Sirah Kebudayaan Imam Musa Kadzim as
- Dipublikasi pada
-
- Sumber:
- iribindonesia.com
Dalam sejarah disebutkan, masa kepemimpinan Imam
Musa Kadzim as, adalah masa tersulit dalam
kehidupan politik, sosial dan budaya Islam. Dua orang
terkuat dari Bani Abbasiah, bernama Mansur dan
Harun, serta dua orang paling keji bernama Mahdi
dan Harun, berkuasa pada era tersebut. Kala itu,
pembunuhan dan pembantaian terjadi berulangkali di
wilayah kekuasaan Bani Abbasiah dan banyak gerakan
pemberontakan rakyat yang ditumpas.
Di sisi lain, penaklukan wilayah-wilayah baru dan
rampasan perang yang melimpah, semakin menambah
kekuatan dan kekokohan Bani Abbasiah. Pada saat
yang sama, gerakan pemikiran dan keyakinan juga
berkembang. Sehingga setiap hari muncul keyakinan
baru dalam busana budaya dan mazhab yang masuk
dalam masyarakat. Kemunculan keyakinan itu diterima
dan bahkan didukung oleh pemerintah Bani Abbasiah.
Syair, seni, fiqih, hadis dan bahkan kezuhudan dan
ketakwaan semuanya melayani para penguasa. Suasana
yang mencekik juga tidak memungkinan hubungan
langsung imam dengan masyarakat di berbagai belahan
wilayah Islam. Pada era itu, hanya satu hal yang
menjaga Islam tetap pada jalurnya, yaitu
kebijaksanaan dan manajemen serta upaya tiada henti
Imam Musa Kadzim as.
Dalam kondisi itu, Imam Musa Kadzim as melanjutkan
program-program ayahnya Imam Jafar Sadiq as.
Guna mencegah penyusupan ateisme serta untuk
menjaga tuntutan pemikiran dan ideologi masyarakat,
beliau memusatkan upaya-upaya beliau di sektor
budaya. Beliau menyampaikan hukum dan maarif Islam
di berbagai bidang melalui para sahabat dan murid
pilihan.
Ibn Hajar Haitami, seorang ilmuwan dan ahli hadis
terkemuka Ahlussunnah dalam kitab “Al-Sawaiq al-
Muhriqah” menulis, “[Imam] Musa Kadzim, dia adalah
pewaris [Imam] Jafar Sadiq dalam ilmu, makrifat,
kesempurnaan dan keutamaan. Dia dijuluki Kadzim
karena ketabahannya yang besar. Beliau juga dijuluki
dengan Bab al-Hawaij yakni pintu semua hajat. Imam
Musa Kadzim as, adalah manusia yang paling
penghamba dalam masyarakatnya. Pada masanya,
tidak ada yang dapat menandinginya dalam hal
makrifat kepada Allah Swt, ilmu pengetahuan dan
kedermawanan.”
Amr makruf dan nahyu munkar, adalah dua program
penting Islam dan termasuk dalam furuuddin. Al-
Quran dan para imam maksum as telah menekankan
tentang tugas langit ini. Dua kewajiban itu bukan
hanya ada dalam agama Islam, melainkan juga salah
satu program pembimbingan terpenting di seluruh
agama samawi lainnya. Imam Musa Kadzim as dalam
aktivitas budayanya sangat menekankan masalah amr
makruf dan nahyu munkar untuk membimbing umat
Islam.
Kisah Bishr bin Harits Hafi, adalah contoh nyata dari
cara Imam Musa Kadzim as bertabligh. Bishr bin
Harits menjalani hidupnya dengan bergelimang dosa
dan shahwat. Pada suatu hari, Imam Musa Kadzim as
melintasi gang tempat tinggal Bishr, dan ketika beliau
tepat berada di depan rumah Bishr, secara kebetulan
pintu rumah itu terbuka dan salah satu pembantunya
keluar rumah. Imam Musa Kadzim as bertanya kepada
pembantu itu, “Apakah tuanmu seorang yang bebas
atau hamba?” Sang pembantu itu menjawab: “Bebas”.
Imam menggelengkan kepala dan berkata, “Memang
seperti yang kau katakan. Karena jika dia adalah
hamba maka dia akan beramal dengan kondisi
penghambaan dan menaati Tuhannya.”
Setelah mengucapkan itu, Imam Musa Kadzim as
melanjutkan perjalanannya. Bishr yang menyaksikan
percakapan pembantunya dengan Imam, segera
bergegas keluar tanpa sandal dan berlari mengejar
Imam. Dia berkata, “Wahai tuanku! Ulangilah padaku
apa yang kau katakan kepada perempuan ini.”
Kemudian Imam Musa Kadzim as mengulangi
ucapannya. Seketika secercah cahaya bersinar dalam
hati Bishr dan ia menyesali perilakunya. Dia kemudian
mencium tangan Imam Musa Kadzim dan mengusapkan
tanah pada pipinya. Diiringi isak tangis dia berkata,
“Iya, aku adalah hamba... iya aku adalah hamba.”
