Monotheisme dalam Islam (3)




3. TAUHID SIFAT

3. 1 Pendahuluan

Kami telah ungkapkan bahwa tauhid teoritis (nazhari) terbagi atas; tauhid dzat, sifat dan perbuatan. Maka sesudah pembahasan tauhid dzat, giliran sekarang pembahasan tauhid sifat.

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, dzat Tuhan, disebabkan wâjibul wujud, mempunyai semua sifat-sifat kesempurnaan dan setiap sifat yang terhitung sebagai kesempurnaan wujud dan ketidakpunyaan terhadapnya meniscayakan kekurangan dan keterbatasan (seperti ilmu, kekuasaan [qudrah], hidup [hayat] dan lain sebagainya) maka dalam bentuk paling sempurnanya kemungkinan dan dalam bentuk mutlak serta tidak terbatas adalah benar terhadap Tuhan.

Sekarang pertanyaan ini mengemuka apakah hubungan sifat-sifat kesempurnaan ini yang ketetapannya bagi Tuhan tidak dapat diingkari, dengan dzat Tuhan? Apakah sifat-sifat ini, dalam wujud luarnya, dengan dzat Tuhan mempunyai kesatuan, ataukah masing-masing keberadaannya adalah mandiri dari dzat, dan "âridh" (addisional) pada dzat?

Untuk lebih jelasnya pertanyaan di atas alangkah baiknya jika kita meninjau kepada sifat-sifat kita sendiri. Dengan penelitian terhadap sifat-sifat kita yang bermacam-macam maka akan mengantarkan kita pada natijah (konklusi) ini bahwa sebahagian dari sifat-sifat kita tidak keluar dari dzat kita; akan tetapi mempunyai satu kenyataan dengan dzat kita. Misalnya "keinsanan" kita, adalah sifat dzat dan merupakan dzat kita sendiri serta tidak dapat ia dihitung sebagai sebuah sifat yang "âridh" (mengaksiden, addisional) atas dzat kita.

Tetapi sangat banyak dari sifat-sifat kita, adalah sifat-sifat aksidensi; dimana kitanya dalam tataran dzat tidak tersifati dengan sifat-sifat tersebut. Sebagai contoh dapat kita sebutkan beberapa sifat darinya seperti "gembira" dan "marah": Kita secara dzat bukanlah "kegembiraan" dan bukan juga "kemarahan"; akan tetapi sifat-sifat ini adalah mengaksiden pada dzat kita. Kini harus kita tinjau begaimana dengan sifat-sifat Tuhan. Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya disinggung terlebih dahulu sebuah premis:

3. 2. Kesatuan Komprehensi dan Kesatuan Realitas

Ketika diutarakan pembicaraan tentang kesatuan (atau ketiadaan kesatuan) dzat dengan sifat, harus dilihat terlebih dahulu apa jenis kesatuan yang dimaksud. Berdasarkan satu penggolongan, kesatuan dibagi atas dua jenis golongan : Kesatuan komprehensi dan kesatuan realitas (kesatuan luar atau kesatuan dalam wujud).[1]

Kesatuan komprehensi berhubungan dengan alam pahaman-pahaman dan ia adalah realitas dan kesatuan dua pahaman, dalam bentuk bahwa dari sisi komprehensi tidak terdapat perbedaan satu sama lain. Kesatuan komprehensi di antara pahaman-pahaman, adalah serupa dengan sinonim dalam alam lafaz-lafaz. Ketika kita mengatakan dua lafaz "wujud" dan "hasty" adalah sinonim, maksudnya adalah dua lafaz ini menceritakan satu pahaman. Demikian pula ketika kita memandang bahwa pahaman "wujud" dan "hasty" adalah satu, stetemen kita adalah bahwa dengan mengkonsepsi dua pahaman ini, pada dasarnya kita sudah mengkonsepsi satu pahaman secara dua kali.

