Berakidah dan berkeyakinan

Antara orang yang memiliki keyakinan akan adanya Tuhan dan orang yang tidak memiliki keyakinan akan adanya Tuhan, dalam kehidupan mereka sehari-hari sangatlah berbeda sekali. Kalau kita tengok kehidupan orang-orang yang tidak memiliki keyakinan akan adanya Tuhan, orang yang tidak memeprcayai akan adanya nabi dan tidak percaya pula dengan hari Kebangkitan, maka kehidupan mereka akan terasa sangat hampa dan tidak bermakna sama sekali. Mereka dalam kehidupannya hanya sekedar mencari kesenangan-kesenangan semu belaka. Dari pagi sampai sore mereka bekerja dengan sungguh-sungguh hanya supaya mendapat sesuap nasi, lalu mereka beristirahat dan tidur. Untuk ke esokan harinya mereka bekerja dari pagi sampai sore …. pekerjaan dan rutinitas ini mereka ulang- ulang sampai pada akhirnya mereka tua dan tidak dapat bekerja lagi.

Kalau memang tujuan dari kehidupan dan penciptaan ini hanyalah sekedar untuk makan dan minum serta mengumbar syahwat belaka, mengapa kita harus bersusah payah dengan bekerja siang dan malam? Mengapa kita harus merepotkan diri kita sendiri dengan bekerja siang dan malam dengan tanpa mengenal rasa capek dan tidak mengenal kata lelah? Terkadang kita sudah bekerja siang dan malam, namun kita tidak mendapatkan imbalan yang sesuai dengan jerih payah yang telah kita keluarkan, belum ditambah dengan masalah sehari-hari, dan berpuluh-puluh masalah lainnya sehingga terkadang ketika seseorang jika sudah tidak mendapatkan jalan keluar lagi, karena tidak mempercayai akan adanya Tuhan dan hari Kebangkitan, maka dikarenakan tidak mau menanggung dan mengemban masalah yang berat semacam ini, akhirnya orang tersebut mengambil jalan pintas yaitu dengan mengakhiri kehidupannya dan lebih memilih tergantung di atas tali dan jadi tontonan orang banyak. Kalaupun jika tidak mengakhiri hidupnya, ia mengalami depresi yang membuat kehidupannya jadi tidak berarti.

Namun berbeda halnya dengan orang yang memiliki keyakinan akan adanya Tuhan dan hari kiamat, dalam kehidupannya tidak pernah ada kata putus asa, tidak mengenal kata menyerah, karena ketika seorang mukmin tertimpa musibah seberat apapun, maka dia masih punya harapan yaitu Tuhan yang mana Maha Mengetahui segala muskilah hamba-hamba-Nya dan Tuhan pula yang nantinya akan menyelesaikan segala permasalahannya. Semisalnya mungkin kita sudah sering mendengar cerita ini :

Ada seorang laki-laki tua, miskin yang mana hari-harinya penuh dengan muskilah (problem). Suatu malam ia pergi ke penggilingan. Disana ada seorang petani yang memberi segelas dua gelas gandum kepadanya, lalu diikatlah gandum tersebut pada pakaiannya dan ia berjalan kembali seraya berkata, “Wahai Tuhan yang Maha Hidup dan Maha Mampu! bantulah aku. Bukalah setiap masalah yang aku punya dalam hari-hariku, seandainya ada seseorang yang membeli gandumku sekaligus, maka uangnya akan aku gunakan untuk membeli madu dan kacang-kacangan.”

“Wahai Tuhanku! Engkau menyelesaikan setiap masalah yang dipunyai oleh manusia, wahai Tuhan yang Agung! selesaikanlah juga masalah yang aku punya.”

Lalu iapun melanjutkan lagi perjalannanya. Tiba-tiba ikatan gandum tersebut terbuka, maka sudah tentu gandum tersebut berhamburan di atas tanah.

Laki-laki tersebut berteriak, “hai Tuhan yang Adil!! Tuhan yang Alim seperti Engkau apakah tidak tahu? pekerjaan macam apakah ini hai Tuhannya kota dan desa?! Antara muskilah ini dan muskilah yang kumaksudkan sangatlah berbeda sekali. Hai Tuhan! kapan saya mengatakan kepada-MU supaya ikatan gandum ini dibuka dan gandumnya ditumpahkan? Saya tidak melihat Tuhan dengan cara seperti ini, Engkau selesaikan muskilah namun itu salah.”

Pada akhirnya laki-laki tersebut sangat bersedih. Sebelum pulang ia sempatkan mengumpulkan gandum-gandum yang berceceran di atas tanah. Orang miskin tersebut membungkukkan punggungnya (guna mengumpulkan gandum-gandum yang berceceran diatas tanah), tiba-tiba ia melihat sebuah buntalan uang diatas tanah. Ia pun sangat bersyukur dan bersujud seraya berkata, “Oh Tuhanku yang Maha Penyayang! saya tidak mengetahui akan hikmah-MU, semua bencana yang datang dari-MU adalah rahmat dan kemiskinan yang Kamu berikan merupakan sebuah keagungan. Saya berkeliling dari rumah ke rumah-rumah supaya dapat mengetahui Tuhan saya, Tuhan engkau takdirkan saya dalam kemiskinan supaya saya mencari dan memanggil-manggil-MU, saya lebih suka mendatangi pintu-pintu orang padahal sehari semalam pintu-MU selalu terbuka. Wahai Tuhanku! gandumku Engkau tumpahkan sehingga Engkau memberi aku emas. Engkau putus asakan aku sehingga Engkau beri saya mutiara yang berharga.” Demikianlah Tuhan menyelesaikan masalah orang tua ini.

