Seluruh Sifat-sifat Fi'liyah [4]


Mukadimah

Termasuk tema yang rumit dan persoalan yang sulit dipahami dalam kajian ilmu kalam adalah masalah irâdah Ilahiyah (kehendak Tuhan). Masalah ini dapat dibahas dari beberapa sisi. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya dilontarkan sehubungan dengan masalah irâdah Tuhan ini adalah: apakah kehendak Tuhan itu termasuk sifat dzatiyah ataukah ia termasuk sifat fi'liyah (perbuatan)? Apakah sifat tersebut qadim ataukah hadits? dan apakah irâdah Tuhan tersebut satu ataukah berbilang? Para teolog dan ulama berbeda pendapat dan pandangan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan membaca, mengkaji dan memahami uraian berikut ini, Anda akan dapat menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, terdapat pula tema-tema lainnya yang dibahas dalam kajian filsafat mengenai kemutlakan kehendak, khususnya kehendak Tuhan. Menurut kami, bahwa kajian atas tema ini secara luas dan mendetail, perlu dikaji dan dibahas, namun pada kesempatan lain yang lebih sesuai dengan ruang dan waktunya. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan membahasnya secara lebih sederhana sebagai langkah pertama untuk masuk kepada penjelasan selanjutnya yang lebih luas dan mendalam. Kami akan memulai untuk membahas masalah ini dengan menjelaskan pengertian irâdah. Setelah itu, kami akan jelaskan secara ringkas dan sederhana tentang irâdah Tuhan Pencipta alam semesta.



Irâdah

Irâdah (kehendak, keinginan) adalah kata yang biasa dan sering digunakan oleh masyarakat umum dalam percakapan mereka sehari-hari. Jika kita coba melihat kata irâdah ini secara urf dan menurut pandangan masyarakat umum, maka setidak-tidaknya kata irâdah ini digunakan dalam dua makna. Salah satunya bermakna cinta (mahabbah), dan yang kedua bermakna keputusan (tashmim) untuk melakukan suatu perbuatan. Makna irâdah yang pertama, yaitu mahabbah (cinta) mengandung pengertian yang sangat luas. Artinya bahwa makna yang pertama ini meliputi cinta akan segala sesuatu, baik yang berada pada diri seseorang yang berkehendak maupun segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Berbeda halnya dengan makna yang kedua, yaitu mengambil keputusan. Karena makna yang kedua ini khusus digunakan untuk tindakan-tindakan dan berbagai perbuatan seseorang yang memiliki kehendak itu sendiri.

Irâdah dengan pengertian pertama (mahabbah), meskipun bagi manusia hal itu merupakan aradh (aksiden) dan kaifiyah nafsaniyah (kualitas jiwa), tetapi akal kita dapat menggambarkan pahaman dan konsep umum baginya, yaitu dengan cara menyingkirkan dan mengosongkan berbagai kekurangan yang terdapat di dalamnya, sehingga ia dapat diterapkan atas berbagai maujud jauhariyah (substansial), bahkan dapat diterapkan atas Tuhan Pencipta. Sebagaimana penyingkiran dan pengosongan semacam itu dilakukan oleh akal terhadap pengetahuan (al-'Ilm).

Oleh karena itu, Hubb (cinta) –yang diterapkan atas mahabbah (kecintaan) Tuhan terhadap dzat-Nya– dapat digolongkan pula ke dalam sifat-sifat dzatiyah (esensial). Dengan demikian, apabila yang dimaksud dengan iradah Ilahiyah adalah hubb al-kamal (cinta kesempurnaan) yang -pada prinsipnya- berhubungan dengan kesempurnaan Ilahi yang tidak terbatas, dan berikutnya berhubungan dengan kesempurnaan seluruh makhluk dari sisi bahwa kesempurnaan itu merupakan kesan (atsar) dari kesempurnaan-Nya, maka kita dapat menggolongkan sifat irâdah yang bermakna cinta ini ke dalam sifat-sifat dzatiyah, sebagaimana sifat dzatiyah lainnya, yaitu qadim dan esa, dan identik ('ayn dzat) dengan dzat Tuhan Pencipta itu sendiri. Dengan kata lain ia merupakan substansi dzat Tuhan itu sendiri.

