Mizan Keadilan Tuhan[2]



oleh Isyraq

Tuhan Tiada Melakukan Kesalahan

Syiah mengatakan bahwa Allah tidak melakukan yang secara rasional merupakan keburukan atau kejahatan.[1] Di sini tidak digunakan terminologi yang mengandung muatan makna “The King can do no wrong.” Lantaran adagium “raja tidak melakukan kesalahan” sejatinya bermakna bahwa ia tidak berbuat sesuatu apa pun, yang ia lakukan hanyalah menandatangani apa yang telah diratifikasi oleh parlemen. Jadi, penghormatan ini tidak didasari oleh perbuatan raja, melainkan tiadanya aksi darinya. Namun “God does no wrong”bermakna bahwa kendati dia aktif dan Mahakuasa, Tuhan tetap tidak dapat melakukan kesalahan dan keburukan. Mengapa?

Siapa pun yang melakukan kesalahan atau kezaliman melakukan hal tersebut karena satu atau beberapa alasan di bawah ini:

- Ia melakukan perbuatan tersebut karena tidak mengetahui bahwa hal itu salah;

- Atau ia memerlukan sesuatu yang tidak dapat ia peroleh kecuali dengan melakukan kesalahan;

- Atau ia dipaksa oleh orang laing untuk melakukan kesalahan tersebut.

Tetapi Allah Mahakuasa dan Mahatahu; Dia bebas dari kebutuhan dan tidak memerlukan apa pun. Dan Dia Mahakuasa dan tiada seorang pun yang dapat memaksa-Nya melakukan sesuatu. Oleh karena, secara logis adalah mustahil bagi Allah melakukan perbuatan kezaliman atau kesalahan.

Sebaliknya, Asya’irah berkata bawha tiada sesuatu yang secara rasional buruk atau baik. Mereka berkata bahwa “Apa saja yang dilakukan Tuhan adalah baik, lantaran tiada sesuatu yang buruk bagi-Nya atau memaksa-Nya. [2] Abdulaziz Dehlawi, seorang ulama Sunni yang ternama, menulis “Adalah mazhab Ahlusunnah bahwa tiada sesuatu yang buruk bagi-Nya; bahwa segala sesuatu yang, jika dilakukan oleh manusia atau setan disebut kejahatan dan atas alasan itu mereka disalahkan dan dicela, adalah bukan kejahatan jika dilakukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.” [3]

Tiada Sesuatu Tanpa Tujuan

Syiah berkata bahwa Tuhan tidak pernah bertindak sesuatu tanpa tujuan atau maksud lantaran perbuatan ini dalam timbangan akal bukan merupakan sebuah perbuatan terpuji. Seluruh perbuatan dan tindakan-Nya adalah berdasarkan kepada hikmah dan kebijaksanaan, meski boleh jadi kita tidak mengetahui hal tersebut.

Mazhab Imamiyah berkata bahwa Allah Yang Mahakuasa tidak melakukan sesuatu tanpa tujuan melainkan dengan maksud dan tujuan.”[4]

Asya’irah berpandangan, lantaran penolakan mereka ihwal kebaikan dan keburukan yang dapat di timbang dalam teraju akal, bahwa tiada salahnya jika Tuhan bertindak tanpa alasan. “Merupakan mazhab Asya’irah bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak disebabkan oleh tujuan apa pun; dan mereka berkata bahwa tidak dibenarkan berkata bahwa perbuatan-perbuatan-Nya dilatari oleh tujuan-tujuan… Dan Dia melakukan apa pun yang Dia kehendaki, dan menitahkan apa pun yang Dia inginkan; Jika Dia menghendaki untuk menjerumuskan seluruh makhluk-Nya untuk selamanya di Neraka, Dia adalah Penguasa dan pemilik Otoritas; dan dosa (makhluk) tiada hubungannya dalam masalah ini. Dia adalah Sebab segala sesuatu.” (Fadl, op. cit)

Dapatkah Kita Mengetahui Semua Hikmah?

Seperti yang telah disebutkan bahwa Tuhan tidak melakukan sesuatu tanpa tujuan atau alasan. Tentunya ada alasan bagi setiap sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan, tetapi tidaklah wajib bagi kita mengetahui semua alasan tersebut.

