat selamanya yaitu Al-Quran dan Itrah Ahlul

Baitku yang keduanya tidak akan terpisah sampai kembali

kepadaku.

Hadis ini menunjukkan bahwa Al-Quran dan itrah nabi tidak

akan pernah terpisah, selama masih ada Al-Quran, maka

harus ada seorang dari keturunan nabi yang bersamanya,

yang mana jika berpegang teguh pada keduanya umat tidak

akan tersesat. Jika kita meyakini akan eksistensi Al-

Quran sampai saat sekarang ini, maka kelaziman bagi kita

untuk meyakini adanya seorang dari keturunan Rasul saw

yang bersama Al-Quran dan menjadi pegangan kita, sehingga

jika kita berpegang teguh pada keduanya maka kita tidak

akan tersesat. Seorang yang dinisbahkan bersama Al-Quran

pada zaman sekarang ini ialah Imam Mahdi as, sebagaimana

yang diyakini dalam Mazhab Ahlul Bait bahwa seorang Imam

yang menjadi pegangan umat manusia serta disandingkan

dengan Al-Quran ialah orang yang harus maksum.

Menyambut Janji Tuhan

Pada pembahasan awal kita telah menyinggung tentang janji

tuhan akan terealisasinya penegakkan keadilan di muka

bumi, sebagaimana Allah swt berfirman pada surat Annur

ayat 55 sebelumnya yang berbunyi

وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman

di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa

Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di

bumi,”

Dalam teks tersebut dikatakan Allah swt telah berjanji

kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh akan

kekuasaan di muka bumi. Kita telah membahas bahwa yang

dimaksud Kekhalifahan dalam ayat tersebut ialah Imam

Mahdi as dan para sahabatnya. Namun yang menjadi

pertanyaan ialah kenapa janji Allah swt dalam ayat

tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman

dan beramal shaleh saja? Kenapa dalam perkara

Kekhalifahan Imam Mahdi as Allah swt tidak berjanji

kepada seluruh umat manusia? Bukankah setiap manusia

menginginkan keadilan di muka bumi ini?

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata janji

berarti perkataan yg menyatakan kesediaan dan kesanggupan

untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang,

bertemu dll). Atau janji ialah penangguhan; penundaan

waktu.

Jika dilihat dari sisi pelaku pembuat janji, maka ada dua

hal yang akan terjadi setelah pelaku pembuat janji itu

mengikrarkan janjinya. Pertama, ia akan menepati

janjinya. Kedua, ia akan mengingkari janjinya.

Berikut ini faktor-faktor seseorang tidak menepati

janjinya:

    Zalim, ia mampu untuk menepati janji, tapi secara

sengaja ia mengingkari janjinya dan berniat zalim

terhadap seseorang yang telah ia kasih janji.
    Pada waktu yang ditentukan ia tidak memiliki sesuatu

yang telah ia janjikan kepada penerima janji.
    Ia lupa akan janjinya
    Adanya halangan yang secara langsung atau tidak

langsung menyebabkan ia mengingkari janjinya
    Ia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi janjinya.
    Dan lain-lain

Kita telah sebutkan faktor-faktor penyebab pelaku pembuat

janji tidak menepati janjinya, lalu jika kita nisbahkan

semua faktor-faktor tersebut kepada Allah swt, apakah

mungkin dengan sebab-sebab itu Allah swt tidak menepati

janji? Ya, tidak mungkin hal itu terjadi, sangat mustahil

ada satu faktorpun yang menyebabkan Allah swt tidak

menepati janjinya. Jadi kesimpulannya ialah Allah swt

pasti akan menepati janjinya. Jika Allah swt menjanjikan

penegakkan keadilan di muka bumi, maka hal itu sudah

sangat pasti akan terjadi dan terealisasi. Karena Allah

swt tidak mungkin mengingkari janjinya.

Jika dilihat dari sisi penerima janji, maka ada dua hal

yang akan terjadi kepada si penerima janji. Pertama,

janji itu akan memberikan atsar, dampak atau pengaruh

terhadap dirinya. Kedua, janji itu tidak memberikan

atsar, dampak atau pengaruh terhadap dirinya.

