KEDUDUKAN FIKIH DALAM SYIAH

Taklif adalah tanggungjawab melaksanakan syariat dalam segala aspek kehidupan.


Pemikul tanggungjawabnya adalah mukallaf. Ia adalah mukmin yang memenuhi syarat balig dan berakal sehat. Perempuan bila mencapai usia 9 tahun atau mengalamai haid menjadi mukallafah. Pria bila mencapai uia 14 tahun atau mengalami mimpi jenabat atau mengalami perubahan hormonal.


Mukkallaf mesti melaksanakan syariat dengan salah satu dari dua cara; berijtihad dan bertaqlid.
Mukallaf yang memiilih taqlid sebagai sumber dan cara melaksanakan taklif disebut muqallid. Sedangkan mukallaf yang memilih ijtihad sebagai sumber dan cara melaksanakan taklif disebut mujtahid. Mujtahid yang dijadikan sebagai rujukan disebut dengan muqallad atau marja’ taqlid.


Muqallid memikul tanggungjawab-tanggungjawab  sebagai berikut:


1. Menjadikan “bertaqlid” sebagai isu di luar masalah-masalah fatwa. Dengan kata lain, bagi muqallid pemula, taqlid kepada seorang mujtahid tidak boleh didasarkan pada taqlid, harus dengan ijtihad.

2. Melakukan istifta’, yaitu mengajukan soal fatwa dengan sarana apapun kepada marja’ melalui komunikasi langsung, bertanya kepada seseorang yang dipastikan jujur dan memahami fatwa marja yang ditaqlid atau merujuk ke buku pedoman praktis (risalah amaliyah) yang berisikan kumpulan fatwa-fatwa dari marja’nya.

3. Melakukan tahkim, yaitu memperlakukan marja’nya sebagai hakim syar’i pengadilan. Namun, sebagian ulama beranggapan bahwa fungsi yudikatif adalah wewenang wali fakih, kecuali bila tidak ditangani atau diserahkan oleh wali fakih bersangkutan kepada mujtahid lain. Menyerahkan dana-dana syar’i (al-huquq asy-syar’iyah), seperti khumus dan madhalim kepada marja’ yang ditaqlidnya selaku wakil imam maksum. Sebagian ulama juga menganggap penerimaan dana-dana syar’i sebagai hak dan wewenang wali fakih.

4. Merujuk kepada marja’ a’lam lain yang memberikan fatwa berkenaan dengan masalah yang sama, jika marja’ yang dijadikan sebagai muqallad tidak memberikan fatwa (hukum yang tegas) namun hanya menyarankan untuk ber-ihtiyath berkenaan dengan suatu masalah.

5. Bertaqlid dalam masalah-masalah ibadah yang berifat zhanni (bukan dharuri), seperti hukum wajib shalat asar dan puasa Ramadhan.

6. Melakukan identifikasi terhadap subjek hukum atau kasus spesifik. Dengan kata lain, fatwa hanyalah hukum yang bersifat umum. (Ketika marja’, mislanya,  berfatwa bahwa diharamkan makan ikan tidak bersisik, maka muqallid bertanggungjawab untuk melakukan verifikasi dan identifikasi apakah ikan gurame yang di depan mejanya bersisik ataukah tidak).