Kami katakan bahwa setiap perbuatan Allah sedemikian sehingga jika kita dibolehkan mengetahui alasannya, kita niscaya mengakui bahwa ia adalah sesuatu yang memang patut kita lakukan. Kita sering merasa terganggu dengan sebuah peristiwa atau masalah lantaran kita tidak tahu tujuan yang sebenarnya di balik peristiwa dan masalah tersebut. Gambaran itu dapat dijumpai dalam al-Qur’an ihwal kisah pertemuan antara Nabi Musa As dan seseorang (yang lebih berilmu dari Nabi Musa As). Orang alim itu telah membolehkan Nabi Musa As untuk mengikutinya dengan syarat bahwa “ Ia tidak boleh bertanya kepadanya mengenai apa yang ia tahu, sehingga ia sendiri memberitahukanya kepadamu.”

Berikut ini adalah penggalan cerita itu:

“Lalu mereka meneruskan perjalanan dengan bahtera. Ketika mereka berada dalam bahtera, orang alim tersebut melubangki bahtera tersebut. Musa menentang perbuatan tersebut kemudian ia diperingatkan akan janjinya. Kemudian, orang alim itu membunuh seorang anak. Melihat itu, Musa tidak dapat menahan dirinya lalu mencelanya dengan bahasa yang keras. Sekali lagi, dia diperingatkan akan janjinya agar tidak bertanya.

Mereka berjalan terus hingga sampai ke sebuah kota dimana tidak seorang pun yang memberikan makanan kepada mereka. Di tempat itu, mereka menemui dinding yang runtuh lalu orang alim itu memperbaikinya. Musa berkata, “Kalau engkau ingin, tentulah engkau boleh mendapat bayaran untuknya.”

Dengan hujah yang ketiga ini, orang alim itu memberitahu Musa: “Inilah perpisahan antara engkau dan aku.”

Lalu sebelum berpisah, ia menerangkan alasan-alasan terhadap perbuatannya itu.

“Berkenaan dengan bahtera itu, ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di sungai dan aku merusaknya karena ada seorang raja di belakang mereka yang merampas setiap bahtera yang baik yang lalu-lalang di hadapannya.”

“Berkenaan dengan anak itu, ibu- bapaknya adalah orang-orang yang saleh dan aku risau ia akan menindas kedua-duanya dengan memberontak dan mengingkarinya, dan aku ingin agar Tuhan menggantikannya untuk mereka dengan seorang anak yang lebih baik dan saleh.”

“Mengenai tembok dinding itu, ia adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di situ terdapat harta milik mereka, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh dan Tuhanmu menghendaki agar apabila mereka besar nanti, mereka dapat mengambil harta itu sebagai suatu rahmat dari Tuhan mereka dan tidaklah aku melakukan perbuatan-perbuatan itu menurut kehendakku sendiri.” [5]

Kami berharap contoh ini sudah memadai untuk menjelaskan pandangan kami tentang perbuatan-perbuatan Allah.

Sekelompok ulama pernah berkata:

“Setiap sesuatu yang ditetapkan oleh akal adalah ditetapkan oleh syariat dan setiap sesuatu yang ditetapkan oleh syariat ditetapkan oleh akal.”

Orang awam sering kali salah memahami ucapan ini. Mereka berfikir bahwa setiap sesuatu yang kita tetapkan sebagai baik, mestilah dihukumkan oleh syariat sebagai baik juga, padahal ia tidak seperti itu. Maksud ucapan tersebut adalah seandainya kita boleh mengetahui alasan di balik hukum syariat, akal kita pasti akan mengakui bahwa hukum itu sepatutnya demikian, dan seluruh hukuman syariat itu adalah berdasarkan kepada hikmah (akal).

Aslah: Yang Paling Bermanfaat

Mazhab Syiah meyakini bahwa semua perbuatan Allah adalah bertujuan untuk kebaikan para makhluk-Nya. Aslah bermakna yang paling menguntungkan dan membawa manfaat. Dan kalimat ini kami gunakan untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan Tuhan.

Keyakinan ini berdasarkan kepada beberapa alasan rasional berikut ini: Pertama, Dia Sendiri tiada membutuhkan, dan oleh karena itu apa pun yang Dia lakukan adalah untuk seluruh makhluk-Nya. Kedua, jika perbuatan-Nya tanpa kemaslahatan bagi seluruh makhluk-Nya, maka seluruh makhluk tersebut tiada akan memiliki tujuan; dan melakukan sesuatu tanpa tujuan, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, buruk dalam pandangan akal.[6] Boleh jadi manusia yang membaiki atapnya merasa terganggu karena hujan yang turun begitu lebat, tetapi hujan adalah untuk maslahah (manfaat) yang berbentuk umum; bahkan seseorang yang merasa teraniaya pada masa itu akan mendapat kebaikan darinya di masa yang akan datang.