Adapun kesatuan realitas atau luar berada pada posisi dimana dua atau beberapa komprehensi yang dari segi tinjauan kekomprehensian tidak mempunyai realitas yang sama, tapi di luar ia mempunyai satu misdak dan maujud dengan satu wujud. Misalnya dua pahaman "kitab langit kaum muslimin" dan "mukjizat abadi Nabi Islam" dari segi kekomprehensian adalah berbeda satu sama lain; tetapi misdak luar dari keduanya adalah satu.


3. 3. Makna Tauhid Sifat

Dengan memperhatikan apa yang diutarakan sebelumnya, maka sudah dapat dipaparkan gambaran yang lebih fleksibel dari tauhid sifat: Antara dzat dan sifat Tuhan dan juga antara sifat-sifat Tuhan dan satu dengan lain, terjadi perbedaan secara komprehensi dan terjadi kesatuan di luar.

Oleh sebab itu, dzat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya seperti ilmu dan kekuasaan, mempunyai perbedaan komprehensi; tetapi di luar semuanya mewujud dalam wujud yang satu, yakni wujud mutlak yang tidak terbatas.

Sebaiknya disebutkan bahwa bahasan tauhid sifat yang dikhususkan pada golongan dari sifat-sifat Tuhan adalah sifat-sifat dzat berhadapan dengan sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat afirmasi berhadapan dengan sifat-sifat negasi.[2]

Berasaskan hal ini, tauhid sifat dapat ditransformasi pada tiga prinsip :

1. Dzat dan sifat-sifat Tuhan, secara tinjauan komprehensi adalah berbeda;
2. Antara dzat dan setiap dari sifat-sifat Tuhan, terjadi kesatuan, keidentikan luar dan kewujudan;
3. Antara setiap dari sifat-sifat dzat dengan sifat-sifat dzat yang lainnya, terjadi kesatuan, keidentikan luar dan keberwujudan.

Akan tetapi dengan sedikit teliti akan menjadi jelas bahwa prinsip ketiga

merupakan kemestian dari prisip kedua; sebab adalah badihi (swabbukti) bahwa jika perkara-perkara beragama bersama dengan satu obyek kesatuan, maka di antara perkara-perkara itu juga terjadi kesatuan dan tidak mungkin beberapa obyek yang dengan obyek yang satu adalah berbeda, mereka sendiri dengan satu sama lain adalah identik.[3]

Oleh sebab itu, kemestian yang jelas keidentikan dzat dengan sifat-sifat adalah bahwa di antara sifat-sifat itu sendiri juga terjadi keidentikan. Dengan hal ini, untuk maksud lebih menegaskan prinsip ketiga, maka diutarakan dalam bentuk yang terpisah.

Akan tetapi dalam pandangan sebagian teolog, tauhid sifat, juga meliputi keyakinan terhadap penafian setiap bentuk rangkapan dari dzat Tuhan.[4]



3. 4. Dalil Tauhid Sifat

Setelah dijelaskan makna dari tauhid sifat, adalah sepatutnya kami isyaratkan sekarang sebagian dari dalil-dalil rasional tentangnya. Bermacam-macam argument yang sudah dikonstruksi dari ahli teologi dan para filososof yang sebagian dari dalil dan argument itu berbasiskan atas premis-premis yang sulit. Di sini kami cukupkan dengan menyebutkan tiga dalil yang mempunyai tingkat kesulitan lebih sedikit :



3. 5. Dalil Pertama

Dalil ini berbasiskan atas dua premis pokok :

1. Kesempurnaan mutlak Tuhan meniscayakan bahwa bentuk penyifatan Dia terhadap sifat-sifat-Nya, adalah paling sempurnanya sisi-sisi penyifatan;
2. Paling sempurnanya bentuk penyifatan adalah bahwa dzat sesuatu, dengan dzatnya, yakni mempunyai sifat tanpa butuh pada terjadinya penyifatan di luar dari dzat.



