Menghampiri Kebenaran dengan Akal

Sangat sering kita mendengar atau membaca di pelbagai media dan literatur (meliputi kitab suci serta buku-buku ilmiah) di mana manusia senantiasa disanjung dan dimuliakan bahkan melebihi para malaikat serta makhluk-makhluk lainnya, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh Dia yang menciptakannya. Pujian dan sanjungan atas keunggulan, kelayakan dan keutamaan makhluk bernama manusia ini bukanlah tanpa alasan(Kebetulan). Boleh jadi, alasan-alasan tersebut berupa data-data valid yang dapat dirangkai dan diramu menjadi serentetan proposisi-proposisi rasional tak terbantah, setidaknya mampu menenangkan, jika tidak dapat meyakinkan, setiap kepala yang masih berpikir.


Kedudukan Akal Pada Manusia
Sampai di sini, kami telah menuliskan beberapa kalimat yang terdiri dari puluhan kata serta berisi ratusan huruf. Tentu saja guna menghasilkan kalimat-kalimat bermakna yang bisa terbaca sehingga dapat dipahami oleh pembaca, ratusan huruf-huruf ini mesti terangkai dan tersusun apik berdasarkan aturan tata bahasa yang disepakati, sejak manusia pertama kali hadir dan berbicara. Sekiranya di depan pembaca huruf-huruf ini tidak teratur, teracak dan berserakan begitu saja, pembaca tidak akan memahami sedikitpun makna yang bermanfaat darinya. Susunan huruf-huruf ini bisa menjadi kata dan kalimat atau tulisan bermakna serta bermanfaat lantaran jasa pikiran manusia, akal (pikiran) manusialah yang sesungguhnya menjadi “Kreator” bagi huruf-huruf ini, mulai dari konstruksi, pemaknaan hingga pengaturan dst.


Ilustrasi di atas tentunya mengingatkan kita kepada salah satu dari argumen-argumen pembuktian eksistensi Tuhan yaitu sebuah inferensi rasional yang lebih dikenal dengan “Argumen Keteraturan” di mana dengan menyaksikan, menyimak serta menganalisa fenomena-fenomena alam secara holistik (Khususnya dari segi keteraturan, keselarasan dan sistematisasi-kausatif yang berlaku di dalamnya) akal manusia dengan sendirinya akan menyimpulkan suatu konsep tentang eksistensi subjek pengatur, penyusun atau apapun namanya, sama halnya ketika pembaca menyaksikan, menyimak dan membaca untaian huruf dan kata yang telah teratur, terangkai serta tersusun rapi sehingga menghasilkan makna-makna yang terpahami oleh pembaca, dengan sendirinya akan mengonsepsikan eksistensi subjek pelaku(Baca: Penulis) yang sejatinya merupakan orang yang menyusun, merapikan serta merangkai huruf-huruf tersebut hingga membentuk suatu kata dan kalimat serta tulisan sempurna. Seandainya subjek tersebut tiada, maka mustahil huruf-huruf itu bergerak, bergeser, saling mendekat dengan ikhtiar dan kehendaknya sendiri sehingga dapat melahirkan rangkaian kata dan kalimat bermakna, bahkan lebih penting dari semua itu, eksistensi huruf-huruf tersebut sangat bergantung pada subjek pelaku (yang hidup, berilmu, berkuasa dan berkehendak) yang meletakkan ujung pena ke atas kertas atau ujung jemari di atas keyboard lalu menggerakkan dan atau menindiskannya.


Pemahaman semacam ini tentunya berpijak pada hukum-hukum universal akal (rasionalitas) manusia sehingga bukan hanya anda atau kami saja yang memahami demikian, tetapi seluruh orang-orang berakal (sehat-akal) akan memahaminya seperti ini pula.


