Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [9]



Sifat-sifat Salbiyah (Negasi)


Pendahuluan

Hingga saat ini telah dibahas beberapa sifat-sifat tsubuti dzat atau sifat perbuatan Tuhan, sekarang akan dibahas tentang sifat negasi (salbi) Tuhan. Telah dikatakan sebelumnya bahwa disetiap sifat negasi pada dasarnya menafikan ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan, karena negasi bertemu negasi akan berakhir pada penegasan kesempurnaan Tuhan. Maka dari itu, konsekuensi seluruh sifat negasi kembali pada satu makna yang diistilahkan dengan penafian ketaksempurnaan (al-salb al-naqsh) atau penafian keterbatasan (al-salb al-mahdudiyah).

Meskipun secara sepintas sifat-sifat negasi Tuhan tak terhitung banyaknya, di bawah ini hanya akan dibahas beberapa sifat-sifat utama, antara lain:

1. Penafian komposisi dan sifat-sifat tambahan pada dzat;

2. Penafian jasmani;

3. Penafian arah dan tempat;

4. Penafian reinkarnasi Tuhan pada makhluk;

5. Penafian penyatuan Tuhan dengan makhluk;

6. Penafian aksidensi pada dzat-Nya;

7. Penafian kelezatan dan penderitaan;

8. Penafian rukyat (terlihat).[1]



Argumen Umum atas Sifat-Sifat Negasi

Sebelum membahas sifat-sifat negasi, perlu ditekankan bahwa dengan kembalinya sifat-sifat ini pada satu makna yaitu negasi ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka argumentasi umum atas seluruh sifat negasi bisa diketengahkan sebagai berikut:



Tuhan adalah wujud mutlak yang memiliki seluruh kesempurnaan wujud, oleh karena itu, pada dzat-Nya tidak terdapat ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Maka dari itu, setiap makna yang mengarah pada ketaksempurnaan-Nya niscaya ternafikan dari dzat-Nya. Sifat negasi tidak lain adalah penafian ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka kesempurnaan mutlak Tuhan mengharuskan penyandaran segala sifat negasi pada-Nya. Dengan demikian, sebagaimana telah dibuktikan keberadaan seluruh sifat tsubuti dengan satu argumentasi, maka bisa pula dibangun argumentasi umum atas sifat-sifat negasi ini.

Sekarang mari kita tengok satu persatu sifat-sifat negasi sebagaimana yang telah kami cantumkan sebelumnya:



1. Penafian komposisi dan sifat tambahan pada dzat

Masalah ini telah dibahas terperinci dalam pembahasan tauhid dzat dan sifat, adalah tidak urgen untuk mengulangnya kembali.



2. Penafian jasmani

Mayoritas kaum muslim menganggap bahwa Tuhan suci dari sifat-sifat jasmani. Terdapat minoritas muslim yang berpendapat bahwa Tuhan memiliki jasmani, kelompok ini dikenal dengan "Mujassimah". Argumentasi akurat yang digunakan menafikan sifat jasmani pada Tuhan adalah karena setiap benda (jism) mempunyai tiga dimensi yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Berdasarkan hal ini, wujud benda tersebut tersusun dari bagian-bagian, dengan demikian setiap benda memiliki komposisi. Telah terbukti bahwa Tuhan tidak berkomposisi, oleh karena itu, terbukti bahwa Tuhan bukanlah benda atau jasmani. Berdasarkan hal ini, manusia tidak boleh menggambarkan Tuhan sebagai sebuah wujud bendawi atau berjasmani, melainkan Dia adalah sebuah realitas non-materi dan metafisik (mujarrad) yang tidak terpengaruh hukum-hukum materi.



3. Penafian arah dan tempat

Maksud dari sifat ini adalah Tuhan tidak berada pada arah tertentu dan tidak bertempat. Kelompok Mujassimah berpendapat bahwa Tuhan terletak pada arah tertentu dan kelompok Karramiyyah percaya bahwa Dia senantiasa berada di atas.[2]

Salah satu argumen bahwa Tuhan tidak berarah dan bertempat adalah bahwa sifat-sifat tersebut hanya dimiliki oleh benda dan jasmani, sementara Tuhan bukan benda dan materi. Setiap bagian dari bagian-bagian benda ialah saling membutuhkan dan Tuhan adalah Wâjib al-Wujûd yang tak membutuhkan.



