Syiah di bawah naungan Imam Ali Ar-Ridha as

Dalam masa Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as ini madrasah

Ahlul Bait mengalami pertumbuhan yang sangat pesat,

bahkan keimamahan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as sangat

kuat sehingga memiliki pengaruh politik yang sangat

kuat.

Berlawanan dengan keadaan Imam Musa Al-Kazhim as yang

memulai keimamahannya dengan sembunyi-sembunyi, Imam

Ali bin Musa Ar-Ridha as mengumumkan keimama­hannya di

depan khalayak ramai meskipun situasi sedang mencekam

dan iklim politik penuh dengan konspirasi. Bahkan,

sebelumnya Imam Musa Al-Kazhim as telah mendapatkan

kesyahidannya di penjara yang gelap, yang kemudian

diikuti dengan pembunuhan secara besar-besaran

terhadap orang-orang Baramikah.

Sebagian orang telah memperingatkan Imam Ali bin Musa

Ar-Ridha as untuk tidak mengumumkan keimamahannya,

mereka berkata, “Sesungguhnya pedang Ar-Rasyid masih

berlumuran darah.

Akan tetapi, Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as menantang

hal itu seraya mengatakan, “Sesungguhnya Ar-Rasyid

tidak akan mampu melakukan hal itu terhadapku. Bahkan,

lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa jika Ar-Rasyid

dapat mencelakakan satu rambut saja darinya, maka dia

bukanlah imam.

Keimamahan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as ini berlang­

sung sampai dua puluh tahun, yang dapat kita bagi

dalam dua bagian:

Pertama, dari awal imamah hingga tahun 183-201 H.

Yakni, mulai keimamahan sampai kepergiannya ke

Khurasan.

Dalam masa ini, kita saksikan perhatian Imam Ali bin

Musa Ar-Ridha as yang besar akan pusat-pusat Syi’ah

dan berhubungan secara langsung dengan mereka, di

antaranya gerakan­gerakan kaum Alawiyyin Misalnya,

pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Ibrahim,

yang dikenal dengan “Thabathaba” di Kufah.

Pemberontakan ini hampir saja berhasil meruntuhkan

pemer­intahan Abbasiah; Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as

termasuk penyokong utama pemberontakan ini.

Adapun dalam bidang keilmuan, kita dapat menyaksikan

perdebatannya dengan tokoh-tokoh aliran dan mazhab,

bahkan agama- agama, Dalam perdebatan itu, tampaklah

keunggulan keilmuan Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as. Hal

ini telah membantu eksistensi Islam, khususnya mazhab

Ahlul Bait.

Kedua, dari tahun 201-203 H, yakni tahun kesyahidan

Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as.

Al-Ma’mun, yang telah naik takhta menjadi khalifah di

atas jasad saudaranya, Al-Amin, (Al-Ma’mun

membunuhnya) setelah melalui peperangan yang

menghancurkan, (dan) mengetahui bahwa jalan satu-

satunya untuk menyelamatkan pemerintahan Abbasiah

adalah berpura-pura mengadakan perdamaian dengan kaum

Alawiyyin, khususnya Imam Ali Ar­Ridha as yang

memperoleh dukungan dari kalangan luas.

Oleh karena itu, Al-Ma’mun memanggil Imam Ali Ar-Ridha

as dari Al-Madinah Al-Munawwarah tempat tinggalnya

untuk menghadap di Marw, Ibu kota pemerintahan Al-

Ma’mun saat itu.

Tujuan-tujuan Al-Ma’mun memanggil Imam Ali Ar-Ridha as

adalah sebagai berikut:

    Mendapatkan pengesahan atas pemeritahannya. Sebab,

pemeritahan Al-Ma’mun tidak mendapat dukungan yang

luas, baik dari kalangan Bani Abbas (Abbasiah) sendiri

maupun Syi’ah.
    Menghentikan pemberontakan-pemberontakan yang

dilakukan oleh kaum Alawiyyin.
    Memberikan citra yang buruk dan pencemaran nama

baik terhadap Imam Ali Ar-Ridha as dan Ahli Baitnya.
    Meletakkan Imam Ali Ar-Ridha as dalam pengawasan

yang ketat. Imam Ali Ar-Ridha as sangat menyadari

maksud dan tujuan Al-Ma’mun itu. Pada mulanya, Imam

Ali Ar-Ridha as menolak permintaan Al-Ma’mun untuk

menjadi putra mahkotanya. Akan tetapi, Al-Ma’mun terns

menekan dan mengancamnya sehingga dengan terpaksa

akhirnya Imam Ali Ar-Ridha as menerimanya.

Meskipun demikian, Imam Ali Ar-Ridha as telah mengga­

galkan rencana-rencana Al-Ma’mun itu melalui hal-hal

berikut ini:

Pertama, Imam Ali Ar-Ridha as menolak jabatan putra

mahkota kecuali setelah diancam akan dibunuh yang

menjadikan dirinya dalam keadaan terpaksa menerima

jabatan itu, yang diketahui oleh masyarakat luas.

Kedua, Imam Ali Ar-Ridha as menerima jabatan putra

mahkota dengan beberapa syarat yang dia ajukan, di

antaranya dia tidak akan campur tangan dalam perkara

politik pemerin­tahan apa pun, seperti pengangkatan

dan pencopotan para pejabat pemerintahan. Syarat yang

diajukan oleh Imam Ali Ar­Ridha as ini telah

menjauhkan dirinya dari pencemaran nama baiknya.

Akhirnya, Al-Ma’mun menyadari bahwa rencana tersebut

telah mengalami kegagalan. Sebab, Imam Ali Ar-Ridha as

tetap menjadi simbol bagi kaum Mukmin dan sumber

harapan bagi kaum Muslim. Maka, Al-Ma’mun meracuni

Imam Ali Ar­Ridha as ketika sedang dalam perjalanan

pulang ke Bagdad.