Mengurai Makna Syair Sufi

“Tidak ada huruf dalam hatiku selain huruf alif, karena guruku hanya mengajarkan yang itu saja.”
Imam Khomeini yang bait-bait syairnya saya kutipkan di atas adalah seorang sufi abad 21. Tahun 1979, ia mengguncang dunia dengan Revolusi Bunga yang dicetuskannya. Dengan Revolusi itu, Imam membebaskan masyarakat Iran dari perbudakan Syah dan sekaligus menjadi dasar berdirinya negara Islam Iran.
Sebagai seorang sufi, kecintaan kepada Allah SWT adalah jalan satu-satunya meraih kemerdekaan. Itulah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dimaksud oleh Imam Khomeini dalam syair di atas.
Huruf ‘alif’ adalah lafaz Allah SWT. Allah SWT, secara filosofis, adalah Wajib al-Wujud. Wujud yang keberadaanya niscaya. Sedangkan yang lain, mewujud karena wujud-Nya. Karena itulah Allah SWT adalah yang Maha Kaya dan yang lain adalah fakir. Kefakiran itulah yang menjadikannya butuh kepada Allah SWT untuk selalu ada. Al-Quran berkata, “Allah adalah tempat bergantungnya segala sesuatu.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 2)
Dalam pandangan Sufi, Allah SWT adalah al-Haq sedangkan yang lain hanyalah tajalli (penampakan). Baik dalam pandangan filsuf maupun sufi, Allah SWT merupakan satu-satunya yang wujud. Meskipun ada perbedaan yang signifikan tentang Wajib al-Wujud antara pandangan filsuf dan pandangan sufi. Filsuf berpijak pada dualisme kausalitas, sedangkan sufi berpijak pada monoteisme al-Haq yang meniscayakan tiadanya wujud selain al-Haq. Yang lain hanyalah bayangan.
Syair di atas merupakan ekspresi luapan kecintaan seorang sufi, bahwa hanya Allah SWT sajalah yang layak dicintai dan mengisi ruang hati para pecinta, karena Dia adalah keberadaan mutlak, sedangkan yang lain hanyalah fatamorgana. Cinta sejati dapat terwujud bila kekasih yang dicintai itu memiliki keberadaan mutlak. Jika keberadaan kekasih hanya bayangan, maka cinta yang seperti itu pastilah palsu.
Seperti yang ditegaskan dalam syairnya yang lain, Imam Khomeini bergumam:
“Cinta yang nyata hanya mencari kekasih yang nyata, mustahil mencari kekasih dalam khayalan.”
Imam Khomeini telah menjadikan Allah SWT semata-semata sebagai dasar cinta dan sekaligus tujuan cinta dalam proses perjalanan penyempurnaan kemanusiaannya. Untuk itu, Allah SWT telah melingkupi seluruh ruang hatinya. Imam tak lagi mengenali kekasih lain karena selain Allah SWT, yang lain tidak mewujud. Bahkan—begitu cintanya—ia tidak ingin sembuh dari derita karena merindukan kekasihnya. Dalam syairnya, imam berkata;
“Kasihku, duhai kasihku. Aku sakit karenamu dan akan sakitku ini. Aku tak ingin Kau sembukan.”
Sebagaimana imam Khomeini yang telah mengisi ruang hatinya dengan Allah SWT, Rabi’ah—seorang sufi lain—juga mengungkapkan hal yang sama. Ketika ia ditanya oleh seseorang, apakah ia mencintai Allah SWT dan membeci setan. Rabi’ah menjawab, “Kecintaanku kepada Allah SWT telah memenuhi ruang hatiku, sehingga tidak ada lagi ruang untuk membenci setan”.
Adapun “guru” yang dimaksudkan dalam syair di atas adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW adalah guru dari seluruh alam semesta. Bahkan guru para nabi dan rasul yang pernah diutus untuk menyeru umat manusia kepada kebenaran. Rasulullah datang untuk mengajari umat manusia tentang hakikat kebenaran dan mendidik mereka untuk berjalan di jalan kebenaran. Dan hakikat kebenaran itu adalah Tauhid. Selama hidupnya, Rasulullah SAW hanya mengajarkan Tauhid. Inilah makna dari bait, “karena guruku hanya mengajarkan yang itu saja”. Jadi, imam Khomeini tidak mungkin memiliki kekasih lain, karena kekasih yang dikenalnya melalui madrasah Rasulullah SAW hanya Allah SWT. Karena itu, ‘alif’ dapat pula diartikan sebagai Tauhid.
Dalam pengertian ibadah, Tauhid berarti menegaskan kesaksian kita sebagai hamba bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang patut disembah dengan terlebih dahulu menafikan (meniadakan) segala sesuatu yang dianggap Tuhan. Penyembahan tidak akan menjadi murni jika tidak diawali dengan penafian akan adanya Tuhan lain selain Allah SWT (QS. Al-Ikhlas [112]: 1).
Sedangkan secara muamalah, Tauhid berarti bahwa seluruh alam semesta merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Demikian pula kaum muslimin yang berada di bawah bendera dan ikatan Tauhid: menyaksikan Tuhan yang satu, kitab yang satu, rasul yang satu serta umat yang satu. Quran berkata, “manusia itu umat yang satu” (QS. Al-Baqarah [2]: 213). Kemanusiaan dan keimananlah yang menyatukan manusia. Namun kaum beriman memiliki kedua sisi yang membuat mereka semakin dekat: kemanusiaan dan keimanan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kaum beriman itu bersaudara” (QS. Al-Hujarat [49]: 10). Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Manusia itu bersaudara dalam kemanusiaan dan bersaudara dalam keimanan.”
Karena itu Allah memerintahkan kaum muslimin untuk memegang teguh ajaran Rasulullah SAW sebagai perwujudan Tauhid. Quran berkata, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali-Imran [3]: 103)
Atas pengajaran yang tanpa pamrih itu, Rasulullah SAW diabadikan dalam al-Quran sebagai suri teladan:  “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bahkan menyebut dirinya sebagai “Madinatul ilm”. Dan untuk jasa-jasanya itu, Rasulullah SAW tidak meminta upah sedikit pun (QS. Al-An’am [6]: 90, Yunus [10]: 72, Hud [11]: 51, Yusuf [12]: 104, Al-Furqan [25]: 57, Shad [38]: 86, As-Shuraa [42]: 23).