Perjuangan Mustadh'afin
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- KH Jalaluddin Rakhmat
- Sumber:
- JalaluddinRakhmat
Al-Quran tak pernah menyebut kata kemerdekaan. Istilah
itu memang punya makna spesifik dalam sejarah manusia.
Ketika masyarakat terdiri dari dua macam anggota -orang
merdeka dan budak- merdeka berarti bebas dari
perbudakan. Al-Quran menyebut kata budak dan tuan, abd
dan mawla.
Ketika dunia terdiri dari bangsa yang menjajah dan
bangsa yang terjajah, merdeka berarti melepaskan diri
dari penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan menjadi sebuah
konsep dalam hubungan internasional. Indonesia disebut
merdeka karena ia melepaskan diri dari kekuasaan
Belanda. Kata bangsa juga didefinisikan sebagai satu
kelompok besar manusia-apa pun ras dan etniknya-yang
mempunyai penjajah yang sama.
Al-Quran tak menyebut bangsa penjajah dan bangsa
terjajah. Tetapi Al-Quran berkisah tentang kelompok-
kelompok manusia -boleh jadi terdiri dari satu bangsa
atau bangsa-bangsa lain yang berlainan- yang
berhubungan satu sama lain dengan sistem yang tidak
adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah,
Al-Quran menyebut alladzinastakbaru dan
alladzinastudh’ifu. Ada kelompok yang arogan dan
penindas serta ada kelompok yang dilemahkan atau
ditindas. Karena bertahan hidup dalam sistem yang tidak
adil, keduanya disebut sebagai orang-orang zalim.
Penduduk negeri mana pun, yang mempertahankan sistem
yang zalim, akan dihempaskan dalam pengadilan Tuhan.
Keduanya nanti akan saling menyalahkan.
Sekiranya kamu melihat peristiwa dahsyat ketika orang-
orang zalim dihadapkan pada Tuhan mereka sambil mereka
saling melemparkan omongan satu sama lain. Berkata
orang-orang yang tertindas kepada mereka yang arogan:
Sekiranya tidak karena kamu, tentulah kami termasuk
orang-orang yang beriman. Berkata para penguasa arogan
kepada orang-orang tertindas: Betulkah kami yang
menyimpangkan kamu dari petunjuk setelah petunjuk itu
datang kepada kamu? Justru kamu sendiri yang berdosa.
Berkata orang-orang yang tertindas kepada penguasa yang
arogan: Tidak, bukankah kamu yang membuat rekayasa
siang dan malam ketika kalian menguasai kami dengan
memerintahkan kami ingkar kepada Tuhan dan mengangkat
saingan-saingan Tuhan.
Kedua belah pihak merasakan penyesalan ketika mereka
melihat azab dan kami jadikan belenggu di atas kuduk
orang-orang kafir. Mereka tidak dibalas kecuali dengan
apa yang mereka kerjakan.
Di depan Tuhan, orang-orang tertindas mengadu kepada
Tuhan. Mereka mempersalahkan para penguasa arogan untuk
dosa-dosa mereka. Sebaliknya, para penindas menolak
tuduhan itu dengan mengatakan bahwa kebenaran sudah
datang kepada mereka. Di sini Al-Quran tidak
menjelaskan penindasan dengan cara Marxian, yakni
menimpakan semua kesalahan kepada pihak penindas.
Al-Quran tidak membangkitkan kesadaran kelas. Baik
penindas maupun orang tertindas, bertanggung jawab atas
sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena
arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Orang
tertindas bersalah karena menerima penindasan itu
dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu,
penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan
orang-orang yang ditindas tidak bangkit menumbangkan
sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang,
merekayasa, mendesain berbagai peristiwa untuk menipu
orang-orang tertindas. Pada gilirannya, kaum
mustadh’afin tak pernah mau berpikir kritis, sehingga
dengan mudah digiring ke dalam rekayasa para penindas.
Inilah penjelasan Al-Quran untuk negara-negara yang
hidup dalam sistem yang zalim. Karena kasih sayangnya,
Tuhan selalu mengirimkan para pembaharu, para pemberi
peringatan. Sayangnya, kaum mustakbirin menolak mereka
dengan membanggakan kekayaan dan para pengikutnya; kaum
mustadhafin mencurigai mereka karena rekayasa kaum
mustakbirin.
Al-Quran juga menyebutkan, “Dan kami tidak mendatangkan
kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan kecuali
orang-orang yuang hidup mewah di negeri itu akan
berkata kepadanya: Sesungguhnya kami menolak misi kamu.
Seraya mereka berkata: Kami lebih banyak kekayaan dan
anak buah dari kamu dan kami tidak akan disiksa.
Katakan sesungguhnya Tuhanku meluaskan dan menyempitkan
rezeki kepada siapa yang dikehendakinya. Tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Para pemberi peringatan itu dahulu adalah para nabi,
yang salah satu tugasnya ialah “...membuang beban-beban
yang menghimpit mereka dan melepaskan belenggu-belenggu
yang memasung mereka.” (QS. Al-A’raf: 157). Perjuangan
kemerdekaan bukan hanya mengusir penjajah asing, atau
menghancurkan orang-orang kaya, atau menggantikan satu
rezim dengan rezim yang lain. Perjuangan kemerdekaan
adalah penciptaan suatu kondisi ketika orang-orang yang
kaya dan berkuasa bekerja sama dengan orang miskin dan
lemah membangun tatanan sosial yang adil. Kedua pihak
berjuang -dalam istilah Al-Quran- “dalam jalan Allah
dan jalan mustadhafin.” Dengan begitu, mereka menjadi
kelompok yang mengemban misi Ilahi: melindungi dan
menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas.
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan di
jalan kaum mustadh’afin -yakni laki-laki, perempuan,
dan anak-anak yang tertindas- yang berkata: Tuhan kami,
keluarkan kami dari negeri yang penduduknya orang
zalim. Jadikan bagi kami dari sisi-Mu pelindung dan
berilah kami dari sisi-Mu pembela.” (QS. Al-Nisa: 75)
Mereka yang menjerit memohonkan kehadiran kaum pembela
itu bukan hanya orang-orang tua kita di zaman Belanda,
tetapi juga penduduk Indonesia pada zaman Orla ketika
mereka ramai-ramai memuja Soekarno dan menahan lapar
demi revolusi; juga bangsa Indonesia pada zaman Orba
ketika tanah mereka digusur, anak-anak mereka diculik,
dan keamanan hidup mereka diancam; saya takut, juga
bangsa Indonesia kini yang memperingati kemerdekaan
dengan perut yang lapar, jiwa yang frustasi, dan hati
yang mencemaskan hari esok. Pemerintahan berulang kali
berganti, tetapi kita masih juga termasuk kaum
mustadh’afin. (*)