Imam telah melaksanakan tugasnya dalam amr makruf
dan nahyu munkar dengan baik. Dengan ucapan
pendek, beliau telah menyadarkan Bishr dan
membalikan hatinya sedemikian rupa sehingga dia
bertaubat dan menghabiskan sisa umurnya dalam
ketaatan.
Para khalifah Bani Abbasiah menisbatkan diri mereka
dengan Rasulullah Saw, untuk melegitimasi kekuasaan
mereka dan juga untuk menyusupkan pengaruh
spiritualitas dalam masyarakat. Mereka yang berasal
dari keturunan paman Rasulullah yaitu Abbas bin
Abdul Muthalib, memanfaatkan secara maksimal
kekerabatan dengan Nabi Muhammad dan mengklaim
diri sebagai khalifah. Mereka juga mengklaim bahwa
para imam maksum as, dari keturunan Sayidah
Fatimah as, dan mengingat setiap orang dinisbatkan
kepada kakek ayah, maka para imam maksum as
tersebut bukan putra dan keturunan Rasulullah Saw.
Dengan cara seperti itu, mereka berupaya
mengelabuhi opini masyarakat awam. Oleh karena itu,
Imam Musa Kadzim as melawan makar mereka dengan
bersandarkan pada ayat-ayat al-Quran. Debat beliau
dengan Harun al-Rashid, termasuk di antara upaya
beliau dalam menjelaskan posisi Ahlul Bait as serta
kebenaran dan keutamaan mereka dalam masalah
kepemimpinan umat.
Pada suatu hari, Harun al-Rashid bertanya kepada
Imam, “Bagaimana Anda mengklaim sebagai putra
Rasulullah padahal Anda adalah putra Ali as?” Imam
Musa Kadzim menjawabnya dengan membacakan ayat
84 dan 85 surat al-An’am, di mana Allah Swt
berfirman:
“...dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh)
yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-
orang yang berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa
dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang
shaleh.”
Kemudian Imam berkata, “Di antara yang disebutkan
dari keturunan Ibrahim, hanya Nabi Isa yang
dinisbatkan kepada ibunya. Padahal dia tidak memiliki
ayah dan masuk dalam nasab para nabi melalui ibunya.
Oleh karena itu, kami juga dinisbatkan sebagai
keturunan Rasulullah Saw melalui ibunda kami Fatimah
az-Zahra (as).”
Menerima jawaban logis Imam, Harun al-Rashid
meminta penjelasan lebih lanjut. Kemudian Imam
menceritakan peristiwa Mubahalah, di mana Allah Swt
dalam ayat 61 surat Al-Imran, berfirman kepada
Rasulullah Saw:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah
datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah
(kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami
dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-
isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian
marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita
minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-
orang yang dusta.” Mendengar jawaban tersebut,
Harun al-Rashid merasa telah mendapatkan jawaban
dan memuji Imam.
Al-Quran adalah anugerah terbesar Allah Swt untuk
kebahagiaan abadi umat manusia. Peran penting kitab
samawi ini dalam pertumbuhan dan penyampaian
manusia pada kesempurnaan sangat jelas. Al-Quran
sebagai mukjizat terbesar Rasulullah Saw telah
mampu mengubah masyarakat Arab di berbagai bidang
sosial, politik dan budaya. Peristiwa ini, khususnya
perubahan mendalam di sektor budaya sama seperti
penghembusan nyawa baru pada tubuh umat manusia
yang telah setengah mati.
Dalam hadits Tsaqalain yang terkenal, Rasulullah Saw
telah menekankan kebersamaan itrah dan Ahlul Bait
Nabi. Dan Rasulullah Saw telah berjanji bahwa barang
siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka
mereka tidak akan pernah tersesat.
Imam Musa Kadzim as sebagai seorang pembimbing
umat, juga sangat menekankan pentingnya al-Quran
sebagai sumber hidayah. Bukan hanya menyeru
masyarakat untuk membaca dan mengamalkan ayat-
ayat al-Quran, melainkan beliau juga terdepan dalam
memberikan contoh. Syeikh Mufid dalam kitab Irshad
menulis, “Imam Kadzim (as) adalah manusia paling
faqih di masanya, dan paling penghapal al-Quran di
masanya, serta paling indah dalam berqiraah dalam
masyarakat.”
Perhatian Imam Musa Kadzima as terhadap posisi
al-Quran tidak hanya terbatas pada dimensi
individualnya. Beliau menjelaskan dan menafsirkan
al-Quran. Dengan berbagai cara, beliau berusaha
meningkatkan pemahaman dan makrifat masyarakat
Islam.
Suatu ketika beliau ditanya tentang ayat 19 surat
al-Rum yang menyebutkan bahwa bumi akan dihidupkan
setelah kematiannya. Beliau menjawab, “Hidupnya
bumi bukan dengan hujan, melainkan Allah Swt akan
membangkitan manusia-manusia akan menghidupkan
keadilan dan bumi akan hidup kembali dengan hidupnya
keadilan serta penegakan hukum-hukum Allah Swt di
muka bumi lebih bermanfaat dari hujan 40 hari.”