Sirah Kebudayaan Imam Musa Kadzim as

Dalam sejarah disebutkan, masa kepemimpinan Imam

Musa Kadzim as, adalah masa tersulit dalam

kehidupan politik, sosial dan budaya Islam. Dua orang

terkuat dari Bani Abbasiah, bernama Mansur dan

Harun, serta dua orang paling keji bernama Mahdi

dan Harun, berkuasa pada era tersebut. Kala itu,

pembunuhan dan pembantaian terjadi berulangkali di

wilayah kekuasaan Bani Abbasiah dan banyak gerakan

pemberontakan rakyat yang ditumpas.

 

Di sisi lain, penaklukan wilayah-wilayah baru dan

rampasan perang yang melimpah, semakin menambah

kekuatan dan kekokohan Bani Abbasiah. Pada saat

yang sama, gerakan pemikiran dan keyakinan juga

berkembang. Sehingga setiap hari muncul keyakinan

baru dalam busana budaya dan mazhab yang masuk

dalam masyarakat. Kemunculan keyakinan itu diterima

dan bahkan didukung oleh pemerintah Bani Abbasiah.

 

Syair, seni, fiqih, hadis dan bahkan kezuhudan dan

ketakwaan semuanya melayani para penguasa. Suasana

yang mencekik juga tidak memungkinan hubungan

langsung imam dengan masyarakat di berbagai belahan

wilayah Islam. Pada era itu, hanya satu hal yang

menjaga Islam tetap pada jalurnya, yaitu

kebijaksanaan dan manajemen serta upaya tiada henti

Imam Musa Kadzim as.

 

Dalam kondisi itu, Imam Musa Kadzim as melanjutkan

program-program ayahnya Imam Jafar Sadiq as.

Guna mencegah penyusupan ateisme serta untuk

menjaga tuntutan pemikiran dan ideologi masyarakat,

beliau memusatkan upaya-upaya beliau di sektor

budaya. Beliau menyampaikan hukum dan maarif Islam

di berbagai bidang melalui para sahabat dan murid

pilihan.

 

Ibn Hajar Haitami, seorang ilmuwan dan ahli hadis

terkemuka Ahlussunnah dalam kitab “Al-Sawaiq al-

Muhriqah” menulis, “[Imam] Musa Kadzim, dia adalah

pewaris [Imam] Jafar Sadiq dalam ilmu, makrifat,

kesempurnaan dan keutamaan. Dia dijuluki Kadzim

karena ketabahannya yang besar. Beliau juga dijuluki

dengan Bab al-Hawaij yakni pintu semua hajat. Imam

Musa Kadzim as, adalah manusia yang paling

penghamba dalam masyarakatnya. Pada masanya,

tidak ada yang dapat menandinginya dalam hal

makrifat kepada Allah Swt, ilmu pengetahuan dan

kedermawanan.”

 

Amr makruf dan nahyu munkar, adalah dua program

penting Islam dan termasuk dalam furuuddin. Al-

Quran dan para imam maksum as telah menekankan

tentang tugas langit ini. Dua kewajiban itu bukan

hanya ada dalam agama Islam, melainkan juga salah

satu program pembimbingan terpenting di seluruh

agama samawi lainnya. Imam Musa Kadzim as dalam

aktivitas budayanya sangat menekankan masalah amr

makruf dan nahyu munkar untuk membimbing umat

Islam.

 

Kisah Bishr bin Harits Hafi, adalah contoh nyata dari

cara Imam Musa Kadzim as bertabligh. Bishr bin

Harits menjalani hidupnya dengan bergelimang dosa

dan shahwat. Pada suatu hari, Imam Musa Kadzim as

melintasi gang tempat tinggal Bishr, dan ketika beliau

tepat berada di depan rumah Bishr, secara kebetulan

pintu rumah itu terbuka dan salah satu pembantunya

keluar rumah. Imam Musa Kadzim as bertanya kepada

pembantu itu, “Apakah tuanmu seorang yang bebas

atau hamba?” Sang pembantu itu menjawab: “Bebas”.

Imam menggelengkan kepala dan berkata, “Memang

seperti yang kau katakan. Karena jika dia adalah

hamba maka dia akan beramal dengan kondisi

penghambaan dan menaati Tuhannya.”

 

Setelah mengucapkan itu, Imam Musa Kadzim as

melanjutkan perjalanannya. Bishr yang menyaksikan

percakapan pembantunya dengan Imam, segera

bergegas keluar tanpa sandal dan berlari mengejar

Imam. Dia berkata, “Wahai tuanku! Ulangilah padaku

apa yang kau katakan kepada perempuan ini.”

Kemudian Imam Musa Kadzim as mengulangi

ucapannya. Seketika secercah cahaya bersinar dalam

hati Bishr dan ia menyesali perilakunya. Dia kemudian

mencium tangan Imam Musa Kadzim dan mengusapkan

tanah pada pipinya. Diiringi isak tangis dia berkata,

“Iya, aku adalah hamba... iya aku adalah hamba.”

