Sifat-sifat Fi'liyah [3]


Mukadimah

Pada kajian yang telah lalu telah kami jelaskan mengenai makna dan pengertian sifat-sifat fi’liyah Tuhan Pencipta. Pendek kata bahwa sifat fi'liyah itu merupakan mafhum (pahaman, konsep) yang terdapat di benak dan mental seseorang yang dicerap oleh akalnya melalui perbandingan antara dzat Tuhan Pencipta dan makhluk-makhluk-Nya, yaitu dengan cara mengamati hubungan tertentu di antara keduanya. Dalam hal ini, Khâliq (Tuhan Pencipta) dan makhuk-Nya merupakan dua sisi hubungan. Misalnya seperti sifat Al-Khâliqiyah, sifat ini diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud makhluk-makhluk dengan Tuhan Pencipta. Hanya dengan jalan mengamati hubungan antara Khâliq dan makhluk-Nya itulah sifat ini dapat diambil dan dipahami. Dengan demikian, apabila hubungan di antara keduanya itu tidak diamati, maka sifat fi’liyah tersebut tidak mungkin dapat diperoleh dan dipahami.

Sesungguhnya hubungan-hubungan yang mungkin dapat tergambar antara Tuhan Pencipta dan makhluk-Nya itu tidak dapat dibatasi. Tetapi secara global dan dari satu sisi , hubungan-hubungan tersebut dapat dibagi kepada dua kelompok.

Kelompok pertama: Mengamati dan memahami hubungan-hubungan antara Khâliq dan makhluk-Nya secara langsung, seperti Al-I^jâd (mewujudkan), Al-Khalq (menciptakan), Al-Ibdâ` (mengadakan) dan sebagainya. Artinya sifat-sifat tersebut dapat kita peroleh dan kita pahami melalui pengamatan dua sisi hubungan, yaitu antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tanpa memperhatikan hal-hal lainnya sama sekali.

Kelompok kedua: Mengamati dan memperhatikan hubungan-hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya setelah mempersepsi hubungan-hubungan yang lainnya, seperti rizki. Artinya, pada awalnya kita menggambarkan dan memperhatikan adanya hubungan dzat pemberi rizki (Tuhan Pencipta) dan dzat penerima rizki (makhluk-Nya). Setelah itu, kita memahami dan memperhatikan limpahan rahmat Tuhan Pencipta kepada si makhluk tersebut. Dengan cara seperti itu, barulah kita memperoleh mafhum dan konsep Ar-Râziq (pemberi rizki) dan Ar-Razzaq (Mahapemberi rizki).

Metode lainnya untuk dapat memahami dan mencerap adanya sifat fi’liyah bagi Tuhan Pencipta adalah dengan mengonsepkan berbagai hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya. Dengan kata lain, sebelum kita mencerap dan memahami sifat fi’liyah bagi Tuhan Pencipta, kita memperhatikan berbagai hubungan yang terdapat di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Setelah itu, barulah kita mengamati dan memperhatikan hubungannya dengan Tuhan Pencipta.

Di samping itu, kita dapati pula adanya konsep yang muncul dari beberapa hubungan sebelumnya antara Tuhan Pencipta dan makhluk-Nya, misalnya seperti konsep maghfirah (ampunan), dimana konsep ini muncul dari pengaturan syariat Tuhan, penentuan-Nya terhadap hukum-hukum syariat dan penyimpangan atau pengingkaran hamba-Nya terhadap hukum-hukum tersebut. Dengan demikian, untuk dapat memahami sifat-sifat fi'liyah Tuhan, terlebih dahulu kita harus melakukan suatu perbandingan antara Tuhan Pencipta dengan makhluk-makhluk-Nya. Pada tahapan ini, kita akan menemukan adanya hubungan antara dzat Tuhan Pencipta dengan yang dicipta (makhluk-Nya). Kemudian, dengan cara ini kita akan memperoleh konsep idhâfi (relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karena itu, dzat Tuhan Pencipta Yang Mahasuci tidak bisa dijadikan sebagai mishdâq (ekstensi, obyek luar) bagi sifat-sifat fi'liyah secara mandiri (tanpa mengamati hubungan tersebut). Dengan uraian tersebut, maka menjadi jelaslah perbedaan utama antara sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi'liyah bagi Tuhan Pencipta alam semesta ini.

