kepemimpinan

“Seringkali pedang dihunus, darah ditumpahkan, karena masalah kepemimpinan,” tulis Al-Syahrustani, penulis Al-Milal wa al-Nihal. Buku  ini memang merekam sejarah perkembangan mazhab dalam Islam dari segi kepemimpinan. Kepemimpinan disebut dengan berbagai istilah: imarah, imamah, khilafah, banyak disebut dalam kitab-kitab hadis. Dalam Kanz al-‘Ummal saja lebih dari seribu hadis berkenaan dengan kepemimpinan.
Tak ada status dan peran sosial yang begitu menentukan selain pemimpin. Ia berfungsi sebagai kepala dalam “tubuh” masyarakat. Kebahagiaan dan kemalangan masyarakat sangat bergantung pada perilaku pemimpinnya. Jatuh bangunnya bangsa juga ditentukan oleh perilaku pemimpinnya. Hubungan pemimpin dengan pengikutnya bersifat timbal balik. Rakyat yang baik melahirkan pemimpin yang baik, begitu pula sebaliknya. Rasulullah SAW menyimpulkan prinsip ini dengan kalimat singkat, “Bagaimana keadaanmu, akan menentukan bagaimana kamu akan dipimpin.”

Karena perilaku pemimpin itu dapat membuat ribuan bahkan jutaan orang tertawa dan menangis, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepemimpinan dengan perilaku dan sabdanya. Tentang kepemimpinannya, Tuhan berfirman: Maka dengan kasih dari Allah kamu lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras dan berhati kasar tentulah mereka akan berpaling darimu (QS.Ali Imran:159). Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. Al-Tawbah:128).

Suatu ketika seorang Arab dusun menyentakkan jubah Nabi SAW seraya berkata, “Berikan harta Allah yang ada padamu.” Waktu itu juga Nabi SAW menyerahkan jubahnya. Ketika seorang anak kecil meregang nyawa di haribaannya, beliau meneteskan air matanya; padahal anak kecil itu berasal dari keluarga orang kecil juga. Beliau pernah datang ke masjid dan menanyakan perempuan yang bertugas membersihkan masjid. Beliau diberitahu bahwa perempuan itu sudah meninggal. Beliau menegur orang banyak, mengapa kematiannya tidak dikabarkan kepada beliau. Bagi Nabi, kematian tukang sapu masjid sama berharganya dengan kematian panglima tentaranya. Beliau melayat kuburnya dan mendoakannya.

Beliau pernah membagikan rampasan perang. Seorang di antara yang hadir menegur beliau, “Bagilah dengan adil, hai Muhammad.” Beliau berkata lirih, “Jika aku tidak adil, maka siapa lagi yang adil di bumi ini. Semoga Allah merahmati Musa as. Ia sudah banyak disakiti kaumnya.” Seorang di antara keluarga elit dilaporkan mencuri. Dengan menonjolkan kedudukannya sebagai keluarga terhormat, dia menuntut kebebasan. Nabi SAW murka, “Ketahuilah, umat terdahulu mengalami kebinasaan karena perbuatan pemimpinnya. Jika yang berdosa itu orang besar, mereka membebaskannya. Jika yang berdosa itu orang kecil, mereka menghukumnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Fatimah pernah datang kepada ayahnya, mengadukan kepedihan hidupnya. Tangannya melepuh karena mencuci dan menggiling gandum. Ia melihat Nabi SAW mempunyai banyak tawanan. Ia ingin memanfaatkan tenaga tawanan itu untuk membantunya. Nabi SAW tidak memenuhi permintaannya. Malam hari, beliau menjenguk putrinya dan mengajarkan seluruh keluarga Fatimah untuk banyak berzikir. Zikir itu, kata Nabi SAW, lebih baik daripada dunia dengan segala isinya. Ketika Fatimah melahirkan Husain, Nabi SAW meminta agar sedekah dikirimkan kepada penduduk Madinah yang miskin.