Konklusi: Kesempurnaan mutlak Tuhan meniscayakan bahwa dzat suci-Nya, tanpa butuh pada keberadaan sifat di luar dari dzat, tersifati dengan sifat-sifat-Nya.

Hasil dalil ini adalah keidentikan sifat-sifat dengan dzat, dalam perbandingan dengan perbedaan keduanya terhitung sebagai suatu bentuk kesempurnaan dan dari sisi bahwa Tuhan mempunyai seluruh kesempurnaan-kesempurnaan, maka seharusnya dzat Dia adalah identik (sama) dengan sifat-sifat-Nya.

Telah diungkapkan bahwa premis-premis dalil ini, adalah badihi (swabukti) dan tidak butuh dengan penetapan (itsbât) dan pengajuan argumentasi atau burhan: Dengan menganalisa makna dari kesempurnaan mutlak akan menjadi jelas bahwa komprehensi ini meniscayakan suatu maujud yang diketahui sebagai sempurna mutlak, dalam seluruh sisi, adalah sempurna bahkan dari sisi bentuk kepemilikan sifat-sifatnya.

Dari dimensi lain, akal dengan membandingkan dua kondisi, yakni keidentikan dzat dengan sifat dan perbedaan dzat dengan sifat, menghukumi bahwa kondisi pertama, adalah bahwa suatu dzat tanpa butuh pada sesuatu di luar dirinya mempunyai suatu sifat, dari kondisi kedua adalah lebih sempurna.[5]

3. 6. Dalil Kedua

Premis-premis inti dari dalil ini diuraikan sebagai berikut :

1. Dzat Tuhan, adalah wâjibul wujud dan sebab dari seluruh sebab-sebab serta semua maujud-maujud (tanpa perantara atau dengan perantara) merupakan akibat-Nya;
2. Seluruh kesempurnaan-kesempurnaan kewujudan akibat (seperti ilmu, kudrat dan sebagainya), dalam bentuk lebih sempurna terdapat dalam dzat sebab;
3. Jika sifat-sifat Tuhan berada di luar dari dzat-Nya, maka dzat Tuhan akan kosong dari semua bentuk kesempurnaan.

Dengan menggabungkan dua premis pertama, akan dihasilkan bahwa dzat Tuhan memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan dan setiap kali hasil ini disertakan dengan premis ketiga, maka hasilnya adalah bahwa sifat-sifat Tuhan tidak di luar dari dzat-Nya, bahkan identik dengan dzat-Nya.[6]

Dalil ini dapat dijelaskan dalam model yang lebih mudah : Jika sifat-sifat dzat Tuhan yang merupakan "sinkh" (kesesuaian dan keselarasan) kesempurnaan-kesempurnaan kewujudan, berada di luar dari dzat-Nya, maka meniscayakan bahwa dzat Tuhan kosong dari setiap bentuk kesempurnaan; sedangkan "kewujuban" wujud dan ke-sebab-an dari seluruh sebab-sebabnya Tuhan memestikan bahwa pada tataran dzat-Nya dan tanpa butuh pada perkara di luar dari dzat-Nya, adalah memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan.

Oleh sebab itu, kewujuban wujud dan ke-sebab-an dari seluruh sebab-sebabnya Tuhan meniscayakan bahwa sifat-sifat Tuhan adalah identik (sama) dengan dzat-Nya.[7]

3. 7. Dalil Ketiga

Jika sifat-sifat Tuhan adalah tidak identik dengan dzat-Nya, maka kita menghadapi dua kemungkinan :

1. Sifat Tuhan adalah bagian dari dzat-Nya;
2. Sifat Tuhan berada di luar dari dzat-Nya.

Kemungkinan pertama adalah batil; sebab berujung pada terangkapnya dzat tuhan; padahal sudah ditetapkan dalam pembahasan tauhid zat bahwa dzat tuhan dari seluruh sisi adalah sederhana.

