DIRGAHAYU MUHAMMAD SAW

Manusia yang kita peringati kelahirannya itu bukan melankolis, klimis dan necis tapi berhari raya dengan gelandangan dan bermain dengan anak-anak yatim.


Dia mestinya dipuji bukan karena ketampanannya dan rupanya yang bersinar tapi karena menghadiahkan pelipis dan rahangnya demi risalah yang diembannya.


Dia hadir untuk memperkenalkan metode jadi manusia sekaligus prototipenya. Memperingati kelahirannya berarti memperingati kelahiran “manusia”.


Agama adalah konsep yang harus bersanding dengan produknya. Agama adalah “apa” dan Muhammad adalah “siapa”nya. Begini orang-orang yang disesatkan itu memandangnya.


Dia dihadirkan sebagai bukti bahwa agama bila diterapkan siapapun bisa menjadi “manusia”. Memperingati kelahirannya berarti menolak absurditas.


Maulid Nabi harusnya jadi momen penyatuan pengiman risalahnya. Ironis! Sekelompok pengimannya sekarang jadi sasaran adu tangkas pengkafiran dari semua arah.


Ia mengendap-endap dengan langkah-langkah lembut di tengah khalayak yang sedang berkumpul supaya mereka tidak sadar lalu bubar karena canggung dengan wibawanya. Dialah Muhammad.


Bila dipanggil, dia tidak menoleh tapi membalikkan seutuh tubuhnya. Bila menyapa seseorang, dia panggil nama lengkapnya. Bila mnyambut tamu dia bangkit.


Bila diundang, dia duduk di baris yang kosong, tidak menerebos ke depan. Bila ada jamuan, dia makan setelah memastikan lainnya dapat bagian. Dia Muhammad.


Dia adalah “The Living Quran”. Ia adalah ejawantah Wahyu. Dialah firman yang dibumikan. Ia adalah harmoni dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa.


Dia tak pernah memerintahkan istrinya untuk melakukan keperluan dirinya. Setiap yang jumpa dengannya merasa mendapat perlakuan khusus darinya.


Dia superpeduli (harishun). Dia bahkan menyandang sifat-sifat yang secara primer milik Tuhan seperti Rauf (super empatik) dan Rahim (Penyayang).


Dia basyar (manusia), bahkan dialah “the only basyar” secara ontologis. Lainnya antri dalam gradasinya karena dia basyar yang terwahyukan (yuha).


Kelahirannya adalah hari raya bagi Bilal, Amnar dab para kuli paksaan di ladang-ladang Umayyah. Misi utamanya adalah penumpasan “tuhan-tuhan bertulang”.


Bila hendak berjuang melawan agresor, dia kumpulkan orang-orang cacat, miskin, para janda pahlawan dan anak-anak yatim lalu memohon restu mereka.


Disebut “sayyidul arab wal ajam” (pemimpin arab dan ajam) karena dia must’arib (non Arab keturunan Ibrahim yang dianggap Arab). The meeting point.


Selama Maulid Nabi diperingati di bumi Indonesia, dipastikan jejak mazhab yang sekarang dikafirkan para pembid’ah Maulid ini akan tetap lestari.


Tema maulid bagi para pembid’ah dan pengkafir seperti raket elektrik bagi nyamuk. Inilah pesta bersama Sunni dan Syiah minus para pembid’ah.


Silakan klaim diri sebagai Ahlusunnah tapi bergabunglah dalam acara-acara Maulid lalu ikutlah berdiri seraya memanggilnya “Marhaban ya Jaddal-Husain!”.


Kalau benci Maulid tapi ngotot mengaku paling Sunni dan ingin mengadu domba NU dengan Syiah, setidaknya berpura-puralah senang Maulid.


Lucu! Mengaku paling konsisten dengan ajaran Islam tapi enggan berdiri menghormati pembawanya dalam peringatan Maulid bahkan membid’ahkannya.


Daripada sibuk menyebarkan teologi anti maulid, haul dan tahlil, mending perbaiki perlakuan terhadap TKI di negerinya.
Ajakan intoleransi dan kebencian terhadap sesama manusia, sesama Muslim dan sesama warga negara, dengan alasan dan modus apapun tidak simpatik.


Maulid adalah pesta bersama umat Islam (minus para pembid’ah). Maulid Nabi adalah pengikat kultur toleransi sesama pengiman Kenabiannya.


Minoritas disini adalah yang membid’ahkan Maulid, tahlil, mensyirikkan nyekar, hormat bendera Negara, sekaten, suro, dan warisan budaya lainnya.