Keserasian Zikrullah dengan Hamasah (2)

Ungkapan seorang arif besar, Muhyiddin ibn Arabi, bahwa zikrullah lebih bernilai ketimbang berperang di jalan Allah, sekali lagi harus di jelaskan. Sebagaimana, ungkapan beliau lainnya harus di jelaskan.
Ya, kita memiliki nama Allah dan zikir kepada-Nya. Usaha kita adalah zikrullah dalam hati, dan mengucapkan nama-Nya secara lisan. Karena itu, pembela agama, dengan nama Allah, mereka berangkat ke medan perang dan dalam jihad fi sabilillah, ia selalu ingat (zikir). Ketika menyandang senjata, ia ingat kepada Allah. Imam Ali ketika menafsirkan ayat: Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. (QS. Al-A’raf : 26), mengatakan bahwa “pakaian takwa” itu adalah baju besi, tameng, pedang, tombak, dan panah.
Beliau berkata, “Amma ba’du”. Jihad adalah sebuah pintu di antara pintu-pintu surga yang (telah) Allah buka khusus pagi para wali-Nya. Jihad adalah pakaian takwa, baju besi Allah yang kokoh, dan benteng-Nya yang kuat.” (Nahj al-Balaghah, khutbah ke-27) Imam Ali Zainal  Abidin juga menafsirkan demikian. Jadi, kebijakan orang yang tidak takut (kepada selain Allah), siap berperang, dan melakukan difa’ ­-menurut Al-Quran – adalah kebijakan hamasi (bersemangat juang) di mata arifin.
Orang lain memandang bahwa pakaian takwa di peroleh dengan zikir, tanpa usaha keras. Adapun, jiwa hamasah dan petempur memandang pakaian takwa adalah baju besi di jalan Allah. Begitulah pandangan Sayyid al-Syuhada, ini sudah sangat jelas. Tidak ada pertentangan antara munajat dan perang; antara amal-amal sunnah dan difa’.
Sebenarnya Al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa difa’ merupakan sarana untuk menjaga basis-basis irfan. Sering dikatakan bahwa tidak adanya peperangan merupakan kehancuran pagi para rahib yang mengasingkan diri. Juga dikatakan, adalah keliru sekali bila orang tidak berperang dan mengasingkan diri dari dunia dengan meninggalkan umat manusia. Orang awam mesti diingatkan bahwa masing-masing mereka mengemban tanggung jawab di  tengah masyarakat. Inilah jalan akhirat, bukan dunia. Jikapun Anda seorang ahli zikir, tetapi tidak (mau) berperang, maka tidak disandangnya sejata adalah serupa dengan tiadanya zikir Anda.
Impian (orang semacam) Stalin dan Lenin adalah musnahnya masjid-masjid, gereja-gereja, dan tempat-tempat peribadatan. Oleh karena itu, Al-Quran menyatakan :
          Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian lain, tentulah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Artinya, apabila tak ada perang dan orang-orang tak mau melakukan difa’ dan bangkit, maka masjid tak akan berdiri, tidak juga gereja dan tempat-tempat peribadatan. Akan tiada lagi orang-orang yang menyepi, “meninggalkan dunia”, dan bersimpuh di tempat peribadahan. Sementara, kaum materialistis memahami bahwa zikir sangat mempengaruhi masyarakat.
Boleh jadi, seseorang tidak memiliki semangat juang, namun ia harus mendoakan orang-orang yang berperang di jalan Allah. Orang yang tidak mampu meluruskan khauf dan raja’ (harapan)nya, ia akan takut kepada Allah dan kepada selain-Nya.
Peringatan haul arif besar Ibn Arabi yang ke-750 tahun, diadakan di italia. Acara ini diadakan secara besar-besaran, di samping juga jarang. Namun, tujuan sebenarnya adalah mengenalkan bahwa Ibn Arabi hanyalah seorang arif dan tidak mempersoalkan irfan dan hamasah. Ini tidaklah benar. Mereka berpikir bahwa irfan adalah shulh al-kull (perdamaian menyeluruh) dan bertentangan dengan perang. Meskipun irfan adalah perdamaian yang menyeluruh, namun (tetap) sebuah perdamaian mencakup juga peperangan; perang adalah sesuatu yang baik. Bagi seorang arif, misalnya, penjara merupakan tempat yang baik; neraka juga adalah tempat yang baik. Ia tidak mengatakan bahwa penjara dan neraka tidak boleh ada (muqaddimah Fushus Qashari). Sebab, kalau neraka tidak ada, banyak orang akan cenderung berbuat buruk. Sebaliknya, sebagian besar orang yang takut neraka adalah orang yang bajik.