4. Penafian reinkarnasi Tuhan pada makhluk

Tuhan tidak reinkarnasi pada eksistensi yang lain. Seluruh aliran Islam sepakat dalam hal ini, kecuali hanya beberapa dari ahli tasawuf yang mempercayai reinkarnasi Tuhan pada selain-Nya.

Salah satu argumen para teolog atas penafian reinkarnasi Tuhan ini bersandar pada makna umum reinkarnasi, dimana sesuatu yang akan melakukan reinkarnasi senantiasa membutuhkan wadah atau sesuatu untuk reinkarnasi, kebutuhan terhadap wadah ini bersifat tetap dan esensial. Karena Tuhan Maha Kaya dan tidak butuh atas sesuatu, maka Dia mustahil reinkarnasi pada selain-Nya.



5. Penafian penyatuan dengan makhluk

Tuhan tidak menyatu dengan wujud selain-Nya, seluruh aliran Islam sepakat dalam masalah ini. Salah satu argumen tentang hal ini adalah apabila maksud dari penyatuan (ittihâd) bermakna majazi, yakni penyatuan dua wujud atau perubahan bentuk sesuatu, maka makna ini meniscayakan adanya perubahan dan penyusunan, sementara dzat suci Ilahi bebas dari hal semacam ini, karena menggambarkan ketidaksempurnaan dan kebutuhan. Dan apabila maksud dari penyatuan (ittihâd) ini bermakna hakiki, yaitu perubahan dua dzat menjadi dzat tunggal, maka makna seperti ini bukan saja mustahil terjadi pada Tuhan bahkan pada seluruh maujud.[3]



6. Penafian aksidensi pada dzat Tuhan

Dzat Tuhan bukan wujud yang terkait dengan hal-hal temporal dan sifat-sifat aksiden. Berdasarkan hal ini, tak satupun dari sifat-sifat Tuhan merupakan sifat aksiden dan temporal. Salah satu argumen yang dikemukakan oleh teolog terhadap penafian sifat temporal ini adalah bahwa aksidensi atau melekatnya sifat temporal atas dzat tertentu akan mengharuskan pada dzat itu adanya potensi untuk menerima sifat tersebut, dan potensi ini merupakan karakteristik maujud-maujud materi. Oleh karena itu, aksidensi atau melekatnya sifat pada dzat Tuhan mengharuskan kematerian dzat-Nya, sedangkan dzat suci Ilahi bukan materi.

Salah satu kesimpulan penafian aksidensi dan hal-hal temporal pada dzat Ilahi ini adalah bahwa seluruh sifat-sifat Tuhan adalah pre-eternal dan azali (qadim).



7. Penafian kelezatan dan penderitaan

Tuhan tidak merasakan kelezatan dan juga tidak merasakan penderitaan. Kelezatan dan penderitaan secara umum terbagi dua:

Pertama, kelezatan atau penderitaan alami yang khusus dimiliki oleh maujud-maujud materi yang hidup seperti manusia dan hewan, dan karena Tuhan bukan substansi materi, kelezatan dan penderitaan semacam ini tidak terjadi pada dzat-Nya.

Kedua, kelezatan dan penderitaan akal yang maksudnya adalah sesuatu yang berakal memahami hal-hal yang sesuai maupun yang tidak sesuai baginya. Tak ada keraguan bahwa kelezatan dan penderitaan akal ini mustahil terdapat pada Tuhan, karena seluruh keberadaan merupakan akibat dan makhluk-Nya dan antara sebab dan akibat atau antara Khalik dan makhluk mustahil terdapat perselisihan dan pertentangan. Oleh karena itu, tak satupun maujud di alam ini bertentangan dengan dzat Tuhan sedemikian sehingga ketika Dia memahami perbedaan dan pertentangan itu akan menyebabkan penderitaan akal bagi-Nya.

