Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Falsafah penciptaan manusia dalam Qur’an (1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Pada pembahasan kali ini kita akan mencoba menganalisa beberapa ayat al-Quran yang di dalamnya telah menyiratkan tentang filsafat, arah, sasaran, maksud, dan tujuan penciptaan, di antaranya, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 30)

“Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Qs. Al-An’am [6]: 165)

Berdasarkan ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan penciptaan manusia, dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah dijadikannya manusia sebagai khalifah dan penerus Tuhan.

Dan yang dimaksud dengan penerus Tuhan adalah bahwa Tuhan meletakkan sebagian dari sifat yang dimiliki-Nya dalam diri manusia sebagai sebuah amanah dimana jika manusia mengaktualkan potensi yang dimilikinya ini, maka mereka akan bisa meraih tingkatan tertinggi dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat tersebut, tujuan dari penciptaan tak lain adalah manusia sempurna.

Pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)

Berdasarkan ayat di atas, kehidupan, ibadah bahkan kematian seorang manusia adalah berasal dari Tuhan, oleh karena itu, dalam seluruh keadaan kehidupannya manusia harus melakukan penghambaan kepada Tuhan.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56)

Ayat di atas menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk ibadah dan penghambaan Tuhan, yaitu manusia harus menyerahkan dirinya untuk melakukan penghambaan kepada Tuhan dan tidak menundukkan kepalanya kecuali di hadapan-Nya. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan menemukan beberapa poin berikut:

1. Pada ayat ini, redaksi “… melainkan supaya mereka menyembah-Ku” menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah Tuhan”, dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”, karena hal ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan “… supaya mereka menyembah-Ku”, bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi sembahan mereka”.[1]

2. Yang dimaksud dengan ibadah di sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah (seluruh ciptaan), karena sebagaimana kita ketahui seluruh eksistensi alam penciptaan ini, masing-masing melakukan ibadah dengan bahasa takwiniyyah mereka, dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman, “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi” dan jika yang dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah, maka ayat ini tidak hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja. [2]

Pada ayat lain Dia berfirman, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 156)

Ayat di atas menyatakan bahwa selain manusia berasal dari Tuhan, Dia juga merupakan tempat tujuan manusia, karena awal manusia adalah dari Tuhan dan akhirnya pun menuju ke arah-Nya. Sesuai dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah melakukan perjalanan ke arah Tuhan. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan mengetahui bahwa kalimat yang disebutkan di atas adalah “kembali kepada-Nya” dan bukan “kembali di dalam-Nya” sehingga hal ini tidak akan mengarahkan kita pada yang dilakukan oleh sebagian para sufi, dimana mereka meyakini bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kefanaan dalam Tuhan, melainkan kita harus mengatakan bahwa manusia memiliki perjalanan ke arah-Nya, yaitu perjalanan ke arah kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan gerakan kesempurnaannya inilah manusia harus menarik dirinya ke arah Tuhan.

“Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. Al-Maidah [5]: 18)

“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42, dan Qs. Fathir [35]: 18)

“Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs. Fathir [35]: 4, dan Qs. Al-Hadid [57]: 5)

“Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. As-Syura [42]: 53)

“… kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs. As-Sajdah [32]: 11, dan Qs. Al-Jatsiyah [45]: 15)

“Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya….” (Qs. Al-Maidah [5]: 48, dan Qs. Hud [7]: 4)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq [84]: 6)

Ayat di atas pun menempatkan manusia sebagai pekerja keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber keberadaan.

Berdasarkan ayat di atas, manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan aturan-aturan al-Quran pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini, yaitu perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan yaitu apa makna dan mafhum dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya?

Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin dekat kepada Tuhan.

Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah kesempurnaan mutlak.

Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan inipun memiliki tahapan dimana setiap individu yang melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan.

Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih ‘dekat’ lagi kepada-Nya.

Pada surah Hud ayat 118, Allah Swt berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.”

Ayat di atas mengatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu manusia diciptakan untuk menerima rahmat Tuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud: 119)

Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan rahmat. Dengan ibarat lain, apa yang dimaksud dengan pernyataan yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk rahmat?

Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan rahmat tak lain adalah bimbingan dan hidayah Ilahi yang akan menjadi bagian dari kondisi manusia supaya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dengan perkataan lain, rahmat adalah hidayah takwiniyyah dan tasyri’iyyah yang menyebabkan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.

