KATA HATI

Ada yang mengikuti kata hati. Ada yang mengikuti kata akal. Ada pula yang mengikuti “katanya”.
Sesekali boleh mengabaikan kata hati karena hati lebih lebih mudah berubah ketimbang akal.
Kata akal adalah logos yang lazimnya mematuhi aturan aksioma, meski hati kadang tak menyukainya.
Sebagian orang mengutamakan kata hati atas kata akal, karena hati tak memberikan argumen benar dan salah, tapi hanya menjadikan kehendak, suka dan tak suka sebagai tujuan utama.
Mengikuti kata akal memang kadang melelahkan karena memerlukan inteleksi berupa analisa dan komparasi.
Sebagian besar pernyataan terucap dan tertulis adalah produk kata hati yang terlanjur disejajarkan dengan kata akal bahkan diutamakan. Karena itu, pembuatnya kerap menolak pandangan lain yang bersumber dari kata akal.
Kata akal adalah premis atau pernyataan yang validitasnya tidak ditentukan oleh kata hati alias suka dan tidak suka, tapi ditentukan oleh dua cara; koherensi, yaitu kesesuaian subjek dengan predikat, dan korespondensi, yaitu keterpaduan gagasan dengan fakta.
Kata hati tidak cukup dijadikan sebagai dasar pandangan dan tindakan, karena:
1.Hati tak mematuhi rumusan yang diterima secara general, sehingga hanya dirasakan secara personal,
2.Hati setiap orang berbeda kualitas kejernihan, ketajaman dan kedalaman,
3.Hati adalah satu elemen atau fungsi jiwa yang semestinya berpasangan dengan akal sebagai salah satu elemen atau fakultas jiwa. Artinya, hati dan akal adalah dua sistem dalam jiwa.
4.Bila setiap individu mengkuti suara atau kata hatinya masing-masing, maka hukum, pakta-pakta dan semua sistem yang menata kepentingan alias kehendak (yang sebagian besar bersumber dari kata hati) gugur dan tak berlaku.
Mungkin yang “berhak” menjadikan kata hati sebagai kompas dan pedoman adalah para arif yang telah menyelesaikan semua etape inteleksi dan melampaui kata akal karena telah menjelajahi semua aksioma dengan prestasi penyingkapan.