Oleh karena itu sungguh indah sekali perkataan Amirul mukminin a.s. yang mengatakan “jika seandainya tidak ada kebangkitan, maka orang-orang yang baik perlu dicela”, dikarenakan mengapa mereka harus repot-repot berbuat baik? Kenapa mereka harus bersusah susah? Karena jika tidak dibedakan antara orang yang baik dan yang buruk, maka kehidupan ini akan kacau balau.

Dalam kehidupan kita sekarang ini, bayak sekali mazhab dan sekte yang telah bermunculan bak jamur di musim hujan yang mana kita tidak akan dapati di zaman Rasul saw. Namun yang lebih aneh dan yang lebih mengeherankan lagi adalah setiap dari golongan tersebut mengaku hanya dirinya saja yang benar dan dapat menyelamatkan manusia dari jurang kesesatan dan kehinaan. Antara mazhab satu dengan yang lainnya saling tarik menarik. Mereka saling menebarkan jaring-jaring perangkap supaya dapat menarik para pengikut. Maka sudah pasti dan jelas sekali hanya orang yang memiliki keyakinan yang kuatlah yang dapat menyelamatkan keyakinannya dari perangkap dan seruan musuh-musuhnya serta dapat menolong orang-orang yang lemah yang seakidah dengannya.

Oleh karena itu sudah semestinya kita mempelajari keyakinan-keyakinan akan masalah Tuhan sehingga nantinya kita dapat menjadi penolong diri kita sendiri dan orang lain.

A. DALAM MASALAH USHULUDDIN (POKOK-POKOK AGAMA)

Ushuluddin dan Mazhab merupakan serangkaian keyainan-keyakinan yang terbentuk dari Tauhid, keadilan Tuhan, Kenabian, Keimamahan (kepemimpinan setelah Rasul saw.) dan hari Kebangkitan, yang mana kesemuanya merupakan pondasi dan tiang-tiang agama. Dan di karenakan di setiap waktu muncul akan keyakinan yang beraneka ragam di tengah-tengah manusia, dengan kata lain setiap kelompok mengajak manusia untuk memeluk ajarannya, maka dari itu sudah selayaknya bagi setiap individu untuk memeperkuat landasan akan keyakinan yang di milikinya dengan argumentasi dan dalil-dalil yang kuat sehingga tidak terombang-ambing dan tidak dapat terpengaruh dengan dakwah dan ajakan-ajakan mazhab yang ada serta dapat membela keyakinan dan mazhab yang telah di anut dan diyakini sebagai mazhab yang benar.

Adapun perkataan yang sebelumnya sudah kami katakan, “hendaknya seseorang mendapatkan keyakinannya berdasarkan dalil dan argumen-argumen”, ini bukan berarti orang tersebut diharuskan selama bertahun-tahun di sibukkan dengan pengetahuan agama dengan membaca kitab-kitab yang berbau filsafat dan kitab-kitab yang membahas tentang argumentasi. Sesungguhnya tidaklah demikian. Akan tetapi dengan ukuran segini sudah bisa dikatakan cukup yaitu mengetahui keyakinannya dengan argumen-argumen yang sederhana, namun sangat kuat dan kokoh dan tidak dapat dipatahkan.

Dan dalam menetapkan sebuah keyakinan, kita dapat menggunakan berbagai macam cara diantaranya melalui sebuah cerita misalnya: sebagaimana cerita yang sudah terkenal berkenaan dengan seorang wanita tua sewaktu ditanya berkenaan masalah adanya Tuhan “apakah Anda mempunyai dalil bahwasanya Tuhan itu ada? Maka dengan segera wanita tua tadi memutar roda tenunan dan sewaktu putaran tenunan berhenti dia berkata, sewaktu putaran kecil ini tidak ada orang yang memutar tidak dapat berputar sendiri, lantas bagaimana dengan dunia yang besar ini serta tatasurya yang sangat luas ini dengan tidak adanya yang memutar maka sudah pasti tidak akan bisa bergerak dengan sendirinya dan tidak akan pernah bisa melanjutkan perputaran tersebut dengan sendirinya.”

Atau kita juga dapat mengambil sebuah riwayat, dimana suatu hari Ali bin Ismail memasuki pertemuan Hasan bin Sahl (menteri Makmun khalifah Abbasiyah), disitu ia melihat seorang pengingkar Tuhan sedang duduk di muka dalam pertemuan tersebut. Sang menteri sangat menghormati dan menjunjung tinggi orang tersebut serta orang-orang yang mulia dan alim tempat duduknya lebih rendah dari orang pengingkar Tuhan itu. Ia dengan leluasa dan bebas menjelaskan akan keyakinan ajarannya.

