Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengenang Sayyidah Zainab, Zain Abiha, Cucu Rasulullah Saw

1 Pendapat 05.0 / 5

Junjungan semesta alam-Kekasih Allah-Rasulullah Muhammad bin Abdullah saw. Bersabda,

“Saya berpesan kepada yang hadir maupun yang tidak untuk menghormati wanita ini. Karena ia seperti Khadijah (al)-Kubra.”(i)

 

Kelahiran dan Nama Sayyidah Zainab binti ‘Ali bin Abi Thalib (s.a)

Sayyidah Zainab lahir pada tanggal lima Jumadil Awal tahun lima atau enam Hijriah.(ii) Berdasarkan hasil kajian, Sayyidah Zainab adalah anak perempuan pertama Sayyidah Fathimah Zahra as.(iii) Ada juga yang mengatakan bahwa Sayyidah Zainab lahir empat tahun sebelum Rasulullah saw. wafat. (iv)

Ketika Sayyidah Zainab lahir, Sayyidah Fathimah Zahra as. Berkata kepada Amirul Mukminin as., “Karena ayahku tengah bepergian, tolong beri nama bagi anak ini. “Imam Ali as. Menjawab, “Aku tidak mau mendahului ayahmu.”

Setelah tiga hari berlalu, Rasulullah saw. pulang dari perjalanan. Sebagaimana biasa, pertama Rasulullah saw. datang ke rumah Sayyidah Fathimah Zahra as. Kemudian beliau berkata, “Anak-anak Fathimah adalah anak-anakmu.” (v)

Rasulullah saw. untuk memberi nama menunggu wahyu. Kemudian Jibril turun dan berkata, “Allah menyampaikan salam untukmu, dan dia berfirman, ‘Beri anak ini nama Zainab, sebagaimana yang telah Kami tulis di Lauh Mahfuz.”

Kemudian Rasulullah saw. mencium Sayyidah Zainab dan berkata, “Aku berpesan kepada umatku, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, untuk menghormati anak perempuan ini. Karena dia sebanding dengan Khadijah Kubra.” (vi)

Kemudian Rasulullah saw. mendekap Sayyidah Zainab di dadanya dan meletakkan wajahnya yang mulia di wajahnya. Tiba-tiba Rasulullah saw. menangis. Begitu banyak air mata yang mengalir hingga membasahi janggutnya. Sayyidah Fathimah as. bertanya, “Duhai ayah, mengapa engkau menangis?”

Rasulullah saw. bersabda, “Setelah kepergianku, anak ini akan mendapat musibah yang bermacam-macam.”

Mendengar itu, Sayyidah Fathimah as. pun menangis.

Berkaitan dengan akar kata nama Sayyidah Zainab sa terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan nama beliau hanya terdiri dari satu suku kata yang berarti nama salah satu pohon yang cantik dan harum baunya, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur. Kelompok lain berpendapat nama beliau terdiri dari dua suku kata yaitu Zain dan Abun yang berarti ‘perhiasan ayah’. Sebagaimana ibunya, Sayyidah Fathimah Zahra, memiliki gelar Ummu Abiiha (ibu ayahnya) yang mengisyaratkan hubungan yang amat dekat antara seorang anak perempuan dengan ayahnya, Sayyidah Zainab as juga memiliki gelar Zain Abiiha (hiasan ayahnya). Untuk mempersingkat nama atau karena telah sering digunakan maka alifnya dibuang dan menjadi ‘Zainab’.(vii) Yang pasti, baik nama Sayyidah Zainab hanya terdiri dari satu suku kata ataupun dua suku kata, kedua-duanya mengisyaratkan arti dan makna yang sangat tinggi dan indah.

 

Masa Kanak-Kanak

Hanya sebentar Sayyidah Zainab al-Kubro dapat merasakan kasih sayang kakeknya. Rasulullah saw. wafat di saat beliau berusia lima tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab sa masih kanak-kanak, beliau bermimpi buruk. Lantas beliau menceritakan mimpi tersebut kepada kakeknya seraya berkata: “Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke sana dan ke mari. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun angin kencang telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu akupun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat, sampai akhirnya aku terbangun”. Rasulullah saw. menangis setelah mendengarkan cerita beliau dan berkata: “Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon besar tersebut ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambang duka cita atas musibah yang menimpa mereka”. (viii)

Sayyidah Zainab di masa kanak-kanaknya sangat dekat dan sayang kepada saudara laki-lakinya Imam Husain as., hingga ia tidak akan tenang kecuali berada dalam pelukan saudaranya. (ix) Jika ia tengah berada dekat Imam Husain as., ia tidak mau jauh darinya, dan jika Imam Husain as., jauh, ia akan menangis. (x)

Suatu hari, Sayyidah Fathimah as., berkata kepada Rasulullah saw., “Hai ayah, antara Zainab dan Husain demikian saling menyayangi. Hingga jika ia tidak melihat Husain as., sebentar saja, ia terlihat tidak tenang”.