Adapun irâdah dengan makna keputusan untuk melakukan suatu tindakan dan pekerjaan, maka -tidak diragukan lagi- bahwa ia termasuk sifat-sifat fi'liyah (perbuatan), yang jika kita melihatnya dari sisi kaitannya dengan fenomena-fenomena alam (hawâdits), ia terikat dengan batasan-batasan waktu dan zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa disifatinya Tuhan dengan sifat-sifat fi'liyah seperti ini, tidak berarti bahwa dzat-Nya itu mengalami perubahan atau terdapat aradh (aksiden) padanya. Melainkan penyifatan ini hanyalah menyoroti dan memandang hubungan antara dzat Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya dari sisi tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula, sehingga dengan cara seperti itu dapat diperoleh sebuah pahaman dan konsep relasional (mafhum idhâfi) yang tergolong sebagai sifat fi'liyah. Jika kita perhatikan relasi dan hubungan antara Tuhan Pencipta dan makhluk-makhluk-Nya, maka akan kita dapati bahwa sifat irâdah terdapat dalam relasi dan hubungan tersebut. Dengan uraian yang lebih jelas bahwa setiap makhluk itu diciptakan oleh Tuhan dari aspek bahwa ia memiliki kesempurnaan, kebaikan dan kemaslahatan. Artinya bahwa dalam penciptaan makhluk itu terdapat maslahat, kebaikan dan kesempurnaan bagi makhluk itu sendiri. Dengan demikian maka wujud makhluk tersebut –pada masa, tempat dan cara tertentu– terkait dengan ilmu dan cinta Tuhan. Dan sesungguhnya Tuhan menciptakan makhluk-Nya dengan kebebasan dan kehendak-Nya, tanpa ada pemaksaan dari siapa pun. Maka dengan memperhatikan hubungan tersebut, kita akan dapat memperoleh sebuah pahaman dan konsep yang dinamakan irâdah. Pahaman dan konsep relasional ini dibatasi oleh batasan-batasan tertentu dilihat dari kaitannya dengan sisi hubungan yang terbatas pula. Oleh karena itu, pahaman dan konsep irâdah -yang diperoleh dengan melihat hubungan semacam ini- bersifat huduts dan katsrah (proses kebaruan dan jamak). Hal itu karena idhâfah (relasi, hubungan) mengikuti dua sisi yang mengapitnya, dimana huduts dan katsrat berada pada salah satu dari dua sisi. Singkatnya bahwa untuk memperoleh gambaran dan pahaman tentang sifat irâdah sebagai sifat fi'liyah Tuhan adalah dengan memperhatikan kedua hubungan antara dzat Tuhan yang berada pada satu sisi dan makhluk ciptaan-Nya yang bersifat huduts dan katsrat yang berada pada sisi lainnya. Sirâyat dan merembetnya sifat huduts dan kasrat kepada sifat irâdah Tuhan tersebut, cukup untuk menilai bahwa sifat tersebut sebagai sifat fi'liyah-Nya.



Hikmah

Dengan merenungkan dan memahami penjelasan yang telah kami sampaikan mengenai irâdah Ilahiyah, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa irâdah Tuhan itu tidak terkait dengan penciptaan sesuatu secara sia-sia, tanpa pertimbangan dan hikmah. Melainkan bahwa irâdah Ilahiiyah itu -pada dasarnya dan secara pasti- berkaitan dan berhubungan erat dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan segala sesuatu. Tetapi karena di alam jagat raya ini terjadi berbagai benturan dan gesekan antara satu materi dengan materi lainnya, maka hal itu mengakibatkan timbulnya kerusakan, kekurangan dan cacat pada sebagiannya, akibat ulah sebagian lainnya. Oleh karena itu, maka mahabbah dan kecintaan Tuhan kepada kesempurnaan, menginherensikan dan memestikan terciptanya suatu tatanan materi yang mengandung dan memiliki kebaikan dan kesempurnaan yang lebih banyak dibandingkan dengan keburukan dan kerusakannya. Artinya bahwa maslahat dan kebaikan yang terdapat di dalam penciptaan alam raya ini jauh melebihi kekurangan dan kerusakannya, bahkan tidak bisa dibandingkan.

