Akhlak Rasulullah Saw adalah Fiqih(1)

Mukaddimah


Dalam sebuah hadis yang umum dikenal dikalangan Sunni maupun Syiah bahwa pernah Rasulullah Saw mengatakan “Innamaa bu’itstu li utammima makârimal Akhlâq”[1] sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan Akhlak yang mulia. Hadis inipun lambat laun menjadi jargon dikalangan umat Islam ketika berinteraksi di tengah masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang dengan apakah Nabi Saw datang mengajarkan Akhlak? bukankah Akhlak adalah sesuatu yang tidak perlu diajarkan karna sejak awal mula kehidupan orang sudah mengenal yang namanya Akhlak yang baik, terlebih bagi yang meyakini bahwa baik dan buruk sesuatu bisa diketahui dengan akal (Husn Wa Qubh Akli ) ? bukankah Nabi Saw adalah sumber syariat yang segala sendi kehidupannya adalah hujjah dengan kata lain bahwa beliau adalah sumber merujuk hukum-hukum Fiqih ? bukankah beliau datang dengan mengajarkan umatnya cara shalat, zakat, puasa dan seterusnya yang semuanya adalah nota bene Fiqih? mungkinkah Akhlak dan Fiqih bertabrakan dalam pengamalannya? bagaimanakah hubungan antara Akhlak dengan Fiqih dalam Ilmu Mantiq (logika)? apakah Akhlak dan Fiqih memiliki hubungan Tasâwi (sama) ataukah mereka malah sesuatu yang Tabâyun (berbeda)? jika berbeda, bagaimana bentuk perbedaannya? jika keduanya harus berbeda dan harus dipiilih, yang manakah yang harus di dahulukan? apakah Akhlak yang harus didahulukan atau Fiqih yang harus didahulukan? tulisan ini berusaha membahas pertanyaan di atas sesuai kaedah ilmu Mantiq (logika) yang bebas nilai.


Arti kata “Akhlâq “
Kata “Akhlâq “secara etimologi adalah akar kata dari Khuluq  yang berarti “kebiasaan orang-orang terdahulu[2]” atau “potensi dan sifat yang bisa diketahui oleh bashirat (akal sehat)”[3] [4]. Potensi atau sifat baik yang dimaksud adalah sifat yang bersifat universal seperti sifat berani, pemurah, jujur dsb. Demikian pula sifat buruk yang dimaksud adalah seperti dusta, sombong, zalim dan lain-lain. Yang mana sifat-sifat ini merupakan potensi jiwa. Raghib isfahani dalam Mufradat Alfâzil Qur’ân mengatakan bahwa kata khalq yang berarti “penciptaan” merupakan satu rumpun dengan kata Khulq, hanya saja kata khalq lebih khusus pada kualitas sesuatu yang dapat dilihat dengan panca indera sedangkan kata Khulq lebih khusus pada kualitas atau potensi jiwa yang hanya bisa difahami dengan bashirat (akal sehat). Dan kata Akhlâq adalah kata jamak dari Khuluq dan Khulq.[5]


Defenisi Akhlak
Para ulama Akhlak berbeda dalam mendefinisikan kata “Akhlâq” namun semuanya lebih mendekati kepada arti secara etimologi. Abu Ali Miskawaih dalam kitab Tahzibul Akhlâq Wa Tathirul A’râq mengatakan bahwa “Akhlak adalah keadaan jiwa yang menggerakkannya untuk melakukan suatu perbuatan secara spontan tanpa memikirkannya terlebih dahulu”[6]. Apakah keadaan jiwa tersebut terjadi secara alami atau karna kebiasaan melalui proses belajar. Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan betapa banyak suatu perbuatan yang kita lakukan pada awalnya dirasakan berat akan tetapi setelah dilakukan terus-menerus akhirnya menjadi sebuah adat dan kebiasaan (malakah).


Arti dan Defenisi kata “Fiqih”
Fiqih secata etimologi  berarti “faham” atau “memahami sesuatu dengan lebih teliti”. Dan yang dimaksud Fiqih secara istilah adalah memahami secara lebih teliti dan meng-istimbath (menarik kesimpulan) hukum-hukum islam berdasarkan sumber hukum yang berlaku. Al Qur’an banyak menggunakan kata “Fiqih”, seperti pada ayat “.. Mengapa tidak ada beberapa orang dari tiap-tiap golongan di antara mereka yang (tinggal di Madinah) untuk tafaqquh (memperdalam pengetahuan mereka) dalam hal agama …” (QS. At-Taubah:122),  yakni Fiqih yang bermakna “pemahaman secara mendalam” terhadap segala sesuatu. Lambat- laun kata ini pun berpindah makna lebih khusus pada Fiqih yang bermakna hukum-hukum islam tentang sesuatu yang “boleh” dan “tidak boleh” dilakukan. Atau dalam istilah fuqaha dengan “ ilmu tentang hukum-hukum syar’i dari  furu’uddin (cabang agama) yang diambil dari dalil-dalil yang ada”.
 
