Apakah maulid nabi (merayakan hari kelahiran nabi) memang bid’ah?
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ayatullah Jafar subhani
- Sumber:
- hauzahmaya
Peringatan hari kelahiran atau hari kematian para wali
Allah adalah bid’ah, karena pada zaman sahabat dan
setelah mereka tidak pernah ada. Maka itu, tidak ada
alasan bagi kita untuk melakukannya! Benarkah
demikian?
Sejarah menjadi saksi bahwa sejak dahulu kala,
Muslimin di dunia senantiasa merayakan hari kelahiran
Nabi Muhammad Saw, dan para khatib menyampaikan
keutamaan beliau. Tidak diketahui secara pasti kapan
acara ini dimulai, tapi yang jelas ratusan tahun yang
lalu perayaan ini sudah populer di Dunia Islam
Ahmad bin Muhammad Qasthalani (w. 92 H.), salah satu
ulama terkenal abad ke-IX H., berkata tentang perayaan
yang berlangsung pada bulan kelahiran Nabi Muhammad
Saw, ‘Muslimin senantiasa merayakan bulan kelahiran
Nabi Muhammad Saw. Pada bulan itu mereka memberi
makanan kepada orang lain. Malam harinya mereka
menyebarkan segala macam sedekah. Mereka tunjukkan
kegembiraan dan mereka gandakan amal baik. Mereka juga
melantunkan puisi-puisi yang mengucapkan selamat atas
kelahiran Nabi Muhammad Saw. Setiap tahun, keberkahan
beliau Saw pasti tampak jelas. Semoga rahmat Allah Swt
senantiasa tercurahkan bagi setiap orang yang
merayakan malam-malam bulan kelahiran beliau Saw dan
melipatgandakan penyakit orang-orang yang hati mereka
sakit (bermasalah dengan Islam).’[1]
Husain bin Muhammad bin Hasan, salah seorang hakim
atau jaksa kota Mekah yang dikenal dengan julukan
Diyar Bakri (w. 960 H), menuliskan di dalam buku
sejarahnya, ‘Muslimin senantiasa merayakan bulan
kelahiran Nabi Muhammad Saw, mereka memberi makanan
kepada orang lain, dan malam harinya mereka
menyebarkan sedekah. Mereka mengungkapkan kegembiraan
dan bersikeras untuk beramal baik kepada orang-orang
fakir miskin. Mereka membacakan puisi-puisi ulang
tahun kelahiran Nabi Saw dan menyampaikan keutamaan
keutamaan beliau di setiap saat dari bulan itu.’[2]
Dua pernyataan historis dari abad ke-X H. ini
membuktikan bahwa peringatan hari kelahiran para wali
Allah Swt mempunyai latar belakang yang jauh sekali
dalam sejarah Islam, para ulama pun menyatakan
kebenaran perbuatan ini, dan pada hakikatnya perayaan
ini tiada lain adalah sebuah bentuk ungkapan cinta
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Saw.
Atas dasar itu, di sini kami juga akan menyinggung
dalil syar’i atas peringatan-peringatan semacam ini:
Ungkapan cinta dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad
Saw adalah salah satu prinsip agama Islam dan perintah
Al-Qur’an, tidak ada seorang pun yang dapat
mengingkari hal ini. Dan perayaan hari lahir beliau
Saw adalah pengejewantahan prinsip itu. Untuk itu,
kami cukup menyebutkan dua ayat tentang hal ini:
Yang pertama, Allah Swt berfirman:
Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak
kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian,
sanak keluarga kelian, harta kekayaan yang kalian
peroleh, perniagaan yang kalian khawatir merugi dan
tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai
dari Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-
Nya.’ Dan Allah tidak menghidayahi kaum yang fasik:[3]
Terang sekali ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan
terhadap Nabi Muhammad Saw merupakan kewajiban Ilahi
di sisi kecintaan terhadap Allah Swt. Meskipun
kecintaan ini merupakan pengantar untuk mengamalkan
syariat dan hukumhukumnya, namun pada saat yang sama
pengamalan syariat melintas di jalan cinta kepada Nabi
Muhammad Saw.