Pada kajian yang telah lewat, kami juga telah menjelaskan kepada segenap pembaca, bahwa kita dapat memperhatikan sifat-sifat fi'liyah dari sisi sumber dan asal-usulnya, yaitu dzat Tuhan Pencipta. Dengan demikian, sifat-sifat fi'liyah akan bermuara pada sifat-sifat dzatiyah, sebagaimana pada contoh al-Khâliq (pencipta) dan al-Khallâq (Mahapencipta). Apabila kita tafsirkan sifat ini dengan Qadir (bentuk isim fâ’il = Mahakuasa) atas makhluknya, maka ia berasal dari sifat al-Qadîr (bentuk pleonastis [mubâlaghah]= Sangat Mahakuasa). Sifat as-Samî' (Mahamendengar) dan sifat al-Bashîr (Mahamelihat), abila kedua sifat ini kita tafsirkan dengan mengetahui (al- 'Alim) segala hal yang didengar dan dilihat, maka keduanya itu kembali dan berasal dari sifat al- 'Alîm (Mahatahu = dalam bentuk pleonastis, mubâlaghah).

Terdapat pula beberapa mafhum (konsep, pahaman) yang dapat digolongkan ke dalam sifat-sifat dzatiyah. Tetapi kita dapat pula menggambarkan dan menemukan padanya makna idhâfi (relasional) dan makna fi'li (bersifat aksional). Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut dapat dikategorikan dan dianggap sebagai sifat-sifat fi'liyah, seperti mafhum (konsep) al-'Ilm (tahu)

Satu hal yang perlu kita perhatikan dan dicatat secara seksama adalah apabila kita menggambarkan dan memperhatikan adanya hubungan antara Tuhan Pencipta dan hal-hal material, sehingga melalui gambaran hubungan tersebut kita dapat memperoleh dan mencerap sifat fi'liyah tertentu pada Tuhan, maka sifat ini akan terbatasi dengan tempat dan waktu dari sisi keterkaitannya dengan maujud-maujud materi yang merupakan salah satu sisi hubungan tersebut. Kendati demikian, bila dilihat dari sisi keterkaitannya dengan Tuhan Pencipta sebagai sisi lain hubungan tersebut, maka sifat ini suci dari batasan apa pun. Misalnya, pemberian rizki kepada seseorang, anugerah rizki ini tidak akan dapat terwujud, kecuali pada masa dan tempat tertentu. Pada hakikatnya, batasan masa dan waktu ini berkaitan dengan orang yang menerima rizki itu, bukan dengan Tuhan sebagai Pemberi rizki, karena Dia Mahasuci dari penisbahan masa dan tempat apa pun (sebagaimana telah kami jelaskan). Dengan kata lain, bahwa sifat-sifat fi’liyah yang kita cerap dan kita pahami melalui jalan menggambarkan dan memperhatikan adanya hubungan antara Tuhan Pencipta dan makhluk-Nya itu, memiliki dua sisi. Artinya, dari satu sisi sifat-sifat tersebut tidak terbatas dan bersifat mutlak, tetapi dari sisi lain terbatas dan penuh kekurangan. Jika kita memperhatikan sisi keterkaitan sifat-sifat tersebut kepada dzat Tuhan Pencipta, maka ia bersifat mutlak dan tidak terbatas. Karena sifat-sifat tersebut sebagai dzat Tuhan itu sendiri (shifatuhu ‘aynu dzatihi).

Tetapi jika kita memperhatikan sisi keterkaitan sifat-sifat tersebut kepada makhluk Tuhan -sebagai sisi lain yang menerima anugerah Tuhan- maka sifat-sifat tersebut tidak mutlak, bahkan sangat terbatas, penuh dengan kekurangan dan kebutuhan. Karena manusia dan makhluk-Nya sebagai materi yang sangat terbatas dan senantiasa bergantung kepada-Nya.

Penjelasan dan catatan ini merupakan kunci untuk menyelesaikan berbagai keraguan yang dilontarkan terhadap upaya mengenal sifat-sifat dan perbuatan atau tindakan Tuhan yang telah menyebabkan banyaknya pertikaian di antara para ulama dan pemikir. Semoga kiranya materi penting ini dapat dipahami dengan sebaik-baiknya. Membacanya berulang-ulang, merenungkan dan mendiskusikannya, merupakan upaya yang paling baik untuk memahami materi ini.