Dengan uraian ini, antara ayat di atas dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56) tidak ada sedikitpun perbedaan, karena dengan melalui ibadah dan rahmat, seluruh potensi wujud manusia bisa ditinggikan dan akan memperoleh kesempurnaan akhir wujud dirinya.

Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (Qs. Hud [11]: 7)“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2)

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Tuhan menciptakan manusia supaya bisa diketahui manakah manusia yang baik dan manakah yang buruk. Manakah manusia yang melakukan perbuatan yang baik dan shaleh serta manakah yang melakukan perbuatan yang tercela dan tak shaleh.

Menurut ayat-ayat ini, masing-masing manusia yang memiliki perbuatan lebih baik, berarti dia telah lebih mendekatkan dirinya pada tujuan penciptaan. Pada dasarnya, ayat-ayat ini menempatkan tujuan penciptaan manusia pada lintasan manusia menuju ke arah kesempurnaan keberadaannya.

Nabi, Imam, dan Tujuan Penciptaan

Pada hadis-hadis Islam dikatakan bahwa Rasulullah Saw merupakan tujuan dari penciptaan alam, dan Tuhan menciptakan alam ini karena beliau.

Dalam salah satu hadis qudsi Allah Swt berfirman, “Jika engkau tiada, maka niscaya Aku tidak akan menciptakan gugusan bintang.”[3]

Pada hadis qudsi yang lain, Allah Swt berfirman, “Andai bukan karena Muhammad (saw), maka Aku tidak akan menciptakan dunia maupun akhirat, demikian juga Aku tidak akan menciptakan langit, bumi, arsy, singgasana, lauh, qalam, surga dan neraka. Dan andai bukan karena Muhammad Saw, maka wahai para manusia, Aku tidak akan menciptakan kalian,”[4] demikian juga pada hadis lainnya Allah Swt berfirman, “Aku menciptakan benda-benda untukmu dan Aku menciptakanmu untuk-Ku.”[5]

Syeikh Shaduq Ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda kepada Imam Ali As, “Wahai Ali, seandainya bukan karena kita, maka Allah tidak akan menciptakan manusia dan juga tidak akan menciptakan surga, neraka, maupun langit atau bumi”[6]

Dikarenakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As merupakan individu-individu manusia yang paling sempurna, dan tujuan penciptaan pun adalah terwujud dan tercapainya manusia paling sempurna, maka seakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As merupakan arah, tujuan, dan sasaran penciptaan segala realitas.

Demikian juga sesuai dengan apa yang termaktub dalam surah Al-Dzariyyat ayat ke 56 dimana Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, dimana tujuan dari penciptaan adalah ibadah, bisa dikatakan bahwa karena tahapan paling tinggi dan paling sempurna dari ibadah hanya akan terwujud dari Rasulullah saw dan Imam Ali As, maka kesimpulannya, Rasulullah Saw dan Imam Ali As tergolong sebagai tujuan dan filsafat penciptaan.

Berdasarkan ayat ke tiga puluh surah al-Baqarah, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” pun bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw dan Imam Ali As merupakan tujuan penciptaan, karena hanya Rasulullah saw dan Imam As As lah yang mampu mengaktualkan potensi-potensi internalnya dan berahlak dengan ahlak Ilahi serta layak untuk memegang peran sebagai “khalifatullah”.

Definisi Ibadah

Ketika dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan adalah ibadah, sebagian menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah hanyalah melaksanakan amalan-amalan dan ritual-ritual yang bernama doa seperti shalat, puasa dan bermacam-macam zikir.

Apakah hakikat ibadan dan penyembahan hanyalah seperti ini? Tentu saja tidak. Karena doa hanyalah bagian dari ibadah. Berdasarkan pandangan dunia al-Quran, setiap gerakan dan perbuatan positif yang dilakukan oleh manusia merupakan ibadah, dengan syarat, gerak dan perbuatan tersebut harus dilakukan berdasarkan pada motivasi untuk mendekat pada rububiyyah dan dilakukan berlandaskan pada nilai-nilai kewajiban Ilahi.

Oleh karena itu, definisi dari petani yang pada pertengahan malam menggunakan tangan-tangan kasarnya untuk mengairi perkebunan dan lahan pertaniannya demi menyejahterakan kehidupannya dan keluarganyam para pekerja yang bergelimang dengan suara-suara bising mesin-mesin pabrik dari pagi hingga malam hari, dokter yang berada di ruang operasi dengan seluruh daya dan konsentrasinya untuk menyelamatkan jiwa manusia, seorang dosen yang melakukan observasi dan pengkajian pada tengah malam untuk memecahkan kesulitan pemikiran manusia, dan sebagainya, jika dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka setiap saat baginya berada dalam keadaan ibadah.

