Nama Dia Adalah Qasim

Senyuman manis ada dibibir budaknya Imam Hasan. Imam Hasan berkata, “Sepertinya engkau membawa kabar baik untukku, katakanlah! Katakan dan akan aku berikan hadiah padamu!”

 

Sang budak berkata, “Nufilah telah melahirkan seorang bayi lelaki yang tampan untuk Anda.”

 

Imam gembira dan berkata, “Alhamdulillah, atas kabar baik yang engkau bawa. Dari saat ini engkau bebas. Pergilah ke mana saja engkau suka.”

 

Sang budak berkata, “Memangnya ada tempat yang lebih baik selain rumah Anda sehingga budak Anda berlindung di sana? Memang ada majikan yang lebih baik dari Anda untuk budak ini?

 

Imam Hasan berkata, “Tidak mungkin tanpa hadiah. Katakan apa yang engkau minta?!”

 

Sang budak berkata, “Syafaatilah saya pada Hari Kiamat.”

 

Semua penghuni rumah berbahagia. Kegembiraan Imam Hasan juga membuat yang lain gembira. Bayi itu dibungkus dengan kain putih dan diserahkan kepada Imam. Begitu beliau melihat bayinya, segera mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa:

 

“Ya Allah! Aku bersyukur karena nikmat yang Engkau berikan kepadaku!”

 

Kemudian mengumandangkan azan dan iqomat di telinga bayi dan berkata, “Untuk mengenang putra kakekku, aku beri nama engkau; Qasim...”

 

Imam mengucapkan hal ini dan memandang wajah Qasim kecil dan mata beliau berlinang air mata. Orang-orang menyangka bahwa air mata Imam Hasan adalah air mata kegembiraan. Namun, boleh jadi hal ini memiliki alasan yang lain. Pasti beliau memikirkan saat-saat syahadah putranya.

 

Sayidina Qasim di hari Asyura bersama pamannya; Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia berperang melawan musuh dan mencapai syahadah, sementara dia saat itu masih kanak-kanak.

 

Aku Sedang Berduka

 

Salah satu putri Imam Hasan as meninggal dunia karena sakit. Sejumlah orang dari sahabat Imam Hasan mengirim surat untuk beliau untuk menyampaikan belasungkawa dan berharap agar beliau bersabar.

 

Imam Hasan menjawab surat mereka, “Surat kalian telah sampai di tanganku. Aku telah memohon pahala dan kesabaran kepada Allah atas musibah ini dan ridha atas keridhaan-Nya. Namun yang lebih membuat saya berduka daripada musibah ini adalah kejadian “waktu”. Duka terpencarnya sahabat-sahabatku dari sisiku. Sahabat-sahabat yang pada suatu hari sebagai saudara-saudaraku dan aku senang bertemu mereka. Mereka juga senang bertemu denganku. Namun kejadian “waktu” telah mengambil mereka dariku. Duka karena kehilangan sahabat-sahabatku, dimana kematian telah memisahkan aku dan mereka.

 

Namun meski mereka tidak di sisiku, tapi mereka di sisi yang lain hidup dengan senang dan gembira.

 

Putriku ini adalah seorang pengabdi yang pergi ke jalan yang telah dilalui oleh orang-orang terdahulu dan akan dilalui oleh orang-orang yang akan datang.

 

Di Sisi Paman

 

Abdullah adalah salah satu putra Imam Hasan yang masih kecil. Setelah syahadah ayahnya dia hidup bersama Imam Husein as. Abdullah sangat mencintai pamannya. Imam Husein juga sangat mencintai Abdullah. Ketika Imam Husein memutuskan untuk berperang melawan Yazid, Abdullah datang kepada Imam Husein dan berkata, “Paman! Saya ingin berada di sisi Anda berperang melawan Yazid dan pasukannya.

 

Karena kecintaannya yang tinggi kepada Abdullah, Imam Husein tidak menginginkannya ikut berperang. Selain itu, Abdullah terlalu kecil. Bila dia ikut berperang maka begitu cepat mengalami kekalahan. Namun Abdullah ngotot untuk ikut bergabung di medan perang bersama Imam Husein as.

 

Abdullah tidak berhasil memaksakan kehendaknya. Imam Husein as berkata kepadanya, “Kamu harus berada jauh dari medan perang supaya musuh pezalim tidak sampai melukaimu.”

 

Hari Asyura telah tiba. Para sahabat Imam Husein as satu persatu menuju medan perang dan mencapai syahadah. Sampai ketika giliran yang paling akhir. Sahabat Imam Husein yang paling akhir juga mencapai syahadahnya. Saat ini tidak ada seorangpun di sisi Imam Husein. Abdullah mendengar pesan para sahabat Imam Husein bahwa ketika detik-detik terakhir perpisahan kepada yang lainnya berpesan, “Jangan sampai membiarkan sendirian pemimpin dan imam kalian.”

 

Sekarang sahabat Imam Husein as yang paling akhir juga mencapai syahadah. Abdullah menunggu kesempatan untuk pergi ke medan perang. Dia dari jauh di samping perkemahan memperhatikan pamannya. Dia ragu antara pergi ke medan perang ataukah tidak. Dari satu sisi dia ingin membantu pamannya dan dari sisi lain ia tidak ingin melanggar perintah beliau.

 

Akhirnya Abdullah mengambil keputusannya. Dia bergumam, “Sekali lagi aku akan menemui pamanku dan meminta kepadanya untuk mengizinkan aku berperang melawan musuh.”

 

Sayidah Zainab dan yang lainnya bagaimanapun juga tidak berhasil mencegah Abdullah. Abdullah lari menuju kepada pamannya. Begitu sampai di medan perang, dia melihat pamannya jatuh di atas tanah yang panas dengan badan berdarah dan penuh luka. Salah seorang musuh mengangkat pedangnya untuk dihantamkan ke badan Imam Husein as. Abdullah maju dan berkata, “Apakah engkau ingin membunuh pamanku? Hai pezalim!”

 

Dengan cepat ia menjadikan tangannya sebagai tameng bagi pamannya. Pedang musuh menyambar dan memotong tangan Abdullah. Tubuh berdarah Abdullah jatuh di dada Imam Husein as dan mencapai syahadah di sisi pamannya sebagaimana yang diharapkannya. ()