Dengan mengamati dan memperhatikan hubungan-hubungan tersebut, maka kita dapat memperoleh pahaman dan konsep yang dinamakan "maslahat". Tanpa memperhatikan hubungan-hubungan tersebut, kita tidak akan dapat memperoleh gambaran mengenai adanya "maslahat". Karena "maslahat" itu sendiri bukan merupakan sesuatu yang memiliki wujud mandiri yang dapat memberi efek pada keberadaan makhluk-makhluk, sehingga dapat pula memberikan pengaruh atas irâdah Ilahiyah. Dengan kata lain bahwa kita tidak akan mendapati suatu maujud yang terdapat di luar kita yang bernama "maslahat", di mana wujud maslahat ini dapat mempengaruhi dan memberi efek makhluk-makhluk dalam kewujudannya. Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan bahwa adanya "maslahat" dalam penciptaan alam semesta ini ikut andil dan mempengaruhi kehendak Tuhan untuk menciptakan berbagai makhluk-Nya. Dengan kata lain, tidak benar jika Tuhan menciptakan alam raya ini berdasarkan atau karena adanya maslahat pada ciptaan-Nya itu sendiri. Lebih tidak benar lagi jika dikatakan bahwa maslahat itu dapat mempengaruhi irâdah Ilahiyah.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah bahwa tindakan dan perbuatan Tuhan itu muncul dari sifat-sifat dzatiyah-Nya seperti: ilm, qudrat dan kecintaan-Nya (hubb, mahabbah) kepada kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu, maka tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan-Nya itu senantiasa tidak terlepas dan tidak mungkin kosong dari maslahat. Artinya bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan itu senantiasa terwujud dengan berbagai kebaikan, maslahat dan kesempurnaan yang lebih dominan. Irâdah semacam ini dinamakan sebagai irâdah hakîmah; Kehendak yang Mahabijak. Dari sinilah akal dapat mencerap dan memperoleh sifat fi'liyah Tuhan yang lain, yaitu sifat bijaksana (hakim). Sebagaimana pula semua sifat-sifat fi'liyah lainnya, sifat ini pun berakhir dan berujung kepada sifat-sifat dzatiyah Tuhan.

Perlu kiranya kami tekankan, bahwa melakukan suatu tindakan dan perbuatan berdasarkan maslahat, bukan berarti bahwa maslahat itu merupakan landasan dan sebab utama ('illat gha'iyah) bagi Tuhan. Melainkan bahwa maslahat itu merupakan tujuan kedua atau tujuan sampingan yang bersifat tak langsung (taba'i). Adapun tujuan utama dari perbuatan-perbuatan Tuhan adalah cinta-Nya kepada kesempurnaan diri-Nya sendiri yang tak terbatas, dimana cinta kepada kesempurnaan-Nya tersebut secara tak langsung berhubungan dengan berbagai atsar-nya (efeknya), yaitu kesempurnaan segala yang ada. Karenanya atas dasar cinta-Nya kepada dzat-Nya itulah, Dia menciptakan manusia dan alam semesta ini. Kemudian secara tidak langsung -yang merupakan tujuan sampingan- terdapat berbagai maslahat dan kebaikan yang dominan atas penciptaan-Nya tersebut. Dengan demikian bahwa maslahat dan kebaikan pada penciptaan-Nya itu bukan merupakan tujuan utama segala tindakan dan perbuatan-Nya. Berangkat dari sini maka para filosof dan teolog Islam mengatakan bahwa sebab utama tindakan dan perbuatan Tuhan adalah illat dan sebab pelaku ('illat fa'iliyah) itu sendiri. Karena Tuhan Pencipta itu tidak memiliki ghayah mustaqil (tujuan di luar diri-Nya) sebagai tambahan atas dzat-Nya.