 

Imam telah melaksanakan tugasnya dalam amr makruf

dan nahyu munkar dengan baik. Dengan ucapan

pendek, beliau telah menyadarkan Bishr dan

membalikan hatinya sedemikian rupa sehingga dia

bertaubat dan menghabiskan sisa umurnya dalam

ketaatan.

 

Para khalifah Bani Abbasiah menisbatkan diri mereka

dengan Rasulullah Saw, untuk melegitimasi kekuasaan

mereka dan juga untuk menyusupkan pengaruh

spiritualitas dalam masyarakat. Mereka yang berasal

dari keturunan paman Rasulullah yaitu Abbas bin

Abdul Muthalib, memanfaatkan secara maksimal

kekerabatan dengan Nabi Muhammad dan mengklaim

diri sebagai khalifah. Mereka juga mengklaim bahwa

para imam maksum as, dari keturunan Sayidah

Fatimah as, dan mengingat setiap orang dinisbatkan

kepada kakek ayah, maka para imam maksum as

tersebut bukan putra dan keturunan Rasulullah Saw.

 

Dengan cara seperti itu, mereka berupaya

mengelabuhi opini masyarakat awam. Oleh karena itu,

Imam Musa Kadzim as melawan makar mereka dengan

bersandarkan pada ayat-ayat al-Quran. Debat beliau

dengan Harun al-Rashid, termasuk di antara upaya

beliau dalam menjelaskan posisi Ahlul Bait as serta

kebenaran dan keutamaan mereka dalam masalah

kepemimpinan umat.

 

Pada suatu hari, Harun al-Rashid bertanya kepada

Imam, “Bagaimana Anda mengklaim sebagai putra

Rasulullah padahal Anda adalah putra Ali as?” Imam

Musa Kadzim menjawabnya dengan membacakan ayat

84 dan 85 surat al-An’am, di mana Allah Swt

berfirman:

 

“...dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh)

yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun.

Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-

orang yang berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa

dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang

shaleh.”

 

Kemudian  Imam berkata, “Di antara yang disebutkan

dari keturunan Ibrahim, hanya Nabi Isa yang

dinisbatkan kepada ibunya. Padahal dia tidak memiliki

ayah dan masuk dalam nasab para nabi melalui ibunya.

Oleh karena itu, kami juga dinisbatkan sebagai

keturunan Rasulullah Saw melalui ibunda kami Fatimah

az-Zahra (as).”

 

Menerima jawaban logis Imam, Harun al-Rashid

meminta penjelasan lebih lanjut. Kemudian Imam

menceritakan peristiwa Mubahalah, di mana Allah Swt

dalam ayat 61 surat Al-Imran, berfirman kepada

Rasulullah Saw:

 

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah

datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah

(kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami

dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-

isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian

marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita

minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-

orang yang dusta.” Mendengar jawaban tersebut,

Harun al-Rashid merasa telah mendapatkan jawaban

dan memuji Imam.

 

Al-Quran adalah anugerah terbesar Allah Swt untuk

kebahagiaan abadi umat manusia. Peran penting kitab

samawi ini dalam pertumbuhan dan penyampaian

manusia pada kesempurnaan sangat jelas. Al-Quran

sebagai mukjizat terbesar Rasulullah Saw telah

mampu mengubah masyarakat Arab di berbagai bidang

sosial, politik dan budaya. Peristiwa ini, khususnya

perubahan mendalam di sektor budaya sama seperti

penghembusan nyawa baru pada tubuh umat manusia

yang telah setengah mati.

 

Dalam hadits Tsaqalain yang terkenal, Rasulullah Saw

telah menekankan kebersamaan itrah dan Ahlul Bait

Nabi. Dan Rasulullah Saw telah berjanji bahwa barang

siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka

mereka tidak akan pernah tersesat.

 

Imam Musa Kadzim as sebagai seorang pembimbing

umat, juga sangat menekankan pentingnya al-Quran

sebagai sumber hidayah. Bukan hanya menyeru

masyarakat untuk membaca dan mengamalkan ayat-

ayat al-Quran, melainkan beliau juga terdepan dalam

memberikan contoh. Syeikh Mufid dalam kitab Irshad

menulis, “Imam Kadzim (as) adalah manusia paling

faqih di masanya, dan paling penghapal al-Quran di

masanya, serta paling indah dalam berqiraah dalam

masyarakat.”

 

Perhatian Imam Musa Kadzima as terhadap posisi

al-Quran tidak hanya terbatas pada dimensi

individualnya. Beliau menjelaskan dan menafsirkan

al-Quran. Dengan berbagai cara, beliau berusaha

meningkatkan pemahaman dan makrifat masyarakat

Islam.

 

Suatu ketika beliau ditanya tentang ayat 19 surat

al-Rum yang menyebutkan bahwa bumi akan dihidupkan

setelah kematiannya. Beliau menjawab, “Hidupnya

bumi bukan dengan hujan, melainkan Allah Swt akan

membangkitan manusia-manusia akan menghidupkan

keadilan dan bumi akan hidup kembali dengan hidupnya

keadilan serta penegakan hukum-hukum Allah Swt di

muka bumi lebih bermanfaat dari hujan 40 hari.”