Manakala Rasulullah saw., mendengar kata-kata ini, beliau menarik napas dalam-dalam sementara air mata mengalir dipipinya, kemudian beliau bersabda, “Duhai belahan jiwaku, anak perempuan kecil ini akan mendapat berbagai macam ujian dan cobaan.” (xi)

 

Pernikahan dan Keluarga Sayyidah Zainab (sa)

Ketika beliau telah mencapai usia pernikahan, banyak sekali orang yang datang menemui Imam Ali as untuk menyuntingnya. Namun Abdullah bin Jakfar lah yang beruntung dan paling cocok dari yang lainnya. (xii) Abdullah bin Jakfar adalah putra dari Jakfar bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Mu’tah dan mendapat gelar ‘dzul jinahain’ yang berarti memiliki dua sayap. Gelar ini diberikan kepada beliau karena kedua tangan beliau putus disabet pedang musuh dalam peperangan untuk mempertahankan bendera yang ada ditangannya.

 

Keutamaan Sayyidah Zainab sa

1.  Aqilah Bani Hasyim

Salah satu gelar termansyur beliau ialah ‘Aqilah’. Abul Faraj Ishfahani dalam karyanya ‘Muqotil at-Tholibin’, ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah bin Jakfar berkata: “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah. Ibnu Abbas meriwayatkan khutbah Fadak Fathimah Zahra darinya seraya berkata: “Aqiilah kami Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami ....”. Berkaitan dengan kata ‘Aqiilah’ terdapat beberapa pendapat. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya. Begitu juga pendapat Ibnu Zakaria dalam ‘Mujmal Luhgoh’. Pendapat ini merupakan pandangan beberapa sarjana bahasa. Namun sebenarnya dapat kita katakan bahwa ‘Aqiilah’ adalah shighoh mubalaghah (bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat) dan memiliki akar kata ‘aqal’, yang artinya sangat berakal atau dengan kata lain kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar. (xiii)

Gelar terhormat yang dimiliki pribadi agung seperti Sayyidah Zainab sa ini dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Sayyidah Fathimah Zahra as. Bagaimana tidak, khutbah beliau yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Sayyidah Zainab as., khutbah Fadak berisi pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi saww, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Quhafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi saw., dan lain sebagainya. (xiv) Padahal, ketika Sayyidah Fathimah Zahra as menyampaikan khutbahnya, Sayyidah Zainab as kala itu baru berusia lima tahun.

Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab sa dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab sa yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali kw menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah swt sementara kasih sayang untuk kita”.

Riwayat ini mengisyaratkan bahwa hati Sayyidah Zainab sa telah dipenuhi oleh cinta pada Allah swt sejak usia sangat dini. Sebagaimana doa dari Imam ‘Ali bin Husain as-Sajjad sa (Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin):

Allahumma inni as’aluka an tamla’a qalbii hubban laka,

Ya Allah aku bermohon pada-Mu Agar Kau penuhi kalbuku dengan cinta pada-Mu

Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali kw mendudukan putrinya Zainab sa dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab as diam tidak menjawabnya. Lalu Iman Ali as mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab sa menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali kw memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab sa. Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan Tuhan itu dua.

Penafsiran irfani (tashawwuf) tentang hal ini barangkali adalah Sayyidah Zainab sa telah tenggelam dalam Tauhid (Ketunggalan Tuhan) sejak usia sangat dini. Dalam pandangan wahdah al wujud (Ketunggalan Keberadaan atau Ketunggalan Wujud), yang memiliki keberadaan hakiki hanyalah Ia, sedangkan semua selainNya sirna dalam Cahaya KetunggalanNya.