Dalam kemungkinan kedua juga kita mengarah pada dua asumsi: ataukah sifat yang diasumsikan di luar dari dzat, adalah wâjibul wujud, ataukah mumkinul wujud. Asumsi pertama memestikan multiplisitas wâjibul wujud dan ini menyalahi tauhid dzat "wâhidi".

Dalam asumsi kedua, yakni kemungkinan sifat Tuhan adalah mumkinul wujud, dapat dipersoalkan bahwa apa penyebab sifat ini? Dengan memperhatikan bahwa setiap wujud kontingen, apakah tanpa perantara ataukah dengan perantara, merupakan akibat dari satu wâjibul wujud, jika penyebab sifat Tuhan adalah wâjibul wujud lain, maka memestikan multiplisitas wâjibul wujud yang bertentangan dengan tauhid dzat. Dengan demikian, asumsi yang hanya tersisa adalah bahwa sifat Tuhan di luar dari dzat Tuhan dan merupakan akibat dari dzat Tuhan.

Oleh sebab itu meniscayakan bahwa Tuhan, dengan asumsi "fâqid" (tidak punya) sifat hidup atau sifat kuasa, pertama menjadikan hidup dan kuasa di luar dari dzat-Nya dan kemudian dalam bayangan ciptaan dan akibat-Nya, memiliki sifat hidup dan kuasa. Tetapi asumsi ini sangat tidak rasional; sebab (sebagaimana telah kami singgung sebelumnya) berasaskan suatu kaidah akal, sebab tidak bisa tidak memiliki kesempurnaan-kesempurnaan akibatnya dan tidak mungkin si pemberi sesuatu adalah tidak memiliki itu; oleh karena itu tidak mungkin dzat yang tidak mempunyai hidup dan kuasa, menjadi pencipta hidup dan kuasa.

Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa seluruh kemungkinan-kemungkinan asumsi yang diutarakan tentang berbedanya dzat dan sifat Tuhan, adalah tidak rasional dan batil; dalam konklusi, dzat Tuhan dan sifat-sifat-Nya mempunyai satu misdak yang sederhana dan komprehensi-komprehensi sifat yang multiplisitas, semuanya mengisahkan wujud yang satu. Dengan ungkapan lain, akal manusia mengabstraksikan dari wujud Tuhan yang satu, sederhana dan tidak terbatas, terhadap-Nya sifat-sifat yang multiplisitas, seperti ilmu, kudrat dan hidup serta mempredikasikan semua sifat-sifat itu atas dzat-Nya, tanpa terdapat perbedaan dan multiplisitas di antara misdak-misdak sifat-sifat ini.

3. 8. Perbedaan Komprehensi Sifat

Hingga kini sudah ditetapkan kesatuan sifat-sifat dan dzat Tuhan dalam wujud luar dan sudah ditegaskan bahwa sifat-sifat (sifat-sifat dzat) Tuhan, tidak berbeda dengan dzat-Nya dan bukan bagian dari-Nya; tetapi diantara mereka terdapat keidentikan wujud.

Aspek lain dari tauhid sifat yang sampai sekarang belum kami paparkan dalil penetapannya, adalah perbedaan komprehensi di antara sifat-sifat Tuhan. Untuk menetapkan prinsip ini, yakni perbedaan kekomprehensian sifat, biasanya seseorang merujuk kepada perenungan dalam penemuan-penemuan syuhudi (disclosure) dan batinnya dari komprehensi-komprehensi sifat-sifat dan penggunaan-penggunaan leksikal nama-nama mereka. Dengan perenungan dalam komprehensi-komprehensi seperti "alim", "kuasa", "berkehendak" dan sifat lainnya, kita mendapatkan bahwa mafhum-mafhum ini satu sama lain adalah berbeda. Salah satu dari bukti-bukti masalah ini adalah behwa berasaskan pemahaman umum ahli setiap bahasa, lafaz-lafaz yang menunjukkan atas mafhum-mafhum ini adalah tidak sinonim; misalnya, ketika seseorang yang berbahasa arab menyebut Tuhan dengan lafaz-lafaz seperti, "mahatahu", "mahakuasa", "maha pengasih", dan "maha pengampun", ia memperhatikan kenyataan ini bahwa ia tidak menggunakan lafaz-lafaz sinonim dan ia tidak melakukan pengulangan komprehensi yang satu.