Namun demikian, pandangan dan konklusi ini tidak menafikan adanya kesempurnaan, kebaikan dan maslahat yang terdapat pada seluruh maujud sebagai tujuan lateral dan sampingan (far'i dan tabi'i). Oleh karena itu, tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan Tuhan Pencipta dapat dikatakan sebagai illat dan sebab bagi sebagian perkara dan tujuan-tujuan yang berakhir dan berujung kepada kesempurnaan, kebaikan dan maslahat seluruh makhluk itu sendiri. Hal ini sebagaimana disinggung dan dijelaskan di dalam kitab suci umat Islam. Lebih dari itu bahkan sebagian ayat-ayat suci di dalam kitab mereka menyebutkan bahwa ujian, bencana, memilih perbuatan yang paling baik, beribadah kepada Tuhan Pencipta dan mencapai rahmat Ilahi yang khusus dan bersifat abadi, merupakan tujuan penciptaan manusia. Masing-masing daripada tujuan tersebut disiapkan untuk tujuan yang lainnya secara gradual sebagaimana yang telah dijelaskan.

Kalâm Tuhan

Termasuk pahaman dan konsep yang dinisbahkan kepada Tuhan Pencipta -di dalam pembahasan Teologi dan Filsafat- adalah pahaman dan konsep kalâm atau takallum (berkata-kata). Artinya bahwa kalâm atau takallum itu merupakan salah satu sifat Tuhan Pencipta. Sebenarnya sudah sejak dahulu kala persoalan kalâm Ilahi ini telah dibahas oleh kaum teolog. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa sebab penamaan ilmu Kalâm adalah larutnya para teolog ke dalam pembahasan seputar kalâm Ilahi. Sebagian teolog seperti aliran Asy'ariyah menganggap bahwa kalâm Ilahi termasuk sifat dzatiyah. Sementara sekte Mu'tazilah menganggapnya sebagai sifat fi'liyah. Di antara persoalan-persoalan yang menyebabkan terjadinya pertikaian sengit antara kedua sekte atau mazhab tersebut ialah: apakah Al-Qur'an itu –sebagai kalâm Tuhan– termasuk makhluk ataukah tidak? Bahkan bisa jadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian lainnya hanya karena perbedaan pandangan dalam masalah ini.
Dengan memperhatikan pengertian sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah yang telah kami jelaskan pada pembahasan yang lalu, tampak jelas bahwa kalam Ilahi termasuk sifat fi'liyah. Karena pahaman dan konsep kalam tersebut tidak dapat ditangkap oleh akal, kecuali dengan mengandaikan dan menggambarkan adanya audiens (mukhâtab) yang berusaha menangkap maksud ucapan mutakalim (pembicara) dengan cara mendengar suara atau melihat tulisan atau terbetik suatu pemahaman di dalam benaknya, ataupun dengan cara-cara lainnya.
Pada hakikatnya, pahaman dan konsep mutakalim itu dapat diperoleh dan dicerap melalui adanya hubungan antara Tuhan Pencipta yang hendak menyingkap suatu hakikat kepada selain-Nya dan adanya audiens yang hendak menangkap hakikat tersebut. Berbeda halnya apabila yang dimaksudkan dengan takallum itu adalah makna lain seperti qudrat (kuasa) untuk bicara atau tahu isi pembicaraan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sifat kalâm akan kembali dan berakhir kepada sifat dzatiyah. Sebagaimana hal yang serupa bagi sebagian sifat-sifat fi'liyah lainnya telah dijelaskan pada kajian lalu.
Adapun Al-Qur'an, ataupun kitab-kitab suci lainnya yang tersusun dari kalimat-kalimat atau kata-kata atau pemahaman-pemahaman yang tersirat di benak ataupun berupa hakikat nurani nonmateri, maka tidaklah diragukan lagi bahwa semua itu termasuk makhluk dan dicipta. Kecuali jika dikatakan bahwa ilmu dzati Tuhan Pencipta itu adalah hakikat Al-Qur'an. Maka berdasarkan pandangan dan asumsi seperti ini, sifat kalâm itu kembali dan berujung kepada sifat ilmu dzatiyah. Tetapi, takwil dan penafsiran atas kalam Ilahi dan Al-Qur'an semacam ini, sangat jauh dari pemahaman umum, dan hal ini harus dihindari. Sebenarnya untuk memahami bahwa kitab-kitab suci yang ada di hadapan kita itu termasuk bagian dari makhluk Tuhan, sebagaimana kitab-kitab dan buku-buku lainnya -dari sisi kemakhlukannya- tidak serumit apa yang dibayangkan. Pasti semua orang berakal memahami bahwa segala susunan kata-kata dan kalimat ataupun pahaman-pahaman yang tersirat di benak, itu semua merupakan makhluk dan dicipta. Inilah penafsiran dan pemahaman yang mudah dan bersifat umum.



