Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

hak tetangga

1 Pendapat 05.0 / 5
 
Salah satu hak sosial yang sering dipesankan oleh Islam adalah hak tetangga. Tentang hak tetangga Imam Shadiq as. berkata, "Berbuat baiklah dengan tetangga, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan hal itu." (Al-Bihâr juz 69 bab 38)
Riwayat yang memuat perintah Tuhan tersebut terdapat dalam ayat 139 surat An-Nisa’ yang berbunyi, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuatlah baik kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
Rasulullah saw. selalu mengingatkan para sahabatnya tentang hak-hak tetangga dan memperingatkan kepada mereka akan siksa akhirat sebagai akibat tidak menjaganya. Kemudian beliau bersabda, “Jibril senantiasa berpesan kepadaku tentang (hak) tetangga, sehingga aku menyangka bahwa tetangga akan mewarisi harta tetangganya” (Kanz Al-‘Ummal, khabar 24913)
Di samping itu, Imam Ali as. dalam wasiatnya juga mengatakan, “Allah! Allah! Ingatlah tetanggamu sebab ini adalah wasiat Nabi kalian. Nabi sedemikian seriusnya berpesan soal tetangga kepada mereka sehingga kami menyangka bahwa ia akan mewarisi tetangga mereka.” (Al-Bihâr, juz 74, Bab Haqq Al-Jar)
Berikut ini kami bawakan beberapa wasiat Nabi saw. tentang menghormati tetangga.
 
1- Berbuat baiklah dengan tetanggamu niscaya kamu menjadi seorang mukmin (Al-Bihâr, juz 4, Bab Jawami’ Al-Makarim)
 
2- Kehormatan tetangga atas manusia seperti kehormatan ibunya (Al-Bihâr, Juz 74, Bab Haqq Al-Jar)
 
3- Tiada suatu kemuliaan yang lebih ditekankan seperti kemuliaan berhubungan baik dalam berteman dan bertetangga. (Mîzan Al-Hikmah, Bab 634)
 
4- Nabi saw. ditanya, “Wahai Nabi Allah! Adakah hak lain dalam harta selain zakat?” Beliau menjawab, “Ya! Yaitu berbuat kebaikan dengan keluarga dan menjalin hubungan dengan tetangga Muslim. Sesungguhnya tidak beriman kepadaku, orang yang tidur dalam kekenyangan sementara tetangga Muslimnya dalam kelaparan” (Al-Bihâr, juz 74, Bab Haqq Al-Jar)
 
5- Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Aku berniat membeli rumah. Engkau putuskan untukku di mana aku mesti membeli rumah? Apakah di suku Juhainah atau Muzainah, ataukah bangsa Tsaqif atau Quraisy ataukah ...?” Rasulullah saw. bersabda, “Tetangga dulu baru kemudian rumah, berteman dulu kemudian berangkat safar.” (Mîzan Al-Hikmah, Bab 64) Maksud Rasulullah adalah di mana saja rumah yang akan kamu beli, yang pertama harus diperhatikan adalah karakter tetangga. Jika mereka orang baik, baru kamu membeli rumah. Demikian juga untuk bepergian jauh, pertama-tama pilihlah teman dalam safar dengan tepat, baru kamu berangkat safar.
 