Oleh karena itu, teori "kesatuan kekomprehensian sifat-sifat Tuhan" dengan penggunaan secara umum bahasa dan pengertian secara umum serta kesamaan masyarakat tidak sesuai dengan komprehensi-komprehensi sifat-sifat ini dan pandangan yang benar, adalah perbedaan kekomprehensian sifat.

3. 9. Pembahasan Historis Tauhid Sifat

Dalam bab hakikat sifat Tuhan dan hubungannya dengan dzat Tuhan, di antara firkah-firkah Islam terdapat pandangan-pandangan yang berbeda-beda yang akan kami singgung secara singkat tentangnya:

1. Keidentikan sifat dengan dzat dan perbedaan kekomprehensian di antara mereka: pandangan ini sesuai dengan pandangan secara umum teolog Imamiyyah dan juga sebagian dari teolog Mu'tazilah[8] dan sebagaimana yang kita lihat, dalil rasional dan riwayat-riwayat para Imam Syi'ah juga menegaskan itu.
2. Mengaksidennya sifat atas dzat dan keqadiman sifat: pandangan ini sudah diterima dari sisi pengikut kalam Asy'ari dan berdasarkan itu, sifat dzat Tuhan, seperti sebagian sifat-sifat makhluk-Nya berbeda dengan dzatnya dan perbedaan mereka dengan sifat-sifat makhluk hanya pada tataran bahwa sifat-sifat dzat Tuhan adalah qadim.[9]

Isykal yang paling tepat yang ditujukan pada pandangan ini adalah tinjauan tentang berbedanya sifat qadim dan azali Tuhan dengan dzat-Nya, memestikan diterimanya beberapa maujud yang azali dan qadim dan keyakinan ini, tidak ada sesuatu yang lain kecuali syirik.

Dengan kata lain, Asyaa'irah di sisi dzat Tuhan, berkeyakinan terhadap tujuh maujud qadim, yang dikenal dengan tujuh macam sifat yaitu, ilmu, kuasa, hidup dan lain sebagainya, serta dihitung dengan dzat Tuhan, maka mereka meyakini delapan macam yang qadim; padahal dalam tinjauan tauhid Islam, dzat yang qadim dan azali hanyalah dzat Tuhan dan selain Dia, setiap yang ada adalah makhluk-Nya dan "hâdits" (baru, tercipta kemudian).

Demikian pula pandangan Asyaa'irah adalah memestikan bahwa Tuhan dalam kesempurnaan-kesempurnaan-Nya butuh pada sesuatu di luar dari dzat-Nya dan hal ini tidak sinkron dengan kemahakayaan mutlak Tuhan.

3. Mengaksidennya sifat atas dzat dan baharunya sifat : Berasaskan teori ini yang dinisbahkan kepada firkah "Karrâmiyyah",[10] adalah bahwa sifat Tuhan mengaksiden atas dzat dan hâdits. Dengan penjelasan argumen akal tauhid sifat yang kami berikan, maka sudah jelas juga kebatilan teori ini.
4. "Niyâbah" (suksesi) dzat dari sifat: Dalam pandangan ini dipilih dan datang dari sisi sebagian teolog "Mu'tazilah", seperti Abu Ali dan Abu Hasyim Jabbaayi dan 'Ubbaad bin Sulaiman,[11] Tuhan "fâqid" (tidak memiliki) sifat-sifat kesempurnaan, seperti ilmu, kuasa dan lain sebagainya, dan pada saat yang sama, dzat-Nya menjadi sumber keluarnya efek-efek itu sebagaimana keluar dari dzat yang tersifati dengan sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu, sebagai contoh, dzat Tuhan adalah fâqid suatu sifat, yakni ilmu; tetapi perbuatan yang keluar dari Tuhan, adalah perbuatan yang sebagaimana dari maujud-maujud berilmu.

