Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Terbitnya Mentari Hidayah Kesepuluh

1 Pendapat 05.0 / 5

Pada masa di mana batas antara kebenaran dan kebatilan telah samar, dan kebatilan tampil dengan busana kebenaran; pengetahuan maarif murni Islam dari dua sumber yang sangat berharga itu, akan membuat setiap Muslim lebih bersikap bijak dalam menghadapi gerakan pemikiran distorsif dan syubhah. Oleh karena itu, Imam Hadi as dalam doa ziarah “Jami’ah Kabiroh” menilai para imam sebagai tambang rahmat, para pemilik khazanah ilmu pengetahuan, pemimpin dalam hidayah dan lentera terang dalam kegelapan.

 

Imam Hadi as lahir pada tahun 212 Hijriah di Madinah, dan setelah syahidnya sang ayah, Imam Jawad as, beliau memegang tanggung jawab kepemimpinan umat Islam. Pada era kepemimpinan Imam Hadi as yang berlangsung sekitar 24 tahun, beliau hidup di era kekuasaan enam khalifah dinasti Abbasiah. Dari keseluruhan masa kepemimpinannya, Imam Hadi as tinggal selama 13 tahun di Madinah. Selama itu, beliau memanfaatkan kekacauan kekuasaan dalam rezim Abbasiah untuk memperluas dan menjelaskan ajaran Islam.

 

Para pencari ilmu dari berbagai tempat berdatangan menghadap beliau dan menimba ilmu dari khazanah hikmah dan ilmu Ahlul Bait Nabi ini. Para pecinta Ahlul Bait dari berbagai wilayah termasuk Iran, Irak dan Mesir mengemukakan masalah dan pertanyaan kepada beliau baik secara langsung maupun korespondensi. Ketika itu Imam Hadi as mengutus wakil-wakil beliau ke berbagai tempat dan mereka menjadi jembatan hubungan dengan sang Imam dalam masalah-masalah syariat, ekonomi dan sosial.

 

Di kota Madinah, Imam Hadi as menjalin hubungan erat dengan orang-orang yang tertindas dan papa. Mereka yang kesulitan dalam mencari nafkah atau yang tidak memiliki tempat berteduh, mendatangi Imam Hadi as dan mereka pun mendapat bimbingan solusi atau dibantu beliau. Imam Hadi as mengeluarkan dana khumus, sedekah, zakat dan berbagai dana yang terkumpul dari berbagai wilayah, untuk membantu fakir miskin.

 

Terkadang beliau memberi modal kepada orang-orang fakir untuk berdagang sehingga tidak lagi tergantung serta dapat menjaga kehormatan dan nama baiknya. Para musafir yang sedang kesulitan juga dibantu Imam Hadi as dan beliau tidak membiarkan seorang Muslim di Madinah kelaparan atau seorang anak yatim yang menangis karena keterlantarannya.

 

Posisi dan popularitas Imam Hadi as di Madinah sedemikian kuat sehingga walikota Madinah bahkan tidak dapat mengambil tindakan keras dan pemaksaan terhadap cucu Rasulullah Saw itu. Pengaruh spiritual dan sosial Imam Hadi as, membuat seseorang bernama Buraihah yang ditunjuk oleh para penguasa Bani Abbasiah, sebagai pengawas kota Mekkah dan Madinah; dalam suratnya kepada Mutawakil, penguasa Bani Abbasiah menulis, “Jika kau menginginkan Haramain Syarifain (Mekkah dan Madinah) maka usirlah Ali bin Muhammad (Imam Hadi as) dari dua tempat ini; karena dia menarik masyarakat ke arahnya.”

 

Akhirnya pada tahun 233 Hijriah, Imam Hadi as bersama putra beliau yang masih kecil, Imam Hassan Askari as, dan para anggota keluarga beliau, terpaksa meninggalkan Madinah menuju Samara, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah.