Akan tetapi apakah Tuhan memiliki kelezatan akal, terdapat perselisihan pendapat. Sebagian teolog sependapat dengan para filosof[4] dalam hal ini dan mengatakan bahwa dzat Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan keindahan, maka "pemahaman" Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri identik dengan "pemahaman-Nya" atas eksistensi[5] yang setara dengan kesempurnaan dzat Tuhan, karena terwujudnya kesetaraan yang paling sempurna antara eksistensi dengan diri-Nya sendiri, maka "hadirlah" kelezatan akal bagi Tuhan.[6]

Kelompok yang lain meskipun mereka menerima prinsip ilmu Tuhan terhadap kesempurnaan dzat-Nya sendiri, tetapi mereka menolak adanya kelezatan pada Tuhan, karena dalam al-Qur'an dan hadis tidak terdapat sifat seperti ini bagi Tuhan, Allamah Hilli dalam kitab asy-Syarh Tajrid al-I'tiqad mengatakan, "Kelezatan dengan makna memahami hal-hal yang sesuai bagi-Nya, merupakan kesepakatan para filosof awal, karena Tuhan mengetahui eksistensi yang paling sempuna, yaitu dzat-Nya sendiri, maka berdasarkan pengetahuan ini Dia merasakan kelezatan. Dan ini merupakan perspektif Ibnu Nubakht dan sebagian teolog, meskipun penggunaan kata kelezatan bagi Tuhan mesti memerlukan ketetapan-Nya."[7]

Walhasil, makna yang digunakan untuk kelezatan dan penderitaan adalah makna pertama, dan menegaskan bahwa Tuhan tidak bisa disifati dengan kelezatan dan penderitaan sebagaimana menyifati makhluk-Nya



8. Penafian rukyat

Tuhan tidak bisa terlihat. Sifat ini merupakan salah satu pembahasan menarik dalam sifat-sifat negasi Tuhan, dan terdapat perselisihan pendapat yang sangat tajam dalam masalah ini. Para teolog Imamiah dan Mu'tazilah sepakat bahwa Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat, tidak bisa dilihat secara inderawi. Berhadapan dengan pendapat ini, aliran Mujassimah yang menganggap Tuhan memiliki jasmani, tempat, dan arah, sepakat tentang adanya kemungkinan melihat Tuhan secara inderawi baik di dunia maupun di akhirat. Ahli Hadis dan pengikut Asy'ari mengambil jalan tengah antara keduanya dan sepakat bahwa di akhirat manusia kelak akan menyaksikan Tuhan dengan mata kepala sendiri, dalam masalah ini Asy'ari mengatakan, "Kami sepakat bahwa di akhirat Tuhan akan dapat dilihat oleh mata inderawi, sebagaimana terlihatnya bulan purnama pada malam hari dan para mukmin akan melihat Dia".[8]

Dengan memperhatikan bahwa masing-masing aliran di atas selain berusaha memaparkan argumen rasional dan menegaskan klaimnya dengan teks suci, mereka juga mengeritik argumentasi yang diajukan oleh kelompok lainnya, hal ini membuat pembahasan rukyat menjadi meluas. Di sini akan diringkas dan mencukupkan membahas sebagian argumentasi tentang kemustahilan rukyat Tuhan secara inderawi, dan pembahasan ini akan kami lanjutkan dalam perspektif Qur'ani.[9]

Inti perselisihan pada pembahasan ini terletak pada rukyat Tuhan dengan bantuan penglihatan mata inderawi. Tapi apabila maksud dari rukyat adalah penyaksian kalbu dan mukasyafah batin, maka tidak ada perbedaan dalam masalah ini, dan rukyat semacam ini diistilahkan dengan "rukyat kalbu" yang berlawanan dengan "rukyat inderawi". Rukyat kalbu mungkin terjadi di dunia maupun di akhirat. Dengan merujuk perspektif kontemporer Asy'ari, menjadi jelas bahwa mereka dengan memperhatikan kemustahilan rukyat inderawi, berusaha untuk menafsirkan kembali kata rukyat ini dengan mengatakan bahwa substansi pembahasan adalah rukyat inderawi yang tidak membutuhkan obyek lansung sehingga menempatkan obyek penglihatan (Tuhan) pada ruang dan arah.[10]

