Ubudiyyah Kepada Allah SWT (1)

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
 
Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, sehingga mereka mengerti perkataanku.
 

Al-Quran Al-Karim mengandung daya tarik, dan menerangi hati. Perkataan Al-Quran yang berbunyi, “Dan perhatikanlah”, artinya ialah, Anda semua harus diam. Seorang ulama Isfahan bercerita, Beberapa waktu yang lalu, saya pergi haji bersama rombongan. Ketika berada di kota Madinah, salah seorang dari rombongan kami meninggal dunia. Setelah kami menguburkan jenazahnya, kami menyelenggarakan majelis al-Fatihah (tahlil). Kami mengundang salah seorang dari qari Ahlusunnah untuk membaca Al-Quran. Qari itu datang ke majelis dan duduk bersama kami. Akan tetapi dia belum juga mulai membaca Al-Quran . kami berkata padanya, “Bacalah Al-Quran.” Qari itu menjawab, “Anda masih sibuk mengobrol, saya tidak akan membaca Al-Quran sehingga Anda terlebih dahulu diam.” Maka kami semua pun diam. Namun qari itu tetap saja belum mau memulai membaca Al-Quran. Qari itu berkata, ‘Cara duduk Anda tidak sesuai dengan majelis Al-Quran.’ Mendengar itu kami pun duduk dengan cara yang lebih utama. Akan tetapi dia tidak kunjung juga mulai membaca Al-Quran, maka kami pun berkata kepadanya, ‘Bacalah.’ Qari itu menjawab, ‘Majelis Anda belum sesuai dengan bacaan Al-Qur’an. Karena, masih ada sebagian di antara Anda yang masih memegang gelas teh dan rokok di tanganya.’ Mendengar jawaban itu maka kami pun meletakkan gelas teh dan rokok yang ada di tangan kami. Setelah itu qari itu pun mulai membaca Al-Quran, dan setelah selesai dia segera meninggalkan majelis. Adapun ayat Al-Quran yang dibacanya adalah yang berbunyi, “Dan apabila dibacakan Al-Quran maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat.”  (QS. Ali ‘Imran : 204)
 

          Oleh karena itu, saya mengharapkan Anda semua mendengarkan ayat-ayat Al-Quran tatkala sedang dibacakan. Karena yang demikian itu adalah wajib, dan merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap Al-Quran, di samping juga menguatkan jiwa seseorang.
 
          Sesungguhnya berbicara pada saat Al-Quran sedang dibacakan merupakan satu bentuk pelecehan terhadap Al-Quran. Sebuah riwayat yang berasal dari Rasulullah SAW mengatakan bahwa Al-Quran akan mengacuhkan orang-orang yang tidak menghormatinya. Rasulullah SAW telah bersabda, “Manakala berbagai fitnah menyelubungi Anda, tidak ubahnya seperti potongan malam yang gelap gulita, maka engkau harus berpegang kepada Al-Quran. Karena, sesungguhnya Al-Quran adalah pemberi syafaat yang diterima. Barangsiapa menempatkan Al-Quran di hadapannya maka Al-Quran akan menuntunnya ke surga, dan barangsiapa menempatkan Al-Quran di belakangnya maka Al-Quran akan mendorongnya ke dalam neraka.”    
 
          Jadi, alangkah baiknya Anda diam manakala berada di dalam majelis Al-Quran. Dan, hendaknya para pendengar mendengarkan bacaan Al-Quran dengan penuh adab dan penghormatan. Guru Besar kita, Ayatullah ‘Uzma Borujerdi—Semoga rahmat Allah tercurah atasnya—menceritakan bahwa gurunya yang bernama almarhum Tuan Mirja Abdul Ma’ali al-Isfahani telah berkata, “Jika di dalam sebuah kamar terdapat sebuah pena yang dengannya ditulis fikih, saya tidak akan tidur di kamar itu, dan jika pun saya ingin tidur di dalamnya maka saya akan keluar dahulu untuk belajar dan baru kemudian tidur.”
 