Pencipta

Setelah kita dapat membuktikan eksistensi Wâjib al-wujud (Tuhan Pencipta) dan bahwa ia merupakan sebab utama bagi keberadaan dan kesinambungan mumkin al-wujud ( makhluk ciptaan-Nya), dan juga bahwa dengan memperhatikan segala yang ada pada wujud makhluk-Nya itu bergantung kepada-Nya secara mutlak, maka dari sinilah dapat ditemukan dan dicerap sifat pencipta (al-Khaliqiyyah) pada Wâjib al-wujud dan sifat yang dicipta (makhluqiyah) pada makhluk-Nya tersebut. Sifat pencipta ini atau al-Khaliqiyah identik dengan Illat atau Sebab Pengada (creative cause). Sementara seluruh yang mungkin atau semua makhluk-Nya (mumkin al-wujud) yang merupakan satu sisi hubungan penciptaan, disifati dengan sifat makhluqiyah (ciptaan, yang dicipta). Dengan demikian, apabila kita melihat dan memperhatikan hubungan antara Tuhan dengan manusia, maka dapat dikatakan bahwa Tuhan itu sebagai al-Khâliq (Pencipta) dan memiliki sifat al-Khaliqiyah, sementara manusia sebagai makhluk-Nya (yang diciptakan) dan memiliki sifat al-makhluqiyah.



Poin-poin tambahan

Sekedar untuk mengingatkan dan agar materi ini lebih mudah dipahami dengan baik dan tidak mudah terlupakan, kami tambahkan poin-poin penting berikut ini:

1. Jika kita coba menengok kembali pembahasan mengenai al-Qudrah (kuasa), maka akan kita dapat perbedaannya dengan al-Khaliqiyah, yaitu bahwa al-Qudrah merupakan sifat dzatiyah (esensi) bagi Tuhan Pencipta, sementara al-Khaliqiyah merupakan sifat fi’liyah (perbuatan) bagi-Nya.

2. Jika kita coba melihat dan memperhatikan hubungan Tuhan dengan manusia atau lainnya, maka akan kita dapati bahwa Tuhan sebagai al-Khâliq dan manusia sebagai al-makhluk. Kekuasaan dan kemampuan Tuhan bersifat mandiri, abadi dan azali. Sementara manusia memiliki kekuasan dan kemampuan berkat anugerah dan rahmat-Nya.

3. Jika kita coba melihat dan memperhatikan manusia dengan hasil buatan dan ciptaannya, seperti rumah, mobil, kereta, pesawat, kursi, komputer, radio, dan lain sebagainya, maka akan kita dapati bahwa manusia juga sebagai al-khaliq dan berbagai hasil ciptaannya itu sebagai makhluk-makhluknya. Dengan kata lain bahwa hubungan antara manusia dengan hasil ciptaannya, manusia sebagai al-khaliq sementara hasil ciptaannya sebagai al-makhluq. Lalu dimanakah perbedaan antara al-Khaliqiyah pada dzat Tuhan dengan al-khaliqiyah pada manusia? Atau, apakah perbedaan antara proses penciptaaan Tuhan dengan penciptaan manusia? Perbedaannya adalah sebagai berikut:

a) Tuhan itu menciptakan realitas-realitas yang wujudnya tidak didahului oleh materi apapun. Dengan kata lain bahwa penciptaan Tuhan tidak memerlukan bahan-bahan dasar sebelumnya dan tidak juga membutuhkan contoh. Sementara manusia menciptakan realitas-realitas yang memang wujudnya telah tersedia di alam raya ini dan didahului oleh gambaran yang ada di dalam benak dan pikirannya atau dengan contoh-contoh yang telah ada.

b) Tindakan mencipta yang dilakukan oleh manusia ketika membuat sesuatu, butuh kepada gerak dan anggota badan, agar gerakannya itu menjadi sebuah tindakan. Dan hal-hal yang telah terjadi merupakan hasil dari tindakan tersebut.