Seminar di Italia itu salah mengenai dua hal ini (perdamaian dan peperangan). Mereka hanya hendak mengatakan bahwa seorang arif selalu berdamai dan tidak berperang. Mereka lupa bahwa seorang arif memiliki pandangan yang luas. Ia berdamai dan juga berperang. Baginya, peperangan adalah perdamaian; neraka dan penjara adalah juga shulh (perdamaian).
Telah kami katakan sebelumya bahwa apabila seoarang mutakallim (teolog) atau hakim (filsuf) berbicara tentang insan kamil, maka ia berbicara hanya seputar masalah kenabian dan risalah. Manusia membutuhkan nabi dan rasul, sebab mereka membutuhkan qanun (undang-undang). Mereka membutuhkan seseorang di antara nabi dan rasul, yang akan membuat undang-undang mengatur (kehidupan) mereka. Kepentingannya adalah untuk diri mereka sendiri. Jadi, Allah SWT menurunkan undang-undang dengan mengutus para nabi.
Sekarang, undang-undang pemerintah di berbagai negara merupakan pijakan-pijakan kekuatan tertentu; masyarakat dipaksa menerimanya. Di zaman rezim Pahlevi (sebelum revolusi Islam), penguasa menciptakan undang-undang bagi rakyat untuk kepentingan penguasa. Padahal, setiap pembuat peraturan seharusnya menciptakan undang-undang bagi kepentingan umat atau rakyatnya. Ya, apabila ia yang membuat undang-undang, maka dibuat untuk kepentingan sepihak, sementara undang-undang dibuat untuk kepentingan semua pihak.
Itulah salah satu falsafah di mana umat membutuhkan seorang nabi. Adapun menurut arif, insan kamil tidak hanya memikirkan masalah ishlah (perbaikan, maslahat) umat. Ia (arif) akan berkata, “Kami membutuhkan khalifatullah dan insan kamil, yang memimpin umat manusia dan melindungi makhluk-makhluk lainnya serta mengajari para malaikat. Kami mengharapkan kedatangan khalifatullah yang dengan keilmuannya dapat mengenali para malaikat.”
Pengetahuan seorang hakim (filsuf) sebatas: mengajarkan kepada kaum al-Kitab (Al-Quran) dan hikmah (Al-Baqarah : 151), sedangkan, arif berada di wilayah: Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam al-Asma semuanya. Sebab, pandangan seorang arif lebih luas; ia melihat segalanya dengan pandangannya yang lebih luas itu bahwa alam ciptaan adalah shulh al-kull (perdamaian menyeluruh). Artinya, bahwa segala yang ada adalah baik, termasuk wujud neraka. Meski dikatakan (bahwa neraka) adalah “Rumah yang tiada di dalamnya rahmat dan tiada terdengar di dalamnya seruan. “(Nahj al-Balaghah, khutbah ke-27), namun andai tidak ada itu, maka sebagian manusia tidak akan takut terhadap perbuatan dosa dan akan terjerumus dalam kesesatan.