6- Hadis Rasulullah saw. tentang hak-hak tetangga terhadap tetangga yang lain mengatakan demikian, “Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kamu apa hak tetangga?’ Mereka berkata, ‘Tidak!’ Beliau bersabda, ‘Jika ia mengharapkan pertolonganmu, maka tolonglah ia; jika ia ingin meminjam uangmu, berilah ia uang; jika ia membutuhkanmu, penuhilah kebutuhannya; jika ia mendapatkan suatu kebaikan, ucapkan selamat kepadanya; jika ia sakit kamu menjenguknya; jika ia ditimpa musibah, kamu berkabung atasnya dan; jika ia mati, kamu antarkan jenazahnya. Jangan sampai bangunan rumahmu meliputi rumahnya sehingga menyebabkan udara terhalang olehnya melainkan dengan izinnya. Jika kamu membeli buah-buahan, maka bagikanlah kepadanya, dan jika kamu tidak melakukan hal itu, maka sembunyikanlah buah-buahanmu darinya. Jangan sampai anakmu keluar dengan membawa buah sehingga sampai mengusik anak tetangga. Jangan kamu mengganggunya dengan sedapnya bau masakanmu melainkan kamu tuangkan (juga) untuknya.” (Al-Bihâr, Juz 72, Bab Al-Ta’ziyah wa Al-Ma’tam)
 
7- Imam ali Zain al-Abidin as., dalam Risalah Al-Huqûq-nya, juga menerangkan hak-hak tetangga. Imam berkata, “Adapun hak tetanggamu ialah menjaganya ketika ia tidak ada (di rumah), menghormatinya ketika ada. Jika ia teraniaya, maka tolonglah ia. Janganlah kamu membuka aibnya dan jika kamu melihat keburukan pada dirinya, tutupilah keburukannya, dan jika kamu tahu bahwa ia mengikuti nasihatmu, jadikanlah nasihat itu antara kamu dengannya. Janganlah kamu biarkan ia dalam kesulitan. Lupakanlah kesalahannya, dan maafkan dosanya (kepadamu) dan bergaullah dengannya secara baik dan mulia.” (Al-Bihâr, Juz 74, Bab I)
Para imam lain pun menekankan hak-hak tetangga dan keharusan berhubungan baik dengan mereka. Imam Hasan . berkata, “Di masa kecil, aku selalu teringat ibuku, Fatimah Az-Zahra as., pada saat malam-malam Jum’at setelah beliau menyelesaikan shalat malam, beliau selalu berdoa dengan suara keras dan mendoakan kaum muslimin yang beliau kenal serta tetangga dengan menyebutkan satu per satu nama-nama mereka. Pemah sekali aku perhatikan, sekadar ingin tahu, apakah ia juga mendoakan dirinya. Namun, setiap aku perhatikan, aku dengar beliau tidak memohon kepada Allah untuk dirinya sendiri. Saat menjelang subuh, aku tanyakan hal itu kepada ibu, ‘Ibu! Mengapa setiap aku mendengarkan (doamu), yang engkau doakan adalah orang lain tetapi untuk diri sendiri tidak engkau ucapkan. Ibu berkata, ‘Wahai putraku, yang awal adalah tetangga, dan kemudian rumah!’”
Ahlulbait yang suci (salam sejahtera atas mereka), selain mewasiatkan tentang berbuat baik terhadap tetangga dan menerangkan hak-hak mereka, juga menerangkan dampak dan manfaat menjalin hubungan baik dengan tetangga. Imam Ali as. berkata, “Sesiapa yang berbuat baik kepada para tetangganya niscaya banyak orang yang akan membantunya.” (Ghurar al-Hikam). Beliau juga pernah berkata, “Sesiapa yang berhubungan baik dengan para tetangganya, maka semakin banyak ia mempunyai tetangga.”
Coba perhatikan! Yang dimaksudkan hadis Imam yang pertama itu adalah apabila manusia berbuat bijak dan manusiawi dengan para tetangganya, maka secara alamiah, bilamana mereka dalam berbagai masalah dan mereka memerlukan bantuan, maka ia membantu, sebaliknya ketika ia mengalami kesusahan dan memerlukan bantuan mereka, maka mereka juga akan menolongnya.
Hadis kedua juga mengisyaratkan tentang hal ini, bahwa ketika manusia berhubungan baik dengan yang lain, berakhlak mulia terhadap mereka, maka mereka juga merasa senang beretangga dengannya dan mereka akan mengukuhkan jalinan hubungan mereka itu dengannya. Mereka akan selalu ingin bekerja sama dengannya dan ia tidak akan merasa sendiri serta terasing. Kemudian mereka juga akan sangat senang bertetanggga dan berhubungan dengannya.
Tentang dampak positif bagi yang berbuat baik kepada tetangganya, Imam Shadiq as. berkata, “Berbuat baik dalam bertetangga akan melancarkan rezeki.” (Al-Bihâr) Beliau juga pemah berkata, “Berbuat baik dengan tetangga itu akan memakmurkan daerahnya dan menambah umur.” (Ushûl Al-Kafî, Juz 2).
 