Ringkasnya, tujuan dari semua amal, perbuatan dan perilaku manusia adalah untuk Allah Swt, yaitu manusia akan sampai pada tahapan dimana bahkan makan, munum, tidur,, hidup dan matinya, keseluruhannya adalah untuk Allah Swt, sebagaimana dalam salah satu firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)

Gerakan-gerakan dan pikiran-pikiran yang ditekankan sebagai doa dalam Islam adalah supaya manusia menjaga penghambaannya dan mengarahkan dirinya kepada Tuhan dengan kesadaran yang dimilikinya. Doa tidaklah sebagaimana yang dipersangkakan oleh sebagian pihak tenang ketiadaannya interfensi dalam perbuatan Tuhan, melainkan merupakan perantara dan wasilah untuk memperkuat kehendak dan cahaya harapan dalam menghilangkan hambatan-hambatan yang menghalangi jalan pertambahan tingkat manusia, ketika seluruh pintu di hadapan manusia telah tertutup dan manusia berhadapan dengan jalan buntu dan kehilangan harapan, maka doa merupakan satu-satunya wasilah untuk kegembiraan dan kebahagiaan ruh dan berpaling dari kesedihan dan bergerak ke arah jurang yang mendaki menuju kesempurnaan, Dengan melalui doa, manusia akan mencuci karat-karat dan pencemaran yang terdaoat di dalam dirinya dan mempersiapkan dirinya hingga melangkah pada lintasan kesempurnaan.

Hakikat doa merupakan “terbangnya” ruh ke arah Yang Dicintai dan “terbangnya” hamba ke arah Tuhan, sebuah “penerbangan” dari tingkatan yang sangat rendah yang tanpa batas ke arah tingkatan yang sangat tinggi yang juga tanpa batas, dan merupakan “penerbangan” hamba yang rendah ke arah kesempurnaan Ilahi.

Alexis Carel berkaitan dengan masalah ini menuliskan, “Kepada manusia, doa memberikan kekuatan untuk menanggung kesedihan dan musibah dan ketika kata-kata rasional tidak lagi mampu untuk memberikan harapan, doa akan memberikan harapan kepadanya dan memberikan kekuatan dan kodrat untuk berdiri tegak dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar.”[7]

Doa memberikan pengaruh pada sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik manusia. Oleh karena itu, doa harus dilakukan secara kontinyu.[8]

Masyarakat yang membunuh kebutuhannya berdoa, biasanya tidak akan terbebas dari kerusakan dan kerendahan.[9]

William James dalam masalah doa mengatakan, “Sebagaimana kita menerima hakikat-hakikat dan realitas-realitas yang ada pada dunia medis, para ahli medis mengungkapkan bahwa pada banyak kasus, doa, memberikan pengaruh pada kesembuhan kondisi pasien. Oleh karena itu, harus diketahui bahwa doa merupakan salah satu dari perantara yang berpengaruh dalam pengobatan. Dalam banyak kasus yang dihadapi oleh manusia, doa sangat berpengaruh untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ruh dan hasilnya, akan diikuti dengan kesehatan badan dan jasmani mereka.[10]

Doa dan shalat bukan merupakan perintah imajiasi atau benak melainkan perolehan lebih banyak dari kekuatan spiritual atau dengan kata lain, rahmat Ilahi.[11]

Berdasarkan apa yang telah kami katakan, ibadah -yang dalam agama Islam merupakan filosofi dan tujuan penciptaan- memiliki suatu karakteristik penting yang sama sekali tidak dipunyai oleh satu agama atau mazhab manapun hingga sekarang ini selain agama Islam, karakteristik itu adalah meliputi aktivitas-aktivitas manusia, apakah manusia itu sedang berdoa kepada Tuhannya, melakukan shalat, dan mensucikan dirinya, maupun sedang sibuk dan melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah keluarga, atau menjalin hubungan yang erat dengan istri, anak-anak, dan kedua orang tua. Sementara ibadah dalam mazhab dan agama yang lain hanya berkaitan dengan uapcara doa dan menjalin hubungan dengan Tuhan secara resmi, dan tidak mencakup kegiatan-kegiatan budaya, politik, ekonomi, keluarga, dan yang sejenisnya.

BERKELANJUTAN!!!.......