Mengapa Asyura

Kelompok pembenci pencinta keluarga Nabi mengajukan pertanyaan tentang al-Husain as dan Asyura. Mereka mengira pertanyaan itu kuat dan menjatuhkan. Tapi sesungguhnya mereka mengajukan pertanyaan yang sangat rapuh. Berikut pertanyaan-pertanyaan mereka dan jawabannya oleh Husseini al-Hewa. Diterjemahkan dan diperkaya oleh Ust. Miftah F. Rakhmat.
1. Apakah kalian percaya takdir, qadha dan qadar? Kalau kaupercaya, mengapa kautangisi Al-Husain? Tidakkah itu ketentuan Allah Ta’ala yang ditetapkan padanya. Kalau kau tak percaya takdir, selesailah sudah. Percaya takdir adalah bagian dari keimanan. 
Jawaban: Apakah Nabi Allah Ya’qub as percaya takdir, qadha dan qadar? Jika kauberkata, tentu saja. Lalu mengapa ia menangisi kehilangan Nabi Yusuf as hingga memutih kedua matanya. “Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya.” (QS. Yusuf [12]:84) 
Dan kalau menurutmu Nabi Ya’qub as tidak percaya pada takdir, tidak menerima kehilangan Nabi Yusuf as, maka kau sudah hakimi ia tidak beriman. Astaghfirullah tsumma astaghfirullah. Saudaraku, sesungguhnya iman pada qadha dan qadar tidak meniadakan kesedihan. Kita boleh menampakkan dukacita karena kehilangan orang yang kita cintai. Bersedih karena itu fitriah. Kita semua percaya bahwa kematian pasti terjadi. Kebangkitan pasti terjadi. Semuanya di tangan Allah Swt. Nabi Ya’qub dan para nabi yang lain mencontohkan dukacita ditinggalkan para pecinta. Maka bagaimana kita berduka atas musibah yang untuknya penghulu para nabi saja mencurahkan airmata? 
2. Siapakah yang memerintahkanmu untuk memperingati Asyura? Kalau kaubilang Allah dan RasulNya, aku tuntut darimu mana dalilnya. Kalau kaukatakan tak seorang pun menyuruhmu, maka kau terjatuh pada bid'ah yang keliru. Kalau kausebutkan Ahlul Bait yang memintamu, akan aku ajukan kau di hadapan mereka, karena mereka tidak pernah melakukan yang kaulakukan. Kalau alasanmu kecintaanmu bagi mereka, maka apakah Ahlul Bait tidak mencintai Al-Husain? Mereka tidak pernah meratap bagi Al-Husain atau melukai diri mereka demi kecintaan itu.
Jawaban: Siapakah yang memerintahkanmu untuk menyusui orang dewasa (ridha’ah al-kabir)? Kalau kau bilang Allah dan RasulNya, aku tuntut darimu mana dalilnya. Kalau kaukatakan tak seorang  pun menyuruhmu, maka kau terjatuh pada bid'ah yang keliru. Kalau kau sebutkan para sahabat melakukannya, aku minta kau contohkan sahabat yang mana. Kalau kau bilang, kau lakukan itu karena kecintaanmu pada yang mencontohkannya, maka apakah semua sahabat besar itu tidak mencintai yang mencontohkannya hanya karena mereka tidak melakukannya? Isteri-isteri mereka tidak pernah menyusukan orang dewasa di antara kaum Muslimin.
Sahabatku, ratapan untuk Al-Husain adalah kecaman bagi para pembunuhnya. Kecaman atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Kutukan atas penistaan terhadap agama yang mereka hinakan. Pakaian hitam adalah tamparan pada setiap pelaku kezaliman. Tamparan bagi Bani Umayyah dan teriakan bahwa Semangat Al-Husain akan tetap abadi sepanjang zaman. Adapun dalil, banyak sekali. Silakan rujuk Wasa’il al-Syiah 14:500 bab 66. Ada puluhan hadits dikumpulkan dari berbagai kitab tentang itu. 
3. Apakah jihadnya Al-Husain ke Karbala untuk menegakkan ‘izzah Islam dan kaum Muslimin? Ataukah dzillah, kehinaan bagi Islam dan kaum Muslimin. Kalau menurutmu ‘izzah, tidakkah sepantasnya kau berbahagia? Mengapa menangis untuk hari ketika Islam ditegakkan. Kalau kaubilang dzillah, beranikah kausematkan ‘penghina’ Islam dan kaum Muslimin pada Al-Husain?