Sebagian mengklaim bahwa Tuhan pada hari kiamat kelak terlihat dengan mata sebagaimana keadaan yang dicapai akal para mukmin terkait dengan penyaksian batin cahaya wujud Ilahi.[11] Bagaimanapun, tafsiran kontemporer Asy'ari tentang rukyat Tuhan identik dengan rukyat kalbu atau setara dengan makna irasional dan tak bisa digambarkan.[12]



Argumen Kemustahilan Rukyat Inderawi Tuhan

Banyak argumen akal yang telah dibangun untuk menegaskan kemustahilan rukyat Tuhan, di sini hanya disebutkan dua argumen:

1. Penglihatan inderawi terhadap suatu benda mengharuskan benda itu berada di hadapan mata kita dan hadirnya benda itu di hadapan kita mengharuskannya berada pada arah tertentu. Oleh karena itu, penglihatan inderawi memestikan keberadaan arah. Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa Tuhan tidak berarah dan bertempat, dengan demikian rukyat inderawi terhadap Tuhan adalah mustahil.

2. Apabila Tuhan bisa dilihat, berarti seluruh dzat-Nya bisa dilihat atau hanya sebagian dzat-Nya dapat dilihat. Asumsi kedua adalah salah, karena mengharuskan adanya komposisi pada dzat Tuhan. Asumsi pertama juga tak logis, karena membatasi dzat Tuhan sedangkan dzat Tuhan adalah tak terbatas.

Pada akhir pembahasan ini, diingatkan bahwa sifat negasi Tuhan tidak terbatas pada apa yang telah disebutkan, melainkan setiap sifat yang mengandung makna ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan. Tuhan tak terikat waktu, tidak membutuhkan, tidak terefek oleh apapun, penafian sekutu, dan penafian lawan atas-Nya serta berpuluh-puluh sifat negasi lainnya bisa ditetapkan dengan berpijak pada keniscayaan wujud Tuhan dan sifat-sifat sempurna-Nya.



Sifat Negasi dalam Al-Qur'an

Kalimat "tasbih Tuhan" banyak digunakan dalam al-Qur'an dengan makna bahwa menjauhkan-Nya dari setiap keterbatasan dan ketidaksempunaan. Pada sebagian ayat disebut sifat "Quddus (Maha Suci)" untuk Tuhan yang menunjukkan puncak kesucian dzat Ilahi dari kekurangan dan ketercelaan. Sebagai contoh, dalam surah al-Hasyr berfirman, Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Qs. Al-Hasyr: 23)

Tentunya sifat quddus bukan hanya merupakan penjelas bagi negasi ketaksempurnaan Tuhan, tetapi sifat ini bermakna luas yang termasuk penafian terhadap segala bentuk ketaksempurnaan dalam perbuatan, mekanisme takwini (alam penciptaan), dan tasyri'i (syariat) Tuhan. Berdasarkan hal ini, keluasan pembahasannya melebihi keluasan sifat-sifat negasi.

Selain menegaskan negasi umum seluruh ketaksempurnaan dzat dan perbuatan Tuhan, al-Qur'an juga menegaskan tentang sebagian dari sifat-sifat negasi khusus, sebagai berikut:



1. Tuhan tidak bertempat

Dengan mengamati sebagian ayat, akan jelas menunjukkan bahwa Tuhan tidak terikat terhadap tempat. Misalnya, setelah terjadinya perubahan kiblat untuk muslimin dari Baitul Muqaddas ke arah Ka'bah, Tuhan menurunkan ayat pada Nabi-Nya saww untuk menjawab kritikan para penentangnya yaitu kaum Yahudi, Tuhan berfirman, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui." (Qs. Al-Baqarah: 115)

Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa Tuhan lebih baik dari apa yang terletak pada tempat tertentu. Secara lahiriah, maksud dari "timur" dan "barat" di sini bukanlah dua arah geografi, melainkan merupakan kinayah dari seluruh arah, sedangkan ungkapan "Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah" bisa diketahui dengan jelas bahwa Tuhan hadir di mana saja. Ayat di atas secara keseluruhan menjelaskan bahwa fungsi kiblat untuk memusatkan konsentrasi dan perhatian para mukmin ketika melakukan shalat, bukan bermakna bahwa Tuhan terletak pada tempat dan arah tertentu, karena Dia hadir pada semua tempat dan mengetahui segala sesuatu. Tentunya, karena Tuhan bukan realitas berkomposisi dan bermateri, kehadiran-Nya pada semua tempat tidak bermakna bahwa Tuhan menempati seluruh tempat tapi bermakna bahwa Tuhan meliputi semua tempat atau sesuatu yang tak tempat. Pada sisi lain, dengan memperhatikan bahwa peletakan dua benda pada satu tempat merupakan hal yang mustahil. Kehadiran Tuhan pada seluruh alam materi dan jasmani yang telah dipenuh oleh berbagai benda, menunjukkan ketidakmaterian-Nya.

Ayat yang membicarakan tentang kebersamaan Tuhan dan makhluk-Nya juga menghikayatkan bahwa Tuhan tidak bertempat, "… dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al-Hadid: 4)

Jelas bahwa kebersamaan Tuhan dengan semuanya, tidak sesuai dengan keterbatasan-Nya pada tempat tertentu, karena jika sebuah eksistensi terbatasi oleh tempat tertentu, maka dia mustahil bersama dengan seluruh eksistensi lainnya pada saat yang bersamaan. Jadi maksud dari kebersamaan ini adalah kebersamaan Tuhan yang bersifat mewujudkan (qayyumi) dan yang bersifat meliputi (ihâtha) yang bersumber dari keniscayaan wujud dan ketakterbatasan wujud-Nya.



2. Tuhan tidak bisa dirukyat

Ayat al-Qur'an yang paling tegas menafikan kemungkinan rukyat (melihat) Tuhan adalah, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui." (Qs. Al-An'am: 103)

Pada ayat ini dengan tegas dijelaskan bahwa Tuhan melihat seluruh penglihatan dan memiliki ilmu yang meliputi mereka akan tetapi penglihatan mereka tidak mampu mencapai-Nya. Secara lahiriah, maksud bahwa penglihatan tidak mampu mencapai-Nya adalah ketidakmampuan manusia untuk melihat-Nya melalui perantara mata. Hal ini berujung pada penafian rukyat inderawi dan mungkin kata jamak "penglihatan-penglihatan (abshâr)" pada ayat ini menunjukkan bahwa dengan kuantitas dan keanekaragaman penglihatan, tetap saja tak satupun mata yang mampu melihat Tuhan. Ayat lain yang tegas menafikan kemungkinan rukyat inderawi Tuhan, pada surah Al-A'raf, berfirman, "Dan tatkala Musa datang (untuk bermunajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku." (Qs. Al-A'raf: 143)

Dengan memperhatikan ayat-ayat lain al-Qur'an[13] menjadi jelas bahwa pada dasarnya dalam permintaannya tersebut, Musa as menyampaikan apa yang menjadi permintaan Bani Israil, dan dalam menjawab permintaan tersebut, Tuhan dengan tegas berfirman bahwa: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku."

Ayat semacam ini dengan tegas menafikan rukyat Tuhan, ayat ini tergolong ayat muhkamah (ayat yang memiliki makna yang jelas, tegas, dan transparan) sehingga ayat-ayat mutasyabihah (lawan dari ayat muhkamah) yang dipahami mengarah pada adanya kemungkinan melihat Tuhan, harus disandarkan dan ditafsirkan berdasarkan makna ayat di atas (ayat muhkamah).[14] Sebagai contoh, Asy'ari menggunakan ayat-ayat di bawah ini untuk membuktikan klaimnya, Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat." (Qs. Al-Qiyamah: 22-23)