Ayat yang kedua, Allah Swt berfirman:
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memulia
kannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung.[4]
Ayat ini memerintahkan empat hal kepada orang-orang
muslim:
‘Beriman kepadanya’: beriman kepada Nabi Muhammad
Saw.
‘Memuliakannya’: memuliakan Nabi Muhammad Saw.
‘Menolongnya’: menolong Nabi Muhammad Saw dalam
kesusahan.
‘Mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya:’
mengikuti Al-Qur’an yang diutus bersama Nabi Muhammad
Saw.
Berdasarkan dua ayat di atas yang mewajibkan kecintaan
dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad Saw, maka kita
kembali menanyakan, bukankah perkumpulan Muslimin di
hari kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah pelaksanaan
nyata atas dua ayat tersebut? Tentu saja jawabannya
iya, dan siapa pun yang memperhatikan majelis-majelis
itu pasti mengakuinya sebagai bentuk ungkapan cinta,
penghormatan clan pemuliaan terhaclap Nabi Muhammad
Saw. Karena itu, perbuatan Muslimin ini mempunyai
clasar Al-Qur’an dan merupakan prinsip samawi. Dan
dengan demikian, tidak mungkin dikategorikan sebagai
bid’ah. Bid’ah adalah perbuatan baru yang tidak
mempunyai dasar Al-Qur’an sekaligus sunnah.
Di surat Al-Insyirah, Allah Swt berfirman:
Dan Kami tinggikan namamu.[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa peninggian nama Rasulullah
Saw termasuk nikmat Allah Swt kepada beliau. Salah
satu cara meninggikan nama beliau aclalah memperingati
hari lahir beliau dengan hal-hal menggembirakan yang
bukan tergolong dosa atau sia-sia.
Nabi Isa as menyebut hari turunnya Hidangan Samawi
sebagai hari raya dan berkata:
Ya Allah Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan
dari langit yang akan jadi hari raya bagi kami dan
bagi orang-orang yang bersama kami serta yang datang
sesudah kami, dan sebagai tanda dari-Mu. Dan berilah
kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi
rezeki.[6]
Kalau saja hari turunnya Hidangan Samawi, yang tidak
lebih dari sebuah kenikmatan terbatas dan cepat
lintas, patut dirayakan setiap tahun, kenapa hari
kelahiran Nabi Muhammad Saw atau hari pengutusan
beliau sebagai nabi (Bi’tsah) yang merupakan nikmat
besar Ilahi dan abadi tidak patut dirayakan?!
Maka dari itu, kapan saja, di hari atau malam apa
saja, di bulan atau tahun berapa pun Muslimin
mengadakan sebuah majelis yang mengingatkan keutamaan
Nabi Muhammad Saw, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an
tentang beliau, atau melantunkan puisi-puisi pujian
untuk beliau maka pada hakikatnya mereka sedang
melakukan firman Allah Swt untuk mencintai dan
memuliakan beliau. Jadi, mereka memandang spesial hari
kelahiran beliau karena keberadaan dan kelahiran
beliau itu sendiri merupakan nikmat yang besar, mereka
tidak merayakan hari itu bukan karena hari itu
ditentukan langsung oleh syariat, tapi mereka
merayakannya demi mensyukuri nikmat Allah Swt yang
sangat besar dan melaksanakan perintah-Nya untuk
meninggikan nama Nabi Muhammad Saw.
CATATAN :
[1] Al-Mawahib Al-Laduniyah, jld. 1, hal. 27.
[2] Tarikh AI-Khomis,jld. 1, hal. 323.
[3] QS. Al-Taubah [9]: 24
[4] QS. Al-A’raf [7]: 157
[5] QS. Al-Insyirah [94] : 4
[6] QS. Al-Ma’idah [5] : 114