NADZAR UNTUK SELAIN ALLAH (BAGIAN2)

 
Sejarah Muslimin dalam Bernadzar
Nadzar menyembelih binatang atau semacamnya yang diniatkan untuk para nabi atau wali adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh umat Islam dan bukan ciri khas satu kelompok tertentu melainkan perbuatan yang populer di kelompok-kelompok Islam. Dan orang melakukan nadzar itu akan mendapat pahala apabila dia melakukannya demi Allah swt. dan menyembelih binatang korban itu dengan mengingat serta menyebut nama Allah swt.

Khalidi mengatakan: “Mereka mendapatkan pahala, dan sembelihan itu dinadzarkan demi Allah swt., sama halnya ketika masyarakat mengatakan: “Aku sembelih binatang ini untuk mayit dari keluargaku”, artinya aku sedekah dari pihak mayit tersebut, begitu pula sama halnya dengan perkataan seseorang: “Aku sembelih binatang ini untuk tamu”, artinya faktor yang menyebabkan penyembelihan binatang itu adalah keberadaan tamu. [8]

Dalam hal ini, kami cukupkan hanya dengan menyebutkan sebagian bukti sejarah umat Islam:
1. Kuburan Basti di Maroko;
Ahmad bin Ja’far Khazraji Abu Abbas Basti, dari Maroko, dia wafat pada tahun 601 H. Kuburannya selalu ramai oleh peziarah dan terkenal sebagai tempat pengijabahan doa. Ibnu Khatib Salmani mengatakan: “Dalam satu hari, pemasukan untuk kuburan ini bisa mencapai delapan ratus mitsqol emas logam, dan bahkan di sebagian hari sampai seribu dinar, dan kemudian harta itu dikelola untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin yang berada di daerah tersebut, ...”. [9]

Penulis buku Naylul Ibtihaj sendiri mengatakan: “Sampai sekarang kuburan itu selalu ramai oleh para peziarah dan menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, aku sendiri lebih dari lima ratus kali menziarahi tempat itu, aku juga pernah menginap di sana lebih dari tiga puluh malam, dan aku melihat berkah di berbagai urusan ...”. [10]
 
2. Kuburan Ahmad Badawi di Tandeta;
Syekh Ahmad bin Ali Badawi wafat pada tahun 675 H dan dimakamkan di Tandeta[11], mereka dirikan bangunan di atas kuburannya, dan keramat-keramat Badawi masyhur di mana-mana, serta banyak yang melakukan nadzar untuk dia. [12]
 
3. Kuburan Ubaidullah bin Muhammad bin Umar di Baghdad.
Dia adalah dari keturunan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Baghdadi mengatakan: Bab Burdan adalah tempat orang-orang yang berkeutamaan, di sana juga terdapat mushalla yang biasanya digunakan untuk menunaikan ibadah shalat hari raya, dan di mushalla itu ada kuburan yang dikenal dengan kuburan Nudzur, mereka mengatakan bahwa jenazah yang tekubur di sana adalah lelaki dari keturunan Ali bin Abi Thalib as., kuburan yang selalu diziarahi dan diambil berkah darinya, serta dikunjungi oleh siapa saja yang ingin sekali kebutuhannya terpenuhi.