Kita akan menjelaskan yang pertama dan kedua dengan

sebuah contoh. Misalnya Anda adalah seorang karyawan di

suatu perusahaan, kemudian suatu hari Bos Anda yang

dikenal baik oleh semua karyawan di perusahaan itu

menjanjikan kenaikan pangkat dan gaji kepada Anda jika

Anda melakukan pekerjaan dengan baik. Jika janji itu

berdampak dan mempengaruhi Anda, maka sejak saat itu Anda

pasti akan bekerja dengan sebaik mungkin dan memiliki

pengharapan yang tinggi terhadap apa yang dijanjikan oleh

Bos Anda tersebut, karena konsekuensi dari dampak atau

pengaruh janji itu ialah adanya gerakan atau usaha dari

Anda, sehingga gerakan yang dilakukan oleh Anda semata-

mata hanya untuk merealisasikan janji dari Bos Anda

tersebut.

Tapi jika janji itu tidak memberikan dampak atau pengaruh

terhadap diri Anda, maka sejak saat itu anda akan bekerja

biasa-biasa saja, dan Anda tidak berharap sedikitpun

terhadap apa yang dijanjikan Bos. Karena janji itu tidak

berdampak dan berpengaruh pada diri Anda, maka tidak ada

gerakan atau usaha sedikitpun dari diri Anda dalam

merealisasikan janji Bos Anda. Dalam hal ini Anda hanya

sekedar mengetahui informasi yang di janjikan oleh Bos

Anda tanpa adanya sambutan dan gerakan dari Anda dalam

mewujudkan apa yang dijanjikan Bos Anda.

Nah, jika Allah swt menjanjikan penegakkan keadilan di

muka bumi yang dipimpin oleh Imam Mahdi as, maka

pertanyaannya ialah apakah janji Allah swt itu telah

berdampak atau berpengaruh terhadap diri kita? Jika iya,

maka konsekuensi dari dampak atau pengaruh janji itu

ialah adanya gerakan dan usaha dari kita dalam menyambut

janji Tuhan tersebut, juga adanya pengharapan yang tinggi

dalam diri kita akan terealisasinya janji Tuhan tersebut,

sebagaimana dalam suatu hadis Rasulullah saw mengatakan:

افضل اعمال امتی انتظار الفرج من الله عز و جل[10]

“Seutama-utama amal umatku ialah menunggu Alfaraj dari

Allah Azza wa Jalla.”

Yang dimaksud dengan menunggu dalam hadis tersebut

bukanlah menunggu dalam artian diam tidak melakukan

apapun, tapi menunggu disitu ialah adanya gerakan atau

usaha dalam menyambut Alfaraj, sebagaimana yang telah

kita paparkan diatas bahwa konsekuensi atas dampak dan

pengaruh janji ialah adanya gerakan dan usaha serta

pengharapan yang tinggi dalam merealisasikan janji

tersebut.

Tapi, jika janji Allah swt tidak berdampak dan

berpengaruh terhadap diri kita, maka posisi kita hanya

sebatas mengetahui informasi akan janji Allah swt

tersebut, juga tidak ada gerakan dan usaha serta

pengharapan yang tinggi dari kita dalam merealisasikan

dan menyambut janji Allah swt. Jadi, kenapa Allah swt

hanya berjanji kepada orang-orang yang beriman dan

beramal shaleh dalam penegakkan keadilan dan kekhalifahan

Imam Mahdi as di muka bumi? Karena telah kita ketahui

bahwa tidak semua orang merasakan akan janji Allah

tersebut. Hanya orang-orang khusus yang bisa merasakan

janji Allah swt, yaitu orang-orang yang bergerak dan

berusaha serta memilki harapan yang tinggi akan

terwujudnya dan terealisasinya janji Allah swt.

Jadi, apakah kita sudah termasuk orang-orang yang

merasakan dampak dan pengaruh atas janji Allah swt?

Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang merindukan

dan berharap banyak akan terealisasinya janji Allah swt?

Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang bergerak

dalam menyambut apa yang dijanjikan Allah swt?

Wallahu A’lam

CATATAN :

[1] QS Alhadid : 25

[2] QS Annur : 55

[3] QS Albaqarah: 30

[4] QS Asshad : 26

[5] Kitab Muntakhab Alasar, memuat 123 hadis tentang

pembahasan ini, lihat hal. 247

[6] QS Alqasas : 5

[7] QS Alanbiya : 105

[8] QS Almaidah : 3

[9] QS Albaqarah : 123

[10] Kitab Biharul Anwar juz 52 hal. 128 hadits ke 21