Adapun tindakan mencipta yang dilakukan oleh Tuhan, tidaklah demikian. Artinya bahwa tindakan penciptaan itu bukan merupakan sesuatu, dan yang dicipta (makhluk) bukan pula sesuatu yang lain. Ketika Tuhan menciptakan sesuatu, maka tindakan mencipta yang Dia lakukan, tidak memerlukan kepada tangan dan anggota lainnya, tidak memerlukan kepada gerak dan lain sebagainya. Karena, Tuhan itu suci dari gerak dan ciri-ciri khas segala maujud materi. Kemudian, jika tindakan penciptaan-Nya itu merupakan mishdâq ‘ayni khariji (realitas objektif tersendiri di luar) dan sebagai tambahan atas dzat makhluk-Nya, maka hal ini berarti bahwa tindakan penciptaan tersebut merupakan wujud mungkin (mumkin al-wujud) yang juga merupakan makhluk dan ciptaan-Nya. Jika demikian, maka pembahasan akan kembali lagi ihwal bagaimana tindakan penciptaan Tuhan atas makhluk-Nya.Dan hal ini justru meniscayakan daur (siklus) yang mustahil.

Apabila diasumsikan bahwa tindakan penciptaan (terhadap suatu realitas) yang keluar dari dzat Tuhan itu merupakan makhluk-Nya, maka berartti Tuhan itu tersusun dan terangkap dari dzat-Nya dan tindakan penciptan-Nya tersebut. Sebagaimana manusia -ketika menciptakan dan membuat sesuatu- terangkap dari dirinya dan gerakan-gerakan anggota badannya. Tetapi Tuhan Pencipta tidaklah demikian, sebagaimana telah kita buktikan bahwa hal ini mustahil bagi Tuhan Pencipta. Tetapi, sebagaimana telah kami singgung mengenai sifat-sifat fi'liyah, bahwa sifat-sifat tersebut (penciptaan) merupakan konsep-konsep (mafhum) yang diperoleh dari berbagai relasi yang terdapat antara Tuhan dan makhluk-Nya. Sedangkan dasar untuk menilai adanya relasi-relasi itu adalah akal. Pembahasan yang lebih dalam lagi, akan Anda dapati pada pembahasan “filsafat perbuatan Tuhan”.



Pengatur

Di antara sifat-sifat Tuhan pencipta lainnya yang penting dibahas dan dipahami dengan baik adalah sifat ar-Rabb (pengatur). Tuhan telah menciptakan alam raya dan manusia dengan segala keunikannya. Apakah setelah manusia dan alam ini tercipta, Dia pulakah yang mengatur mereka sampai waktu yang tidak tertentu? Ataukah setelah Tuhan menciptakan makhluk-Nya, Dia berlepas tangan dan beristirahat?

Jika kita perhatikan dengan seksama hubungan antara manusia dan makhluk lainnya dengan Tuhan Pencipta, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya makhluk-makhluk Tuhan itu tidak saja butuh kepada-Nya pada asal keberadaannya. Bahkan segala hal yang berkaitan dengan wujud dan kesinambungan mereka, tetap dan hanya bergantung kepada-Nya. Dengan kata lain, bahwa makhluk-makhluk itu, sama sekali tidak mandiri. Ketika dipahami bahwa mereka itu tidak mandiri dan senantiasa bergantung kepaa-Nya, maka dengan demikian, Tuhan Pencipta itu memiliki hak tasharruf (perlakuan) atas mereka. Artinya Tuhan memiliki kebebasan untuk mengatur berbagai urusannya sesuai dengan kehendak dan hikmah-Nya.

Ketika kita mengamati relasi dan hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya dan hak pengaturan bagi-Nya secara umum, maka kita dapat memahami dan mencerap adanya konsep rububiyah (pengaturan). Hanya Dia-lah yang mengatur segala urusan.

Konsep rububiyah ini (pengaturan Tuhan atas seluruh makhluk-Nya) memiliki berbagai mishdâq dan konsekuensi logis, seperti: al-Hafidh (penjaga), al-Muhyi (menghidupkan), al-Mumit (mematikan), ar-Raziq (pemberi rizki), al-Hadi (pemberi hidayah), al-Amir (pemerintah), an-Nahi (pelarang) dan sebagainya. Artinya bahwa konsekuensi logis yang “harus” dijalankan dan dilakukan oleh Sang Pengatur Hakiki -sehubungan dengan masalah ini- adalah: Dia-lah yang menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rizki, memerintahkan hal-hal yang bermanfaat, melarang hal-hal yang membahayakan, memberi hidayah kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya itu, dan lain sebagainya.

Secara global bahwa hal-hal yang berhubungan dengan rububiyah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:

Satu: Rububiyah Takwiniyah (pengaturan-Nya terhadap alam semesta). Rububiyah ini meliputi pengaturan berbagai urusan setiap maujud dan pemenuhan berbagai kebutuhannya. Singkat kata, ia meliputi pengaturan semesta.