Menyakiti Tetangga
 

Dalam hadis-hadis Islam, selain menekankan masalah hak-hak tetangga dan menjalin hubungan baik dengan tetangga, juga memperingatkan tentang mengganggu dan menyakiti mereka, serta tidak peduli dengan masalah yang mereka hadapi.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia tidak menyakiti tetangganya.” (Al-Bihâr, Juz 32, Bab 3)
Di masa Rasulullah saw., seseorang dari kaum Anshar menghadap Nabi saw. dan berkata, “Ya Rasulullah! Aku telah membeli sebuah rumah di daerah suku fulan. Di sana, tetanggaku yang paling dekat adalah seseorang yang tidak aku harapkan kebaikannya juga aku tidak merasa aman dari keburukannya.”
Ketika itu, Rasulullah saw. menyuruh empat orang yang ada di masjid yaitu Imam Ali, Salman, Abu Dzar, dan Miqdad agar menyeru dengan suara yang keras, “Tiada iman bagi orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (Wasâ’il Al-Syî’ah, Juz 8, h.387)
Kami menemukan dalam kisah lain, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah saw. dan mengeluhkan tetangganya. Kemudian, Rasulullah menasihatinya agar tabah dan sabar. Rasul bersabda, “Bersabarlah! Mudah-mudahan ia akan berubah.” Pada kesempatan kedua kalinya, Rasulullah menasihatinya seperti sebelumnya. Namun, pada ketiga kalinya orang itu kembali datang kepada Rasulullah dan mengadukan tentang teangganya yang suka mengganggu dirinya itu. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Di hari Jum’at, keluarkan perabotan dan peralatan yang ada di dalam rumahmu, letakkan di pinggir jalan. Jika orang-orang bertanya kenapa kamu lakukan hal ini, maka katakan pada mereka bahwa ini semua karena keburukan tetanggaku dan keluhkan pada mereka tentang keburukan yang diperbuatnya kepadamu!”
Akhirnya orang itu melakukan anjuran Nabi saw. Tak lama kemudian tetangga yang jahat, yang selama ini menyangka bahwa Rasulullah saw. akan menasihati tetangga yang disakiti itu supaya bersabar, untuk menjaga harga dirinya, berharap agar tetangga yang disakiti itu mengembalikan perabotan-perabotannya ke dalam rumahnya. Lebih dari itu, ia berjanji kepadanya akan mengubah sikap buruk terhadapnya selama ini.
Dalam hadis lain, ketakpedulian terhadap kesulitan dan kesusahan para tetangga, dengan tegas, diperingatkan Nabi saw., beliau bersabda, “Bukanlah orang mukmin, seseorang yang tinggal (di rumahnya) dengan kekenyangan sementara tetangga di sampingnya kelaparan.” (Kanz Al- ‘'Ummal, khabar 24929)
Imam Ali as. meriwayatkan dari Rasulullah saw. yang bersabda, “Tidaklah beriman kepada Allah dan hari akhirat orang yang berdiam dengan perut kenyang sementara perut tetangganya lapar.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah! Kalau begitu, kami semua ini binasa?”
Rasulullah bersabda, “Dengan makananmu, dengan kurmamu, dengan uangmu, dengan perangaimu dan dengan pakaianmu, kamu dapat meredam kemarahan Tuhan.” (Al-Bihâr, juz 77, Bab 7)