Berikut adalah Penggalan dari Doa Imam Husain bin ‘Ali sa kakak dari Sayyidah Zainab binti ‘Ali sa di Padang ‘Arafah yang diriwatkan Sayyid Ibn Thawus ra

    Wa antal ladzi ta’arrafta ilayya fii kulli syai’in fa roaituka zhaahiran fii kulli syai’in,
    Wa antazh zhaahiru li kulli syai’ Yaa man istawaa bi rahmaniyyatihi, Fa shoorol ‘arsyu ghoiban fii dzaatihi,
    Mahaqtal aatsaar bil aatsaar, Wa mahautal aghyaar bi muhiithooti aflaakil anwaar,
    Yaa man ihtajaba fii suroodiqooti ‘arsyihi ‘an an tudrikahul abshoor,
    Yaa man tajalla bi kamali bahaa ‘ihi’; Fatahaqqat azhamatuhul minal istiwaa’,
    Kaifa takhfa waantazh zhoohiru Am kaifa taghiibu wa antar raqiibul haadhir
    Innaka ‘ala kulli syai’in qodiir Walhamdulillahi wahdah;


****

    Dan Engkau lah Yang Mengenalkan Dirimu padaku dalam segala sesuatu, Maka aku melihatMu Tampak dalam segala sesuatu,
    Dan Engkau (Maha) Tampak bagi segala sesuatu, Wahai Yang Bersemayam dengan Ke MahakasihanNya, Maka Arsyi tenggelam dalam ZatNya
    Kau hilangkan jejak-jejak (eksistensi) dengan jejak-jejak (eksistensi); Dan Kau Hapuskan semua yang lain (selainMu) dengan liputan horizon Cahaya-Cahaya;
    Wahai Ia yang Menyembunyikan Diri di baliknya ‘ArsyiNya sehingga tidak tersentuh oleh segala pandangan,
    Wahai yang bertajalli dengan Kesempurnaan KeindahanNya Sehingga KeagunganNya menjadi nyata dari seluruh persemayaman,
    Bagaimana mungkin Engkau tersembunyi sedangkan Engkau (Maha) Tampak? Atau bagaimana mungkin Engkau gaib sedangkan Engkau yang Maha Mengawasi dan (Maha) Hadir?
    Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu Dan segala puji bagi Allah semata.


2. Berilmu Tanpa Ada yang Mengajari (‘Aalimah Ghair Muta’allimah)

Imam Ali Zainal Abidin sa berkata:

“Wahai bibiku ... dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajari dan memahami (sesuatu permasalahan, pent.) tanpa ada yang memahamkannya (menerangkannya, pent).” Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah saw., yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah swt pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”. (xv)

Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab sa bersama keluarganya tinggal di Kufah di masa pemerintahan Imam Ali as., para lelaki penduduk Kufah mendatangi Iman Ali as dan memohon kepada beliau supaya putrinya, Sayyidah Zainab sa, mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Iman Ali as, menerima permohonan tersebut dan Sayyidah Zainab sa pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau. Pada suatu hari Iman Ali as mendengar Sayyidah Zainab sa mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatta’ah (yang terpotong-potong) dari al-Qur’an. Khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf “Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad”. Seusai mengajar, Imam Ali as mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu Husain di padang Karbala?” Setelah itu lantas Imam Ali as menjelaskan secara terperinci kepada beliau tentang tragedi Asyura yang akan menimpanya. (xvi)

3.  Kekasih Allah (Waliyatullah)

Kendati beliau harus kehilangan kakak yang amat dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Sayyidah Zainab sa berkata: “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu”.

Ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Sayyidah Zainab sa masih sempat berkata: “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini) melainkan sesuatu yang indah”. (xvii) Kesyahidan Imam Husain as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Illahi yang selalu sesuai dengan hikmah Illahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi.

Setelah kesyahidan Imam Husain as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan: “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami”. (xviii)

Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Sayyidah Zainab sa dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Illahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridho dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyatullah). Demikian dahsyatnya kesabaran Sayyidah Zainab sa, sehingga layak bagi Beliau untuk disebut jabar ash-shabr (gunung kesabaran).

4.  Banyak Beribadah (‘Abiidah)

Sayyidah Zainab seorang ahli ibadah. Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Pada malam Asyura bahkan pada malam kesebelas, ia tetap mengerjakan salat malam di samping kemahnya yang setengah terbakar. (xix)

Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab sa., Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”. (xx)

Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab sa berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.

5.  Orator Ulung (kata-katanya sangat indah dan sesuai dengan kondisi audiens)

Basyir bin Khuzaim Al-Asai berkata (xxi): “Aku melihat Zainab binti Ali as saat itu. Tak pernah kusaksikan seorang tawanan yang lebih piawai darinya dalam berbicara. Seakan-akan semua kata-katanya ke luar dari mulut Amirul Mukminin Ali as. Beliau memberi isyarat agar semuanya diam. Nafas-nafas bergetar. Suasana menjadi hening seketika. Beliau mulai berbicara:

“segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas kakekku Rasulullah Muhamamd saw dan keluarganya yang suci dan mulia.