Dua: Rububiyah Tasyri'iyah (pengaturan-Nya yang berkaitan dengan undang-undang dan ketentuan-Nya). Rububiyah ini hanya berlaku atas makhluk yang bisa merasa dan memilih, seperti jin dan manusia. Adapun makhluk-makhluk lainnya, seperti binatang dan tumbuhan hanya berlaku pada mereka rububiyah takwiniyah saja.

Sementara rububiyah tasyri’iyah ini meliputi beberapa masalah, seperti pengutusan para Nabi, penurunan kitab-kitab samawi, penetapan tugas dan kewajiban dan penyusunan hukum dan undang-undang.

Dengan demikian, rububiyah mutlak Ilahi berarti bahwa seluruh makhluk dalam segala urusan hidup dan wujudnya bergantung kepada Tuhan Pencipta semata. Dan berbagai hubungan yang terjalin antara sesama mereka pada akhirnya berujung kepada-Nya. Dia-lah yang mengatur dan mengurus sebagian makhluk-Nya dengan perantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dia-lah yang melimpahkan rizki kepada segenap makhluk-Nya melalui sumber-sumbernya yang telah Dia hamparkan. Dia-lah yang memberi hidayah kepada seluruh makhluk-Nya yang memiliki perasaan, baik melalui sarana-sarana internal (seperti akal dan seluruh daya indera) maupun melalui sarana-sarana eksternal (seperti para Nabi dan kitab samawi). Dan Dia pulalah yang menetapkan hukum-hukum, aturan-aturan, berbagai tugas dan kewajiban kepada para mukallaf (orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk mengemban dan menjalankan berbagai tugas-tugas syar'i).

Sebagaimana khaliqiyah, rububiyah juga merupakan konsep relasional (idhâfi). Perbedaanya bahwa aspek-aspek yang diamati pada konsep rububiyah adalah hubungan-hubungan khusus antara berbagai makhluk itu sendiri. Hal itu sebagaimana yang telah kami jelaskan pada konsep Raziqiyah.

Apabila konsep khaliqiyah dan rububiyah -yang merupakan sifat idhâfiyah- kita amati dan kita renungkan dengan teliti, maka akan tampak jelas bagi kita bahwa di antara kedua sifat tersebut terdapat talazum (hubungan niscaya). Artinya bahwa pengatur alam semesta itu mustahil bukan penciptanya. Dengan demikian, bahwa dzat yang menciptakan seluruh makhluk dengan ciri-ciri tertentu dan menciptakan hubungan antara sesamanya, Dia pulalah yang memelihara dan mengaturnya. Pada hakikatnya, konsep rububiyah dan tadbir (managemen) diperoleh akal dari proses penciptaan pada berbagai makhluk, dan adanya hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya.



Tuhan sembahan (uluhiyyah)

Pembahasan kita selanjutnya adalah mengenai masalah tauhid dari dimensi ketuhanan atau sembahan. Dan ketuhanan ini juga merupakan sifat Tuhan Pencipta lainnya yang dicerap melalui adanya hubungan antara Tuhan yang disembah dengan makhluk yang menyembah-Nya. Dengan kata lain bahwa uluhiyyah merupakan sifat yang apabila kita hendak memahaminya, maka kita harus mengasumsikan adanya hubungan antara ibadah seorang hamba dan ketaatannya dengn Tuhan yang disembah (ma’bud). Karena orang-orang yang sesat, meskipun mereka menjadikan sesuatu sebagai sembahan yang batil, tetapi yang berhak untuk disembah, diibadahi dan ditaati hanyalah al-Khâliq (pencipta) dan ar-Rabb (pengatur) semata.

Keyakinan terhadap satu Tuhan sembahan adalah kadar yang mesti dipenuhi oleh setiap orang beriman dalam masalah-masalah keyakinan kepada Tuhan Pencipta. Artinya, di samping ia mengimani bahwa Tuhan itu adalah Wâjib al-wujud, Pencipta, Pengatur dan bahwa alam ini tunduk di bawah kehendak-Nya, ia pun dituntut untuk mengimani bahwa Dia-lah yang berhak ditaati dan diibadahi. Dari sinilah diperoleh konsep uluhiyyah, yaitu meyakini Tuhan Yang Esa sebagai satu-satunya sembahan yang layak dan sebagai salah satu keyakinan yang mendasar dalam agama.[]