Qadhi Abul Qasim Tanukhi meriwayatkan padaku bahwa ayahnya menceritakan: “Suatu saat aku duduk di majlis Adhudud Dawlah[13], kami berkemah di dekat mushalla, tempat shalat ‘id yang terletak di kawasan timur Madinah Salam, kami ingin keluar bersamanya ke Hamadzan, tiba-tiba matanya menatap bangunan yang didirikan di atas kuburan Nudzur. Lalu dia bertanya kepadaku: “Apa bangunan ini?”, aku jawab: “Ini adalah Masyhad Nudzur” dan tidak aku katakan kepadanya kalau ini adalah kuburan Nudzur, dia berkata: “Aku sudah tahu dari sebelumnya kalau ini adalah kuburan Nudzur, tapi aku ingin tahu penjelasan tentang itu”, maka aku jawab: “Menurut riwayat ini adalah kuburan Ubaidullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, dan menurut sebagian riwayat ini kuburan Ubaidullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abi Thalib, pada waktu itu para khalifah hendak membunuhnya secara sembunyi-sembunyi, mereka perintahkan anak buah mereka untuk menggali lubang perangkap, lalu mengajak Ubaidullah untuk jalan di atas lubang perangkap yang disembunyikan tersebut, Ubaidullah pun tidak mengetahui niat itu sehingga dia pun terperangkap dalam lubang dan terkubur oleh tanah secara hidup-hidup, dan tempat itu dikenal dengan nama Kuburan Nudzur karena setiap kali ada yang bernadzar di sana untuk dia maka nadzar itu terkabulkan dan orang yang bernadzar mendapatkan apa yang mereka inginkan, saya termasuk orang orang yang berulang kali nadzar di sana, tidak terbilang lagi jumlahnya berapa kali saya bernadzar di sana dan mendapatkan apa yang saya inginkan, lalu saya penuhi nadzar-nadzarku tersebut. Adhudud Dawlah tidak mempercayai cerita ini dan dia katakan bahwa hal itu jarang terjadi dan hanya kebetulan saja, kemudian masyarakat awam yang membesar-besarkannya dan mulai banyak membicarakannya. Aku pun diam saja, tapi beberapa hari kemudian, dia memanggilku di pagi hari seraya berkata: “Naiklah bersamaku ke Masyhad Nudzur”, aku pun naik bersamanya dan pergi ke Masyhad Nudzur, ketika sampai dia langsung masuk dan menziarahi kuburan serta shalat dua rakaat di sampingnya, setelah shalat dia sujud lagi dua kali dengan munajat dan doa yang panjang serta tidak didengar oleh siapapun. Selesai berdoa kami kembali ke perkemahan dan menetap selama beberapa hari. Kemudian, kami bersama rombongan bergerak menuju ke Hamadzan dan tinggal di sana selama beberapa bulan. Suatu saat, tiba-tiba dia memanggilku seraya berkata: “Apakah kamu masih ingat apa yang kamu bicarakan kepadaku tentang Masyhad Nudzur di Baghdad?”, aku jawab: “Iya”, lalu dia berkata: “Pada waktu itu aku mengatakan sesuatu yang menunjukkan ketidakpercayaanku akan penjelasanmu. Menurutku semua yang dikatakan orang tentang Masyhad Nudzur adalah bohong. Tapi tak lama kemudian aku dihadapkan pada satu persoalan yang aku khawatirkan, aku kerahkan semua pikiranku untuk menyingkirkannya walau dengan segala harta yang ada di rumah dan dengan segala bala tentara yang kumiliki, namun aku tetap tidak menemukan jalan keluar, lalu aku teringat apa yang kamu beritakan kepadaku tentang nadzar di Kuburan Nudzur, aku katakan kepada diriku sendiri: apa salahnya jika aku coba? Maka aku bernadzar: jika Allah swt. menyelesaikan persoalanku ini maka aku akan kirimkan sepuluh ribu dirham ke kotak Kuburan Nudzur. Sehari belum berlalu, aku mendapat berita kalau persoalan ini terselesaikan, maka aku perintahkan anak buahku untuk memenuhi nadzarku itu ke Kuburan Nudzur”. [14]
 
Pendapat Ulama tentang Nadzar
Khalidi berkata setelah menyebutkan dua hadis Abu Dawud: “Adapun Khawarij yang berdalil dengan hadis ini untuk melarang nadzar di tempat-tempat para nabi dan orang saleh serta beranggapan bahwa para nabi dan orang saleh sama dengan berhala –na’udzu billah– dan perbuatan itu sama dengan perayaan Jahiliyah, adalah tidak benar, hal itu menunjukkan kesesatan mereka dan kekurangajaran mereka terhadap nabi-nabi Allah dan para wali-Nya sehingga mereka sampai berani menyebut nabi dan orang saleh dengan berhala.
Ini adalah puncak pelecehan terhadap mereka, khususnya para nabi, karena sesungguhnya siapa saja yang menghina mereka walau dengan sindiran maka dinyatakan kafir dan menurut sebagian pendapat taubatnya pun tidak akan diterima. Mereka –orang-orang khawarij– itu adalah orang-orang yang terhinakan oleh kebodohan mereka sendiri, mereka menamakan tawassul kepada para nabi atau orang saleh dengan ibadah, serta menamakan para nabi dan orang saleh itu sendiri dengan berhala, sungguh tidak ada lagi kata-kata yang dapat mengungkapkan kelalaian dan kesesatan mereka”. [15]

Sebagaimana tidak ada juga kata-kata yang dapat mengungkapkan kelalaian dan kesesatan Ibnu Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya. [16]