Amma ba’du. Wahai penduduk Kufah! Wahai para pendusta dan licik. Untuk apa kalian menangis? Air mata ini tak akan berhenti mengalir. Tangisan tak akan cukup sampai disini. Kalian ibarat wanita yang mengurai benang yang sudah dipintalnya dengan kuat hingga bercerai-berai kembali. Sumpah dan janji setia kalian hanyalah sebuah makar dan tipu daya.

Ketahuilah, wahai penduduk Kufah! Yang kalian memiliki hanya omong kosong, cela dan kebencian. Kalian hanya tampak perkasa di depan wanita tapi lemah dihadapan lawan. Kaliah lebih mirip dengan rumput yang tumbuh diselokan yang berbau busuk atau perak yang terpendam. Alangkah kejinya perbuatan kalian yang telah membuat Allah murka. Di neraka kelak kalian akan tinggal untuk selama-lamanya.

Untuk Apa kini kalian menangis tersengguk-sengguk? Ya, Demi Allah, banyaklah menangis dan sedikitlah ketawa, sebab kalian telah mencoreng diri kalian sendiri dengan aib dan cela yang tidak dapat dihapuskan selamanya. Bagaimana mungkin kalian dapat menghapuskannya sedangkan orang yang kalian bunuh adalah cucu  penghulu para nabi, poros risalah, penghulu pemuda surga, tempat bergantungnya orang-orang baik, pengayom mereka yang tertimpa musibah, menara hujjah dan pusat sunnah bagi kalian.

Ketahuilah, bahwa dosa kalian adalah dosa yang sangat besar. Terkutuklah kalian! Semua usaha jadi sia-sia, tangan-tangan jadi celaka, dan  jual beli membawa kerugian. Murka Allah telah Dia turunkan atas kalian. Kini hanya kehinaanlah yang selalu menyertai kalian.

Celakalah kalian wahai penduduk Kufah! Tahukah kalian, bahwa kalian telah melukai hati Rasulullah? Putri-putri Beliau kalian gelandangkan dan pertontonkan di depan khalayak ramai? Darah beliau telah kalian tumpahkan? Kehormatan Beliau kalian injak-injak? Apa yang telah kalian lakukan adalah kejahatan yang paling buruk dalam sejarah yang disaksikan oleh semua orang dan tak akan pernah hilang dari ingatan.

Mengapa kalian mesti keheranan menyaksikan langit yang meneteskan darah? Sungguh azab Allah  di Akhirat kelak sangat pedih. Di sana kalian tidak akan tertolong. Jangan kalian anggap remeh waktu yang telah Allah ulurkan ini. Sebab masa itu pasti akan datang dan pembalasan  Allah tidak Akan meleset. Tuhan kalian menyaksikan semua yang kalian lakukan.”

Perawi berkata : Demi Allah, aku melihat orang-orang tertegun dan larut dalam tangisan.Tangan-tangan mereka berada di mulut mereka. Aku melihat seorang lelaki tua berdiri disampingku sambil menangis hingga janggutnya basah. Ia berkata , “Demi ayah dan ibuku,kalian adalah sebaik-baik manusia. Keturunan kalian adalah sebaik-baik keturunan. Tak ada cela dan aib pada kalian.”

Perawi berkata: (xxii) “Ibnu Ziyad duduk di atas singgasanannya di istananya yang megah. Sesuai dengan perintahnya, izin masuk ke istana untuk menghadiri pertemuan yang ia adakan diberikan untuk umum. Kepala suci Al-Husain as di bawa kehadapannya bersama dengan para wanita keluarga Al-Husain as dan anak-anaknya.

Zainab binti Ali as duduk dengan wajah yang sulit dikenali. Ibnu Ziyad bertanya, "Siapakah dia?" Terdengar jawaban ,”Dia Zainab binti Ali.”

Ibnu Ziyad berpaling kepadanya dan berkata, ”Puji syukur kapada Allah yang telah mempermalukan kalian dan membuka kedok kebohongan kalian."

Zainab menjawab , ”Yang sebenarnya dipermalukan adalah orang fasik dan yang mempunyai kebohongan adalah para pendosa, bukan kami,”

Ibnu Ziyad menyahut, ”Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah Allah lakukan terhadap saudara dan keluargamu?”