Jawaban: Apakah jihadnya Hamzah bin Abdul Muthallib di medan Uhud untuk menegakkan ‘izzah Islam dan kaum Muslimin? Ataukah dzillah. Kalau kaubilang ‘izzah, mengapa Nabi Saw berduka dan menangisinya. Tidakkah sepantasnya Nabi berbahagia? Mengapa bersedih untuk hari ketika Islam ditegakkan. Berikut hadis ketika Nabi Saw berduka untuk Hamzah: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal hadis no. 4742; Mustadrak al-Hakim hadis no. 1407, 4891; Mu’jam al-Kabir al-Thabrani juz 11, hadis 1193; Thabaqat Ibn Sa’ad juz 2:44, 3:18, 10:10; Nayl al-Awthar Al-Syaukani 4:153; Al-Bidayah wa al-Nihayah Ibn Katsir 4:55; Al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Katsir 3:95; Usud al-Ghabah Ibn Atsir 2:48; al-Kamil fi al-Tarikh Ibn Atsir 2:163; Tarikh Thabari 2:210…dan masih banyak lagi. 
Dengan seluruh riwayat itu, apakah Nabi Saw berduka saat ‘izzah Islam dimuliakan? Kalau kau bilang dzillah, beranikah kau sematkan ‘penghina’ Islam dan kaum Muslimin pada Hamzah bin Abdil Muthallib ra? 
Kawanku, berduka untuk kehilangan para tercinta adalah fitrah manusia, kecuali bagi mereka yang keras hatinya. Begitu pula para nabi bersedih. Maka bayangkan kesedihan bila kehilangan para pelanjut kenabian. Bagaimana bila tangisan itu adalah jawaban atas kecintaan pada al-Qurba yang diwasiatkan? Bila Nabi Saw saja menangis sebelum syahadah Al-Husain, bagaimana kita menghadapinya bakda syahadahnya? Ketahuilah, kawanku…tangisan untuk Al-Husain ini sudah ada sepanjang sejarah. Sudah banyak orang berusaha menghentikannya. Tak ada yang berhasil. Tangisan untuk Al-Husain akan memanjang, abadi hingga akhir masa.
4. Untuk apa Al-Husain berjihad? Apa yang ia peroleh dari itu? Kalau kaubilang untuk melawan orang zalim, mengapa ayahnya, Ali bin Abi Thalib tidak melakukan yang sama. Bukankah menurutmu, ia juga dizalimi? Apakah Al-Husain lebih tahu tentang itu dari ayahnya, ataukah ayahnya tak memiliki keberanian seperti Al-Husain? Dan mengapa pula saudaranya Al-Hasan justru memilih berdamai dengan Mu’awiyyah? Dari tiga orang ini: Ali, Al-Hasan, dan Al-Husain, mana yang benar? Mengapa mereka menempuh tiga jalan yang berbeda? 
Jawaban: Untuk apa Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abdullah bin Rawahah berangkat ke Mu’tah untuk berjihad? Kalau kaubilang untuk melawan orang musyrik, mengapa Nabi Saw sendiri tidak berangkat untuk itu? Mengapa Nabi Saw juga tidak berangkat memerangi musyrikin Makkah? Apakah menurutmu Ja’far, Zaid, dan Abdullah lebih mengetahui dari Rasulullah Saw. Ataukah Nabi Saw tidak cukup berani dan malah berdamai dengan mereka pada Perjanjian Hudaibiyyah? Mengapa pula para sahabat tidak keluar memerangi kaum Musyrikin di negeri-negeri yang lainnya? 
Ya Syaikh, sesungguhnya tujuan dasar dan utama Baginda Nabi Saw adalah memelihara dan menjaga Islam dan kaum Muslimin. Kalaulah ada pilihan antara menjaga Islam atau memerangi kaum Musyrikin, Nabi Saw pasti memilih yang pertama. Inilah mengapa Nabi Saw berdamai di Hudaibiyyah. Inilah juga mengapa Ali bin Abi Thalib as berkata, “Aku akan berserah diri, selama selamat urusan kaum Muslimin.” Tapi Ali yang sama, demi menyelamatkan Islam dan kaum Muslimin, berperang di Jamal, Shiffin, dan Nahrawan. Karena sebab yang sama Al-Hasan berdamai dengan Mu’awiyyah, demi Islam dan kaum Muslimin. Atas dasar yang sama pula Al-Husain berjuang dan berperang. Bila tidak karena Islam telah diselewengkan, wajah Islam telah dikaburkan, penguasa Islam hanya mengatasnamakan…bila tidak untuk Islam, takkan Al-Husain dan keluarganya melangkah ke Karbala.