Apabila penghuni surga melihat neraka, mereka akan melihat kebenaran dan mengatakan bahwa bila neraka tidak ada, niscaya mereka terjebak dalam keburukan. Sebagaimana, sebagian manusia tercegah melakukan kesalahan lantaran ketakutannya terhadap penjara. Karena itu, mereka harus mengenali penjara dengan sebenarnya. Walaupun penjara bukan taman yang menyenangkan dan sangat buruk, tetapi ia sangat baik bagi (keberlangsungan) sebuah negara. Apabila negara tanpa penjara, maka rakyat tidak akan memiliki rasa takut. Begitu pula alam tanpa neraka; manusia tidak akan bertakwa. Dengan demikin neraka harus ada. Menurut seorang arif, “Neraka adalah sebuah keindahan dalam bentuk lain.”(Muqaddimah Qaishari dalam Syarh al-Fushush)
Surat Al-Rahman diturunkan untuk menyebutkan dan menjelaskan nikmat-nikmat Allah SWT, dan bahwa Dialah yang mengatur dan meurunkan nikmat-nikmat itu. Permulaan suratnya dimulai dengan kalimat “al-Rahman”, bukan ”al-Qahhar”. Artinya, surat ini, dari awal hingga akhir adalah tentang rahmaniyyah (rahmat untuk seluruh makhluk) Allah SWT. Ya, Allah yang Maha Pengasih (al-Rahman) menurunkan rahmat-Nya dan awal rahmat-Nya yang turun adalah Al-Quran. Allah sendiri adalah pengajar Al-Quran: Yang Maha Pemurah Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarkannya pandai menjelaskan.
Jadi, apabila seseorang menguasai Al-Quran, ia akan menjadi manusia. Dan bila telah menjadi manusia, maka pembicaraannya adalah bayan (penjelasan). Sebaliknya, jika tidak mengenal Al-Quran, maka ia bukan manusia dan jika bukan manusia maka pembicaraannya tidak jelas. Seperti seekor binatang, yang pembicaraannya tidak dapat dipahami.
Surat tersebut menyebutkan tentang nikmat-nikmat, mulai dari langit dan bumi hingga neraka. Penekanan di dalamnya adalah: maka nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. Surat tersebut juga menyebutkan buah-buahan surga; kemudian mengatakan, di antara nikmat-nikmat itu, manakah yang Anda dustakan? Ketika menyebutkan neraka dan logam panas: kepada kamu. (jin dan manusia.) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (dari padanya). Maka, nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Sekali lagi dikatakan, “Nikmat manakah yang kalian dustakan? Alangkah baiknya bila kalian merasakan panasya api dan (cairan) logam neraka, yang mengalir di kepala kalian! Sungguh menakjubkan nikmat ini!”
Perhatikan, Allah menurunkan ayat Al-Quran untuk kaum arifin, hakimin, mutakallim, juga kaum awam, sebab: Al-Quran sebagai hudan linnas (petunjuk bagi umat manusia) (Al-Baqarah : 185). Jadi, dalam Al-Quran, tidak ada yang tidak dapat dipahami manusia. Meskipun banyak ayat yang kedalaman maknanya tidak dapat dipahami banyak orang, namun (ayat tersebut berada) dalam bentuk pemisahan dan kiasan yang sederhana dan mudah dipahami. Karena itu, Al-Quran menjelaskan sebuah permasalahan dalam bentuk matsal (permisalan), sehingga mumatstsil (yang memberi permisalan, yakni Al-Quran) dapat mengantarkan manusia pada pemahaman yang sederhana.
Perhatikanlah perbedaan dua hal berikut ini: pertama, di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang hanya dipahami kaum khawwash (orang-orang khusus). Kedua, juga terdapat ayat-ayat yang dipahami manusia secara umum. Yakni, Allah SWT mengungkapkan persoalan dengan permisalan sederhana dan mudah dipahami orang awam.
Ayat yang menyatakan: dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, adalah kajian bagi seorang arif. Sedangakan ayat: dan mengajarkan kepada  mereka al-Kitab dan hikmah, adalah pembahasan bagi seorang hakim (filsuf) dan mutakallim (teolog). Sementara, ayat-ayat seperti masalah peperangan, hukum, dan moralitas adalah pembahasan bagi ulama akhlak dan fikih. Dan ayat-ayat lain dapat dikaji oleh para ilmuwan.
Irfan tidak mengatakan bahwa setan tidak boleh ada; sebaliknya setan adalah sesuatu yang baik. Sebab, orang yang mencapai suatu maqam (tingkatan spiritual), tentu setelah berperang melawan setan. Andai saja setan tidak diciptakan, maka tidak akan ada  waswas dan tidak akan ada peperangan batin. Dan, manusia tidak akan sampai pada tingkatan spiritual, meskipun, kita diperintahkan untuk melaknat dan mengutuk setan. Kita mempercayai adanya setan bersama balatentaranya dan juga penghuni neraka; dan kita berlindung kepada Allah dari (godaan) setan. Namun, apakah setan itu hanyalah manifestasi yang menyesatkan kebenaran? Ataukah, Allah SWT mendidik manusia dengan makhluk buas yang membelenggunya?