Ali bin maistam sangat prihatin sekali dengan kondisi ini, lalu ia memulai dialognya seraya berkata kepada Hasan bin Sahl : wahai sang mentri! Hari ini saya melihat sesuatu yang sangat mengherankan sekali di luar rumah anda!

Menteri berkata : apa yang Anda lihat?

Ibnu maitsam berkata : saya melihat sebuah kapal yang tanpa nahkoda dan tanpa adanya tali kekang dapat berjalan ke sana ke sini sendiri!

Seketika itu pengingkar Tuhan yang sedang duduk bekata kepada mentri : tuan ini (Ibnu maitsam) sudah gila karena sudah mengatakan perkataan yang ngelantur dan tidak benar.

Ali bin maitsam berkata : tidak, saya berkata benar, kenapa saya gila?

Pengingkar Tuhan berkata : kapal dari kayu termasuk dari benda mati, tidak memiliki akal dan nyawa, bagaimana mungkin tanpa adanya nahkoda dan pembimbing dapat bergerak kesana kesini?

Ibnu maistam berkata : manakah yang lebih mengherankan perkataan saya ataukah perkataan Anda? Anda meyakini bahwasanya lautan yang terbentang luas ini tanpa adanya sang pencipta dan pembimbing yang tidak memiliki akal dan nyawa dapat berbenturan? Tumbuhan yang beraneka ragam ini yang tumbuh ke atas bumi, hujan yang turun dari langit, sesuai dengan sangkaanmu tidak ada sang pengatur? Tetapi Anda lebih merasa heran ketika ada sebuah kapal yang terbuat dari kayu namun dapat berjalan sendiri!.

Maka seketika itu juga ia terdiam seribu bahasa dan tidak dapat menjawab sanggahan yang dilontarkan oleh Ibnu maitsam serta dia mengetahui bahwasanya pemaparan kapal ini merupakan sebuah sarana untuk menfonis dirinya.

Alhasil, yang penting adalah kita harus membentengi diri kita dengan argumen-argumen yang kuat dan kokoh sehingga kita dapat menyelamatkan diri kita dari serangan- serangan musuh yang dilancarkan kepada kita. Dan kalau bisa disamping kita membentengi diri sekaligus kita dapat menarik musuh-musuh kedalam barisan kita. Dan semoga kita semua termasuk orang-orang yang telah dikategorikan oleh Imam baqir as dimana beliau berkata :

علماء شيعتنا مرابطون في الثّغر الّذي يل‍‍‍ی ابليس وعفاريته يمنعونهم عن الخروج علي ضعفاء شيعتنا وان يتسلّط عليهم ابليس وشيعته النّواصب الآ فمن انتصب كان افضل ممّن جاهد الرّوم والتّرك والخزر الف الف مرّةٍ لأنّه يدفع عن اديان محبّينا وذالك يدفع ابدانهم.                             

“Ulama’ syi’ah kami laksana para algojo dimana mereka berbaris dihadapan Iblis dan tentaranya dan mencegah penyerangan mereka kepada orang-orang syi’ah kami yang tidak memiliki kekuatan untuk membela, begitu juga mencegah mereka dari penguasaan Iblis dan pengikut-pengikut sesatnya. Ketahuilah! sesungguhnya keutamaan para Ulama syi’ah kami yang selalu siap membela beribu-ribu kali lebih tinggi dari bala tentara yang berperang melawan musuh-musuh Islam seperti orang-orang Kafir, Rum, Turki, Hizr, karena mereka (Ulama-ulama syi’ah) adalah penjaga ideologi dan kebudayaan Islam, sementara mereka (para mujahid) adalah pembela badan badan mereka.”

B. TAKLID DALAM MASALAH CABANG AGAMA

Manusia sewaktu keyakinaannya sudah di kuatkan dengan argumen-argumen yang matang dan mantap, untuk masalah Furu’ Din seperti masalah sholat, puasa, haji, muamalah dll dapat bertaklid/ mengikuti seorang mujtahid yang memiliki syarat-syarat untuk di ikuti yang sudah mencapai maqom ijtihad yang bisa menyimpulkan hukum berdasarkan ijtihadnya. Adapun maksud dari pada bertaklid ini adalah merujuk kepada para ahlinya, yakni sebagaimana manusia dalam pekerjaan yang menyangkut kehidupannya sewaktu dia tidak mengetahui, maka dia harus merujuk kepada yang ahlinya, misalnya ketika sakit atau menginginkan untuk membangun sebuah rumah, maka ia harus merujuk ke seorang dokter dan merujuk ke insinyur serta tukang, begitu juga dalam masalah Furu’ al-Din dan masalah-masalah hukum hendaknya merujuk kepada yang ahlinya, karena jika orang tadi bukan ahlinya yakni tidak ahli pada bidangnya (bukan seorang mujtahid) maka harus merujuk kepada seorang mujtahid yang memiliki sudah memiliki syarat untuk di taklidi dan pandangan serta keahliannya mujtahid tersebut dijadikan sebagai pedoman dan landasan perbuatannya.