          Ketika salah seorang ulama mengatakan demikian, tampak jelas bahwa penghormatan terhadap kitab-kitab fikih, kitab-kitab hadis, dan terutama kitab Al-Quran, adalah sangat penting sekali.
 
          Pembahasan seputar peperangan “dalam” yang kita semua sedang mengalaminya, dan peperangan ini terus-menerus terjadi di dalam diri kita. Saya yakin bahwa pembahasan ini penting sekali.
 
          Kita dapat menarik kesimpulan dari hadis-hadis yang mulia, bahwa Rasulullah SAW menamakan peperangan ini dengan sebutan peperangan terbesar (jihad akbar). Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya pertarungan di dalam medan peperangan ini lebih penting daripada jihad di medan perang.”
 
          Akan tetapi, jika kita kalah dalam peperangan “dalam”, maka demikian itu akan mendorong kita kepada kehinaan dan menjadikan kita lebih rendah dari hewan apapun.
 
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu, tuli, dan tidak mengerti apa pun. (QS. An-Anfal : 22)
 
Sesungguhnya orang yang dikalahkan dalam peperangan ini (perang dalam) akan menjadi lebih rendah dari virus kanker dan penyakit kusta. Akan tetapi, jika seseorang memenangkan peperangan ini maka niscaya Allah memuliakannya.
 
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hambah-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”  (QS. Al-Fajr : 27-30)
 
Terdapat sebuah riwayat yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imam Husain. Allah SWT berkata, “Wahai orang yang mempunyai jiwa yang tenang, kemarilah, kemarilah kepada sisi Husain. Sesungguhnya engkau bersama Imam Husain berada di tempat yang sama, dan kesenanganmu ialah engkau duduk dan bercengkrama Imam Husain. Kemarilah, saya ridha kepadamu, bukan kepada surga biasa, melainkan kepada surga-Ku.”
 
Jadi kita dapat mengatakan, bahwa sesungguhnya peperangan ini dimulai dari satu titik. Pada titik itulah terdapat puncak tertinggi dan juga sekaligus kejatuhan kepada tempat yang paling rendah. Adapun puncaknya adalah sebagai perwujudan dari ayat-ayat yang berbunyi, “Wahai jiwa-jiwa yang tenang…” Adapun kejatuhannya ke tempat yang paling rendah adalah perwujudan dari ayat Al-Quran yang berbunyi, “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu, tuli, dan tidak mengerti apapun.”
 

Para guru yang merupakan lapisan masyarakat pilihan, yang merupakan pendidik generasi mendatang, harus menaruh perhatian yang besar kepada pembahasan ini. pembahasan kita terfokus pada pembahasan apa yang harus kita lakukan supaya kita memperoleh kemenangan di dalam peperangan ini, sehingga kita dapat mengangkat kepala kita dengan tegak?
 
