Perkawinan Usia Muda

Beberapa minggu lalu saya mendapat kehormatan hadir di

Mahkamah Konstitusi sebagai saksi ahli yang diharapkan

menyampaikan pandangan Islam tentang perkawinan usia

muda.

Di sana antara lain saya kemukakan bahwa: al-Qur’an dan

Sunnah Nabi saw. tidak menetapkan usia tertentu untuk

perkawinan. Ini karena pada dasarnya, al-Qur’an tidak

merinci persoalan-persoalan yang dapat mengalami

perubahan akibat perkembangan masa atau perbedaan

situasi dan pelaku. Yang dirincinya adalah hal-hal yang

dibutuhkan manusia, tetapi tidak dapat terjangkau oleh

nalarnya, seperti persoalan-persoalan metafisika.

Dalam konteks perkawinan, a-Qur’an dan Sunnah antara

lain menetapkan tujuan  perkawinan. Suami istri,

menurut al-Qur’an, hendaknya topang-menopang: Istri-

istri adalah pakaian buat kamu (wahai suami) dan kamu

pun pakaian buat mereka  (QS. al-Baqarah [2]: 187 ) dan

saling bermusyawarah (QS. ath-Thalaq [65]: 6). Nah,

bagaimana itu dapat diwujudkan kalau istri belum

mencapai tingkat mental, emosional, dan spiritual yang

dapat mendukung tujuan tersebut.

Istri oleh Nabi diserahi tugas pokok, yaitu mengurus

rumah tangga. Bahkan boleh jadi dewasa ini lebih dari

itu karena pada hakikatnya fungsi keluarga bukan hanya

reproduksi atau ekonomi, tetapi lebih dari itu, antara

lain fungsi sosialisasi dan pendidikan . Nah, bagaimana

mungkin seorang anak berumur enam belas tahun—yakni

belum tamat Sekolah Menengah Atas—dapat melaksanakan

fungsi tersebut kalau dia sendiri belum siap secara

fisik, mental, dan spiritual?

Jangankan perkawinan, menyerahkan harta kepada anak

yatim telah mencapai usia dewasa pun tidak

diperkenankan al-Qur’an  (QS. an-Nisaa’ [4]: 6)—walau

harta itu adalah miliknya yang berada di tangan wali,

kecuali setelah sang wali mengujinya dan menemukannya

telah mencapai apa yang dinamai oleh al-Qur’an rusyd.

Kata ini bukan sekadar berarti kemampuan fisik atau

nalar, tetapi juga kesehatan mental dan spiritual.

Memang bisa saja ada seorang yang telah melampaui usia

delapan belas atau bahkan dua puluh tahun tapi ia

dinilai belum dewasa  sehingga belum dapat diberi

tanggung jawab.

Sekali lagi, Islam tidak menetapkan batas tertentu bagi

usia perkawinan. Itu sebabnya ditemukan dalam literatur

hukum Islam aneka pendapat ulama dan mazhab menyangkut

batas minimal usia calon suami dan istri.

Ketetapan hukum yang berlaku di negara-negara

berpenduduk Muslim pun, menyangkut usia tersebut,

berbeda-beda. Bahkan dalam satu negara, perubahan

terjadi akibat perkembangan masa. Di Aljazair—misalnya

—pada mulanya delapan belas tahun bagi pria dan enam

belas tahun bagi wanita, lalu dua puluh satu tahun bagi

pria dan delapan belas tahun bagi wanita, lalu sembilan

belas tahun bagi keduanya.

Perbedaaan dan perubahan itu dapat dibenarkan karena

kata ulama: “Kita tidak dapat serta-merta meniru

sepenuhnya ketetapan hukum yang lalu—walau kasusnya

sama—karena  ada  empat fakor yang harus selalu

dipertimbangkan sebelum menetapkan hukum, yaitu: Masa;

Tempat; Situasi; dan Pelaku.

Yang  menikah dengan wanita di bawah umur atau yang

membenarkannya—dengan  dalih bahwa Rasul melakukannya

terhadap Aisyah, adalah picik menurut Imam as-Sayuthi

dan jahil menurut mantan Mufti Mesir Syaikh ‘Ali Jumah,

bahkan angkuh karena dia mempersamakan dirinya dengan  

Rasul saw.

Memang tidak semua yang beliau lakukan boleh kita ikuti

dan amalkan, apalagi dalam hal perkawinan. Bahkan di

sisi lain, tidak jarang apa yang ditetapkan Rasul saw.

diubah oleh pakar atau generasi sesudah beliaukarena

ada perkembangan baru demi meraih kemaslahatan yang

lebih besar atau menghindari mudharat. Dalam hal ini,

cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan.

Dalam konteks usia perkawinan, para pakar harus mampu

mempelajari perkembangan masa dan situasinya sambil

memperhatikan tujuan perkawinan serta kondisi

masyarakat.

Saya tidak berada dalam posisi memberi penilaian—setuju

atau tidak setuju—terhadap pandangan saksi-saksi ahli

terdahulu menyangkut dampak-dampak buruk dari

perkawinan wanita yang baru berusia enam belas tahun,

karena itu bukan bidang saya. Namun jika benar apa yang

mereka sampaikan itu, sebagaimana disampaikan juga oleh

sekian banyak ahli lainnya, baik dari dalam maupun dari

luar negeri, maka tidak ada pilihan lain bagi agamawan,

kecuali mendukung pandangan mereka tentang perlunya

melakukan peninjauan kembali atas penetapan hukum

menyangkut usia perkawinan serta menetapkan syarat-

syarat yang diperlukan guna terhindarnya para istri

dari mudarat dan perkawinan dari kegagalan, termasuk

pemberian dispensasi untuk kasus-kasus khusus yang

hanya dapat diberikan oleh yang benar-benar berwewenang

(hakim ), setelah meninjaunya dari berbagai aspek.

Demikian wa Allah A’lam.