Lalu seperti apa sesungguhnya esensi akal itu? Ilustrasi tentang huruf-huruf ini, sebenarnya hanyalah gambaran kecil dari efek keberadaan akal. Akal sendiri hanyalah salah satu dimensi dari sekian banyak dimensi-dimensi jiwa. Dalam perspektif agama dan filsafat, hakekat kedirian manusia terletak pada substansi jiwa atau Ruh (bersifat non-materi), bukan pada substansi badan-materi yang pada akhirnya akan “lenyap” dan berubah hingga ‘tak terbatas’ bentuk (setidaknya hal itu nampak secara kasat mata pada manusia yang sudah tidak bernyawa). Ruh manusia – di mana akal merupakan salah satu fakultas terpentingnya – adalah sesuatu yang menjadikan manusia berbeda dari makhluk-makhluk lainnya, bahkan tak diragukan lagi merupakan sesuatu yang dipuji Tuhan sekaligus menjadi alasan ditempatkannya manusia pada posisi tertinggi dalam piramida eksistensi. Terkadang, akal disebut pula sebagai Rasul batin (Internal) bagi manusia, sebagaimana terdapat pula Rasul formal (Eksternal), yaitu; para Nabi dan para penerus mereka. Selaku “utusan” dan “rasul” Tuhan, akal tentu tidak akan keluar dari kodrat dan tugasnya sebagai “penunjuk jalan” sebagaimana halnya dengan apa yang menjadi tugas utama Rasul formal (Rasul-rasul yang berujud manusia) yaitu; Pembimbing dan pemberi hidayah atau petunjuk kepada seluruh manusia.


Rencana dibalik Penciptaan Akal
Tentunya seluruh nikmat-nikmat Tuhan yang mengalir dalam kehidupan manusia bukanlah tanpa tujuan, dalam artian perbuatan-perbuatan Tuhan telah didesain sesempurna mungkin oleh-Nya – Perbuatan-perbuatan Tuhan dalam hal ini mesti dimaknai sebagai pewujudan, yakni perbuatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari akibat perbuatan, sebagaimana yang lazim terjadi pada makhluk seperti manusia, tapi perbuatan yang dinisbahkan kepada Tuhan dalam kenyataannya adalah akibat perbuatan itu sendiri – dengan kata lain perbuatan-perbuatan Tuhan merupakan refleksi seluruh sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya (yakni sifat-sifat Tuhan termanifestasi dalam perbuatan-perbuatan-Nya). Jika Tuhan maha bijak, adil, berilmu, kuasa dst… maka perbuatan-perbuatan-Nya pun tentunya mencerminkan kebijakan, keadilan, kecerdasan, keagungan dst… . Dengan demikian, Ruh suci atau akal yang dititipkan Tuhan pada diri manusia sebagai esensi dan pembeda paling jelas dari selainnya, mengandung tujuan-tujuan tinggi penciptaan alam semesta.


Di sini mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah Tuhan pilih kasih dengan makhluknya? Mengapa hanya manusia yang dikaruniai “Akal” sementara tetumbuhan atau kawanan binatang tidak memilikinya? Bahkan jin sekalipun tidak bisa dipastikan memiliki akal sebagaimana yang dimiliki manusia, dalam artian kesempurnaan akal yang mampu dicapai manusia belum tentu bisa dicapai oleh para jin. Adapun para malaikat dengan seluruh tingkatannya tentu saja masih kekurangan dengan apa yang dimiliki manusia atau jin, lantaran wujud substansial (Akal) malaikat murni dan tidak ‘tersentuh’ oleh substansi materi, sementara manusia selagi masih hidup tidak pernah terpisah dengan substansi materi dan karena itu pula manusia dalam suatu gerak-substansial dapat bergerak serta berevolusi hingga mencapai (atau bahkan melampaui) substansi makhluk akal paling tinggi dan sempurna serta paling dekat dengan Tuhan, sementara pada saat yang sama tetap bersentuhan secara langsung dengan dunia materi. Mungkin dengan alasan itu pula manusia menjadi satu-satunya makhluk yang memiliki potensi dan kelayakan menjadi wakil Tuhan (Qutub alam semesta) dalam mengurusi makhluk-makhluk-Nya.