Hubungan Akhlak dan Fiqih dalam Ilmu Logika
Dalam ilmu Mantiq (Logika) dalam memahami dua kata yang universal kita mengenal ada empat bentuk hubungan yang disebut Nisâb ‘Arba’ah yang mana dengan mengetahui hubungan antara kedua kata tersebut kita setidaknya bisa menganalisa pemaknaan dan aplikasi kedua kata tersebut dalam kehidupan keseharian kita. Sekarang kita mencoba mengkaji hubungan kedua kata itu melalui ilmu Mantiq (logika).


1. Hubungan Âm wa khâs min wajh (Umum dan Khusus dari Satu Aspek)
Sebagian ulama Akhlak ada yang mengatakan bahwa hubungan antara kedua kata Akhlak dan Fiqih memiliki hubungan umum dan khusus dari satu aspek. Hubungan Âm wa khâs min wajh adalah hubungan antara dua kata universal yang ketika dilihat dari satu aspek memiliki perbedaan yang kontras tetapi ketika diperhatikan dari aspek yang lain mereka memiliki beragam kesamaan, baik itu dari segi subjek maupun objek.


Dengan melihat bahwa kebanyakan subyek Fikih seperti syarat-syarat transaksi jual-beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya tidak dapat digolongkan sebagai subyek Akhlak. Dari sisi lain, sebagian pembahasan Akhlak menentukan obyek-obyek dan berada pada tataran mengelaborasi penerapan subyek-subyek seperti rendah hati (tawadhu’), congkak (takabbur), ikhlas, riya dan sebagianya yang tidak dapat dipandang sebagai subyek-subyek fikih. Dan dalam kondisi yang sama, terdapat subyek-subyek seperti inti keharaman dan larangan berdusta, dianjurkannya (mustahab) shalat awal waktu dan lain sebagainya yang menjadi obyek bahasan fikih seperti yang dijelaskan di sebagian kitab Fiqih[7], yang juga mencakup Akhlak. Jadi, pada intinya mereka yang berpendapat seperti ini memetakan bahwa wilayah Fiqih adalah yang mengatur perbuatan seorang mukallaf dari segi amalan Jawârih (fisik) sedangkan Akhlak mengatur masalah hati atau perbuatan Jawânih (non fisik/ niat) seorang mukallaf. Sementara disaat yang sama pula permasalah Fiqih juga mengena perbuatan hati, seperti mengerjakan suatu ibadah haruslah dengan niat Qurbatan ilallâah (niat mendekatkan diri pada Tuhan) yang tanpanya ibadah bukanlah disebut sebagai ibadah.

2. Hubungan Âm wa khâs Mutlaq (Umum dan Khusus secara Mutlak)
Mereka yang berpandangan bahwa hubungan kedua kata tadi adalah hubungan umum dan khusus mutlak, membagi  kata Fiqih menjadi dua bagian. Fiqih atau memahami segala sesuatu secara universal atau disebut dengan Fiqih Akbar. Objek kajian ini mungkin masuk dalam wilayah filsafat yakni memahami dengan lebih mendalam segala sesuatu yang ada. Kemudian mereka mengklasifikasikan Akhlak dalam kajian filsafat Akhlak atau Hikmat ‘Amali[8]. Sebagian ulama Akhlak menyebut ilmu Akhlak dengan sebutan Fiqih Akbar, merujuk dari ungkapan Rasulullah Saw sepulangnya dari perang, bersabda kepada para sahabatnya “kita telah kembali dari jihad asghar “dan mengatakan ”wa ‘alaikum bil jihâdil akbar”  hendaklah kalian bersiap diri untuk melakukan jihad akbar atau jihad melawan hawa nafsu kalian. Jihad asghar yang dimaksud adalah berperang secara fisik seperti yang banyak dijelaskan dalam kitab-kitab Fiqih sedangkan jihad akbar yang dimaksud adalah perang melawan kemauan-kemauan hati yang bertentangan dengan akal dan syariat. 