Benar

Satu sifat lagi dari sifat-sifat Tuhan Pencipta yang perlu dibahas dan dijelaskan di sini adalah sifat ash-Shidq (benar, jujur). Benar dan jujur ini biasanya digunakan untuk mensifati perkataan dan ucapan (kalâm). Tuhan Pencipta menuangkan kalâm dan perkataan-Nya itu dalam berbagai bentuk. Dan apabila kalâm-Nya itu dituangkan atau disampaikan dalam bentuk perintah, larangan dan insyâ' (preskriptif), maka ia dinilai sebagai suatu penetapan dan penentuan terhadap berbagai hukum dan tugas praktis atas segenap hamba-Nya. Dan kalam Tuhan yang dituangkan dalam bentuk-bentuk yang seperti itu tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Dengan kata lain bahwa sifat benar dan dusta itu tidak bisa diterapkan kepada kalam dan perkataan yang dituangkan dan disampaikan dalam bentuk insyâ'. Karena memang bentuk-bentuk itu tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Namun, apabila kalâm Tuhan itu disampaikan dalam bentuk ikhbâr atau informasi tentang berbagai hakikat, peristiwa masa lalu atau pun kejadian-kejadian yang akan datang, maka ia (kalâm Tuhan) bisa disifati dengan sifat benar (ash-Shidq). Sifat ini merupakan landasan bagi rumusan argumen lainnya, yaitu dalil wahyu (naqli dan ta'abudi) untuk menetapkan dan membuktikan masalah-masalah partikular (far'iyah) dalam memandang penciptaan alam semesta, dan bahkan digunakan pula untuk membuktikan berbagai masalah akidah dalam pandangan dunia Ilahi.

Salah satu dalil rasional yang dapat diterapkan untuk menetapkan dan membuktikan adanya sifat tersebut (ash-Shidq) pada kalâm Tuhan ialah bahwa kalâm Tuhan itu merupakan bagian dari rububiyah dan pengaturan-Nya atas alam semesta dan segala isinya termasuk seluruh manusia. Tentu saja kalâm Tuhan tersebut berlandaskan pada ilmu dan hikmah-Nya. Mustahil Tuhan Pencipta Yang Mahakuasa mengatur alam jagad raya dan seisinya ini (yang merupakan bagian dari kalâm-Nya) tanpa ilmu dan hikmah-Nya. Hal itu sebagaimana dapat dipahami dari kajian-kajian yang telah lalu. Di samping itu, kalam Tuhan itu memiliki tujuan penting, yaitu untuk memberikan hidayah dan petunjuk kepada segenap makhluk-Nya, dan memenuhi sarana untuk menyampaikan berbagai pengetahuan yang benar kepada audiens (mukhatab). Jika diasumsikan bahwa kalam Tuhan itu tidak sesuai dengan kenyataan objektif, maka Tuhan sebagai penyampai tidak dapat lagi dipercaya. Karena hal itu dapat menggugurkan dan membatalkan tujuan dari kalâm-Nya itu sendiri. Dan hal yang demikian ini bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kalâm Tuhan itu bersifat benar dan jujur (ash-Shidq).