 

Seseorang bernama Yahya bin Hartsamah, ditugaskan mengawal kepergian Imam Hadi as dari Madinah menuju Samara. Dia tiba di Madinah bersama 300 pasukan perang. Dia mengatakan, “Aku pergi ke Madinah dan masuk ke kota itu. Masyarakat sedemikian sedih dan galau. Secara perlahan kesedihan itu berubah menjadi teriakan dan keributan. Mereka mengkhawatirkan nyawa Imam Hadi as. Beliau demikian baik kepada masyarakat dan mereka menilai kehadiran Imam Hadi as di antara mereka mendatangkan rahmat dan berkah. Aku meminta masyarakat untuk tenang dan aku bersumpah bahwa tidak ada perilaku kasar yang terjadi untuk Imam.” Dalam riwayat disebutkan, selama perjalanan Yahya bin Hartsamah mulai dekat dengan Imam dan memiliki kecenderungan kepada beliau.

 

Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah akan menggunakan segala cara untuk menggoyahkan posisi para imam Ahlul Bait as dalam masyarakat. Akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apapun menggoyahkan keunggulan para imam Ahlul Bait as dari segi ilmu, akhlak dan spiritualitas. Pengkhianatan terbesar para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah terhadap umat manusia khususnya umat Islam adalah pencegahan penyebaran dan perluasan ilmu-ilmu Ahlul Bait as dalam masyarakat. Pembatasan dan kebijakan represif mereka terhadap Imam Hadi as dan putra beliau Imam Hassan Askari as, lebih keras dibanding para imam sebelumnya. Meski demikian, Imam Hadi as menggunakan setiap kesempatan untuk menyebarkan maarif murni Islam kepada masyarakat dan menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka.

 

Imam Hadi as tinggal di kota Samara selama 20 tahun dan sembilan bulan. Kota itu terletak di 130 kilometer utara Baghdad. Mengingat tujuan Mutawakil memaksa Imam Hadi as pindah ke Samara adalah untuk mengawasi dan menjauhkan beliau dari aktivitas sosial, budaya dan juga dari masyarakat, maka telah dipersiapkan rumah untuk beliau dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut.

 

Rumah beliau berada di dalam sebuah pangkalan militer Bani Abbasiah, dan lokasi tersebut sepenuhnya mirip dengan penjara. Telah ditunjuk mata-mata oleh istana yang akan bekerja sebagai pembantu di rumah Imam Hadi as. Mereka akan mengawasi seluruh aktivitas Imam Hadi as dan melaporkannya kepada penguasa. Meski diawasi ketat serta menghadapi berbagai kesulitan, namun Imam tidak pernah berdamai dengan para penguasa zalim, dan bahkan setiap hari pengaruh spiritual beliau dalam masyarakat semakin meningkat.

 

Mencari ilmu pengetahuan adalah jalan terbaik untuk mencapai puncak kesempurnaan dan tanpa ilmu, manusia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Imam Hadi as percaya bahwa untuk menggapai tujuan-tujuan tinggi, masing-masing manusia harus menimba ilmu pengetahuan dan makrifat; karena tanpa ilmu pengetahuan, maka dia tidak akan sampai ke tujuan.

 

Dalam sebuah hadis Imam Hadi as berkata: “Ilmuwan dan penimba ilmu keduanya adalah mitra dalam kemajuan dan hidayah.” Jika ulama dan cendikiawan masyarakat tidak berupaya serta masyarakat tidak mencari ilmu, maka tingkat pemikiran dan budaya masyarakat tidak akan berkembang dan tidak akan tercapai kemajuan.

 

Menurut Imam Hadi as, salah satu kriteria para wali Allah dan manusia-manusia saleh adalah, mengampuni, merelakan dan menerima permintaan maaf orang lain. Ayub bin Nuh mengatakan, “Imam dalam sebuah surat kepada salah seorang sahabat beliau yang menyakiti hati seseorang, menasehatinya agar pergi meminta maaf dan mengatakan, ‘jika Allah Swt menginginkan kebaikan untuk hamba-Nya, maka Dia akan memberikan kepada hamba itu sebuah kondisi di mana setiap kali dia dimintai maaf, dia akan menerimanya. Kau pun terimalah permintaan maafku.