Tuhan tentu tidak pernah pilih kasih dan berlaku tidak adil dengan sebagian makhluk-Nya, sebab jika tidak demikian, maka Tuhan bukanlah Tuhan, yakni; ketuhanan Tuhan sesungguhnya meniscayakan sifat-sifat sempurna Tuhan seperti sifat bijak, adil, berilmu, kuasa dst… dan tanpa sifat-sifat sempurna tersebut Dia bukanlah Tuhan (dalam makna yang wajib diyakini keberadaannya dalam agama-agama teologis). Namun hal ini jangan diartikan bahwa Tuhan butuh atau perlu kepada sifat-sifat sempurna tersebut dan ketuhanan-Nya bergantung kepada sifat-sifat-Nya. Pada hakekatnya sifat-sifat Tuhan bukanlah “entitas” yang berbeda serta mandiri dari wujud-Nya melainkan hakekat wujud dzat-Nya itu sendiri, atau dalam perspektif lainnya sifat-sifat atau nama-nama tersebut hanya di sebut sebagai “Tajalli” di mana realitas dan eksistensinya adalah terikut atau tersyarati oleh realitas dan eksistensi Tuhan; yakni realitas atau eksistensi, sejatinya hanyalah milik Tuhan, adapun realitas atau eksistensi selain Tuhan mengada atau mengaktual dengan realitas atau wujud-Nya.


Olehnya itu, ciptaan Tuhan – Meliputi manusia dan alam semesta – merupakan sebaik-baiknya ciptaan dan mustahil terwujud yang lebih baik atau lebih sempurna dari yang ada ‘saat’ ini; karena jika tidak demikian, maka konsekuensinya ialah Tuhan telah kekurangan, tidak kuasa atau bahkhil serta jahil dalam mencipta, sementara Tuhan maha suci dari sifat-sifat seperti itu. Rahasia perkara ini ada pada Wujud Tuhan, ketika kita memikirkan dan merenungkan konsep “wujud” – perenungan rasional  hanya dapat dilakukan melalui akal sementara akal hanya berinteraksi dengan konsep-konsep, tapi akal sendiri mamahami jika konsep-konsep tersebut menghikayatkan makna-makna yang merealitas dalam suatu wujud riil atau objek eksternal (Misdaq) – kita akan mendapati wujud ini sederhana (Bashith), tidak terangkap serta tidak terbatas atau bertepi, kita akan menyaksikan dengan akal kita bahwa wujud hanya satu dan tunggal, bukan dalam pengertian angka dst… . Dengan pemahaman seperti ini tentunya tidak akan pernah terlintas lagi dalam pikiran kita akan kekurangan atau kecacatan pada Tuhan, karena selain keberadaan (Wujud) adalah ketiadaan (‘Adam), dan jika saja di samping wujud diasumsikan terdapat sesuatu yang lain, maka ketahuilah bahwa sesuatu yang lain itu pun merupakan suatu entitas yang keberadaannya bersumber atau bergantung pada “wujud” (dalam pengertian relasi kausalitas). Kesimpulannya; ketika alam semesta (meliputi manusia) merupakan akibat dari Tuhan (Kausa prima), sementara satu sebab hanya akan menimbulkan satu akibat secara langsung, maka akibat-akibat lainnya (yang kita bayangkan bisa saja lebih sempurna dari yang telah ada) mustahil terwujud dari sebab yang sama, karena akibat-akibat tersebut sudah bukan lagi akibat langsung dari sebab pertama, dan sudah pasti tidak akan lebih sempurna. Tentu saja kita tidak dapat membayangkan “Kausa” selain dari Wujud (yakni; Tuhan) karena seperti yang telah di sebutkan sebelumnya, wujud itu tunggal (`Ahad), sederhana (Bashith), tidak terangkap, tidak terbatas dst.. sehingga dengan sendirinya akan menafikan eksistensi selain dirinya, dan jika “eksistensi” selainnya itu saja telah ternafikan bagaimana mungkin masih tersisa sesuatu yang dapat kita bayangkan…!?.