Asya’irah mengingkari bahwa seluruh perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan dan manfaat bagi seluruh makhluk-Nya karena mereka menolak konsep kebaikan dan keburukan yang dapat ditimbang oleh akal (husn wa qubh aqli).[7]

Berdasarkan keyakinan terhadap aslah, Syiah meyakini bahwa setiap insting dan nafsu yang terdapat dalam diri manusia diciptakan karena beberapa alasan dan tujuan. Seluruh insting atau nafsu ini tidak boleh diabaikan tapi diberdayakan untuk kemaslahatan umum umat manusia.

Misalnya, nafsu seks yang telah diciptakan Tuhan dalam diri manusia. Memberangus insting ini bermakna protes kepada Sang Pencipta. Ia tidak boleh dan tidak dapat diberangus; namun, tentu saja, fungsinya harus diatur untuk kemaslahatan umat manusia. Dan oleh karena itu, manusia harus melakukan pernikahan untuk menyalurkan anugerah nafsu ini dalam kehidupannya.

Demikian juga, ketakutan dan keinginan merupakan naluri-naluri natural dan sepatutnya dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Orang Islam diajar agar tidak takut kepada sesiapa atau sesuatu selain dari Allah, dan tidak menghendaki sesuatu di dunia ini, sebaliknya bersiap sedia untuk menerima karunia dari Allah.

Janji Dan Ancaman

Seperti yang telah dijelaskan, Allah telah menetapkan Hari Pengadilan. Dia (Allah) telah menjanjikan balasan ganjaran pahala yang banyak untuk seluruh perbuatan baik dan mengancam untuk menghajar seluruh perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia. Terdapat perbedaan di kalangan orang-orang Islam sama ada Allah wajib memenuhi janji dan ancaman-Nya.

1. Mu‘tazilah mengatakan wajib bagi Allah; yaitu Allah tidak boleh memaafkan perbuatan-perbuatan jahat seseorang yang mati tanpa bertaubat.[8]

2. Asya‘irah mengatakan Allah tidak wajib memenuhi janji dan ancaman-Nya; yaitu Dia (Allah) boleh memasukkan orang-orang yang baik ke neraka dan memasukkan Iblis ke surga. Kepercayaan mereka ini adalah berdasarkan kepercayaan mereka bahwa tidak ada sesuatu yang baik atau buruk dengan sendirinya; dan hanya apa yang Allah memerintahkan kita melakukannya itu baik dan apa yang dilarang-Nya itu tidak baik. Menurut mereka, tidak ada sesuatu mengandungi keburukan atau keburukan kecuali apa yang Allah perintah atau larang.[9] Oleh karena itu, seandainya Dia memasukkan Iblis ke syurga dan memasukkan para nabi ke neraka, hal mereka anggap sebagai cermin keadilan Tuhan.

3. Syiah berkata bawha wajib bagi Tuhan memenuhi janji-janji-Nya mengganjari perbuatan yang baik lantaran apabila Tuhan tidak memenuhi janji-Nya maka hal ini bertentangan dengan kaidah keburukan dan kebaikan yang dapat ditimbang dalam neraca akal (husn wa qubh aqli); tapi tidak wajib bagi-Nya untuk memenuhi ancaman-Nya menghajar perbuatan yang buruk lantaran memaafkan para pendosa merupakan cermin kebaikan. Jadi apabila Tuhan menghajarnya, menurut keadilan-nya; dan apabila Dia maafkan, menurut kepada kemurahan dan kasih-Nya.[10]
Note:

[1]. Hilli, Kashfu ‘l-Haq; also al-Hilli’s al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashar (English translation by WM. Miller) hal. 44
[2]. Fadl bin Ruzbahan, Ibtalu Nahji’l-Batil.
[3]. Dehlawi, A.A., Tuhfa-e Ithna-’Ashariyyah.
[4]. al-Hilli, Kashf dan juga al-Babu ‘l-Hadi ‘Ashr, hal. 45.
[5]. Kisah ini Anda dapat telaah pada Qs. Al-Kahf (18):66-82
[6]. al-Hilli, al-Babu ‘l Hadi ‘Ashar, p. 46.
[7]. an-Nasafi, tanpa tahun, al-’Aqa’id (dengan ulasan oleh at-Taftazani) hal. 130; juga lihat terjemahan Inggrisnya, E.E. Elder, A Commentary on the Creed of Islam, hal. 97; ash-Shahristani, al-Milal wa’n-Nihal, hal.129
[8].ash-Shahristani, al Milal wa ‘n Nihal, pp. 68,145,154.
[9].al-Ash’ari, Kitabu ‘l-Luma;p. 99. Also see ash-Shahristani, al-Milal wa ‘n-Nihal, pp. 128-129.
[10].as-Saduq, Risalatu ‘I-I’tiqadat, bag. 22, hal. 69.