Al-Quran Al-Karim telah menunjukkan kepada kita beberapa jalan, yang salah satu di antaranya, kelapangan dada.  Yaitu di mana hati kita harus luas seperti lautan. Inilah yang dapat kita simpulkan dari surah Al-Insyirah. Sekarang, oleh karena Anda, para guru yang mulia, berulang-ulang menanyakan tentang apa yang harus kita lakukan supaya hati kita menjadi lapang, saya akan membacakan sebuah riwayat yang berasal dari Imam Ja’far ash-Shadiq. Almarhum Syeikh al-Baha’i—Semoga rahmat Allah tercurah atasnya—menukil sebuah riwayat yang berasal dari Imam Ja’far ash-Shadiq di dalam kitab al–Kasykul. Almarhum Syeikh al-Baha’i mengatakan, “Sufyan ats-Tsauri berkata, ‘Dengan tujuan supaya memperoleh kelapangan dada dan kecerahan hati, saya pergi ke hadapan Imam Ja’far ash-Shadiq (karena mungkin saja seorang manusia dapat mengalami perubahan karena keikutsertaannya di dalam sebuah majelis atau karena mendengar suatu perkataan. Saya telah menyaksikan orang-orang yang diliputi kesengsaraan kemudian berubah karena suatu perkataan. Oleh karena itu, Sufyan ats-Tsauri berkata, “Saya pergi kepada Imam Ja’far ash-Shadiq supaya saya berubah.”) Sufyan ats-Tsauri berkata, “Ketika saya duduk Imam Ja’far ash-Shadiq, imam tidak menerima saya, Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Saya punya pekerjaan oleh karena itu saya tidak bisa duduk bersamamu.” Sufyan ats-Tsauri bukan manusia yang baik sekali—Sufyan ats-Tsauri berkata, “Oleh karena Imam Ja’far ash-Shadiq tidak menerima saya, maka saya keluar dari sana dan pergi ke kuburan Rasulullah SAW. Di sana saya mengerjakan shalat dua rakaat dan bertawassul kepada Rasulullah SAW, dan saya berkata kepadanya, ‘Ya Rasulullah, saya berharap darimu supaya engkau menjadikan Imam Ja’far ash-Shadiq mau menerimaku. (Karena Allah SWT adalah Zat yang membolak-balikkan hati, sementara Rasulullah SAW, Sayyidah az-Zahra, dan para imam yang suci adalah perantara karunia Allah kepada alam ini. jadi, mereka itulah yang harus mengubah manusia dan mereka itulah yang harus menjadikan  seorang manusia menjadi dicintai oleh yang lain.) Sufyan ats-Tsauri berkata, “Setelah saya bertawassul saya datang kembali ke hadapan Imam Ja’far ash-Shadiq.  Imam Ja’far ash-Shadiq menerima saya dengan penuh penghormatan. Dari situ saya tahu bahwa tawassul saya diterima oleh Rasulullah SAW.’ Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, ‘Bukankah engkau datang ke sini supaya hatimu menjadi lapang?’ Sufyan menjawab, ‘Benar, wahai putra Rasul Allah. Saya datang ke hadapanmu dengan maksud supaya hati saya bercahaya dan dada saya menjadi lapang.’
 
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, ‘Wahai Sufyan, jika engkau ingin dadamu lapang maka engkau harus menjaga ketiga perkara ini:
 
Wahai Sufyan, ketahuilah bahwa sesungguhnya engkau adalah hamba, dan Dia adalah Tuan. Oleh karena engkau adalah hamba maka engkau seratus persen harus taat kepada Tuanmu.’”
 
Mengenai hal ini saya teringat sebuah kisah, yang saya pikir tidak mengapa saya menceritakannya di sini.
 
Seorang hamba yang beradab dan berakal menyaksikan tuannya tengah sedih. Si hamba itu bertanya kepada tuannya, “Kenapa engkau bersedih?” Tuannya berkata, “Saya mempunyai hutang, dan pikiran tentang hutang telah merampas kebahagiaan saya.” Hamba itu berkata, “Baik, sekarang bawa saya ke pasar budak, dan tawarkan saya dengan harga yang sekiranya dapat menutupi hutangmu.”
 
Tuannya itu berkata, “Saya mempunyai hutang yang banyak sekali, dan hargamu tidak akan mencapai sepersepuluh dari hutangku.”
 
Hamba itu berkata, “Juallah saya dengan harga yang seukuran dengan hutangmu.” Tuannya berkata, “Mereka tidak akan membelimu dengan sejumlah harga ini.”
 
Hamba itu berkata lagi, “Katakan kepada mereka bahwa hamba ini mempunyai satu sifat yang bagus sekali, dan tingginya harga ini adalah berasal dari dimilikinya sifat yang bagus itu oleh hamba ini. Sifat itu adalah bahwa dia mengetahui dengan baik bagaimana cara pengabdian.”
 
Selamat, bagi hamba ini. tentu si tuannya tidak paham apa yang dikatakan oleh hambanya. Akan tetapi, dia pergi ke pasar penjualan budak, dan menghargakan hambanya itu dengan sepuluh kali lipat dari harga wajarnya. Misalnya, jika harga yang wajar bagi hamba ini ialah sepuluh ribu tuman, ia mengatakan bahwa dirinya akan menjual hambanya ini dengan harga seratus ribu tuman. Semua orang yang mendengar perkataannya menjadi tertawa. Hingga akhirnya seorang yang berakal bertanya tentang apa yang menjadi alasan kenapa begitu tingginya harga hamba ini. si tuannya berkata, “Sesungguhnya tingginya harga budak ini adalah karena dia mengetahui dengan baik cara penghambaan.”
 
