Mizan Keadilan Tuhan[1]



oleh Isyraq

Perbedaan dalam Agama

Iman pada permulaannya merupakan sesuatu yang senantiasa sederhana dan bersahaja. Seiring dengan perjalanan waktu, manusia mulai mengelaborasi iman yang sederhana itu dan berangkat dari situ, perbedaan muncul dan ragam mazhab didirikan. Hal ini terjadi pada seluruh agama-agama sebelum Islam dan Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Islam mula-mula merupakan sebuah seruan untuk meyakini dan beriman kepada ke-Esaan Tuhan, pada kenabian Muhammad dan Hari Kiamat. Pada ketiga usul dasar ini tidak ada pertentangan. Demikian juga, tiada syak bahwa agama Tuhan adalah agama Islam, artinya bahwa satu-satunya jalan untuk mengenal Islam adalah melalui Kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw, dan bahwa Kitab Allah yang dikenal sebagai al-Qur’an adalah sebuah kitab yang di dalamnya tiada penambahan atau pengurangan.

Perbedaan-perbedaan terjadi dalam penafsiran sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan otensisitas beberapa hadis-hadis Nabi Saw, serta dalam penafsiran dan implikasinya. Perbedaan-perbedaan ini telah memunculkan banyak pertanyaan yang telah memecah kaum Muslimin. Terdapat banyak perbedaan tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat-Nya: Apakah Tuhan memiliki badan? Dapatkah Dia dilihat? Apakah Tuhan itu adil? Apakah manusia dipaksa Tuhan dalam perbuatannya atau ia bebas?

Sepanjang yang bertautan dengan wujud, sosok dan keesaan Tuhan, perkara-perkara ini berada pada pembahasan awal ushuluddin yang dikenal sebagai tauhid dan telah disinggung dalam buku atau kitab yang berkenaan dengannya.

Yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan, pembahasan ini berada pembahasan kedua ushuluddin yang dikenal sebagai Keadilan. Menurut keyakinan Syiah Itsna Asyariah, keadilan (‘adl) merupakan sifat yang terpenting dari sifat-sifat Tuhan; dan atas alas an itu dibahas secara terpisah. Alasan mengapa pembahasan kedua ushuluddin ini bertautan dnegan perbuatan-perbuatan Tuhan dinamakan seabgai Keadilan lantaran perbedaan-perbedaan di antara kaum Muslimin ihwal keadilan Tuhan sangat luas dan menjuntai.

Karena beberapa perbedaan yang beragam di kalangan mazhab Muslim merupakan poin-poin teologis, maka dipandang penting untuk mengkaji tahapan-tahapan tulisan ini dengan baik. Mengingat bahwa setiap terma dan tahapan dari tulisan ini memiliki signifikansi, dan jika para pembaca mencoba untuk merubah setiap terma dan tahapan dari tulisan ini, maka ia menempatkan dirinya pada kerancuan dan ketidakselarasan berpikir tentang masalah ini.
Sebuah Catatan ihwal Makna Keadilan

Derivasi redaksi al-‘adl pada asalnya dicipta untuk membawa maksud menjadikan dua benda itu sama dan distribusi secara saksama. Demikian juga dalam masalah Ansaf yang bermakna secara literal sebagai persamaan atau keadilan, dan sebagai hasilnya, ‘Adl merujuk kepada keadilan, persamaan, berada di jalan yang lurus, ke arah kebenaran, berada di pihak yang benar, tidak berkurang atau berlebih dan juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Lawan kata kalimat al-’Adl adalah al-Jaur dan al-Zulm. Al-Jaur bermakna cenderung kepada sebelah pihak, yang akhirnya menyiratkan pengertian tidak memihak kepada keadilan, dan berlaku berat sebelah dan memihak. Kalimat Zulm juga bermakna meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Seseorang hakim (Qadi) yang zalim membuat keputusan atau hukuman yang salah dengan tidak membela pihak yang tertindas haknya.
Mazhab yang Sering disebutkan dalam Tulisan ini

Para pembaca akan banyak menjumpai mazhab-mazhab berikut dalam tulisan ini:

Syiah Itsna ‘Asyariyah: Kaum Muslimin yang meyakini dua belas imam yang bermula dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain dan sembilan keturunannya. Imam Keduabelas adalah Muhammad al-Mahdi, Sang Messiah yang Dinantikan. Mazhab ini juga dikenal sebagai mazhab Imamiyah.