Secara lahir sebab mendasar kecenderungan sekelompok dari kaum Mu'tazilah terhadap pandangan ini adalah kelompok ini melihat bahwa dari satu sisi pandangan tentang mengaksidennya sifat atas dzat menyalahi tauhid dan dari sisi lain, mereka tidak punya gambaran yang dalam tentang keidentikan dzat dengan sifat serta mereka menyangka bahwa tabiat setiap sifat mesti mengaksiden atas yang disifati.

Tentang kebatilan pandangan Mu'tazilah telah diutarakan bahwa pandangan "niyâbah" (suksesi) dzat dari sifat adalah memestikan bahwa dzat Tuhan fâqid kesempurnaan-kesempurnaan wujud, seperti ilmu, kuasa dan hidup; disamping itu mafhum "dzat yang fâqid ilmu, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan berilmu" adalah suatu mafhum yang ambiguitas.

3. 10. Tauhid Sifat dalam Riwayat dan Hadits

Kita sudah mengetahui bahwa tauhid sifat yakni keyakinan tentang sifat dzat Tuhan satu sama lain dan dengan dzat Tuhan adalah identik dan mereka bereksistensi dalam eksistensi yang satu, meskipun dari tinjauan komprehensi (dan dalam benak) di antara mereka adalah berbeda. Berasaskan hal ini, sifat dzat Tuhan, sebagaimana dzat-Nya, adalah azali, abadi dan tidak terbatas; dalam keadaan dimana tidak ada sama sekali bentuk perbedaan kewujudan di antara mereka.

Amirul Mukminin Ali As dalam salah satu dari khutbah-khutbahnya, menyingkap dengan indah hakikat tauhid dzat. Imam Pertama mengungkap tentang ketakterbatasan sifat Tuhan: "Tuhan yang sifat-Nya tak mampu terdefenisikan (terbatasi) dan tak dihasilkan (diadakan) suatu sifat".[12]

Akan tetapi selanjutnya ia menjelaskan bahwa kesempurnaan ikhlas dalam bab makrifat Tuhan dan tauhid adalah bahwa manusia menegasikan setiap bentuk sifat dari dzat Tuhan, meninggalkan penyifatan dzat suci-Nya: "Dan kesempurnaan tauhid Tuhan, adalah ikhlas untuk Nya dan kesempurnaan ikhlas, adalah menegasikan sifat dari-Nya, sebab setiap sifat memberi kesaksian bahwa ia adalah selain yang disifati dan setiap yang disifati memberi kesaksian bahwa ia berbeda dengan sifat.[13]

Mungkin dalam tinjauan pertama akan menghadirkan pandangan seperti ini bahwa dua bagian ini tidak sesuai satu sama lain; sebab kemestian pertama adalah menetapkan sifat untuk Tuhan, sementara bagian kedua, setiap bentuk penyifatan pada Tuhan adalah dipandang tidak benar. Tetapi dengan perenungan yang lebih banyak, terutama secara spesifik dengan ketelitian yang seksama pada sebab Imam As menjelaskan penegasian sifat, akan menjadi jelas bahwa tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Sifat yang Imam As negasikan adalah sifat yang menambah dan mengaksiden pada dzat Tuhan; sebab sifat yang demikian ini adalah berbeda dengan yang disifatinya (sebab setiap sifat memberi kesaksian bahwa ia adalah selain yang disifati).

Adapun penyifatan yang diterima baginya tidak ada masalah, adalah sifat yang identik dengan dzat Tuhan dan seperti dzat, adalah tidak terbatas dan tak terliputi.