Dalam menjawab pernyataan Asy'ari dikatakan bahwa kata dasar "nazhar" ketika bergabung dengan huruf "ila" akan menjadi kata kerja yang membutuhkan obyek (muta'addi). Sebagaimana kata "nazhar" bisa bermakna "melihat", "menunggu", dan "mengharap". Dengan konteks yang ada pada ayat 25 pada surah yang sama, maka maksud dari ayat di atas adalah bahwa kelompok ini tengah mengharap rahmat Tuhan sedangkan kelompok lainnya (yang keadaannya dijelaskan pada ayat 25) tengah menunggu adzab yang pedih dari Tuhan. Dengan memperhatikan poin ini, dan khususnya argumen akal yang pasti atas kemustahilan rukyat dan ayat-ayat muhkamah, menjadi jelaslah bahwa ayat yang dijadikan dasar argumentasi Asy'ari tidak terkait dengan asumsi mereka.[15]



Sifat Negasi dalam Riwayat

Sifat negasi Tuhan juga disajikan dalam berbagai hadits Ahlulbait Nabi as secara lebih luas dan tegas, di sini kami hanya membahas sepenggal dari hadits-hadits tersebut. Dalam salah satu hadits, Imam Sadhiq as bersabada, "Sesungguhnya Allah tidak bisa disifati dengan waktu, tempat, gerak, diam, dan perpindahan, melainkan Dia adalah pencipta waktu, tempat, gerak, diam, dan perpindahan. Allah lebih tinggi dari apa yang disifatkan oleh orang-orang zalim".[1]

Sebagaimana yang bisa diperhatikan dari hadits tersebut, Imam Shadiq as dalam hadits itu menegaskan tentang penafian waktu, tempat, gerak, dan perubahan bagi dzat Tuhan, dan yang menarik perhatian di sini, di samping penafian gerak, sifat "diam" juga dinegasikan dari Tuhan yang hal ini merupakan penjelas atas negasi gerak Tuhan, negasi gerak bagi Tuhan bukan bermakna adanya sifat diam untuk-Nya. Perlawanan dari dua sifat ini (negasi gerak dan diam) disebut dalam ilmu logika dengan perlawanan ketiadaan dan kepemilikan (taqâbul 'adam wa malakah, privation and possession opposite) yakni apabila sebuah maujud tidak bisa disifati dengan salah satu dari dua sifat tersebut, maka dia mustahil disifati dengan yang satunya lagi.

Imam Ali as dalam satu hadits menyebutkan tentang sifat-sifat negasi Tuhan, bersabda, "Makna Shamad adalah bahwa Tuhan tak bernama, tak berjasmani, tak memiliki kesamaan, tak berwajah, tak terbatas, tak bertempat, tak bersubstansi, tak di sini, tak di sana, tak memenuhi tempat dan tak mengosongkan tempat, tak berdiri dan tak duduk, tak bergerak dan tak diam, tak gelap dan tak terang, bukan ruh dan bukan jiwa, semua tempat diliputi oleh-Nya, tak tempat yang mampu menampung-Nya, tak berwarna dan tak terbayang dalam kalbu seseorang dan tak ada aroma yang tercium dari-Nya, semua hal-hal ini ternafikan dari-Nya".[2]

Mengenai sebagian dari sifat negasi khusus, seperti negasi jasmani atau penafian rukyat, terdapat pula beragam hadits dari Ahlulbait as. Sebagai contoh, dalam salah satu hadits dikatakan bahwa salah satu sahabat Imam Shadiq as menukilkan perkataan Hisyam bin Hakam mengenai kejasmanian Tuhan di hadapan Imam as. Imam as bersabda, "Celakalah dia (Hisyam bin Hakam)! Apakah dia tidak mengetahui bahwa badan dan wajah adalah terbatas? Apabila (sebuah benda) memiliki batas, maka dia akan menerima sifat kuantitas (banyak dan sedikit) dan setiap yang berkuantitas, pastilah makhluk". Perawi mengatakan, aku berkata (kepada Imam), "Lalu apa yang harus aku katakan?" Imam bersabda, "Dia tak berbadan dan tak berwajah, melainkan yang menciptakan badan dan mewujudkan wajah, Dia tidak bisa dibagi-bagi, dibatasi, dan diperbanyak atau dikurangi. Apabila benar apa yang dikatakannya (Hisyam) maka tidak ada perbedaan antara Pencipta dengan yang diciptakan (makhluk), sementara Dia adalah Khalik dan terdapat perbedaan antara badan dan yang menciptakan badan, karena tak sesuatupun yang serupa dengan Tuhan dan Tuhanpun tidak identik dengan sesuatu".[3]