Ya, setan adalah anjing didikan sistem penciptaan untuk seluruh manusia. Seluruh sistem wujud setan adalah rahmat. Jika manusia mempunyai anjing terdidik, ia akan mengenali anjing-nya najis dan haram dimakan itu, yang akan mengabdi kepada tuannya.
Setan senantiasa menggonggong di hadapan umat manusia, sementara, para nabi mengajak, “Janganlah kalian hiraukan gonggongannya.” Para nabi memberi petunjuk, “Perangilah setan yang mengonggong itu.” Apabila manusia tidak menghiraukan gonggongan setan, dan terus berjalan di atas petunjuk Allah melalui wakil-wakil-Nya, maka setan akan kalah dan tidak akan menggonggong lagi. Sebab, setan adalah khannas (selalu bersembunyi).
Dalam menggambarkan setan, Imam Ali berkata, “Setan adalah seperti pencuri pengecut, yang kedua kakinya tidak sebaris. Satu kakinya di depan dan kaki yang lain deibelakang, bersiap-siap untuk kabur.” (Nahj al-Balaghah, khutbah ke-66) Artinya, apabila Anda berhati-hati dan awas, setan akan kabur. Dengan membentaknya, ia akan melarikan diri. Dengan membaca a’uzdubillah, ia pun akan lari tak tentu arah. Jadi, ia benar-benar bersiap untuk pergi. Ya, setan akan selalu menggonggong dan ketika manusia tidak menghiraukan gonggongannya dan memohon perlindungan Allah, ia akan menyingkir dan bersembunyi. Sebelumnya, ia waswas (pembisik kejahatan), selanjutnya ia menjadi khannas (yang bersembunyi).
Ketika akan muncul, setan merupakan realitas dari: yang membisikkan (kejahatan) ke dalam hati manusia. Manakala manusia berlindung kepada Allah dari godaannya dan mengutuknya, maka ia akan bersembunyi dalam lubang. Ketika telah bersembunyi, menjadi sangat mudah untuk menawannya, seingga manusia akan terbebas (dari godaannya).
Ya, upaya keras yang dilakukan para nabi adalah membelenggu setan tersebut. Sementara, upaya setan adalah untuk membelenggu manusia. Peperangan batin berbeda dengan peperangan lahiriah (fisik). Dalam pertempuran fisik, pihak musuh akan membunuh atau menawan. Namun, dalam pertempuran batin, setan tidak membunuh manusia, sebab, itu tidak bermanfaat baginya. Target setan adalah agar manusia bertindak seperti tindakannya. Jadi, perjuangannya akan membelenggu dan menawan manusia hidup-hidup. Inilah makna sebuah nasihat, “Betapa banyak akal yang tertawan oleh hawa nafsu bersimaharajalela.” (Nahj al-Balaghah, hikmah ke-211)
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setan tunduk (menyerah) kepadaku.” (Musnad Ahmad, juz, I hal, 207) Artinya, “Ia (setan) telah aku tawan.” Kesimpulannya, apabila pandangan seseorang adalah pandangan makrifah, maka neraka yang merupakan tempat yang sangat buruk – dalam sistem penciptaan – adalah baik. Ia akan mengatakan bahwa neraka itu harus ada dan merupakan tempat yang baik. Setan, yang merupakan basis kutukan, haruslah ada. Karena itu, ia harus hadir di seluruh sistem penciptaan.
Kerancuan Italia, Eropa, dan Barat adalah lantaran mereka berpikir bahwa arif tidak harus berperang. Mereka lalai bahwa perang, difa’, dan jihad adalah pandangan seorang irfani (‘arif) adalah sesuatu yang baik. Ia (‘arif) tidak akan mengatakan bahwa difa’ dan jihad tidak boleh terjadi.
Salam atas kalian, wahai Ahlul Bait Nabi saww. Salam atasmu, wahai Qatil al-‘Abarat; salam atasmu wahai al-Husain; salam atas Ali bin al-Husain dan putera-putera al-Husain serta sahabat-sahabat al-Husain.