Syiah di bawah naungan Imam Al-Husain as

Imam Al-Husain as mengambil dua posisi dalam masanya yang berkembang saat itu.

Pertama, di masa Mu’awiyah. Imam Al-Husain as mengho­rmati perjanjian perdamaian yang ditanda tangani oleh saudaranya, Imam Al-Hasan as. Selain itu, Imam Al-Husain as yakin bahwa perlawanan dengan kekuatan militer dalam menghadapi kekuasaan saat itu akan sia-sia, itulah yang diutarakan oleh Imam Al-Husain as dalam menjawab seruan beberapa orang Kufah untuk mengadakan perlawanan.

Ini tidak berarti bahwa Imam Al-Husain as lebih menguta­makan untuk memilih cara mengasingkan diri atau berhenti melakukan aktivitas sosial. Sebaliknya, Imam Al-Husain as memgikuti dengan saksama apa yang berlangsung saat itu. Dia mengambil posisi yang tegas terhadap sistem politik yang dijalankan oleh Mu’awiyah, menentang secara tegas segala kelicikan yang dilakukan oleh Mu’awiyah, dan penindasan yang dilakukannya terhadap kaum Muslim, khususnya kezaliman yang dilakukan terhadap kaum Syi’ah.

Sejarah telah mencatat posisi Imam Al-Husain as pada musim haji ketika berkumpul dengan ratusan sahabat dan tabiin. Dia meminta mereka untuk menyampaikan seruannya itu ke negeri-negeri mereka dan mempersiapkan iklim perlawanan bersenjata, seraya mengecam secara terbuka sistem pemeri­ntahan yang sedang berjalan.

Kedua, dalam masa Yazid. Meskipun surat perjanjian perda­maian antara Mu’awiyah dan Imam Al-Hasan as secara tegas menyebutkan bahwa kekhalifahan harus dikembalikan kepada Al-Hasan dan diserahkan kepada Al-Husain jika Al-Hasan wafat, tetapi Mu’awiyah meletakkan perjanjian itu di bawah telapak kakinya, sebagaimana butit-butir perjanjian lainnya yang tertulis dan melakukan hat itu di hadapan khalayak ramai.

Bahkan, Mu’awiyah tidak hanya cukup dengan hal itu, tetapi dia justru mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan. Dia menyerahkan kekuasaan kepada anaknya, Yazid. Sementara Yazid itu sendiri adalah perasan setiap keburukan. Moral ayahnya yang jelek menurun kepadanya, demikian juga siasat politiknya yang licik dan penuh dengan tipuan. Dia adalah seorang yang tidak bermoral yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersenang-senang, mabuk-mabukan dan bercanda. Dia juga seorang yang keras lagi berhati kasar. Ini kembali pada faktor pertumbuhannya di lingkungan yang jauh dari peradaban. Ibunya Yazid berasal dari suku Nasrani yang hidup di padang pasir, maka dia tumbuh dalam lingkungan yang bukan Islami.

Kita melihat bahwasanya Yazid merasa senang dengan meminum minuman keras dan bermain dengan kera dan anjing. Dia sama sekali tidak memedulikan nilai-nilai Islam. Bahkan, dia tidak menunjukkan sedikit pun penghormatan kepada utusan sahabat yang sengaja datang untuk melihatnya dari dekat, yaitu dengan mabuk di hadapan utusan sahabat yang mulia itu tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa malu. Oleh karena itu, Imam Al-Husain as mendapatkan dirinya bertanggung jawab untuk menghadapi pemerintahan dan penyimpangan ini dengan kekuatan senjata.

Demikianlah posisi Imam Al-Husain as yang dia ambil dari hadis yang dia dengar dari kakeknya, Rasulullah saw, “Barang siapa di antara kalian yang melihat seorang penguasa yang zalim, menghalalkan yang haram dan melanggar janji Allah, dan memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan dosa dan permusuhan, lalu dia tidak mau mengubah keadaan tersebut dengan perbuatan dan ucapan, maka Allah pantas memasukkan orang itu bersamanya (penguasa yang zalim).”

Ini berarti bahwa orang-orang yang mendiamkan keadaan itu akan dimasukkan bersama penguasa yang zalim itu ke dalam neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

Hal ini pernah dikemukakan oleh Imam Al-Husain as dalam mengekspresikan kekesalan hatinya atas situasi ini dalam sabdanya, “Binasalah Islam ini jika umat ini dipimpin oleh orang seperti Y azid.”

Dalam situasi yang sulit ini, Imam Al-Husain as mengum­umkan revolusi bersenjata. Hal ini terjadi setelah beliau mendapatkan tekanan yang berat dari seorang gubernur (yang bekelja di bawah pemerintahan Yazid) untuk membaiat Yazid.

Terpaksa Imam Al-Husain as harus meninggalkan Al­Madinah Al-Munawarah dan berangkat ke Makkah untuk bertemu dengan beberapa tokoh besar di sana. Di Makkah inilah Imam Al-Husain as menerima surat-surat dalam jumlah yang banyak dari beberapa kota dan negeri, terutama dari Kufah markas kelompok oposisi.

Orang-orang Kufah terus-menerus mendesak Imam Al­Husain as untuk segera datang kepada mereka guna membeb­askan mereka dari kekuasaan Bani Uamayyah yang zalim. Maka, Imam AI-Husain as mengirimkan utusan, yaitu anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil, ke Kufah untuk mempelajari situasi sebenamya di sana.

Muslim bin ‘Aqil pun mendapatkan Kota Kufah tengah mendidih untuk mengadakan revolusi, maka dia mengirimkan, surat kepada Imam Al-Husain as untuk segera berangkat karena situasi sangat mendukung.

Akan tetapi, situasi cepat sekali berubah. Sekali lagi sejarah mencatat penkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang Kufah dan pembelotan mereka dari kebenaran. Mereka yang tadinya meminta Imam Al-Husain as untuk segera datang ke Kufah guna membebaskan mereka dari kezaliman Bani Umayyah, tiba-tiba saja berubah menjadi bala tentara Bani Umayyah yang memaksakan Imam Al-Husain untuk berbaiat kepada Yazid. Maka, terjadilah tragedi bersejarah itu. Bala tentara Bani Umayyah mengepung rombongan Imam Al-Husain as dan memotong perjalanan mereka ke Kufah atau kembali ke Makkah.

Ketika itu, Imam Al-Husain as dihadapkan pada dua pilihan sulit, yaitu: berperang atau menyerah. Akan tetapi, Imam Al-­Husain as tidak ragu-ragu dalam menentukan pilihan itu. Imam Al-Husain as mengumumkan pemyataannya yang terkenal itu, “Jauh sekali bagi kami untuk memilih kehinaan. Allah tidak mau kami melakukan hal itu (menerima kehinaan), demikian juga Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”

Demikianlah Imam Al-Husain as bersama Ahli Bait dan para sahabatnya menggariskan perlawanan kepahlawanan yang paling heroik, meskipun mereka semua dalam keadaan keha­usan di tepi sungai Furat.

Apa yang terjadi di Karbala di padang pasir yang meradang itu telah menimbulkan guncangan yang hebat di hati nurani kaum Muslim, maka rasa takut terhapus dari hati mereka. Kemudian mereka pun mengangkat senjata dan mendirikan gerakan siap mati syahid yang dapat mengembalikan identitas Islam, yang berusaha dilenyapkan selamanya oleh para penguasa yang zalim.