Imam As sesudah memandang bahwa penyifatan Tuhan dengan sifat-sifat aksidensi atas dzat adalah tidak benar, terhadap kemestian-kemestian pengetahuan penyifatan ini mengisyaratkan: "Oleh sebab itu barang siapa menyifatkan Tuhan, maka ia menggandengkan Dia (dengan sifatnya) dan siapa yang melakukan seperti itu, maka ia mendualitaskan Tuhan dan siapa yang berbuat seperti ini, maka ia membagi-bagi Dia serta siapa yang mengerjakan seperti ini, maka ia tidak mengenal-Nya" [14].

Dari sabda Imam As dapat dipetik demikian bahwa penyifatan Tuhan dengan sifat di luar dari dzat, meniscayakan kita menempatkan dzat Tuhan berdampingan sifat-sifat-Nya dan dari segi bahwa sifat-sifat ini secara kaidah kita pandang qadim dan azali, maka niscaya secara minimal kita mengakui terhadap keberadaan dua maujud yang qadim dan ini tidak lain kecuali adalah keyakinan terhadap dua Tuhan (dualitas).

Multiplisitas wâjibul wujud juga (sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebagian dalil tauhid) adalah meniscayakan terangkapnya dzat Tuhan dari bagian-bagian dan pada akhirnya, seseorang yang memandang Tuhan mempunyai rangkapan dan bagian-bagian, maka ia pada dasarnya tidak mengenal hakikat-Nya.

Dari Imam Ridha As juga telah diriwayatkan bahwa beliau berkata: "Tuhan secara azali adalah Mahaberilmu, Mahakuasa, Mahahidup, Mahadahulu, Mahamendengar dan Mahamelihat. Perawi berkata: Saya berkata pada Imam As: "Wahai Putra Rasulullah! Mereka yang sekelompok orang berkata: Tuhan secara azal dengan perantara ilmu adalah mahaberilmu dan dengan perantara kuasa adalah mahakuasa serta dengan perantara hidup adalah maha hidup dan seterusnya. Imam As menjawab: Setiap orang yang berkata dengan perkataan seperti ini dan ia bersikukuh dengannya, maka ia telah menerima tuhan-tuhan disamping Tuhan dan orang seperti ini tidak akan memperoleh manfaat sama sekali dari wilâyah kami.

Kemudian beliau berkata: "Tuhan secara azali dengan dzat-Nya adalah Mahaberilmu, Mahakuasa, Mahahidup, Mahadahulu, Mahamendengar dan Mahamelihat. Tuhan dari apa yang orang-orang musyrik dan ahli tasybih (orang yang menyerupakan Tuhan) katakan adalah mahasuci.[15]

Apa yang secara lahiriah dari hadits ini digunakan, sesudah apa yang Imam As terangkan tentang keazalian sifat-sifat dzat Tuhan, seperti juga ilmu, kuasa dan hidup, perawi menanyakan tentang keyakinan suatu kelompok yang menyangka Tuhan dengan perantara ilmu yang berbeda dengan dzat-Nya, adalah Maha berilmu dan dengan perantara kuasa yang di luar dari dzat-Nya, adalah maha kuasa dan lain sebagainya.

Jawaban Imam As kepada si perawi adalah memandang keyakinan ini akan meniscayakan syirik dan keyakinan terhadap tuhan-tuhan multiplisitas. Secara lahir dalil tentang masalah ini adalah bahwa keyakinan terhadap sifat-sifat azali yang mengaksiden atas dzat (pandangan Asyaa'irah) meniscayakan keyakinan terhadap beberapa maujud yang qadim dan azali dan natijahnya adalah keyakinan terhadap beberapa Tuhan.

Kemudian Imam As menegaskan bahwa Tuhan karena dzat-Nya disifati dengan ilmu dan kuasa dan sebagainya yang dalam bentuk pengungkapan benarnya di atas, maksudnya adalah bahwa sifat tersebut adalah identik dengan dzat itu sendiri dan jika seseorang berkeyakinan terhadap sifat di luar dari dzat, maka ia adalah syirik dan ahli tasybih (menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya).[]


[1] . Dalam pembahasan ini, yang dimaksud adalah kesatuan realitas. Dan kesatuan ataukah ia realitas (luar), (misdak) ataukah ia wujudi, semuanya merupakan satu hal dan istilah-istilah ini digunakan dengan makna yang satu.