Hubungan yang terjalin antara fikih dan Akhlak dalam hal ini adalah hubungan umum dan khusus mutlak; yakni setiap subyek yang bertalian dengan Akhlak Islam juga bertalian dengan fikih. Namun setiap subyek fikih Islam tidak serta-merta dimasukkan sebagai Akhlak.
Dari sisi lain, makna umum fikih adalah sebuah disiplin ilmu yang mengidentifikasi ragam masalah ke dalam hukum wajib, haram, mustahab, makruh dan mubah. Dengan kata lain, fikih dalam artian terbatas ini juga disebut secara teknis sebagai fikih asghâr.
 
3. Hubungan Tabâyun (berbeda)
Hubungan Tabâyun diantara dua kata adalah konsepsi tentang dua kata universal, yangmana kedua kata itu tidak akan pernah berkumpul dalam satu subjek. Dalam kitab Mantiq Muzaffar dicontohkan seperti kata “batu” dan “pohon”[9]. Abu Hamid Al Ghazali[10] temasuk orang yang meyakini bahwa ilmu Akhlak dan Fiqih adalah dua disiplin ilmu yang sangat berbeda. Dia mengatakan bahwa ilmu Fiqih adalah termasuk ilmu dunia seperti halnya matematika, fisika dan kimia. Ilmu Fiqih adalah ilmu yang menyangkut masalah keduniawian dan Akhlak adalah yang membahas masalah ukhrawi atau agama. Ilmu Fiqih adalah ilmu yang mengatur tentang amalan-amalan lahiriah dan bukan amalan jiwa, dan ilmu Fiqih adalah ilmu yang bersumber dari perbedaan pendapat dan perdebatan yang terjadi diantara para ilmuwan di dalam membahas sisi partikular kehidupan. Jika perbedaan pendapat dan perdebatan tidak terjadi diantara manusia maka orang tidak akan lagi membutuhkan yang namanya Fiqih dan tidak akan pula bermunculan yang namanya faqih (Mujtahid / Marja Taqlid). Jadi Al Ghazali lebih melihat Fiqih dari segi lahiriah dan aspek negatifnya saja tanpa memandang dari aspek niat pelaksana Fiqih[11].


Sebagian juga ada yang berpendapat bahwa hubungan Tabâyun yang terjadi disebabkan subjek yang berbeda yang lahir dari defenisi yang berbeda, bahwa Fiqih hanya menyangkut persoalan jawârih (fisik) seorang mukallaf , mengatur amalan-amalan praktis yang mencakup amalan apa yang “boleh” dan “tidak boleh” dikerjakan selama masih dalam koridor ketaatan. Dan Akhlak menyangkut persoalan potensi dan pengembangan jiwa seorang hamba dengan sifat-sifat yang mulia, seperti sifat berani, menjaga kesucian diri, adil dari sifat-sifat yang tidak terpuji, seperti sombong, bakhil dll[12].
Nah, jika diantara keduanya memiliki hubungan Tabâyun (beda) disebabkan defenisinya, bagaimanakah bentuk perbedaan mereka ?

a. Ta’arudh (Perbedaan pertentangan)
Mereka yang menilai bahwa Perbedaan yang terjadi antara Fiqih dan Akhlak dikarenakan hukum yang dihasilkan dari kedua disiplin ilmu ini memiliki perbedaan  yang sangat kontras. Mereka beranggapan bahwa Fiqih lahir dari adanya perbedaan dan perdebatan tentang hukum suatu subjek hukum atau taklif (tugas) seorang mukallaf, setiap sesuatu yang lahir dari perbedaan akan menghasilkan perbedaan yang lain pula dan tidak akan pernah mencapai sebuah kesamaan. Olehnya itu lahirlah mazhab dan sekte. Kita bisa mengambil beberapa contoh dalam kehidupan keseharian kita, seperti perbedaan orang yang menghalalkan sholat sambil bersedekap dengan tidak bersedekap, atau perbedaan dalam tata cara berwudhu. Dan masih banyak contoh lain yang semuanya terjadi karna perbedaan cara pandang dan mabna’ Istimbath (landasan pengambilan sebuah kesimpulan) suatu hukum. Bandingkan dengan Akhlak, tidak ada seorang pun yang mengatakan berdusta itu baik, ghibah itu baik dll. Dan dalam persoalan Akhlak semua orang akan selalu sepakat karna itu bagian dari fitrah manusia. Olehnya itu mereka kadang cenderung menabrakkan Fiqih dan Akhlak ketika dalam suatu kasus mereka terpaksa harus memilih mana yang lebih dahulu harus dikedepankan. Seperti seseorang yang dihadapkan pada pilihan apakah rela memilih berbeda atau toleransi, yangmana hukum akal pun mengatakan bahwa toleran pada sesuatu hal yang bukan haram adalah baik, maka mereka pun akhirnya memilih mengedepankan Akhlak daripada Fiqih.