Rafi’i –menukil dari penulis kitab at-Tahdzib dan yang lain-lain– berkata: “Apabila seseorang bernadzar menyedekahkan sesuatu kepada penduduk kota tertentu maka wajib bagi dia untuk menyedekahkan sesuatu tersebut kepada mereka”. Dia berkata: “Begitu pula dengan sesuatu yang dinadzarkan untuk dikirim ke kuburan yang masyhur di Jurjan, karena sebagaimana laporan tentang tempat itu barang-barang nadzaran tersebut akan dibagi kepada orang-orang yang jelas”. [17]

Khalidi mengatakan: “Persoalan nadzar tergantung pada niat pelakunya, dan sesungguhnya segala perbuatan dinilai sesuai dengan niatnya, apabila niat orang yang bernadzar adalah mendekatkan diri kepada mayit itu sendiri maka itu terlarang, adapun jika niat dia adalah Allah swt., dan dengan harapan orang yang hidup juga bisa merasakan manfaat perbuatannya, selain itu juga pahala perbuatan itu juga dihadiahkan kepada mayit yang dia maksudkan maka wajib bagi dia hukumnya untuk memenuhi apa yang dia nadzarkan, tidak ada bedanya apakah dia perjelas manfaat yang bisa diambil oleh orang lain atau dia mutlakkan begitu saja ... .

Pendapat ini dinukil dari Adzra’i, Zarkasyi, Ibnu Hajar Haytsami al-Makki, Ramli as-Syafi’i, Qubani al-Bashri, Rafi’i, Nawawi, Ala’ud Din al-Hanafi, Khoirud Din Ramli al-Hanafi, Syekh Muhammad Gazzi, dan Syekh Qasim Hanafi”. [18]

Azzami mengatakan: “Sebagian ulama tertipu dengan perkataan Ibnu Taimiyah atau murid-muridnya, padahal itu adalah pemutarbalikan dalam hal agama dan pengalihan makna dari yang sebenarnya diinginkan oleh umat Islam ke makna yang lain. Padahal barangsiapa mencari tahu keadaan muslimin yang melakukan nadzar tersebut maka dia pasti sampai pada kenyataan bahwa mereka tidak bermaksud apa-apa dari sembelihan dan sesuatu yang dinadzarkan untuk orang-orang mati kecuali sedekah dari pihak orang-orang yang mati tersebut dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka. Mereka juga tahu bahwa Ulama Ahli Sunnah berijmak atau bersepakat bahwa sedekahnya orang yang hidup juga bisa bermanfaat bagi orang mati dan pahalanya bisa sampai kepada mereka, hal itu didukung oleh hadis-hadis yang sahih sekaligus masyhur ... .

Oleh karena itu, nadzar menyembelih binatang atau yang lain untuk para nabi atau orang saleh adalah perbuatan yang sah dan boleh menurut sejarah umat Islam seluruhnya ... ”. [19]

Atas dasar bukti-bukti dan kesaksian dari para tokoh Ahli Sunnah yang tersebut di atas, maka Ibnu Taimiyah dan pengikut-pengikutnya tidak pantas untuk bersikeras dalam tuduhan-tuduhannya dan mengharamkan nadzar yang biasa dilakukan oleh umat Islam.
 
CATATAN :
1. Al-Ghodir: 5/180; Kitabus Shiro’: 1/54.
2. Kasyful Irtiyab: 355.
3. Al-Milalu wan Nihal: 291.
4. Nama anak bukit di dekat pantai laut. Mukjamul Buldan: 2/30.
5. Sunanu Abi Dawud: 3/238, hadis ke3313.
6. Mukjamul Buldan: 2/30 dan 1/505.
7. Furqonul Qur’an: 133.
8. Shulhul Ikhwan: 109; al-Ghodir: 5/182.
9. Naylul Ibtihaj: 2/62; al-Ghodir: 5/204.
10. Ibid.
11. Tandeta, Tanbadza, atau Tanta; terletak di Mesir atau di sekitar Afrika. Mukjamul Buldan: 4/43.
12. Al-Mawahibul Laduniyah: 5/346; Syadzarotudz Dzahab: 7/205.
13. Penguasa Irak Ibnu Sultan Hasan bin Buwaih ad-Daylami, lihatlah kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 16/249, dia mati pada tahun 372 dan dimakamkan di Najaf Asyraf.
14. Tarikhu Baghdad: 1/123.
15. Shulhul Ikhwan: 109.
16. Al-Ghodir: 5/183.
17. Anda bisa lihat al-Ghodir: 5/181; Fatawas Subki: 1/294.
18. Shulhul Ikhwan: 102; al-Ghodir: 5/181.
19. Furqonul Qur’an: 133, lihat juga al-Ghodir: 5/181.