[2] . Defenisi yang dalam tentang istilah-istilah ini akan dipaparkan dalam bagian sifat-sifat Tuhan.

[3] . Hubungan kesatuan, dari sisi ini adalah serupa dengan hubungan kesamaan : sebagaimana bahwa kesamaan A dan B dengan C adalah meniscayakan kesamaan A dan B dengan satu sama lain, kesatuan A dan B dengan C adalah meniscayakan kesatuan A dengan B. Dalam satu istilah, terhadap hubungan-hubungan dan relasi-relasi yang mempunyai kekhususan ini, disebut dengan hubungan-hubungan yang "muta'addy" (transgressing).

[4] . Syahid Muthahari dalam defenisi tauhid sifat berkata: "Tauhid sifat adalah bermakna menafikan setiap bentuk kejamakan dan rangkapan dari dzat Tuhan; merujuk pada : Majmu'e A^tsâr, jld.2, hal.101.

[5] . Untuk memperoleh rumusan yang lebih sempurna dalil ini, merujuk: Abdul Razzaaq Laahiiji, Sarmâyeh Iman, hal. 50 dan 51.

[6] . Hasil akhir, dapat dijelaskan dalam suatu model silogisme eksepsional: Jika sifat-sifat Tuhan di luar dari dzat-Nya, dzat Tuhan akan kosong dari semua bentuk kesempurnaan; akan tetapi dzat Tuhan tidak kosong dari kesempurnaan-kesempurnaan; maka natijahnya sifat-sifat Tuhan tidak di luar dar dzat-Nya.

[7] . Sebagaimana yang dilihat, pada penalaran (istidlâl) ini, dalam tinjauan bahwa tidak keluarnya sifat-sifat Tuhan dari dzat adalah sama dengan identiknya sifat-sifat dengan dzat dan asumsi ini bahwa sifat-sifat adalah bagian dari dzat, tidak diperhatikan. Akan tetapi sebagaimana pada dalil kemudian yang akan datang, asumsi ini adalah jelas batil; sebab memestikan terangkapnya dzat Tuhan dari sisi lain, sebagian dari dalil tauhid sifat, sebagaimana dalil kedua dari dalil yang disebutkan dalam teks, hanya menegaskan kebatilan asumsi bahwa sifat-sifat Tuhan di luar dari dzat-Nya dan memandang kebatilan asumsi terangkapnya dzat dari sifat-sifat yang bermacam-macam sebagai suatu hal yang diterima dan tidak butuh pada penetapan.

[8] . Seperti Abul Hudzail 'Allaaf; Merujuk: Subhani, Buhutsu Fil Milal wa an-Nihal, jil. 2, hal. 87.

[9]. Untuk mengetahui secara detail pandangan ini dan argument kaum Asy'ari merujuk : Subhani, Buhutsu fil Milal wa an-Nihal, jld.2, hal. 89-94. Maksud dari qadim dalam pembahasan ini, adalah qadim dzat, bukan qadim zaman.

[10] . Karraamiyyah, adalah pengikut Abu Abdillah bin Karraam (wafat 255.Q) dan yang termasuk akidah penting mereka adalah pandangan kebendaan Tuhan dan penyerupaan Dia terhadap makhluk-makhluk-Nya.

[11] . Asy'ari dalam "Maqâlâtul Islâmiyyiin", jil.1, hal.224. Pandangan ini, di samping Mu'tazilah, dinisbahkan juga pada sekelompok dari Khawarijn Murjiah dan Zaidiyyah.

[12] . Nahjul Balâgah, Khutbah 1.

[13] . Nahjul Balâgah, Khutbah 1.

[14] . Ibid.

[15] . At-Tauhid, bab 11, hadits 3.