Alasan nama imam maksum tidak dimuat di Al-Qur'an

Metode al-Qur’an dalam membicarakan imam-imam suci –khususnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan keturunannya yang suci– adalah memperkenalkan kepribadian mereka yang istimewa dan bukan memperkenalkan individunya. Metode ini digunakan karena berbagai hikmah yang di antaranya akan kami singgung dalam dua topik pembicaraan di bawah ini.
 

Pertama: Cara Memperkenalkan Kepribadian
Al-Qur’an berkali-kali menyibak keutamaan pribadi maupun tindakan para imam as., khususnya Amirul Mukminin Ali as., di antaranya adalah:

 1-1. Allah swt. berfirman:
 
 
وَ یُطعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَی حُبِّهِ مِسکِینًا وَ یَتِیمًا وَ اَسِیرًا / الانسان: 8
 

 Artinya: “Mereka memberi makan atas dasar cinta terhadap Allah kepada orang miskin, anak yatim, dan orang tawanan”. (QS. 76: 8). Para mufasir kawakan baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib as. dan Ahli Baytnya, pada waktu mereka berpuasa mereka memberikan makanan buka puasa mereka kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan selama tiga malam berturut-turut. Dan periwayatan kisah ini adalah secara mutawatir.

 1-2. Allah swt. berfirman:
 
اِنَّمَا یُرِیدُ اللهُ لِیُذهِبَ عَنکُمُ الرِّجسَ اَهلَ البَیتِ وَ یُطَهِّرَکُم تَطهِیرًا / الاحزاب: 33
 

 Artinya: “Sesungguhnya Allah hanyalah hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahli Bayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya”. (QS. 33: 33).
 Banyak sekali artikel maupun buku yang secara khusus membahas ayat ini, soal cakupan ayat ini terhadap Amirul Mukminin Ali as., Fatimah Zahra as., Hasan dan Husein as. adalah disepakati baik oleh Syiah maupun Ahli Sunnah, adapun perbedaan yang terjadi berkutat pada cakupan ayat ini terhadap istri-istri Nabi saw., dan bukti-bukti yang kuat menolak cakupan tersebut sebagaimana diungkapkan oleh ulama Syiah dan sebagian dari ulama Ahli Sunnah seperti Imam Syafi’i.

 1-3. Allah swt. berfirman:
 
اِنَّمَا وَلِیُّکُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِینَ آمَنُوا الَّذِینَ یُقِیمُونَ الصَّلَاةَ وَ یُؤتُونَ الزَّکَاةَ وَ هُم رَاکِعُونَ / المائدة: 55
 

 Artinya: “Hanya sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin yang mendirikan shalat dan bersedekah dalam keadaan ruku’”. (QS. 5: 55).
 Menurut tafsir-tafsir Syiah dan Ahli Sunnah, sebab turunnya ayat ini adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. yang menyedekahkan cincinnya kepada orang miskin ketika beliau dalam keadaan ruku’.
 Tentunya masih banyak lagi ayat-ayat lain yang memperkenalkan kepribadian-kepribadian agung para imam, tapi di kesempatan yang terbatas ini kiranya cukup hanya dengan menyebutkan tiga contoh tersebut. Ayat pertama menampilkan pengorbanan mereka yang luar biasa di saat mereka sendiri membutuhkan, ayat kedua menegaskan kesucian mereka dari segala kotoran, cacat, penyimpangan dan dosa, adapun ayat ketiga menunjukkan pertemuan dua ibadah besar (ruku’ dan sedekah) yang dibarengi dengan keikhlasan dan kecintaan terhadap Tuhan.
 

Kedua: Hikmah cara al-Qur’an dalam memperkenalkan Ahli Bayt as
.
Cara yang tersebut di atas mempunyai beberapa hikmah yang di antaranya adalah:

 2-1. Penitikberatan pada individu tidak berperan penting dalam memberikan pencerahan kepada umat, melainkan lebih cenderung mengajak mereka kepada kepatuhan yang buta dan tanpa alasan. Namun jangan disalahpahami sebagai larangan untuk menyebut individu-individu itu di kesempatan-kesempatan tertentu. Maka pada dasarnya, memperkenalkan kepribadian berarti memperkenalkan teladan sehingga masyarakat tidak terjebak dalam fanatisme buta dan afiliasi yang tak beralasan, dan sebaliknya terarah pada pemikiran dan kesadaran atas standar, keutamaan, dan keistimewaan yang sesungguhnya.