b. Mitslâni (perbedaan persamaan)
Jika dilihat dari satu aspek memang ada perbedaan mencolok antara Fiqih dan Akhlak, tetapi perbedaan tersebut hanya dikarenakan subjek dan ruang lingkup yang berbeda. Yakni keduanya memiliki program kerja yang berbeda tetapi tujuannya adalah sama yaitu penghambaan kepada Sang Khalik. Jika Fiqih mempunyai batasan di wilayah jawârih (fisik) maka Akhlak bertugas mengontrol di wilayah Jawânih (pensucian jiwa). Lebih jauh lagi, kedua hal tersebut memiliki hubungan yang erat, saling membutuhkan dan saling melengkapi karena :


Pondasi Akhlak adalah Fiqih, karena penyucian jiwa tanpa menyucikan jasmani sebagai syarat diterimanya ibadah adalah hal yang mustahil.

Mulla Muhsin Feyz Kâsyâni[13] adalah salah seorang yang meyakini bahwa ada hubungan erat antara Fiqih dan Akhlak. Beliau dalam membantah pandangan Al Ghazali yang memisahkan antara Fiqih dan Akhlak, mengatakan: “Ilmu Fiqih adalah ilmu yang paling mulia yang diturunkan  Allah Swt dan Rasul-Nya melalui perantaraan wahyu, yang dengannya hamba-hamba-Nya sampai kepada-Nya dan mencapai maqâm yang mulia. Akhlak yang baik tidak akan dapat dicapai kecuali hanya dengan mengamalkan syariat yang telah ditetapkan. Dan tidak akan mencapai derajat kasyâf kecuali dengan jalan penyucian diri dan menerangi jiwa dengan cahaya syariat serta argumentasi akal. Dan untuk mendapatkan derajat ini seseorang harus mengetahui amalan apa yang merupakan ketaatan kepada Allah Swt yang dengannya mendekatkan diri pada-Nya dan mengetahui amalan maksiat yang menyebabkan jauh daripada-Nya, dan semua itu dijelaskan oleh ilmu Fiqih. Olehnya itu ilmu yang paling utama bahkan yang paling penting yang tertera dalam hadis-hadis Ahli Bait as adalah ilmu Fiqih yang merupakan sepertiga dari isi Al Qur’an. Bagaimana mungkin bisa dikatakan ilmu Fiqih sebagai ilmu dunia dan tidak dianggap sebagai ilmu ukhrawi (agama)”.[14]

Mereka yang berpandangan bahwa hubungan antara Fiqih dan Akhlak adalah hubungan Mitslâni (perbedaan persamaan), memilih mengedepankan Fiqih diatas Akhlak ketika dalam suatu kasus harus memilih yang mana yang harus di kedepankan. Bagi mereka itu bukanlah permasalahan memilih karena mengamalkan Akhlak tanpa mengamalkan Fiqih adalah hal yang mustahil. Fiqih merupakan pondasi beragama setelah akidah islam. Dan Akhlak merupakan hal yang penting selama tidak bertentangan dengan syariat (Fiqih). Seberapa besar usaha seseorang dalam menempuh Seir wa Suluk (perjalanan spiritual) ketika tidak menempuh tahapan Fiqih terlebih dahulu maka perjalanan itu akan sia-sia. Bahkan para ulama mengatakan bahwa Fiqih adalah perjalanan spiritual itu sendiri.

Akhlak memiliki hubungan yang erat antara akidah dan Fiqih

Ada yang mengatakan bahwa Akhlak disamping Fiqih adalah sebagai pelengkap, ibarat seorang yang akan melaksanakan sholat sebelum melakukan hal yang mustahab seperti memakai wangi-wangian atau memulai untuk khusyuk sudah seharusnya terlebih dahulu dia menutup auratnya. Karena segala sesuatu dalam ibadah tanpa melengkapi syarat sah ibadah maka hal itu akan tertolak.


Mengamalkan Fiqih dengan metodologi akhlak

Mengamalkan Fiqih praktis dengan menggunakan metodologi persuasif akhlak dan menjelaskannya dengan cara santun lebih memberikan ruang diterimanya perbedaan yang terjadi dalam fiqih kepada khalayak umum. Pelaksanaan fiqih tanpa mengindahkan budaya lokal akan terkesan memaksakan perbedaan dan pengamalan akhlak tanpa menyentuh fiqih akan rentan mengarah pada ajaran Mutasawwifah (sok sufi)