Realitas Tauhid; Jantung Spritualitas Seorang Muslim



Ruhullah Syam*

Tuhan merupakan realitas eksistensi tertinggi, bahkan Dia adalah realitas tak terhingga dan nir-batas. Ayat suci yang mengungkap realitas-Nya "Allahu as-Shamâd" yakni tak ada kekosongan dalam realitas eksistensiNya sehingga sesuatu "ma siwâ" (sesuatu selain realitas wujudNya) dapat mengisinya.

Salah satu argumen yang paling kokoh dan sempurna dalam membuktikan Kewujudan-Nya adalah burhân shiddiqin milik Shadrul Muta'alihin (Mullah Shadra).

Argumen ini dibangun dengan 3 mukaddimah dasar:

1. Ashâlatul wujud (Prinsipilitas eksistensi) dan i'tibari mahiyyah (Persepsi mental quiditas).

2. Eksistensi bergradasi, dan terdapat gradasi khusus antara sebab dan akibat (yakni wujud akibat tidak mempunyai kemandirian wujud dari wujud sebab sebagai pemberi keeksistensian).

3. Ukuran kebutuhan akibat pada sebab adalah rabti dan kebergantungannya pada sebab, yakni kelemahan eksistensinya membuat dia bergantung pada eksistensi yang lebih kuat, serta tidak ada sedikitpun kemandirian eksistensi baginya.

Rumusan argumen: Gradasi wujud – kecuali yang paling tinggi tingkatannya, yakni tingkatan yang mempunyai kesempurnaan tak terbatas, mahakaya, dan mandiri mutlak – semuanya adalah rabt dan bergantung. Dan jika yang paling tinggi derajatnya tak punya realitas, maka semua tingkatan-tingkatan lainnya tak akan punya realitas.

Sebab hal ini merupakan inherensi (keniscayaan) dari asumsi bahwa merealitasnya tingkatan-tingkatan eksistensi lain, tanpa realitas tingkatan eksistensi paling tinggi, serta menjadikan tingkatan-tingkatan eksistensi itu mandiri dan tidak butuh pada tingkatan eksistensi paling tinggi, dan hal ini menyalahi sisi eksistensial mereka sebagai eksistensi rabt dan faqr itu sendiri.

Keunggulan dari argumen ini hanya bersandar pada konsepsi dan pemahaman wujud tanpa melibatkan konsepsi dan pemahaman mahiyyah (quiditas, whatness), dan dengan bantuan argumen ini dengan mudah wahdat (tauhid) serta sifat-sifat sempurna Tuhan lainnya dapat dibuktikan.

Eksistensi yang dibuktikan keberadaannya dengan argumen di atas disebut "Allâh" yakni asma (nama) yang diketahui oleh seorang muslim dari yang mempunyai nama menamakan dirinya sendiri. "Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang".

Tuhan mempunyai nama-nama yang baik "Walillahi as ma'ul husna" dan nama "Allâh" disebut sebagai ismul 'azâm dan jam'ul jâm', yakni nama yang paling agung serta menghimpun nama-nama lainnya.

Perjalanan eksistensi manusia dalam menapaki gradasi eksistensi ini,menempuh asma dan sifat Tuhan dari asma dan sifat yang satu ke asma dan sifat lainnya, sebab semua realitas ini adalah terangkum dalam wilayah Tuhan, domain Tauhid "Allâhu as-Shamad", sedangkan asma-asma itu sendiri memiliki wilayah masing-masing.

Tuhan, "Dia yang awal dan yang akhir, yang dzahir dan yang batin" (Qs. al-Hadid [57]:3) merujuk tidak hanya pada realitas Tuhan yang meliputi segala realitas, tetapi juga pada peranan dan fungsi Tuhan dalam spiritualitas Islam, sebab Tuhan merupakan sentral pusaran spiritualitas Islam dan juga menjadi realitas lahir dan batinnya. Dia (Tuhan) berada pada pusat medan kehidupan manusia dan pada segala aspek dan dimensi spiritualitas yang mengitariNya, mencariNya, dan mengerahkan totalitas perhatian kepadaNya sebagi tujuan eksistensi manusia.

Pesan Nabi mulia Muhammad Saw "Takhallâqu bi akhlâqillâh" mengandung inti pesan dari spiritualitas Islam, sebab realitas eksistensi Tuhan yang mahasempurna tidak hanya bersifat transenden tetapi juga bersifat imanen. Tuhan adalah mahakuasa dan juga mahaindah, Dia juga mahaesa dan Dia juga sumber keragaman dan kejamakan. Dia maha kasih sayang, dan juga mahahakim dan adil terhadap segala perbuatan manusia.

Tuhan adalah sebagai pencipta dan sekaligus pemelihara alam eksistensi, baik yang non-materi maupun yang materi, dan Tuhan juga sebagai tujuan akhir yang ingin dituju oleh perjalanan seluruh makhluk "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'un".

Dia mencipta sebab keinginanNya ingin dikenal (hadits qudsi kanzan makhfiyyan, khazanah tersembunyi), dan dengan rahmatNya terpancarlah substansi dasar yang terajut padanya benang-benang ciptaan dan makhluk. Dia adalah Muhyi (mahamenghidupkan) dan Dia pula Mumit (mahamematikan). Dia adalah Hâdi (mahamemberi hidayah) dan Dia pula adalah Mudhill (mahamenyesatkan). Dia adalah Ghafûr (maha pengampun) terhadap hamba-hamba pendosa dan bersalah yang kembali padaNya, tapi Dia adalah Muntaqim (mahamembalas dendam) terhadap hamba-hamba yang berdosa dan tetap menjauh dariNya.

Tuhan, Dia adalah yang mutlak, tak terbatas, dan maha sempurna. Dia adalah Esa dan mahaindah "Wa lillahi asma'ul husna", sebab itu dariNyalah segala realitas dan totalitas sifat positif yang bermanifestasi dalam tatanan kosmis.

Keesaan Allah tidak hanya meniscayakan transendensi tetapi juga imanensi. Al-qur'an berulang-ulang menegaskan transendensi Allah, Dia melampaui segala kategori pemikiran, imajinasi dan fantasi manusia, lantaran Dia "Maha suci dari sifat-sifat yang mereka berikan" (Qs. al-An'am [6]: 100). Spiritual Islam didasarkan atas kesadaran perennial terhadap transendensi tauhid ini, ketidakberdayaan segala sesuatu dihadapan kekuasaanNya dan kefanaan semua eksistensi yang berlawanan secara diametris dengan hakikat kekekalan dan keabadianNya "Kullu syain haâlikun illa wajhahu dzul jalâli wal ikrâm".

Tapi Allah juga imanen dalam cahaya transendensiNya, karena Dia tidak hanya berada di atas segala sesuatu dan segala tingkatan eksistensi, tetapi seperti yang difirmankanNya: "Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya sendiri" (Qs. al-Qaf [50]:16), dan firmanNya: "Maka kemanapun engkau menghadap disitulah wajah Allah" (Qs. al-Baqarah [2]:115).

Oleh sebab itu realitas Allah, realitas esa dan tauhid, yang transenden dan yang imanen. Dan spiritualitas Islam mengarahkan seorang muslim pada suatu titik kesempurnaan realitas, suatu realitas mutlak yang esa dan maha sempurna "Limanil mulku al-yaum lillahil wahidil al-qahhar" (Qs. al-Ghafir [40]:16).[]


* . Penulis adalah santri program S1, jurusan Filsafat & Irfan, di Seminari آli Imâm Khomeini Ra, Qum.