Salah satu karakteristik kepemimpinannya adalah kecintaan dan pemihakan kepada orang miskin. Ketika orang bertanya di mana mereka bisa menemui Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Carilah aku di tengah-tengah orang kecil di antara kamu.” Lewatlah di depan Nabi SAW seseorang. Para sahabat menjelaskan orang itu, “Bila ia berbicara, orang mendengarkannya. Bila ia mengundang, orang memenuhi undangannya. Bila ia meminta, orang-orang memberinya. “ Nabi SAW diam. No comment. Lewat lagi seseorang di hadapan Nabi SAW. Para sahabat menggambarkan orang itu, “Inilah orang yang apabila berbicara, orang tidak mendengarkannya. Bila ia mengetuk pintu, orang tidak membukakannya. Bila ia meminta pertolongannya, orang tidak memenuhinya.” Mendengar itu Nabi SAW bersabda, “Orang ini lebih baik dari sepenuh bumi orang yang tadi.”
 Pemimpin yang Adil. Rasulullah SAW tampil sebagai pemimpin yang adil. Beliau juga mendorong pemimpin –pada tingkat manapun- untuk berlaku adil. Pemimpin yang adil, dalam pandangan Rasulullah SAW, adalah makhluk Allah yang paling mulia. Ia akan dilindungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Doanya tidak akan ditolak. Pahala amalnya dilipatgandakan.
Pahala seorang pemimpin adil sama seperti pahala enam puluh orang saleh yang bersungguh-sungguh beribadat. Berikut sabda Nabi SAW berkenaan dengan pemimpin yang adil: “Manusia yang paling dicintai Allah dan yang paling dekat kedudukannya dengan Dia pada hari kiamat ialah pemimpin yang adil. Yang paling dibenci Allah pada hari kiamat dan yang paling berat azabnya ialah pemimpin yang zalim. Yang paling utama dari semua syahid (syuhada) di sisi Allah ialah para pemimpin yang adil; yang adil dalam kepemimpinannya, terhadap keluarganya, dan terhadap semua yang berada di bawah kekuasaannya. Doa pemimpin yang adil tidak akan ditolak Allah. Islam dan penguasa adalah dua bersaudara yang saling mendukung. Tidak akan beres yang satu kecuali dengan bantuan saudaranya. Islam itu fundamen dan penguasa itu penjaga. Tanpa fundamen, bangunan apapun runtuh. Tanpa penjaga, apapun akan rusak, tidak terpelihara. Penguasa yang adil dan rendah hati adalah bayangan Allah dan tombak-Nya di bumi. Untuk pemimpin yang adil, setiap hari dan malam, diangkat pahala amal enam puluh orang jujur yang bersungguh-sungguh dalam ibadat.” (Kanz al-‘Ummal 14607, 14608, 14614, 14615).

Nabi SAW mewajibkan umatnya untuk mentaati pemimpin yang adil. Pemimpin yang adil adalah “ulil amri minkum”, yang ketaatan kepadanya sama wajibnya dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS. Ali Imran:32). Kepada ‘Ubadah bin al-Shamith, Rasulullah SAW berpesan: “Hendaknya kamu mentaati pemimpin yang adil dalam suka dan duka. Dahulukan perintah dia di atas kepentinganmu dan janganlah membantah perintahnya, kecuali jika ia memerintahkan kamu untuk berbuat dosa.” (Kanz al-‘Ummal 14372). Menentang pemimpin yang adil adalah dosa besar. Pelakunya disebut “bughat”, istilah yang juga dikenakan kepada pezina. Bila seseorang mati ketika menentang pemimpin yang adil, ia mati jahiliyah. Berikut adalah hadis yang berhubungan dengan ketaatan kepada pemimpin yang adil: “Janganlah kamu mengecam pemimpin kamu, jangan mengkhianati mereka, jangan menentang mereka. Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah (Kanz al-‘Ummal 14370); hendaknya siapa saja di antara kamu tidak berjalan selangkah pun untuk mendatangi penguasa (yang adil) dengan maksud menghinakannya, maka demi Allah, kamu yang menghinakan pemimpinnya akan menjadi orang-orang hina pada hari kiamat (Kanz al-‘Ummal 14371); pemimpin yang adil adalah bayangan Allah dan tombak-Nya di bumi. Siapa yang setia kepadanya dalam urusan dirinya dan hamba-hamba Allah yang lain, Allah akan melindunginya pada hari ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Siapa saja yang mengkhianatinya dalam urusan dirinya dan hamba-hamba Allah yang lain, Allah akan menghinakannya pada hari kiamat (Kanz al-‘Ummal 14620).

Pemimpin yang zalim. Muslim meriwayatkan hadis tentang pemimpin yang zalim dalam Kitab al-Imran. Tampaknya, menurut Muslim, orang yang mengkhianati rakyat yang memberikan amanat kepadanya termasuk orang yang tidak beriman. Surga diharamkan baginya. Hadis berikut ini dicantumkannya pada bab “Pemimpin yang berkhianat pada rakyat pasti masuk neraka”. Rasulullah SAW bersabda, “Bila seorang hamba dipercayai Allah untuk mengurus rakyat, kemudian ia mati pada hari ia mati dengan mengkhianati rakyatnya, Allah haramkan surga baginya” (Shahih Muslim 1:80).

