Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Abdal, Pemimpin Kafilah Ruhani Menuju Allah

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita

melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam

barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam,

bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari

tempat berangkat ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang

harus mereka lewati. Derajat mereka juga bergantung

pada banyaknya stasiun yang sudah mereka singgahi. Pada

setiap stasiun selalu ada pengalaman baru, keadaan

baru, dan pemandangan baru. angat sulit menceritakan

pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang

belum mencapai stasiun itu.
Dalam literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah

atau maqam. Pengalaman ruhani yang mereka rasakan

disebut hal. Ada segelintir orang yang sudah mendekati

stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan

Tuhan, tujuan terakhir perjalanan mereka. Maqam mereka

sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut

awliya’, kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi

cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita

akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari

Akhir, “Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat

memperoleh seberkas cahayamu” (QS 57:13).

Dalam kelompok awliya’ juga terdapat derajat yang

bermacam- macam. Yang paling rendah di antara mereka

(tentu saja di antara orang-orang yang tinggi) disebut

awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena

merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan

manusia di bumi, kerena kehadiran merekalah Tuhan

menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang

membinasakan umat manusia. lbnu Umar meriwayatkan hadis

Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah

menolak bencana –karena kehadiran Muslim yang saleh–

dari seratus keluarga tetangganya.” Kemudian ia membaca

firman Allah, “Sekiranya Allah tidak menolakkan

sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya

sudah hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).

Penghulu para awliya’ adalah quthb rabbani. Di antara

quthb dan awtad ada abdal (artinya, para pengganti).

Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara

mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang

baru. “Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar

Rasulullah Saw., “Karena merekalah manusia mendapat

curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong” (Al-

Durr Al-Mantsur, 1:765).

Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya’ meriwayatkan sabda

Nabi Saw., “Karena merekalah Allah menghidupkan,

mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan

menolak bencana.” Sabda ini terdengar begitu berat

sehingga lbnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena

merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?”‘

Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdoa kepada

Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak

mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan,

maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa agar turun

hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan

mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa

mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.” Allah

sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi,

ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka.

Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada

mereka.

Kata Rasulullah Saw., “Mereka tidak mencapai kedudukan

yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa.”

Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi awliya’,

kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk,

yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan

ibadah-ibadah lainnya? Seperti kita semua, para sahabat

heran. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, fima adrakuha?”

Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin”

(Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada

kaum Muslim). Dalam hadis lain, Nabi berkata,

“Bishidqil wara’, wa husnin niyyati, wa salamatil

qalbi, wan-Nashihati li jami’il muslimin” (Dengan

ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan hati,

dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim)

(lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767).

Jadi, yang mempercepat orang mencapai derajat yang

tinggi di sisi Allah Swt. bukanlah frekuensi shalat dan

puasa. Bukankah semua ibadah itu hanyalah ungkapan rasa

syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh lebih

sedikit dari anugerah Allah kepada kita?

Yang sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah,

pertama, adalah al-sakha (kedermawanan). Berjalan

menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang

sempit –keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas

pada “aku” sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita

ditujukan untuk “aku”. Kebahagian diukur dari sejauh

mana sesuatu menjadi “milikku.” Orang yang dermawan

adalah orang yang telah meninggalkan “aku.” Ia sudah

bergeser ke falsafah “Untuk Dia”.

Karena itu Nabi Saw. bersabda, “Orang dermawan dekat

dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan

surga. Orang bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan

dan dekat dengan neraka”. Tanpa kedermawanan, shalat,

shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang

dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak

orang melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan. Orang

dermawan sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan, sebelum

mereka masuk ke surganya. Kedermawanan telah membawanya

dengan cepat ke stasiun-stasiun terakhir dalam

perjalanannya menuju Tuhan.

Kedua, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan

abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum

Muslim. Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya

untuk menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan,

menghinakan, mencemooh atau memfitnah sesama Muslim. Di

depan Ka’bah yang suci, Nabi Saw. berkata, “Engkau

sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi

kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan Muslim

dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan.”

Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang

meninggalkan keakuannya. Banyak orang merasa berjuang

untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan adalah

kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya,

kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang

lain harus disingkirkan, karena pahamnya tidak

menyenangkan paham mereka. Mereka hanya mau menyumbang

bila proyek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka

hanya mau mendengarkan pengajian bila pengajian itu

diorganisasi atau dibimbing oleh orang-orang dari

kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak pernah

bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang

apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam

bila kepentingan golongannya terancam. Ia telah

beragama, ia telah mukmin; tetapi agamanya masih

berkutat dalam keakuannya.

An-nashihat lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada

kaum Muslim) melepaskan keakuan seorang mukmin. Ia

memberinya kejujuran dalam ketaatan, ketulusan niat,

dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya

kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena

kedermawanan dan kecintaan kepada kaum Muslim, Anda

juga dapat menjadi kekasih Tuhan.

Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju

Tuhanmu. Percepatlah perjalanan kalian dengan

kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh

kaum Muslim.[]