“Aku tidak melihat ketentuan Allah kecuali Indah. Mereka adalah sekelompok orang yang telah di taqdirkan oleh Allah untuk mati terbunuh. Mereka pun bergegas menuju kematian itu. Allah kelak akan mempertemukanmu dengan mereka. Kelak kau akan dihujani pertannyaan dan disudutkan. Lihatlah, siapa pemenang hari itu! Semoga ibumu memakimu, hai anak Marjanah!”

Perawi berkata: Ibnu Ziyad marah bukan kepalang. Hampir saja ia mengambil keputusan membunuh Zainab.

'Amr bin Huraits segera menegurnya “Tuan dia hanya seorang. Seorang wanita Tidak akan dihukum karena kata-katanya.

 

 

Kepedihan-Kepedihan Sayyidah Zainab sa

Musibah yang datang menimpa hamba-hamba pilihan Allah. Ada riwayat mengatakan “Musibah diperuntukkan bagi para kekasih Allah." Sehingga dapat dikatakan, tiada musibah yang menimpa kaum pria seperti musibah yang menimpa Imam Husain as. Dan tiada musibah yang menimpa kaum wanita seperti musibah yang menimpa Sayyidah Zainab. Rasulullah saw. bersabda, ”Siapa saja yang menangisi musibah yang menimpa anak gadis ini (Zainab), maka ia seperti orang yang menangisi musibah yang menimpa dua orang saudaranya (Hasan dan Husain). (xxiii)

Perawi berkata: (xxiv) Demi Allah, aku masih ingat bagaimana Zainab bin Ali meratapi Al-Husain as dan menjerit dengan suara parau dan hati yang hancur.

“Oh Muhammad! Salam sejahtera dari Tuhan penguasa langit untukmu. Lihatlah!  Ini Husainmu tengah terbujur kaku di alam terbuka dengan tubuh bersimbah darah. Badannya terpotong-potong.

Oh sungguh malang! kini putri-putrimu menjadi tawanan musuh Allah. Hanya kepada Allah dan RasulNya, Muhammad Mustafa, Ali Murthada, Fatimah Zahra, dan Hamzah Sayyidusy Syuhada, kuadukan penderitaan ini.

Wahai Muhammad! Ini Husainmu, terbaring di alam terbuka, menjadi sasaran terpaan angin timur. Inilah korban kebiadaban anak-anak sundal.

Oh malangnya! Betapa beratnya penderitaan yang kau alami, Wahai Abu Abdillah. Hari ini adalah hari kematian kakekku Rasullulah saw.

Dua Putra Sayyidah Zainab syahid di karbala, sehingga ia dapat merasakan kepedihan yang dirasakan para syuhada karbala dan saudra tercintanya Husain as.

Dalam rombongan tawanan, Zainab bertindak sebagai penanggung jawab rombongan. Dia berusaha sedapat mungkin menyediakan segala kebutuhan kaum wanita dan anak-anak.

Sayyidah Zainab menghibur mereka dalam setiap kesulitan, seperti kelaparan, kehausan dan mengalami tindakan pemukulan.

Di Kufah, para tawanaan dimasukkan ke dalam penjara sementara di Syam, mereka ditempatkan di sebuah bangunan tanpa atap. (xxv) Begitu juga bukan sesuatu yang mudah baginya harus menanggung kedinginan, kepanasan, dan kematian Ruqayah.

Masih banyak musibah yang ditimpa Sayyidah Zainab sa yang tidak bisa dibicarakan di sini.

Mari kita akhiri renungan singkat tentang Sayyidah Zainab sa - cucu Rasulullah saw dengan puisi berikut ini.

 

Elegi Kemuliaan dan Keagungan Zainab (xxvi)