Dengan merenungkan hadits ini, ditemukan pemahaman yang mendalam yang mengisyarahkan dua argumentasi Imam as atas penafian kematerian Tuhan. Ringkasan dari argumentasi pertama adalah bahwa kematerian mengharuskan keterbatasan dan keterbatasan artinya menerima kelebihan dan kekurangan dan hal-hal ini adalah sifat makhluk. Oleh karena itu, konsekuensi dari asumsi kejasmanian dan kematerian Tuhan adalah bahwa Dia merupakan makhluk, sementara Tuhan adalah Khalik dan Pencipta, bukan makhluk.

Pada argumentasi kedua, dalam ibarat "Jika benar apa yang dikatakannya (Hisyam), maka tidak ada …" dikatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta badan, dan apabila Tuhan berbadan, maka konsekuensinya adalah bahwa Khalik dan makhluk mempunyai persamaan dalam kejasmanian. Dengan adanya persamaan dan keserupaan seperti ini maka tidak sesuai dengan asumsi bahwa Tuhan adalah Pencipta dan makhluk sebagai yang tercipta.

Mengenai negasi tempat dan waktu, terdapat hadits yang memiliki makna mendalam. Di antaranya, hadits dari Imam Kadhim as, Imam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah ada sejak azal tanpa tempat dan waktu, dan sekarangpun demikian. Tak ada tempat yang kosong dari-Nya dan pada saat yang bersamaan Dia tak memenuhi tempat dan tak bergabung dengan tempat ".[4]

Dengan melihat ibarat terakhir dari Imam as ini, menjadi jelas bahwa maksud dari "Tak ada tempat yang kosong dari-Nya" bukan bermakna bahwa Tuhan berada pada semua tempat, melainkan ungkapan ini mengisyarahkan cakupan dan kepenciptaan Tuhan dan menegaskan bahwa seluruh maujud berada di hadapan-Nya.

Terdapat banyak hadits yang menyajikan tema-tema seputar penafian rukyat Tuhan secara inderawi[5], di bawah ini akan kami sebutkan beberapa hadits:



Imam Ali as dalam menjawab pertanyaan dari salah satu sahabatnya yang bernama Dza'lab Yamani yang bertanya, "Apakah Anda melihat Tuhan?", Imam as bersabda, "Apakah aku menyembah sesuatu yang tidak terlihat?" Dza'lab bertanya, "Bagaimana engkau melihat-Nya?" Imam bersabda, "Penglihatan lahiriah tidak akan mampu mencapai-Nya, tetapi kalbu dengan hakikat iman akan memahami -Nya".

Dari Imam Asykari as diriwayatkan suatu hadits dalam jawaban atas pertanyaan, "Bagaimana manusia bisa menyembah Tuhannya sedangkan dia tidak dapat melihat-Nya?", beliau bersabda, "Tuhanku Yang Maha Penyayang, Dia memberikan nikmat-Nya kepadaku dan kepada orang tuaku lebih baik dari apa yang terlihat (oleh mata lahiriah)."[6]



[1] . Biharul Anwar, jilid 3, hal. 309, hadits 1.

[2] . Ibid, jilid 3, hal. 320, hadits 21.

[3] . At-Tauhid, bab keenam, hadits 7. Shaduq dalam bab ini memaparkan duapuluh riwayat tentang penafian kejasmanian Tuhan, demikian pula rujuk kitab: Ushul al-Kafi, kitab at-tauhid, bab an-nahi 'an al-jism wa as-surah.

[4] . At-Tauhid, bab 28, hadits 12.

[5] . Untuk mempelajari riwayat yang berkaitan dengan ru'yat, rujuklah: Idem, bab 8, dan juga Ushul al-Khafi, kitab at-Tauhid, bab Ibthal ar-Ru'yah.

[6] . At-Tauhid, bab 8, hadits 2.