Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat?
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- M Hebri Zen
- Sumber:
- hpiiran
Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”
Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi
saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala
hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw
pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan
pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu
Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah
aqidah yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar
Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan
didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan
mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww
pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan
melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang
tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu
ciri dari ghulu.[1]
Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah :
وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام
رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر،
وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو
نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.
Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari
Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as
bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah
saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam
keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww
bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah)
sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan
shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul
saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah
rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang
mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu
terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi
saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina
karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau
lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa
telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]
Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan
antara sahw (lupa) denganIsha (Melupakan-butuh objek),
karena kalau sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang
yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang
terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian
tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’)
nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh
lalai atau pengaruh syaetan karena إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ
(Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-
orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-
orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3] dan nabi
tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis
sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa
kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww
pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan
risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi
kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai,
tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi
karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain
hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang
musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu,
tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan
mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh
kepada ummat.
Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra
Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq
mengenai isha’ nabi sawwtsubutan (alam kemungkinan)
bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak
sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha’ karena bertolak
belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi
secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam
risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan
bahwa isha’ pun tidak mungkin terjadi, yang mana
Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah
hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi
permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa
hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama
dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi
saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam
shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan
juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah
kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah
Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau
terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang
sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli
itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.
Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan
Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya,
sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh
Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya
yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi
Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada
keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau
yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi
maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh
sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam
riwayat man la yahdhuruhu alfaqih tidak bisa dijadikan
pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat
tersebut.
Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra
Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang
dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal
tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-
Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam
kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka
kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu
dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn
Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât
menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam
fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6] Walapun sebenarnya
hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud
sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak
jumlahnya.
Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh
didalam Al-kafi sebagai berikut:
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ
اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا
صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …
Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww
pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena
lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-
Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada
yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab :
memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata
sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian
Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah
kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka
berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan
shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ
اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ
يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …
Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as
bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua
rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai
rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam
shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?,
mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul
saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain,
yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata
betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan
menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat,
kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah
yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]
Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa
lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan
sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam
didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad
sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak
ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang
dengan riwayat sahih lainnya.
Ta’arudh Hadits
Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai
kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada
nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan
banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam
tahdzib:
عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-
سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا
ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ
Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn
Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn
Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far
as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua
sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as
menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih
(orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.
Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana
berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak
sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa
kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang
sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami
menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku
didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari
sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi
pernah lupa) [9]
Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah
imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan
hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena
riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa
dan melakukan sujud sahwi, adapun mengenai sifat nabi
saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui
khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi
bertanya kepadadzulyadain atau lainnya mengenai
sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya.
Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih
semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :
عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من
مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين
جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک
و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن
الله قلبه للايمان …
Dari “beberapa sahabat kami” dari Ahmad ibn Muhammad
dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata :
ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya
sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda :
jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya,
kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh
petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah
menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh
lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan
tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula
lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin
(kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw
(lupa), hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah
terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut
kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau
mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan
keimanan…[10]
Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min
ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar
ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn
Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah,
Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn
Muhammad Albarqi.[11]
Isi dari hadits tersebut secara jelas menerangkan
bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari
lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak
mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).
Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang
menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya
atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa
sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.
Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi
pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak
pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita
menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan
keluarnya?
Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang
saling bertolak belakang)
Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya
dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari
minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau
sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah,
sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad
sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak
belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab
itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya
hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita
melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi
dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan
mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.
Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara
isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh,
atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-
Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua
al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi
baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya
adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang
mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara
dua kubu riwayat (dalil) diatas.
Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara
dua dalil tersebut ada yangmustaqir ada yang ghair
mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh
alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-
dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl
al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk
dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu
dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang
sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir
tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara
mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya.
Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan
cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf
bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah
satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang
dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang
khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi
kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah
lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua
kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara
al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas
masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang
harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah
ta’arudh mustaqir?
Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau
mengalami ta’arudh mustaqirmaka yang terjadi adalah
tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil
tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra
bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan
tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut
kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut
diantaranya:
إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما
في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.
Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua
hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya
pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan
kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka
tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam
kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits
(mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka
tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]
Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran,
sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan
ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil
makna ithlaq dari makna maksum yang meliputi juga
maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat
tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya
dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita
merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada
hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan
bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah
lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab
Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat
yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat
yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan
riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat
dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang
bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa
nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.
Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh
Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak
termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang
menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi
saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi
tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram
didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul
saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari
ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama
syiah sekalipun.
CATATAN :
[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-
1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet.
Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23,
Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli,
hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal
236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man
takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man
takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2,
hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-
Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab
al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-
tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah
ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi,
1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah
ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi,
1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl,
al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr
Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail
jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits
ke-29