Siapakah penyampai pesan-pesan Qur'an? Siapa sang pelindung Anak-anak?
Zainab, Putri Ali
Siapakah yang termulia dari semua?
Zainab, Putri Ali
Cahaya Ali, Zainab yang setia
Zainab yang bertaqwa
Berani, sabar, Zainab adalah cahaya Mustaha
Teman dan amat penolong, ”Ratu" Karbala, Zainab
Siapakah cahaya murni Tuhan? Siapakah pelindung anak-anak yatim?
Zainab, Putri Ali.
Jangan sebut ia wanita, ia di atas seorang pria, ia lebih beriman ketimbang pria
Jangan sebut ia wanita, tiada yang lebih berani ketimbang Zainab
Jangan sebut ia wanita tiada yang lebih berilmu ketimbang Zainab.
Dalam keberanian dan kearifan teramat mirip dengan Haidar (Ali)
Siapakah ia yang 'alim lagi bertaqwa, pelindung para wanita?
Zainab, Putri Ali
Ia goncangkan Kufah dengan khotbah Qur'ani
Dengan kesabarannya, Ia runtuhkan kerajaan para tiran
Musuh-musuhnya gemetar di hadapannya
Ia tegaskan Sunnah Nabi-yang menghunjam dalam ketaqwaannya
Melalui darah para kurban dari keluarganya
Siapakah sang Pahlawan waktu? Siapakah Bulan nan bersinar benderang?
Zainab, Putri Ali
Nabi mengajarkannya pelajaran dalam taqwa dan mengenali keberadaan Tuhan
Dari Ayahnya ia warisi watak penuh pengorbanan
Dari Hasan ia belajar Kesetiaan dan kesabaran
Sehingga ia mampu melindungi kemuliaan keluarganya
Siapakah pelindung anak yatim? Siapakah cahaya murni dari Tuhan?
Zainab, Putri Ali
Pujian baginya atas kesetiaan pada Husain
Atas kasih sayangnya, ia bak ibunda bagi anak-anak Husain
Kesabarannya memperoleh pujian dari musuh-musuhnya
Siapakah yang terbaik dari semua? Siapakah yang bersinar terang?
Zainab, Putri Ali
Tiada ibu yang memberikan kelahiran pada seseorang yang bicaranya seindah Zainab
Ia Hafal Qur'an pada usia sangat muda
Pengetahuan agamanya mempertahankan Sunnah Nabi
Wahai kalian, para tiran, kalian lakukan demikian banyak kezaliman padanya
Siapakah ia kekasih Tuhan?
Siapakah sumber terpercaya ilmu  bagi para wanita lain?
Zainab, Putri Ali
Dia dikenal setiap orang dan dihormati semua
Nama sucinya adalah Zainab, adalah perhiasan, Sang Permata Surga
Dia adalah Putri Zahra, pembela kaum wanita
Tiada kata mampu mengungkapkan keutamaannya
Siapakah cahaya murni Tuhan? Siapakah pelindung anak-anak?
Zainab, Putri Ali

 

Catatan

i. Al-Khashaish az-Zainabiyyah,hal.17
ii. Allamah Naqdi, Zainab al-Kubra, hal.33 Menurut pandangan penulis yang lebih mendekati kebenaran adalah tahun keenam Hijriah.
iii. Ibnu Abil-Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, juz.9, hal.242; al-Mar’ah al-‘Azhimah, hal 41
iv. As-Sayyidah Zainab al-Kubra, hal.28
v. Al-Hawi li al-Fatawa, juz.2, hal31
vi.  Al-khashaish az-Zainabiyyah, hal.17
vii. Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia, hal: 56.
viii. Muhammad Kazim Qazwani, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:40-41.
ix.  Zainab al-Kubra, hal 115
x. Rayyahinusy-Syari’ah, juz. 3,hal.41
xi.  Al-khashaish az-Zainabiyyah,hal.19 ;sahab-e Rahmat,hal. 833
xii. DR. Aisyah Binti Syathii, Saiyidah Zainab, Srikandi Karbala, hal 44.
xiii. Muhammad Kazim Qazwani, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi persia, hal:33-34.
xiv. Muhammad Kazim Qazwani, Fathimah az-Zahro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:427.
xv. Muhammad Rey Syahri, MuntakhabMizan al-Hikmah, bab ilmu, hal:404.
xvi. Muhammad Kazim Qazwani, Zainab al-Kubro Minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:47.
xvii. Muhammad Kazim Qazwani, Zainab al-Kubro Minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:306.
xviii. Ali Nadzari Munfarid, Qisheye Karbalo, hal:410
xix. Zainab al-Kubro, hal. 81
xx. Muhammad Kazim Qazwani, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:189,318-319.
xxi. Sayyid Ibnu Thawus (589 H)Tragedi Pembantaian Keluarga Suci Nabi (SAW), hal 133-135.
xxii. Sayyid Ibnu Thawus (589 H)Tragedi Pembantaian Keluarga Suci Nabi(SAW), hal 143-144.
xxiii. Zainab al-Kubra, hal. 32
xxiv. Sayyid Ibnu Thawus (589 H) Tragedi Pembantaian Keluarga Suci Nabi (SAW), hal 122.
xxv. Maqtal Muqarram, hal. 360
xxvi. The Women of Karbala (edited by Kamran Scot Aghaie), hal 108-110.