Tuhan adalah wujud yang “kaya” dan tak butuh dengan apapun, bahkan konsep “butuh” itu sendiri hanya akan bermakna dengan kewujudan Tuhan, karena butuh yakni tak punya, dan untuk menjadi punya sesuatu perlu kepada yang punya, dan ketika “sesuatu” tidak punya “sesuatu apapun”; bahkan wujudnya sekalipun adalah pemberian dari yang punya-wujud, maka pada dasarnya ia adalah hakekat “butuh” itu sendiri, karena “butuh-nya” ia sama dengan “wujud-nya”, yakni ketika ia telah terwujud tidak lantas menjadi tak-butuh, karena ketidakbutuhannya berarti ketiadaan. Olehnya itu, butuh merupakan sifat-niscaya bagi wujud-wujud yang tak-mandiri, bahkan jika kita renungkan lebih dalam lagi, sesungguhnya butuh adalah hakekat diri-nya (wujud-nya) itu sendiri. Karena wujud-mandiri (pemilik wujud secara hakiki) hanyalah Tuhan dan selain Tuhan, semuanya mendapatkan wujud mereka dari-Nya, sebab hanya yang punyalah yang memberi, bukan sebaliknya.
 
Akal; Kunci Menuju Ketaatan
Sebelumnya telah disebutkan bahwa penciptaan Alam Semesta bukan tanpa tujuan, sementara “tujuan” itu sendiri mengesankan suatu makna kekurangan (kebutuhan). Apakah Tuhan dalam mencipta butuh atau kekurangan terhadap sesuatu? Jawabannya tentu tidak, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun perlu dipahami bahwa tujuan yang dimaksudkan dalam “penciptaan” adalah merujuk atau kembali kepada ciptaan itu sendiri, yakni; pada sebagian ciptaan-ciptaan Tuhan terdapat potensi-potensi untuk semakin menyempurna (baik kesempurnaan yang sifatnya menanjak-naik maupun yang sifatnya menukik-turun) atau suatu potensi untuk semakin mendekati hakekat kesempurnaan-mutlak; yaitu Tuhan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan penciptaan hakiki adalah Tuhan itu sendiri (Pemilik sifat-sifat jamal dan jalal).


Manusia adalah salah satu di antara makhluk-makhluk Tuhan yang berpotensi untuk bertransformasi menjadi lebih sempurna (lebih dekat kepada Tuhan). Tentunya salah satu mukadimah untuk memperoleh kedekatan kepada Tuhan adalah membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan tentang Tuhan (Ma`rifatullah). Pengetahuan tentang Tuhan atau ma`rifatullah itu sendiri dalam hirarkinya yang paling rendah dapat berupa pengetahuan korespondensi atau ilmu Hushuli (Ilmu yang didapatkan melalui konsep-konsep), dan semua itu hanya bisa dilakukan melalui suatu instrumen bernama “Akal”. Pengetahuan teoritis manusia yang dikembangkan dengan cara berpikir atau berenung  belumlah cukup menjadi ‘syarat’ untuk mendekati Tuhan dalam pengertian sejatinya, di samping itu manusia harus melakukan tindakan-tindakan praktis berupa amalan-amalan ketaatan. Kesimpulannya ialah guna memperoleh derajat kedekatan kepada Tuhan seseorang mesti menghambakan dirinya secara total dan sepenuh hati (tulus) kepada-Nya, dan tentu saja semua itu hanya bisa dilakukan ketika kita telah mengenal Tuhan dengan beragam sifat-sifat-Nya, karena bagaimana mungkin ketaatan dan penghambaan itu dilakukan tanpa ada pengenalan (pengetahuan) tentang sesuatu yang disembah atau ditaati…!?.


Dengan bermodalkan akal, kita berpeluang untuk ‘mengenal’ Tuhan melalui sifat-sifatNya, dari sifat-sifat itulah kita akan memahami apa yang dikehendaki Tuhan. Hal ini sangat penting karena proses dan aktivitas penghambaan kepada Tuhan mestilah sesuai dengan apa yang diridhai serta diinginkan-Nya; bukan “semau-gue”..!. Olehnya itu, dalam kaitan ini, setelah membuktikan wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya secara umum, barulah kemudian kita mengkaji sifat-sifat-Nya secara khusus (misalnya sifat adil, bijak, alim dll) hingga dapat menunjuk serta memilih secara logis “syariat atau jalan yang di ridhai” untuk mendekati-Nya. Wallahu A`lam.