Asy’ariah: Seluruh kaum Muslimin yang bermazhab Sunni adalah Asy’ariah dalam keyakinan mereka. Mazhab ini merupakan pengikut Abu l-Hasan al-Asy’ari (w 324 H/936 M).

Mu’tazilah: Sebelum Abul Hasan al-Asy’ari, banyak orang-orang Sunni adalah Mu’tazilah dalam keyakinan mereka. Mereka merupakan pengikut Wasil bin ‘Ata’ (w 131 H/748 M). Namun, mazhab Mu’tazilah merupakan mazhab yang hampir punah pada abad keempat Hijriah.

Kedudukan Akal dalam Agama

Perbedaan pertama dan utama di antara kaum Muslmin adalah berkenaan dengan peran akal manusia dalam agama. Asya’riyah berada pada satu sisi masalah, dan Syiah Itsna ‘Ashariyyah dan Mu’tazilah pada sisi lainnnya.

Mazhab Syiah berkata bahwa terlepas dari perintah-titah agama ada baik (husn) dan buruk (qubh) yang dapat ditimbang dengan akal, dan bahwa Tuhan memerintah perbuatan-perbuatan tertentu lantaran dalam timbangan akal (baca: rasional) hal itu adalah baik dan Dia melarang perbuatan tertentu karena dalam teraju akal hal itu adalah buruk. Kaum Asy’ari menolak konsep ini. Mereka berkata bahwa tiada sesuatu yang baik atau buruk. Hanya apa yang diperintahkan Tuhan kepada kita itulah yang baik dan apa yang Dia larang adalah buruk bagi kita.[1]

Dengan kata lain, Syiah, misalnya berkata bahwa Tuhan melarang kita untuk berkata dusta lantaran perbuatan dusta itu merupakan Sesutu yang buruk; sementara Asy’ari menegaskan bahwa dusta adalah perbuatan buruk lantaran Tuhan melarangnya.

Abul Hasan al-Asy’ari menulis, “Pertanyaan: Lalu dusta adalah buruk hanya karena Tuhan telah mendeklarasikan hal itu sebagai perbuatan buruk? Jawab: Tentu saja. Dan jika Dia mendeklarasikan dusta sebagai perbuatan baik, maka hal itu akan tergolong perbuatan baik; dan jika Dia memerintahkannya, tiada yang dapat menentang-Nya. [2]

Perbedaan lain bertalian dengan masalah kedudukan akal dalam agama adalah ihwal hubungan natural sebab dan akibat. Syiah dan Mu’tazilah mengakui hubungan antara sebab dan akibat. Namun Asy’ari mengingkari hal ini. Mereka berkata tiada sebab kecuali Allah, dan merupakan kebiasaan Tuhan dimana apabila, misalnya, kita minum air, ia melepaskan dahaga kita.[3]

Allamah Hilli berkata: “Inti argumen Asy’ari adalah menurut mereka bahwa segala sesuatu dapat terwujud karena Kehendak Allah dan Dia berkuasa untuk menjadi sebab keberadaan segala sesuatu. Jadi, karena kekuasaan Tuhan merupakan penyebab, maka tidak niscaya sesuatu dapat terwujud ketika sebab-sebab fisikalnya yang menyebabkan ia mewujud; atau berhenti mewujud ketika sebab-sebab fisikalnya menyebabkan ia berhenti mewujud dan tiada hubungan apa pun antara kejadian-kejadian yang menimpa satu dengan yang lain kecuali hal itu merupakan kebiasaan Tuhan yang mencipta sesuatu; misalnya, terbakarnya tangan setelah menyentuh api dan meminum air tidak ada hubungannya dengan pembakaran dan pelepasan dahaga, semua hal ini terjadi dan terwujud mengikut kehendak dan kekuasaan Tuhan; dan Dia dapat menciptakan sentuhan api tanpa membakar tangan dan terbakarnya tangan tanpa sentuhan, dan demikian seterusnya.” (al-Hilli, Kashfu ‘l-Haq)

Sebagaimana yang Anda lihat dalam pembahasa tulisan ini, perbedaan mencolok antara Syiah dan Sunni Asy’ari bersumber dari pandangan mereka ihwal kedudukan akal dalam agama dan hubungan natural antara sebab dan akibat.