Yang dimaksudkan Rasulullah adalah memberi hadiah dengan apa yang kalian miliki kepada para tetangga yang membutuhkan. Hal ini akan menyebabkan keridhaan Allah.
Menurut beberapa hadis yang menjelaskan tentang batas yang termasuk ke dalam kategori tetangga ialah empat puluh rumah dari setiap empat rumah yang terdekat. Dengan kata lain, sebatas empat puluh rumah dari empat rumah yang terdekat itu terhitung sebagai tetangga.
Imam Ali as. bersabda, “Wilayah suci masjid adalah empat puluh dzira’ (kira-kira 4 x 45 cm) dan wilayah bertetangga ialah empat puluh rumah dari setiap empat rumah yang terdekat.” (Al-Bihâr, Bab 9)
Ulama Islam, sesuai anjuran Nabi saw. dan para imam suci as. menyangkut kepedulian hak-hak tetangga, memusatkan pikiran dengan sangat serius dan amat teliti dalam mengkajinya. Satu contoh perhatian serius mereka tentang hak-hak tetangga, kami sebutkan berikut ini:
Seorang faqih besar Syi’ah, almarhum Sayid Jawad Amuli, menceritakan, “Di suatu malam, aku sedang menyiapkan makan malam di rumah. Lalu seorang pembantu Almarhum Al-Ustadz Bahrul Ulum mengetuk pintu rumah. Ketika aku buka pintu untuknya, ia berkata, ‘Al-Ustadz mengundangmu. Beliau sudah menyiapkan makanan malam tetapi beliau tidak akan makan sampai kamu datang.’
“Ketika itu, aku bergegas dan bersiap-siap lalu berangkat dengan cepat. Ketika aku sampai di kediaman Al-Ustadz, aku melihat beliau tampak sangat marah memandangku dan beliau berkata, ‘Sayid Jawad, apakah kamu tidak takut kepada Allah? Apakah kamu tidak malu kepada Allah?’
“Dengan heran aku bertanya, ‘Jika tidak keberatan mohon jelaskan kesalahanku?’
“Beliau berkata, ‘Selama seminggu, tujuh hari tujuh malam, tetanggamu dan keluarganya sulit mencari makanan. Selama itu, ia selalu membeli dengan berhutang kurma yang termurah pada penjual di pinggir gang. Pada hari ini, ia pergi ke penjual kurma untuk membeli. Penjual marah karena hutangnya telah banyak. Ia merasa malu dan pulang ke rumah dengan tangan kosong. Malam ini, ia dan keluarganya tanpa makan malam.’
“Aku berkata, ‘Ya Ustadz! Demi Allah, selama ini aku tidak tahu kejadian ini. Kalau aku tahu, tentu sudah aku bantu.’
‘Kebencianku karena inilah, mengapa kamu tidak mengetahui keadaan tetanggamu? Mengapa sampai tujuh hari tujuh malam mereka mengalami seperti ini sementara kamu tidak mengetahui? Apabila kamu mengetahuinya dan kamu tidak memberi mereka makan, kamu bukan seorang muslim, tetapi seorang Yahudi.’
“Setelah itu, Al-Ustadz menyodorkan piring makanan kepadaku dan berkata, ‘Bawalah makanan ini dan katakan aku telah menyiapkan makan malam!’ Kemudian Ustadz memberiku uang dan menegaskan, ‘Ambil uang ini dan taruhlah di bawah alas rumahnya!’
Demikianlah sisi lain Al-marhum Sayid Bahrul ‘Ulum, betapa perhatiannya beliau kepada tetangga Sayid Jawad Amuli di saat tiada seorang pun yang memperhatikannya. Namun yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah betapa sungguh perhatian dan telitinya ulama besar Islam tentang memperhatikan keadaan tetangga, kesulitan, dan kesusahan mereka.