Pemimpin yang zalim mendapat azab yang paling besar. Ia harus mempertanggungjawabkan semua orang yang pernah berada di bawah kepemimpinannya. Pemeriksaan yang paling hebat dan paling menakutkan pada hari kiamat dikenakan pada penguasa yang zalim. Ia mendatangkan bencana bagi dirinya dan rakyatnya. Rahmat Allah akan disempitkan kepadanya. Ia akan mendapat laknat Allah. Pada hari kiamat, ia akan menjadi orang yang begitu menyesal, sehingga rasanya lebih baik dibantingkan dari bintang Tsurayya ke bumi ketimbang harus memegang kekuasaan. Perhatikan hadis-hadis berikut ini:

“Manusia yang paling berat siksanya adalah penguasa yang zalim. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban dari setiap pemimpin berkenaan dengan orang-orang yang dipimpinnya, besar atau kecil. Semua pemimpin, termasuk suami dari hal istrinya, bapak dari hal anaknya, majikan dari hal pegawainya. Apakah mereka menegakkan perintah Allah? Hampir-hampir seseorang berkeinginan dilemparkan dari bintang Tsurayya ketimbang memegang kekuasaan. Ada dua golongan dari umatku, yang tidak akan pernah memperoleh syafaatku: pemimpin yang zalim dan setiap pengkhianat yang melanggar janjinya. Bila seorang pemimpin mengurus rakyat, tetapi tidak memperlakukannya dengan memelihara amanat dan kecintaan, maka kasih sayang Allah yang Maha Luas, akan disempitkan baginya.  Pemimpin yang lemah, yang tidak bisa menegakkan keadilan, akan mendapat laknat. Bukanlah pemimpin yang adil, yang memperlakukan rakyatnya sebagai barang dagangan. Bila pemimpin menutup pintunya, tidak mau memenuhi kepentingan orang yang mendapat kesusahan, kesulitan dan kemiskinan, Tuhan akan menutupkan pintu langit baginya, dan tidak akan melepaskan kesusahannya, kesulitannya dan kemiskinannya.” (Kanz al-‘Ummal 6:15-44).

Begitu beratnya dosa penguasa yang tidak adil, hingga Nabi SAW melarang beberapa sahabat yang dicintainya untuk masuk dalam kekuasaan. Ketika Abu Dzar minta jabatan, Nabi SAW berwasiat kepadanya: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah, sedangkan kepemimpinan itu amanah.  Ia akan berubah menjadi penyesalan dan kehinaan pada hari kiamat, kecuali buat orang yang mengambil dengan benar dan melaksanakannya dengan benar.” (Hadis Thabrani).

Disamping itu, Nabi SAW melarang umatnya mentaati pemimpin yang zalim. Lebih keras lagi, beliau mengancam orang-orang yang bekerja sama, atau sekedar mendekati penguasa yang zalim. Membenarkan penguasa yang zalim berarti melepaskan Islam dari dirinya. Pada suatu hari, menurut Hudzaifah, Nabi SAW menyuruh sahabat-sahabatnya mendengarkannya baik-baik. “Kami mendengarkan!” kata mereka. Nabi SAW mengulangi perintahnya itu sampai tiga kali. Setelah itu beliau bersabda, “Akan terjadi pada kalian para penguasa yang menegakkan kekuasaannya di atas kebohongan dan kezaliman. Barangsiapa yang masuk kepada mereka, membenarkan kebohongan mereka, membantu kezaliman mereka, ia tidak termasuk umatku dan aku tidak termasuk golongan mereka. Ia tidak akan datang di telagaku pada hari kiamat. Siapa yang tidak masuk kepada mereka, tidak membenarkan kebohongan mereka, dan tidak membantu mereka dalam kezaliman mereka, ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongan mereka.  Ia akan menemui aku di telaga” (Kanz al-‘Ummal 5:792). Beliau juga bersabda, “Makin dekat seseorang dengan penguasa yang zalim, makin jauh ia dari Allah. Makin banyak pengikutnya, makin banyak juga setannya. Makin banyak kekayaannya, makin berat pemeriksaannya (Kanz al-‘Ummal 6:69).