Orang yang berakal itu berkata, “Jika hamba ini benar sebagaimana yang Anda katakan ini. saya mau membeli budak ini dengan syarat bahwa sifat yang engkau sebutkan, benar-benar ada padanya. Dan jika tidak terdapat sifat ini pada dirinya maka saya berhak membatalkan transaksi ini.”
 
Ini yang berlaku di dalam transaksi-transaksi jual beli dalam pandangan fikih. Jika, misalnya, Anda membeli rumah dengan syarat-syarat tertentu, namun Anda tidak mendapatkan syarat-syarat itu di dalam rumah tersebut maka Anda berhak membatalkan transaksi.
 
Ringkasnya, laki-laki itu membayar uang sejumlah seratus ribu tuman dan membawa pulang budak itu ke rumahnya. Untuk mengetahui apakah budak itu mengetahui cara penghambaan atau tidak, dia memerintahkan orang untuk memukulinya dengan cambuk. Ketika dipukuli dengan cambuk, budak itu tidak menangis, tidak mengeluh, dan tidak bertanya tentang sebab mengapa dia dipukuli dengan cambuk.
 
Laki-laki itu memerintahkan mereka untuk meninggalkan budak itu. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada budak itu, “Tidakkah engkau merasakan sakit?” Budak itu menjawab, “Tentu saya merasa sakit.” Tuannya bertanya lagi, “Bukankah engkau dipukul tanpa sebab?” Budak itu menjawab. “Ya.” Tuannya berkata, “Kalau begitu kenapa engkau tidak protes?”
 
Budak itu menjawab, “Karena saya hamba dan Anda adalah tuan. Seorang hamba tidak layak bertanya tentang sebab tindakan yang dilakukan oleh tuannya. Seorang hamba harus menaati tuannya seratus persen. Jika Anda memberi karunia kepada saya maka saya akan taat kepada Anda, dan begitu juga jika Anda memerintahkan untuk memukuli saya maka saya pun akan tetap taat kepada Anda.” Selamat bagi budak ini!
 
Baba Thahir–Semoga Rahmat Allah tercurah atasnya–telah berkata mengenai hal ini di dalam sebuah syairnya :
 
Satu orang menyukai penyakit satu orang menyukai obat
 
satu orang menyukai sampai satu orang menyukai meninggalkan
 
Saya dari penyakit, obat, sampai dan meninggalkan
 
saya menyukai apa yang disukai al-Ma’bud
 
 
 
Jelas, di dalam kisah hamba dan tuan di atas, kisah itu salah sama sekali. Artinya seorang tuan tidak berhak memukul hambanya dengan cambuk. Penghambaan ini hanya layak untuk Allah SWT. Karena manakala kita yakin bahwa Allah SWT Maha Bijaksana, dan kita mengetahui bahwa Allah SWT itu Maha Adil dan Maha Pengasih, maka tentu kita akan menjadi taat kepada-Nya. Jika seandainya Allah SWT menurunkan musibah dan kesulitan kepada kita, maka kita yakin bahwa terdapat hikmah di dalam musibah itu, dan itu bukan merupakan kelaliman, melainkan kasih sayang dari Allah SWT, yaitu yang mana kita dapat memperoleh manfaat dari musibah ini. demikian juga jika Allah SWT memberikan karunia kepada kita, maka kita pun taat kepada-Nya dan menyukai apa yang disukai-Nya. Orang yang tidak memahami hakikat ini, sikapnya tidak ubahnya seperti hamba yang menjadi contoh dari ayat Al-Quran berikut:
 
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpah kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. Al-Ma’arij : 19-21)
 
Ketahuilan! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. Al-Alaq : 6-7)