 2-2. Memperkenalkan kepribadian akan menciptakan kondisi yang sehat untuk menerima pemilik kepribadian itu atas dasar pikiran yang sehat pula, sedangkan apabila individu yang diperkenalkan maka tidak jarang hal itu mengundang penolakan dari pihak yang mendengarnya. Cara ini –memperkenalkan kepribadian– merupakan cara yang terbaik, khususnya ketika individu pemilik kepribadian tersebut diserang oleh propaganda miring dari berbagai arah, atau ketika masyarakat belum siap untuk menerimanya karena faktor-faktor tertentu. Dan inilah kondisi yang meliputi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. pada waktu itu.
 Untuk lebih mengerti tentang masalah ini perlu penjelasan tentang situasi dan kondisi masyarakat serta karakter mereka pada waktu turunnya al-Qur’an, dan dengan sudut pandang sosiologis serta psikologi sosial kita dapat mengenal masyarakat itu secara baik dan benar. Sudah barang tentu kajian yang mendalam tentang masyarakat itu tidak bisa dilakukan dalam kesempatan tanya jawab yang serba singkat ini, meskipun demikian secara singkat bisa dikatakan bahwa mayoritas masyarakat Islam pada waktu itu tidak bisa menerima kenyataan tentang Ahli Bayt Nabi saw. khususnya Amirul Mukminin Ali as., dan hanya minoritas orang-orang mukmin saja yang menerima kenyataan tersebut. Bahkan Rasulullah saw. sendiri di berbagai kasus mengalami banyak kesulitan dalam memperkenalkan Ali bin Abi Thalib as. dan mengedepankannya, beliau selalui dihadapkan pada perlawanan dan reaksi yang negatif. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor yang diantaranya adalah:
 Pertama. Mayoritas orang yang melawan dan menunjukkan reaksi negatif tersebut adalah orang-orang yang tidak lama sebelumnya berada di barisan musuh Islam dan menyaksikan pukulan-pukulan pedang Amirul Mukminin Ali as. di medan perang, karena itu mereka menyimpan dengki dalam hati kepada Ali. Fatimah Zahra as. menyebutkan salah satu faktor penolakan massa terhadap Ali as. adalah nakirun saifuhu, yakni pedang beliau dibenci oleh mereka.
 Kedua. Pola pikir dan tradisi miring Jahiliyah masih mengendalikan mereka sehingga mereka masih memasukkan unsur-unsur seperti fanatisme kabilah, usia dan lain sebaginya dalam urusan politik. Itulah kenapa mereka menganggap Amirul Mukminin Ali as. belum pantas menjadi pemimpin masyarakat dengan alasan usia beliau yang muda.
 Ketiga. Ada pemikiran membahayakan yang dipropaganda di tengah masyarakat waktu itu; intinya Rasulullah saw. ingin mendudukkan keluarganya di bangku kekuasaan dan pemerintahan untuk selama-lamanya, dan pengabdian beliau selama ini ditafsirkan sebagai permainan politik untuk melestarikan kekuasaan bagi beliau dan Ahli Bayt. Opini negatif ini terus meningkat sampai ketika Rasulullah saw. melantik Ali bin Abi Thalib as. secara terang-terangan sebagai pemimpin setelah beliau di Ghodir Khum, datanglah seorang yang bernama Jabir bin Nadhir atau Haris bin Nu’man Fihri kepada Rasulullah saw. dan menggugat beliau lalu berkata: “Ya Allah! dia (Rasulullah saw.) berkata kalau dirinya utusan-Mu dan membawakan kitab-Mu, kami pun menerima perkataannya, tapi sekarang dia ingin mengangkat anak pamannya menjadi pemimpin atas kami! Kalau memang dia benar maka turunkan batu dari langit untuk membinasakanku!!”.[1]
 Pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa bijaksana penyebutan nama Amirul Mukminin Ali as. dan imam-imam maksum lainnya di dalam al-Qur’an pada saat kondisi seperti ini?
 Mungkin saja seorang beranggapan bahwa dengan penyebutan nama-nama itu maka tidak akan terjadi perselisihan dan sebaliknya umat Islam menjadi bersatu di jalan hidayah yang benar, karena al-Qur’an diterima oleh semua orang dan tidak ada perbedaan tentang itu. Tapi apa betul demikian yang akan terjadi? Tidak! Penelitian tentang kondisi sosial pada waktu itu menunjukkan adanya bahaya yang serius jika nama Amirul Mukminin Ali as. disinyalir dalam al-Qur’an, yaitu bahaya yang mengancam Islam sekaligus al-Qur’an itu sendiri, karena mayoritas masyarakat yang memegang stasiun propaganda yang luas dan menduduki posisi yang cukup strategis di sekeliling Nabi saw. akan berani menyingkirkan misi beliau dan al-Qur’an secara sekaligus, dan ini sangat membahayakan asas Islam dan al-Qur’an.
 Boleh jadi bagi sebagian orang masalah ini terhitung berlebihan, tapi fenomena sejarah menyibak kenyataan ini, dan salah satu contoh yang tergolong kesepakatan sejarah dan tercatat dalam literatur sejarah Ahli Sunnah adalah: Ketika Rasulullah saw. menjelang akhir hayatnya, beliau meminta pena dan papan (atau kertas) untuk meninggalkan sebuah dokumen penting bagi umat Islam yang akan menjaga mereka dari kesesatan. Bagi sahabat yang ada di sekeliling beliau, tujuan dari permintaan ini jelas, karena mereka telah menyaksikan sikap-sikap beliau yang sebelumnya. Kendatipun demikian, putra Khattab (yang kemudian menjadi khalifah setelah Abu Bakar) berteriak lancang: اِنَّ الرَّجُلَ لَیَهجُرَ 2 ; sungguh lelaki itu (Rasulullah saw.) sedang mengigau –akibat suhu badannya yang tinggi–!!.
 Sungguh aneh!! Bukankah Allah swt. telah berfirman di dalam al-Qur’an-Nya:
 

وَ مَا یَنطِقُ عَنِ الهَوَی * اِن هُوَ اِلَّا وَحيٌ یُوحَی / النجم: 3-4
 

 Artinya: “Dan dia (Rasulullah saw.) tidak menuturkan sesuatu menurut hawa nafsunya, tutur dia tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan”. (QS. 53: 3-4)?! Lalu kenapa seorang Rasulullah saw. dan penutur wahyu dilancangi di rumahnya sendiri dan di hadapan para kekasih serta pembelanya, bahkan sikap lancang dan kurang ajar itu sampai berdampak beliau mengurungkan permintaannya tersebut?! Bukankah kata-kata lancang itu berarti penolakan terhadap kesucian Rasulullah saw. dan misi beliau?!. Sudah pasti orang yang berani berbuat lancang terhadap Rasulullah saw. dan di rumah beliau mempunyai dukungan yang kuat di belakangnya, karena jika tidak demikian maka dia tidak akan pernah berani berbuat lancang seperti itu. Dari sini kita dapat mengerti hikmah di balik metode yang digunakan oleh al-Qur’an dalam memperkenalkan para imam suci dengan cara memperkenalkan kepribadian mereka; yakni, al-Qur’an mengatakan sesuatu yang bisa diterima oleh orang-orang mukmin yang mengerti dan berpikiran sehat, dan di saat yang sama dengan perkataan itu al-Qur’an tidak sampai membuat orang-orang yang tidak punya karakter-karakter tersebut keluar secara total dari agama, begitu juga mencegah peran motivasi-motivasi politis dalam memisahkan mereka dari agama dan religiusitas.
 Walaupun begitu, al-Qur’an bukan sepenuhnya samar-samar dalam memperkenalkan orang yang berhak menjadi pemimpin umat setelah Rasulullah saw., contohnya ayat yang ketiga dari poin pertama sangat jelas menyatakan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
 Masih ada satu pertanyaan lagi yang mungkin mengganjal di benak seseorang, yaitu Allah swt. berfirman:
 

اِنَّا نَحنُ نَزَّلنَا الذِّکرَ وَ اِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ / الحجر: 9
 

 Artinya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami yang pemeliharanya”. (QS. 15: 9). Dengan demikian, maka tidak perlu lagi khawatir jika nama imam disebutkan di dalam al-Qur’an, karena dia dijaga langsung oleh Allah swt.?
 Jawabannya adalah pemeliharaan al-Qur’an oleh Allah swt. dilakukan dengan cara-cara tertentu yang di ataranya adalah penggunaan metode pengenalan para imam sebagaimana tersebut di atas, salah satunya dengan cara itu Allah swt. menjaga al-Qur’an agar jangan sampai timbul keinginan masyarakat untuk menyingkirkannya lantaran tujuan-tujuan politis.
 
CATATAN :
1. Al-Ghodir, Bairut, Darul Kitabil Arobi, cetakan ketiga, jilid 1, halaman 239-246.
 2. Abdur Rahman Ahmad al-Bakri, Min Hayatil Kholifati Umar ibnil Khottob, halaman 101-107.